"Kei, mampirlah sebelum kamu berangkat kerja. Aku ingin menunjukkan game baru yang baru saja aku buat."
Ponselku berkedip-kedip, aku yang sedang merapikan rambutku di depan meja rias segera melompat ke atas kasur.
Bruk!
Ah, pesan dari Ryu. Aku membacanya dan segera membalasnya, "Aku akan datang. Tunggu aku. Mau titip apa?" Balasku.
Aku kembali merapikan rambutku dan memoleskan sedikit make up di wajahku, setelah selesai ponselku kembali berkedip-kedip.
"Apa saja yang enak untuk sarapan." Balas Ryu.
Aku bergegas ke dapur dan membuatkannya mashed potato serta sosis dan telur goreng. Tak lupa aku menghiasnya dengan daun parsley dan tomat ceri. Aku membuat dua box, satu untukku dan satu untuknya.
Namaku Keira Ophelia, biasa dipanggil Kei. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil di dekat kantorku. Dan saat ini aku sedang berjalan ke rumah Ryujin Sakurai, pria yang sudah lama kusukai. Tapi sayang dia tidak tertarik padaku. Sedih sekali.
Kami sama-sama senang main game, dan kebetulan Ryu adalah seorang programmer jadi kerjaan dia adalah duduk dan rebahan. Beda denganku yang harus pergi pagi pulang malam. Begitulah nasib budak corporate.
"Ryu, aku datang." Sahutku mengetuk pintu apartemennya. Apartemen kami berdekatan, dan dia selalu memintaku untuk memainkan game percobaannya sebelum ia memperkenalkannya kepada umum.
"Masuklah! Aku lapar, apa yang kamu bawa untukku?" Tanya Ryu langsung merebut tas bekal yang aku bawakan.
Dia membukanya dan memakannya, "Kamu membuatnya?" Tanya Ryu.
"Tidak, aku memuntahkannya." Jawabku. Aku mengutak-atik komputer Ryu.
Ryu berdiri di belakangku, "Bukalah folder ini." Katanya, "Nyi, enyak Kei." Ucapnya dengan mulut penuh makanan.
Aku membuka folder yang ditunjuk oleh kursor Ryu, "Judulnya adalah My World. Setting tempatnya di tempat kita ini. Karakternya ada kamu, aku, ibu warung, Jane teman bergosipmu itu, pokoknya semua sama. Aku hanya menambahkan dua karakter baru. Sebentar lagi dia muncul." Kata Ryu menjelaskan.
Aku memperhatikan animasi yang dibuat oleh Ryu, "Sudah cukup rapi dan warnanya bagus, Ryu. Kamu semakin pintar." Aku memujinya.
Ryu menepuk-nepuk pundakku dengan penuh semangat, "Dia datang! Dia datang!" Tukasnya.
Sesosok wanita cantik, dengan tubuh proporsional, rambut yang cantik muncul dan melambaikan tangannya. Dibawahnya tertulis nama dari wanita itu, Iria.
Entah kenapa aku cemburu padanya, "Namanya Iria?" Tanyaku.
Ryu mengangguk antusias, "Dia tipe wanita kesukaanku." Sahutnya dan menatap Iria dengan tatapan cinta yang belum pernah diberikannya padaku.
Aku kesal! "Aku berangkat dulu, habiskan juga bagianku!" Tukasku.
Ryu menahan tanganku,
Deg
Jantungku berdetak cepat begitu kami bersentuhan, "Satu lagi Kei. Ini karakter utama prianya. Aku membuatnya sesuai dengan kriteria pria idamanmu." Sahutnya.
Aku duduk kembali dan melihat layar komputer Ryu lagi. Sama seperti Iria tadi, pria itu idaman setiap wanita. Aku yakin semua wanita akan sering menangis hanya untuk bersandar di pundaknya yang bidang dan tampak nyaman itu.
Ryu menatapnya bangga, "Iya kan? Kriteriamu sekali, kuberi nama dia Zen." Katanya.
"Tumben kali ini kamu membuat games dengan teliti sekali." Ucapku.
"Karena aku memikirkan games ini akan disukai banyak orang." Jawabnya.
Aku menepuk pundaknya, "Semoga kali ini berhasil. Aku berangkat dulu yah." Aku berpamitan kepadanya.
