Namaku Alis Anjani. aku berumur 30 tahun. aku seorang ibu yang memiliki putra yang sangat tampan bernama Andi. anakku baru saja berusia 10 tahun dan sekarang dia duduk di kelas 4 sekolah dasar.
Aku seorang Single mom, dan bagiku itu bukan sebuah masalah apalagi aib. Karna menjadi seorang ibu tunggal atau tidak. tak akan mengurangi makna dari kata IBU itu sendiri.
Sejujurnya jika Aku bisa memilih, Aku hanya ingin menjadi wanita biasa saja yang bekerja di rumah dan mengurusi putraku Satu-satunya.
Namun Ternyata,Tuhan mempunyai rencana lain dan lebih menginginkanku menjadi wanita pekerja keras. Kuat dan Mandiri. Terdengar Hebat Bukan?! Padahal itu sangatlah melelahkan.
Pagi ini Ku susuri Jalanan yang tampak lengang,karna waktu masih menunjukkan pukul 06.30 pagi. Beruntunglah ini hari Minggu, jadi aku bisa membiarkan Anakku tidur dengan tenang. setelah meninggalkan selembar Catatan kecil di atas meja makan. hal yang sudah menjadi kebiasaan kami semenjak setahun belakangan ini.
Aku menyetop Salah satu angkutan Umum yang kebetulan melintas. kursi penumpang terlihat lengang, aku memilih untuk duduk di dekat pintu saja, agar lebih mudah untuk segera turun.
"Kemana Lis, pagi-pagi begini?" Sang supir menoleh dan membuka masker yang bertengger di wajahnya. Aku terkesiap sesaat, kupikir siapa karna tiba-tiba menyapaku. "Eh, mang Arif. kirain siapa! biasalah mang,ke tempat kerja." jawabku dengan senyum seramah mungkin.
"Kerja? ini kan hari Minggu. Kerja apa emangnya?" Mang Arif masih nampak serius mengemudikan mobilnya.
"Kerja Di Rumahan mang, kebetulan aku cuma mau ketemu sama Yang punya rumah dulu,kerja nya sih mulai besok," jawabku sembari merogoh beberapa lembar uang di saku baju yang sudah aku siapkan dari rumah.
"Oh begitu,Bukannya dulu kerja di pabrik?" Mang Arif menoleh sesaat, dia hafal betul pekerjaan ku setelah aku seringkali naik kendaraan umum miliknya saat bekerja di pabrik dulu.
"Udah enggak Mang,pabrik jauh dari Rumah. Kasian Andi." tukasku beralasan. "Iya juga yah,mana kamu sering pulang malam lagi. Bahaya sekali buat perempuan Lis." Timpalnya seolah setuju dengan Alasanku.
"Iya mang,Alis juga was-was kalo pulang malem. mang Arif,saya turun di depan aja yah!" aku menunjuk salah satu Tempat yang merupakan kawasan perumahan elit. "Oke,siap" mang Arif bergegas memberhentikan mobilnya. aku mengeluarkan dua lembar uang dua ribuan lalu pergi setelah sebelumnya pamit.
Ku Tatap Lama kawasan Rumah Elit itu, Melihat 4 orang Security berjaga di depan saja sudah membuatku ngeri. Betapa pentingnya orang-orang yang tinggal di kawasan ini.
"Nyari Siapa Mbak?" salah seorang Security Lebih dulu mengintrogasiku
"InI pak, saya mau ketemu dengan Bu Rahayu. yang tinggal di kompleks ini" aku mengeluarkan secarik kertas yang berisikan alamat rumahnya. Security tersebut manggut-manggut sembari mengingat. "Oh,Bu Rahayu Hadiwijaya. silahkan masuk kalo gitu, alamatnya gak jauh dari jalan utama ini kok. rumahnya yang paling besar menghadap ke timur."Jelasnya. aku mengangguk sembari berlalu Melewati Pos Security itu.
Setelah 15 Menit berjalan,aku tiba di depan sebuah rumah yang Sangat besar dibandingkan dengan rumah lainnya yang berukuran 'Normal'.
Baru saja Aku menginjak halaman depan yang terlihat sepi, Niat hati ingin Menekan Bell aku malah dikagetkan dengan suara yang muncul dibelakangku. "Neng Alis yah?!" aku menoleh kaget, dan melihat sosok wanita Paruh baya membawa barang belanjaan ditangannya. "I-iiya, Ibu yang punya rumah ini? Bu Rahayu?" tanyaku tak yakin karna melihat penampilan sederhananya yang tak sebanding dengan rumah mewah itu. wanita tua itu mengulum senyum. "Saya Marni,yang kerja disini. Bu Ayu udah ngasih tau saya soal ART Baru, ayo lewat sini!" ajaknya menarik lembut tangan ku melewati sebuah pintu di samping pagar besar tempat aku berdiri tadi.
"Kamu punya pengalaman Merawat pasien yah?" Tanya bi Marni kemudian.