Ryu mengangguk, "Aku akan memberitahukan kepadamu jika games ini sudah bisa dimainkan." Sahutnya.
Aku mengacungkan ibu jari kepadanya.
...----------------...
"Hei Kei."
"Morning Keira."
"Hai, Kei. Kopi pagimu sudah aku letakkan di meja kerjamu, tiramisu mocacino kan?"
Aku mengangguk, "Thanks Bern." Jawabku.
Aku termasuk populer di kalangan tempat kerjaku, atasanku sangat mengandalkanku dalam hal apa pun. Aku bekerja sebagai asisten pribadi dari seorang CEO tampan, yang mempunyai sekretaris cantik bernama Jane.
Yup, Jane temanku yang tadi dibahas oleh Ryu. Jane segalanya bagiku, dia merupakan penyimpanan aib terbaikku.
"Kei, Mr. Sean ingin kamu menyiapkan laporan kwartal dua untuknya dan memintamu untuk membuatkan jadwal meeting untuk investor dari PT. ABC." Seru Jane begitu aku masuk ke dalam ruangan kerja kami.
"Ya nyonya. Siap laksanakan." Sahutku.
Aku sangat menikmati hidupku saat ini walau pun aku jauh dari keluargaku tapi banyak orang yang menjagaku dan bisa kuandalkan andaikan sesuatu terjadi padaku.
Tak lama, atasanku datang. Seorang pria asing yang sedang belajar berbahasa lokal. Dan beliau juga ada di games buatan Ryu, namanya pun sama Mr. Sean.
Ryu memang sering menjemputku dan tak jarang ia menungguku di dalam ruangan kantor ini sehingga Ryu tau detail kantor kami ini.
Lima menit sebelum jam kerjaku selesai, ponselku berkedip. Satu pesan dari Ryu datang, "Kei, gamesnya sudah jadi. Sempatkanlah kemari untuk memainkannya." Tulis Ryu.
Aku mengetik balasan untuk pesannya itu, "Benarkah? Cepat sekali. Baiklah, nanti aku akan kesana." Balasku.
"Oke, nanti masuk saja, pintunya tidak aku kunci. Aku ingin istirahat sebentar. Tolong bawakan aku makanan." Pintanya dalam pesan.
Jane melirik ponselku, "Apa jadinya dia tanpamu? Aku rasa dia juga tidak pernah bertemu matahari." Goda Jane.
"Kamu membuatku tersanjung, tapi sayang sekali tak pernah ada aku di hatinya." Jawabku suram.
Jane menepuk pundakku, "Sabarlah anak muda. Seperti katamu, mungkin dia akan terbuka hatinya andai ada Iria di dunia nyata." Ucap Jane.
"Aku akan tetap bersaing dengannya. Bahkan jika Aphrodite datang, aku akan menantanganya juga." Sahutku tak mau kalah.
Jane tertawa tergelak, "Aku akan menjadi Medusa dan mendukungmu, hahaha." Ujarnya.
...----------------...
Tok...tok
"Ryu." Aku memanggilnya.
Tadi Ryu bilang dia mau istirahat dan pintu tidak terkunci, jadi aku membuka pintu apartemennya dengan perlahan.
"Ryu, aku masuk yah." Sahutku berbisik.
Entah kenapa aku berbisik dan jalan berjingkat-jingkat, aku melihat ke layar komputer yang menyala.
"Wah, benar-benar sudah jadi. Bagaimana memainkannya? Apakah aku harus membangun duniaku disana? Dan bagaimana game overnya?" Aku melihat ke arah Ryu yang masih tertidur, aku tidak tega membangunkannya.
Aku sembarangan mengklik kursornya, dan ada tulisan play disana. Aku menekannya dengan kursor. Begitu aku menekan tombol play, tampilan desktop berubah dan di penuhi oleh games My World.
Aku menuliskan namaku disitu Kei, dan aku mendapatkan sambutan dari karakter virtual Ryu. Aku memperhatikannya tanpa melewati tutorial dari games tersebut.
Aku mulai mengklik sesuai dengan arahan karakter Ryu di games, namun tiba-tiba..
Drrt! Drrt!
Komputer itu mati, aku menekan tombol on kembali namun komputer itu tetap tidak menyala. Baiklah jalan satu-satunya adalah hard reset.
Aku mencabut steker listriknya dan menancapkannya kembali ke dalam stop kontak.
Drrt! Plep!
Loh, loh. Kenapa jadi mati semua? Apa Ryu belum membeli token listrik? Aku berjalan ke depan pintu apartemen Ryu untuk mengecek token listriknya.
Hmmm, masih ada kok. Lalu ini kenapa?
Aku kembali duduk di depan layar komputer itu, aku hanya terdiam dan menatapnya, "Apa yang harus kulakukan padamu? Jika Ryu terbangun dan mendapati komputernya mati, dia akan memotongku menjadi delapan bagian. Tolong menyalalah." Pintaku kepada komputer Ryu.
Aku merebahkan kepalaku di atas meja komputer itu sambil menunggu listrik menyala.
Drrt!
Drrt!
Drrt!
Aku tidak tau komputer Ryu sudah menyala atau belum, aku tidak merasakan ada tangan yang menarikku ke dalam dunia aneh yang nantinya akan menjadi duniaku.
...----------------...
Pagi itu aku terbangun dari tidurku dan meregangkan otot-ototku, "Aku sudah mulai tua." Sahutku sedikit mengeluh.
Aku mengecek ponselku, tidak ada pesan bahkan dari Ryu pun tidak. Lalu, siapa yang mengantarku kembali tadi malam? Aku sama sekali tidak mengingatnya.
Aku menjalankan rutinitasku seperti biasa, dan sebelum berangkat kerja aku akan mampir ke apartemen Ryu dulu dan meminta maaf kepadanya karena telah mematikan komputernya.
Tok...tok..
Aku mengetuk apartemen Ryu. Aku sudah membawakan bekal pagi untuk Ryu. Roti bakar, roti lapis, sekotak susu putih, tiga batang keju dan jeli favorit Ryu.
Aku kembali mengetuk apartemennya, apa dia masih tertidur?
Tok...tok
"Ryu."
Tok...tok
"Ryu? Ini aku, apa kamu masih tidur?" Tanyaku dari balik pintu.
Ceklek.
Pintu terbuka, tapi bukan Ryu yang menyambutku seperti biasa, melainkan Iria.
"Ka..kamu?"
Mana bisa Iria ada di dunia nyata kan? Apa aku bermimpi?
...----------------...
Aku tercengang melihat Iria sedang berada di apartemen Ryu.
"Bukankah kamu Iria?" Tanyaku kepadanya.
Iria mengangguk, "Kenapa Kei? Seperti melihat hantu saja. Masuklah." Katanya mempersilahkanku untuk masuk ke dalam seolah-olah Iria yang mempunyai ruangan ini.
Ryu sedang sarapan di meja kecilnya tempat ia biasa makan, "Loh, Ryu kamu sudah makan? Aku membawakanmu roti lapis dan roti bakar cokelat kesukaanmu." Aku mengeluarkan kotak bekalku satu per satu.
Iria mengambil kotak bekal dariku dan membukanya, "Apa ini bekalmu Kei? Kamu menghabiskan semuanya sendiri? Pantas saja kamu gendut." Katanya jahat kepadaku.
Aku melihatnya kesal! Airmataku sudah menggantung di pelupuk mataku, "Jahat sekali ucapanmu Iria! Ini bukan untukku, ini untuk Ryu. Ryu hanya makan bekal buatanku!" Aku membalasnya tak mau kalah.
Ryu yang sedang asik mengunyah melihat ke arahku, "Aku? Makan bekal buatanmu? Sejak kapan Kei? Kan dari dulu kamu juga tau Iria selalu membawakanku makanan." Sahut Ryu dan tanpa mempedulikan perasaanku dia melanjutkan kegiatan makannya.
Aku sangat kesal pagi ini! Apa ini cara Ryu membalas dendam karena kemarin aku membuat komputernya bermasalah?
Aku berangkat kerja dengan perasaan dongkol dan kesal, aku ingin segera bertemu dengan Jane dan menumpahkan segala kekesalanku.
Sesampainya di kantor, kenapa tidak ada yang menyapaku?
"Hai." Aku mencoba menyapa lebih dulu. Tapi dia tidak menyapaku.
Aku menyapa temanku yang biasa membelikanku kopi pagi, "Hai, apakah kamu mau kubelikan kopi untuk hari ini?" Aku bertanya dengan nada ceria kepadanya, tapi sekali lagi aku diacuhkan.