"Enggak.Emang yang kerja disini harus lulusan keperawatan?"aku balik bertanya cemas. Karna seingatku, Bu Dewi tak menyebutkan persyaratan itu saat memintaku bekerja disini. "Enggak juga sih, bibi cuma penasaran aja." jawabnya singkat. kami melewati pinggir halaman lalu masuk kesebuah ruangan yang bisa ku tebak adalah dapur kotor dan gudang, karna terdapat banyak barang-barang bertumpuk disisi dindingnya. Kami Lalu masuk ke salah satu pintu yang langsung terhubung ke ruangan besar. mungkin itu ruang santai atau ruang keluarga. yang jelas aku terus saja memperhatikan detail tempat itu karna benar-benar memanjakan mata.
"Sini masuk, ganti sandalnya!" Bi Marni menunjuk sendal rumah yang sudah tersedia. "Duduk dan tunggu disini sebentar ya!" pintanya dengan sopan, lalu meninggalkanku dan menghilang di balik ruangan lainnya. Aku menelan ludah getir, siapa saja yang tinggal di Rumah Besar ini? kenapa begitu sepi? apakah semua orang pergi bekerja? Pasti akan sangat melelahkan bekerja seharian di rumah ini. Pikirku tak henti.
Rumah dengan Cat dinding berwarna putih bersih itu dipenuhi perabotan Bagus dan sudah pasti Mahal. Ada Satu Foto besar di tengah ruangan. Foto sepasang suami istri yang mungkin adalah Orang Tua Bu Rahayu ketika masih muda, cantik dan gagah. aku tersenyum tipis,Bagus juga seandainya aku memasang fotoku dan Andi sebesar itu di ruang tengah. "Huh! Pasti biaya cetaknya sangat mahal." aku mengernyit ngilu membayangkan berapa besar uang yang harus ku keluarkan. Lebih baik kupakai saja uangku untuk membetulkan sepeda Andi, dia sudah lama merengek ingin pergi sekolah dengan sepedanya.
"Kamu Alis yah? Maaf lama menunggu," Aku lagi-lagi terkesiap. suara itu terdengar lembut dan mampu membuat otakku membeku sesaat.
"Eh, iya. Bu Rahayu!" Aku memekik kecil. sudah pasti inilah orangnya, Wanita berusia 40 Tahunan itu terlihat cantik dan elegan, bahkan tatanan Rambutnya sangat indah dan modis. Aku Bangkit saat dia mengulurkan tangan untuk bersalaman. bahkan wanita sekelasnya tidak ragu untuk menjabat tanganku. sungguh suatu kehormatan. Aku kembali duduk setelah Bu Ayu mempersilahkan.
"Gimana tadi di jalan? gak nyasar kan?" tanyanya berusaha akrab. sungguh diluar dugaan, ku kira Orang kaya tak akan bertanya Hal-Hal sepele seperti itu.
"Alhamdulillah Enggak Bu."
"Bagus kalo begitu. Oh iya, saya dengar kamu singlemom ya? Maaf." selidiknya
"Iya Bu. Saya punya anak satu,kebetulan sudah kelas 4 SD."
"Wah hebat,berarti anaknya sudah mandiri yah? baguslah,saya harap kamu betah disini. karna saya sudah capek gonta ganti pekerja." Bu Ayu mengakhiri kalimatnya dengan senyuman yang sulit ditebak.
"Iya Bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin,agar tidak mengecewakan Ibu" timpalku Tanpa rasa curiga
"Syukurlah.Tapi maaf ya, saya gak bisa lama-lama karna masih harus ke kantor. Nanti sisanya Bi Marni yang kasih tahu. Kalo ada apa-apa kamu ngomong aja." pungkasnya kemudian Lalu bangkit dan memanggil Bi Marni.
Tak berapa lama Bi Marni datang dengan secangkir teh panas. "Diminum dulu, nanti saya kasih tahu dan jelasin apa aja yang harus kamu kerjakan." tukasnya menyodorkan minuman itu yang ku sambut dengan bergegas karna tak sabar ingin segera tahu apa-apa saja hal yang harus Aku lakukan di rumah besar ini.
Setelah berbincang sedikit dengan Bi Marni tentang latar belakangku yang memang tak ada pengalaman menjadi ART, tapi aku pernah bekerja cukup lama di sebuah pabrik besar. aku meyakinkan Bi Marni bahwa aku terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari. jadi dia tak perlu Cemas dengan kinerjaku. Akhirnya aku di ajaknya menuju salah satu ruangan di lantai atas. sebenarnya aku heran, kenapa Bi Marni tak mengajak ku berkeliling ke ruang makan atau dapur atau Binatu. tempat yang biasa ART tinggali untuk bekerja. Tapi dia malah membawaku ke sebuah tempat yang bisa di bilang ruang pribadi. Ada Lima kamar yang berjajar saling berhadapan,satu kamar utama terlihat lebih besar. aku pikir kami akan berjalan menuju kamar itu, tapi nyatanya kami sudah berhenti di kamar kedua.
"Ini kamar siapa Bi?" Tanyaku polos.
"Ayo Masuk! Nanti saya jelaskan di dalam saja." sahutnya bergegas masuk.
Ku langkahkan kakiku perlahan, ruangan yang terasa lebih hangat dibandingkan dengan suhu diluarnya membuatku semakin bertanya-tanya.
Apakah kamar orang kaya seperti ini, memiliki pengatur suhu yang berbeda-beda di setiap tempatnya.
Namun Rasa penasaran ku teralihkan Oleh sebuah Objek yang ku lihat terbaring di atas Ranjang.
• • • • •
"Andi,kamu udah selesai makannya nak?" ku dekati andi sembari membawa sebotol air mineral sebagai bekal minumnya di sekolah. aku tahu anakku itu begitu aktif bergerak sehingga dia mudah sekali kehausan.
"Udah ma," Andi mendorong pelan piringnya itu. lalu bangkit dari kursi dan mengambil botol dari tanganku. lalu dia masukkan ke dalam tasnya.
"Buku pelajaran nya udah?"
"Udah ma. hari ini mama kerja kan? pulang jam berapa?"tanyanya serius.
"Mama belum tahu sayang,tapi semoga aja mama bisa pulang cepat! makan siang kamu udah mama taro di kulkas, Uang jajan untuk ngaji juga udah mama simpen di tas ngaji kamu. jangan main jauh-jauh ya! kalo mau main sama Reyhan aja." perintahku yang langsung dibalas anggukan olehnya. Beruntunglah aku memiliki Anak seperti Andi yang sabar dan pengertian. Dia tak banyak mengeluh bahkan dia tak akan pernah melakukan Hal-Hal yang akan membuatku marah. aku bersyukur dengan kehadiran nya disisi ku.
Semalam Aku dan Andi sudah membicarakan soal pekerjaan baruku, dan Beruntunglah dia mengerti. dia hanya memintaku bekerja dengan baik,agar bisa kembali ke rumah lebih cepat. dia sangat senang saat tahu jika aku tak bekerja di pabrik lagi,karna menurutnya aku tak memiliki waktu luang saat libur dan bahkan sering lembur. dia juga marah saat aku bekerja pada malam hari, karna dia harus ku titipkan pada tetanggaku Bu Dewi. setidaknya bekerja sebagai ART tidak akan membuatku menginap, lagipula tempat kerjaku saat ini juga tak begitu jauh dari rumah. hanya membutuhkan waktu 20 menitan jika menggunakan angkutan umum.
Andi sudah pamit dan berangkat sekolah bersama beberapa orang temannya. sementara aku kembali ke dalam rumah untuk mengambil tas dan ponsel ku.
"Lis, belum berangkat?"suara Bu Dewi terdengar nyaring dari luar, aku segera keluar dan menghampirinya.
"Ini baru mau berangkat Bu. Oh iya,saya titip kunci rumah ya Bu. sekalian titip Andi juga." Pintaku dengan malu-malu. Bu Dewi adalah Ibu dari Reyhan yang juga teman sekelas anakku. Bagiku Bu Dewi sudah ku anggap seperti saudaraku sendiri. Mereka begitu baik padaku dan juga Andi, namun sungkan rasanya jika terus-terusan meminta tolong dan merepotkan nya.
"Tenang aja," Sahutnya dengan wajah penuh ketulusan.
"Gimana? kamu udah liat kan kemarin rumah majikan kamu? cocok gak?" tanyanya tampak begitu penasaran.
Aku mengangguk Ragu,tak mungkin aku bilang tak cocok. sementara Bu Dewi lah yang menjadi perantara antara Aku dan Bu Rahayu. Dan Akupun tak ingin mengecewakannya. "Udah bu, alhamdulillah cocok"ujarku
"Syukurlah, semoga majikannya baik. Dan kamu juga betah kerja disana. Kalo kata suami ibu sih, Bu Rahayu itu orang baik." tuturnya penuh keyakinan. Dia tahu dengan jelas cerita tentang keluarga Bu Rahayu dari sang suami Pak Yanto yang kebetulan Bekerja sebagai karyawan di salah satu anak perusahaan milik keluarga Hadiwijaya.
Tapi sepertinya Bu Dewi tak tahu menahu soal pasien yang akan ku rawat nanti saat bekerja di rumah bu Rahayu. bahkan dia tak pernah menyinggung soal itu.
"Iya Bu,sepertinya Bu Rahayu orang yang baik,dan semoga saya betah!" jawabku singkat.
"Ya udah, sana berangkat! Nanti telat lagi." Tukasnya yang menyadari jika aku mulai Cemas dengan obrolan kami yang pasti akan sangat lama. Aku tersenyum tipis, lalu pamit dan bergegas menuju jalan utama untuk mencari kendaraan umum.
•••••
Hari ini adalah hari pertama aku bekerja, ku panjatkan sedikit doa dan harapan agar apa yang aku kerjakan hari ini berjalan lancar. Aku masuk melalui pintu samping,Ku langkahkan kakiku dengan perasaan tak yakin apakah aku bisa bekerja seperti apa yang di minta Bu Ayu. Setelah kemarin Bi Marni menjelaskan tugas apa saja yang aku kerjakan. YA! Hari itu Aku benar-benar terkejut saat tahu ternyata Aku harus mengurusi orang sakit. Dua Minggu yang lalu keponakan Bu Rahayu mengalami kecelakaan serius di jalan Raya. bahkan tangan dan kaki sebelah kirinya mengalami retak dan patah sehingga harus di Gips. Wajahnya pun tak kalah parah, dari pelipis hingga dagu terdapat luka memar dan bengkak serta beberapa goresan tipis dari pecahan kaca. "Hufth!" Aku menghela nafas dalam, jika ku ingat-ingat aku tak pernah mengurusi orang sakit sebelumnya. Bahkan Almarhum Suamiku saja tak sempat ku rawat Meski dia mengalami luka parah saat kecelakaan......
"Lis,kamu udah datang! bisa bantu sebentar?!" pinta Bi Marni mengagetkan ku. Aku berlari kecil dan mendekat. ku pegang spatula yang dia serahkan padaku. "Bantuin Saya masak! kamu tolong Bikinin Omlette buat ibu yah. saya mau manasin sup sebentar!" pintanya tergesa. Aku langsung menyambar Teflon di atas kompor, beruntunglah aku pernah belajar membuat Omlette dari video memasak yang pernah ku tonton.
"Syukurlah Kamu datang tepat Waktu Lis," Bi Marni menyajikan semua makanan itu di atas meja makan. aku melihat sekeliling, tampak begitu sepi. "Apa cuma Bu Ayu yang sarapan?" bisikku pada Bi Marni. Dia mengangguk dengan tangan tetap berfokus menata meja.
"Sebentar lagi Bu Ayu keluar,sebaiknya kamu segera masuk ke kamar Mas Sandy! Jangan lupa,sarapannya juga di bawa!" pintanya sembari terus melihat kearah jam dinding. aku mengangguk dan segera berlari menuju dapur lalu mengambil nampan berisi sarapan untuk 'Pasien' baru ku.
Setibanya di depan pintu,Aku berhenti sejenak. AH! sialnya jantungku terasa panas dingin rasanya. Takut jika Mas Sandy ini akan terganggu dan marah, Karna yang Aku dengar dari Bi Marni, tiga ART yang kemarin di pecat adalah atas permintaan Mas Sandy sendiri. Semoga saja Suasana hati Mas Sandy sedang Bagus hari ini. sehingga aku tak terkena Pelampiasan Emosinya.
KLEK,
"Permisi Mas,sudah waktunya sarapan!" Aku membuka pintu dan menyapa nya dengan suara selembut Mungkin. Ku lihat Mas Sandy masih terlelap,apakah semalaman dia tak tidur? Pikirku. Atau memang dia terbiasa bangun siang? Aku menyimpan nampan itu di atas meja,ku tatap Ragu wajahnya yang masih sedikit bengkak itu. Bengkak saja masih terlihat jelas Bahwa 'Pasien' ku ini tampan sekali. Apalagi jika luka-luka di wajahnya sudah menghilang.
Astagfirullah Lis!! Desisku menggeleng tak percaya dengan isi kepalaku barusan. Tapi kenapa Mas Sandy bisa kecelakaan yah? Apa dia ngebut-ngebutan? Atau dia mabuk seperti Almarhum suami ku?
"A-Aairrrh!" Gumamnya yang langsung membuatku terkesiap.
"Hah! kenapa Mas?" Aku mendekat panik.
"Aairrrrrr..Haus! Airrrr!" pintanya nampak susah membuka mulut.
"Oh,Air minum ya Mas. Ini Mas!" Ku raih dengan segera gelas yang ada di nakas lalu ku arahkan sedotan itu ke dalam mulutnya. "Pelan,pelan aja Mas. Biar Enggak keselek!" Pintaku cemas.
"Baweeel.." Dengusnya kesal
"Hah?! kenapa mas?" suaraku agak meninggi. sepertinya sifat panik ku ini memang sulit hilang, aku mudah berteriak jika tengah gusar. Mas Sandy memalingkan muka dan menyudahi aktivitas minumnya.
"Maaf Mas,saya terlalu panik!" Aku menyimpan kembali air minum itu,dan beralih membawa sup jamur dam bubur.
"Mas Sandy harus sarapan dulu Mas, biar obatnya bisa diminum." Aku mendekat,namun dirinya masih menoleh kearah berlawanan dan tak menyahutiku. Aku menghela nafas dalam. Bingung juga harus seperti apa menghadapi orang yang sakit seperti ini. Bi Marni bilang,Mas Sandy sangat syok dengan kecelakaan yang menimpanya sehingga Emosinya menjadi tidak Stabil setelah perawatan. Bahkan dia Memaksa ingin pulang dari Rumah Sakit meski para Dokter sudah melarangnya.
"Kalau Mas Sandy, tidak makan. gimana saya bisa kerja Mas?" keluhku. Kemudian pemuda itu tampak mengangkat sebelah tangan kanannya dan mengisyaratkan Aku untuk pergi.
Aku menatapnya bingung.
"Maaf Mas,saya gak akan pergi sebelum Mas Sandy mau sarapan dan minum obat!" Aku bersikukuh.
BUUKGH!
Mas Sandy memukul keras Bantalnya tentu dengan tangan kanannya yang masih leluasa itu. Aku tersentak kaget, ku pikir orang dalam keadaan seperti itu tak memiliki tenaga untuk sekedar marah-marah atau bahkan memukul sesuatu. Apa benar dia ini sakit? Atau hanya berpura-pura? lagi-lagi akal sehatku bertanya-tanya.
"Atau Mas Sandy perlu sesuatu? ke toilet misalnya? saya bisa bantu kok Mas?" aku menawarkan diri. Bagiku sudah tak ada perasaan Risih jika melihat orang dalam keadaan tak berdaya begini.
Akhirnya Mas Sandy berbalik badan dan Mencoba Bangkit dengan sisa tenaga dari tangan sebelah kanannya.dia tampak meremas sisi ranjang sekuat tenaga,Aku mencoba membantu dan mengambilkan Kruk.
"Mas yakin bisa bangun?" tanyaku cemas.
"Saya gak Cacat!" Dengusnya seakan tak suka jika aku mengkhawatirkan kondisi nya.
"Ini Kruk-nya Mas," Aku mencoba mengekorinya perlahan dan tak mempertanyakan hendak kemana dia pergi, karna Ku pikir Mood -nya sedang tidak stabil.
"BUKA!" pintanya dengan suara agak tinggi. seketika aku paham saat wajahnya mengarah ke kamar mandi.
"Baik Mas," Kubuka pintu itu perlahan dan menunggu Mas Sandy masuk ke dalam kamar mandi.
"Mas Mau Mandi? Atau buang air?" Aku menatapnya penasaran. Pemuda itu terlihat melirik kearahku dengan Tatapan tajam seolah Kesal dengan pertanyaanku. Meskipun Rasanya, tak ada yang salah dengan pertanyaanku. setidaknya itu yang ku tangkap dari ekspresi wajahnya barusan.
"Keluarrr!" Perintahnya sinis.
Aku bergegas keluar kamar mandi dan menunggunya di kursi yang sudah tersedia di dekat jendela. jendela kamarnya memiliki sisi yang strategis sehingga bisa melihat luas kearah jalan raya yang biasa ku lewati. bahkan atap gedung sekolah Andi pun bisa terlihat.
AH! Aku jadi teringat Andi,di jam-jam Segini biasanya para murid akan melakukan pembiasan dengan berbaris di depan kelas. Aku kembali menoleh kearah pintu kamar mandi. kenapa Mas Sandy begitu lama,apa dia kesulitan? tapi tak mungkin dia diam saja, setidaknya dia bisa berteriak minta tolong. atau menghentak-hentakan Kruk nya jika terjadi sesuatu.
BYURRRR!
Terdengar suara air tumpah. Aku bangkit dan mendekati Pintu kamar Mandi.
"Mas, Mas Sandy baik-baik aja kan?" tanyaku sembari menempelkan telinga pada sisi luar daun pintu.
PRAKK!
Detik Berikutnya terdengar suara Kruk yang terjatuh.
"Mas! Mas Sandy?!" Ku coba memanggil namanya, meski tak ada jawaban apapun dari dalam sana.
• • • • • • •
Aku terus mencoba mengetuk pintu kamar mandi. "Mas,tolong jawab? Mas sandy baik-baik aja kan?"tanyaku lagi. Ku kerahkan semua kekuatanku untuk mendorong paksa pintu itu,
BRAKK!
Tak Ku sangka bahwa aku sekuat ini, bisa membuka pintu kamar mandi dengan sekali tarikan nafas saja. Namun saat ini bukan itu yang membuatku kaget,Aku terkesiap saat melihat Mas Sandy berdiri dan hendak melepas Celana pendeknya. Dia menoleh kaget kearahku,begitu pula aku yang sontak berbalik badan.
"WOIIIYY!!!"teriaknya kaget dengan sedikit suara ringisan di akhir teriakannya,mungkin dia tak sadar jika wajahnya masih bengkak.
"Maaf Mas,saya fikir Mas Sandy kenapa-kenapa! jadi saya dobrak pintu nya. Maaf!" aku menutup pintu kamar mandi kembali dengan perasaan campur aduk. Kaget, malu tentu saja dan Aku menyesali kebodohanku barusan. Aku duduk menjauh dari kamar mandi,mencoba menenangkan diri dan berharap Mas Sandy tak marah atas sikap lancangku barusan.
15 menit sudah Aku menunggu,Namun Mas Sandy belum juga menunjukan tanda-tanda akan keluar dari kamar mandi. apakah dia sangat kesulitan hingga membutuhkan waktu cukup lama di dalam sana. "Ah! Biarin aja deh, nanti salah lagi" Aku bergumam sembari sibuk merapikan tempat tidurnya.
KREKK! KREKK!
Bunyi Kruk itu membuatku seketika menoleh,tubuh Mas Sandy nampak setengah Basah dengan kancing baju yang terlihat tidak Rapi. Aku mendekat dan segera memapahnya.
"Katanya kalo lagi sakit begini,Mending gak usah mandi. di lap aja," tukasku Pelan. Mas Sandy tak menjawab dan hanya fokus berjalan seperti ingin cepat-cepat duduk di ranjangnya. Aku segera menyabet handuk kecil di kursi dan menyerahkannya pada Mas Sandy.
"Handuknya Mas," Aku menatapnya bingung, haruskah ku keringkan tubuhnya dengan handuk itu? Atau ku biarkan saja dia menyelesaikannya sendiri.
"Kamu Orang sini?" tanya nya tiba-tiba. Aku terkesiap,karna takjub mendengar pertanyaan nya barusan.
"Iya Mas. Rumah saya enggak jauh dari kompleks ini," Pemuda itu tampak melirik sebentar kearahku dengan tatapan malas lalu kembali membenarkan posisi duduknya.
"Gak usah panggil Saya Mas. panggil Nama aja." pintanya ketus.
"Enggak ah Mas,saya kan bawahan. nanti dipikirnya enggak sopan lagi." Aku mendekati Nakas dan mengambil Sup yang hampir dingin itu.
"Sarapan dulu Mas,udah waktunya minum obat." Aku menoleh kearah jam waker Yang sudah menunjukan pukul 8 pagi.
"Saya gak selera makan,Gak usah maksa!" tolaknya dengan nada lemah. sangat berbeda dengan nada bicaranya yang tiba-tiba meninggi tadi.
"Sup InI bagus untuk menyembuhkan luka Mas,Apalagi luka seperti yang Mas Sandy alami ini" Aku mengaduk supnya agar Uap panasnya mengepul,dengan begitu Mas Sandy akan tergiur dengan aromanya. Namun sepertinya pemuda itu sama sekali tak terpengaruh dengan apa yang coba aku lakukan. Entah kenapa Aku malah merasa kasihan dengan sikap diamnya. dia pasti sangat terpukul dengan kondisinya sekarang. tak mudah memang menjadi orang pesakitan secara tiba-tiba. apalagi jika kita memiliki mobilitas Tinggi sebagai pekerja. Itu juga yang pernah Aku alami saat harus terbaring tiga hari di rumah karna keseleo. Rasanya bosan dan frustasi.
"Gak usah liatin saya. Saya gak suka cara kamu menatap saya. memalukan,"
Desisnya.
Aku menunduk dan sedikit memundurkan tubuhku ragu.
"Maaf Mas,saya cuma merasa sedih aja dengan kondisi Mas Sandy seperti ini." Aku beralasan.
"Saya gak minta dikasihani! gak perlu berlebihan. Pergi sana!" titahnya lagi.
"Tapi Mas,kata Bu Ayu saya harus memastikan Mas Sandy sarapan dengan benar setiap hari."
"Bilang aja, saya sudah makan. dan makanannya bisa kamu buang ke tempat sampah!" Sahutnya dingin.
"Maaf Mas,saya Gak bisa berbohong. apalagi menyangkut nyawa orang lain, kalo nanti Mas Sandy kenapa-kenapa. saya pasti yang akan lebih dulu dimintai pertanggung jawaban!" Tandasku Tak mau kalah. Sandy menatapku kesal.
"Bawel banget!" Desisnya tak suka.
"Mas Sandy tetep harus makan!" Aku memaksa dan mendekatkan Mangkuk berisi Sup itu kearahnya. Namun sedetik kemudian Sandy mendorong kasar supnya sehingga isi sup sedikit tercecer di atas meja. "Mending kamu pergi aja, saya lagi pengen sendiri" pinta Sandy.
"Tapi mas,tugas saya disini melayani mas Sandy. kalau untuk makan aja saya gak bisa bantu. Gimana Saya bisa lanjutin kerjaan saya nanti?" tukasku
"Kalo kamu gak suka kerja disini, besok tak perlu datang lagi!" Mas Sandy melempar handuknya sembarangan.
Aku melihat beberapa Luka memar dan luka goresannya yang masih basah. pasti rasanya sangat sakit dan perih. tapi kenapa orang seperti dia sangat sulit di atur? aku memberanikan diri mengambil salep di atas meja lalu mendekatinya. Pemuda itu tampak kaget dengan tindakanku yang tiba-tiba mendekat padanya. "Heh,mau ngapain kamu?!" Gertaknya.
Aku merapikan kancing bajunya meski dengan malu-malu dan merasa ini tak sopan."Maaf Mas kalo saya lancang,tapi ini sudah jadi tugas saya. saya gak bisa diem aja!" Aku fokus merapikan kancing bajunya lalu ku oleskan salep itu ke atas tangannya yang penuh luka goresan.
"Sayang kalo sampe telat di obatin,
nanti bekas lukanya sulit hilang. Lagipula percuma Mas Sandy marah-marah! toh itu tak akan bikin Mas Sandy cepat sembuh." Aku mengoleskan secara perlahan salep itu. meski ucapanku terdengar begitu tenang tetapi sejujurnya Jantungku bergemuruh seperti tengah terjadi badai besar. baru kali ini aku bersikap Berani melawan seseorang yang baru aku kenal. padahal bisa saja aku pergi saat dia memintaku. namun Aku harus bertanggung jawab atas pekerjaan ku Ini. Aku tak boleh gagal seperti para pekerja yang di pecatnya kemarin-kemarin.
"Setelah salepnya kering,Mas Sandy boleh makan supnya. saya tinggal sebentar keluar,permisi!" Aku pergi dengan membawa handuk yang basah tadi tanpa menoleh lagi kearah Mas Sandy. tak perduli dia marah atau kesal dengan sikapku,yang ingin aku lakukan sekarang adalah segera keluar dari kamar itu.
Aku bersandar dibalik pintu kamarnya. menghirup dalam-dalam udara yang hampir saja hilang dari paru-paru ku. menyebalkan sekali rasanya.
kenapa aku harus mengurusi orang yang punya tempramen buruk seperti itu. Tapi jika aku menyerah sekarang,Itu sama saja aku mempermalukan diri sendiri. Karna kemarin Bu Ayu sudah membayar uang kerjaku di Muka selama satu bulan kedepan. bahkan sebagian uang itu sudah ku pakai untuk membayar keperluan sekolah Andi. "Huh! sabar" Aku mengusap dada dan bergegas pergi menuju dapur untuk menemui Bi Marni.
"Eh,kamu udah selesai Lis? Gimana? Mas Sandy mau minum obat?" tanyanya segera. Aku duduk di sebuah kursi yang terletak tak jauh dari tempat Bi Marni berdiri.
"Belum bi. boro-boro minum obat,sup nya aja gak di sentuh. katanya dia gak selera makan dan malah nyuruh saya buang makanannya ke tempat sampah!" gerutu ku.
Bi Marni tersenyum tipis seakan bisa menebak apa yang akan terjadi. "Sabar ya Lis,menghadapi orang sakit memang harus telaten." tukasnya menyemangati ku.
"Oh iya bi, kalo boleh saya tahu kenapa Mas Sandy bisa kecelakaan gitu sih? sampe parah banget. katanya kemaren bibi mau cerita?" Aku menagih janji yang sempat Bi Marni ucapkan kemarin. wanita tua itu tampak celingukan seakan memperhatikan keadaan sekitar.
"Tapi kamu jangan ribut yah,ini cuma antara kita berdua. sebenarnya Mas Sandy abis putus sama pacarnya. makanya dia mabuk-mabukan dan akhirnya kecelakaan deh." Bisiknya Hati-Hati.
"Oh jadi Gara-gara putus cinta. Ckck!" Aku berdecak tak habis pikir. pemuda setampan itu bisa frustasi Gara-gara perempuan. "Memangnya kaya apa sih bi pacarnya itu? sampe Mas Sandy nekat begitu?" selidiki lagi.
"Wah pokoknya pacarnya itu cantik banget. bibi inget dulu,Dia sempet datang kesini beberapa kali. katanya sih Pacarnya itu model dan calon artis gitu Lis." Bi Marni tampak mengingat-ingat.
"Pantes aja Mas Sandy begitu. dia pasti cinta banget sama pacarnya. kalo orang tua Mas Sandy dimana bi?" kucoba beralih pada hal lain. Sebetulnya banyak Hal-Hal yang belum aku ketahui dari keluarga ini. dan inilah saat yang tepat untukku mengetahui seluk beluk keluarga Mas Sandy ini.
"Kamu lihat foto besar yang ada di ruang tengah itu? itu orang tua Mas Sandy yang sudah meninggal 13 tahun silam. mereka meninggal karna kecelakaan pesawat saat hendak bekerja. sejak kecil Mas Sandy sudah di rawat oleh bu Ayu. makanya Bu Ayu sudah seperti ibunya sendiri." jelasnya. Aku tertegun mendengar cerita Bi marni. ternyata Mas Sandy memikul penderitaan lebih besar dari yang ku alami. dan kecelakaan ini pastilah membuatnya semakin tersiksa.
"Bu Ayu itu, gak punya suami yah? atau anak?" Aku menatap penasaran pada Bi marni. "Bu Ayu dulu pernah punya suami. tapi bercerai setelah mereka menikah 15 tahun. karna bu Ayu gak bisa kasih keturunan. Lis janji yah,kamu jangan ceritakan lagi soal ini diluar rumah. cukup kita berdua aja!" pintanya
"Iya bi, tenang aja. aman!" Sahutku meyakinkan. "Kayanya aku harus balik lagi ke kamar bi. siapa tahu mas Sandy mau makan makanannya!" pamitku.
"Ya udah sana,semangat ya!" Bi Marni tersenyum penuh harap. Mungkin wanita itu juga lelah jika harus terus berganti pegawai dan menjelaskan segala sesuatunya dari awal. sedangkan pekerjaan nya pun bertambah setiap hari. Rasanya jika melihat penderitaan orang-orang disekitarku yang sangat berat membuatku kembali bersemangat. betapa Tuhan masih begitu baik dengan memberiku hanya secuil rasa sakit.
TOK..TOK.. TOKK..
Aku mengetuk pintu pelan. Ku Rubah ekspresi wajahku menjadi lebih ramah dan tenang. aku berharap Mas Sandy mau berkompromi kali ini. Ku lihat Mas Sandy yang tengah berbaring dengan pandangan melihat kearah jendela.
"Maaf Mas, mengganggu!" Aku mendekat dan melihat mangkuk yang tadi ku tinggalkan tadi.
"Alhamdulilah Mas Sandy mau makan. Terima kasih banyak Mas,Mas udah bikin kerjaan saya mudah,ini obatnya mas!" Aku mengambil beberapa obat dan menyimpannya di sebuah piring beserta air putih.
"Kenapa kamu mau kerja disini?" Tanya nya tiba-tiba.
Aku menoleh sebentar lalu kembali fokus merapikan mangkuk dan sendok di atas meja. "Awalnya saya pikir,saya kerja sebagai ART disini Mas. ternyata bukan. dulu saya sempat kerja jadi buruh pabrik, tapi tempatnya jauh dari rumah. dan saya gak bisa ninggalin anak saya kalo kerja jauh."
"Kamu punya anak? berapa umur kamu?" Mas Sandy bertanya dan menatapku sesaat. namun aku tak berani membalas tatapannya.
"Punya Mas. anak saya laki-laki dan sekarang sudah kelas 4 SD." Aku menjelaskan meskipun Mas Sandy tak memintanya. tapi kurasa dia akan puas dengan jawaban ku barusan.
"Suami kamu kerja dimana? kenapa malah kamu yang kerja?" Sandy masih menatap kearahku.
"Mas,Mending Mas Sandy minum obatnya dulu. abis itu istirahat!" Pintaku menyudahi obrolan kami. Aku terlalu takut jika dia bertanya lebih dalam tentang kehidupan ku. Dan entah mengapa Mas Sandy seakan tertarik untuk bertanya. apakah memang dia orang yang penasaran atau hanya iseng. Aku berjalan hendak meninggalkan kamar Mas sandy,
"Mau kemana?" Sandy melirik kearahku.
"Saya mau mencuci piring. Mas Sandy perlu sesuatu?" tanyaku mendekat.
"Ambilkan saya buah-buahan!" pintanya lagi. aku tersenyum, setidaknya dia mau makan sesuatu selain sup dan buburnya.
"Baik Mas,saya ambilkan!" aku bergegas keluar kamar dan menuju dapur.
"Kok balik lagi Lis?" tanya bi Marni menatapku heran.
"Mas Sandy minta buah-buahan bi" tukas ku antusias.
"Wah,alhmdulilah sepertinya Mas Sandy sudah mulai bisa menerima kamu. ya udah,kamu ambil aja buah-buahan yang ada di kulkas. kebetulan bibi baru belanja tadi." perintahnya.
Aku siapkan nampan kecil untuk membawa beberapa buah segar dan kembali ke dalam kamar dengan segera.
"Permisi Mas,ini pesanannya!" Aku mendekat dan melihat obat yang tadi aku berikan,ternyata masih sama dan tak berkurang.
"Obatnya belum diminum Mas?" tanyaku heran.
"Kamu gak liat Obatnya banyak gitu. saya gak mau!" sahutnya malas.
"Tapi kan,kalo Mas Sandy gak mau minum obat nanti lama banget sembuhnya!" aku menatapnya penuh harap.
"Saya sudah bilang,kalo kamu gak sanggup kerja disini,tinggal pergi saja!" Sandy menatapku sinis.
Sepertinya dia sedang berusaha menguji kesabaranku. Aku menghela nafas dalam,lalu tersenyum menatap obat-obatan itu. Aku mengambilnya dan menyimpannya kembali.
"Ya sudah kalo Mas Sandy gak mau minum obat. yang sakit kan Mas sendiri. bukan saya yang rugi." Sindirku
"Kamu nyindir saya?" Desisnya dengan nada sedikit kesal. Aku berbalik badan dan kembali mendekat padanya,hendak membantu mengupaskan apel.
"Enggak nyindir kok,cuma bicara fakta aja!" jawabku sekenanya. kudengar Helaan nafas kesalnya di akhir. Aku tak memperdulikan dan hanya fokus mengupas Apel nya.
"kamu berani juga ya?" Sandy tersenyum remeh.
"Kalo saya gak berani,mana bisa saya ngerawat orang kaya mas sandy ini." Aku menyerahkan potongan apel itu padanya. wajah Sandy terlihat ketus karna ucapanku yang mungkin sudah membuatnya kesal seharian.
"Setelah ini,tolong ambilkan ponsel saya di ruangan tante Ayu." pintanya lagi.
"Maaf mas,soal ponsel. Bu Ayu berpesan pada saya. kalo mas gak boleh pegang ponsel. Mas Sandy harus benar-benar beristirahat di kamar!"
Sandy membuang muka,sudah pasti dia kesal dengan hal itu."Itu kan ponsel saya,apa hak kamu melarang saya?" Protesnya.
"Sekali lagi maaf mas,saya gak bisa melanggar perintah bu Ayu."
"Tante keterlaluan!" umpatnya nyaris tak terdengar.
"Tunggu apalagi? pergi sana!" Usirnya. Aku mengangguk dan segera pamit meninggalkan ruangannya.
Aku berjalan gontai menuju dapur,entah akan seperti apa nantinya hubungan kerjaku dengan pasien yang satu ini. tapi yang jelas aku harus bertahan demi masa depan Andi.
• • • • • •
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!