Betapa terkejutnya aku ketika orang-orang kantorku menoleh dan menyapa seseorang,
"Hai Iria."
"Iria, kenapa bisa kamu selalu cantik?"
"Iria, aku membelikan kopi favoritemu tiramisu mocacino."
Deg!
Itu favoritku, bukan favorit Iria!
Aku memperhatikan gerak gerik Iria yang benar-benar meniru gayaku.
Dengan kesal aku memasuki ruanganku, dan sekali lagi aku dibuat terkejut karena di mejaku tidak tertulis namaku, melainkan nama Iria.
Aku menggebrak meja,
Brak!
Ini tidak bisa dibiarkan! Aku mencari Jane di ruangannya, akan tetapi aku tidak menemukan Jane disana.
Aku kembali mencari Jane di pantri tapi Jane juga tidak ada. Aku hampir putus asa dengan keadaan ini. Dadaku mulai terasa sesak karena menahan emosi yang membuncah dan mendesakku untuk di keluarkan.
"Jane! Aaaa, kamu terlambat datang hari ini."
"Haaaaiiii Iria sayang. Iya, macet sekali dan lagi aku bangun kesiangan hari ini. Apa kamu tau tentang..."
Aku mengenali suara itu. Itu suara Iria, dan aku hapal dengan suara balasan yang heboh itu. Itu suara Jane. Aku merasakan hatiku seperti tertusuk jarum, pedih sekali.
Aku melangkahkan kakiku keluar, aku membuat senyumku senormal mungkin untuk menyambut Jane dan berharap mendapat simpati darinya.
Aku berjalan menghampiri Jane dan menyapanya, "Jane! Kamu kemana saja. Aku ingin bercerita tentang sesuatu saat makan siang nanti. " Sahutku
Jane menatapku seperti menatap orang asing, "Keira, tumben sekali kamu mengajakku biasanya kamu makan siang sendirian di mejamu." Katanya dingin
Aku mengerutkan keningku, "Aku? Selalu makan siang sendiri?"
Jane mengangguk, "Ya, disitu." Katanya sambil menunjuk meja kerja paling pojok di sudut kantor dan di bawah pendingin ruangan.
Aku menghampiri meja kerjaku, dan ya disitu tertulis namaku. Keira Ophelia.
Aku melihat sekelilingku, entah kenapa Iria yang menjadi pusat perhatian biasanya aku yang ada disana. Biasanya aku yang berada di tengah-tengah mereka, dan mereka yang akan selalu memandangku dengan kagum.
Aku menatap Jane dengan sedih, seperti patah hati rasanya jika kehilangan seorang sahabat sehebat Jane. Tak terasa airmataku bergulir jatuh dan menetes di pangkuan tanganku.
"Nih, ambillah." Seseorang memberikanku sehelai tissu. Aku mengambil tissue tersebut dan mengucapkan terimakasih kepadanya.
Pria itu duduk di meja depanku dan menghadap ke arahku, "Usap airmatamu dan tersenyumlah." Katanya.
Aku mengangkat wajahku, "Zen?" Tanyaku.
Ia mengangguk, "Siapa lagi yang akan menghiburmu kalau bukan aku?" Jawab Zen tersenyum lebar.
Aku tercengang menatapnya. Zen tampan sekali, matanya hijau kodok, senyumnya menawan, tubuhnya bagus, benar-benar sempurna sekali. Cerdas sekali Ryu bisa mengingat dengan jelas setiap detail kriteria pria idamanku.
...----------------...
Seusai jam istirahat, Iria menghampiriku. Aku sengaja menyibukkan diriku dengan berlembar-lembar dokumen yang ada di depanku.
"Bisa aku meminta waktumu sebentar?" Tanya Iria.
Aku memandangnya kesal, "Apa kamu tidak bisa melihat aku sedang sibuk?" Sahutku.
Iria menarik pergelangan tanganku tanpa mempedulikan teriakan kesakitanku. Dia terus menarikku hingga kami sampai di ruangan keluar tangga darurat.
"Ada apa sih?" Tanyaku.
Iria menatapku, "Kupikir kamu seseorang yang pintar ternyata kamu tidak tau apa-apa. Cih!" Katanya meremehkanku.
"Apa maksudmu?" Aku bertanya kepada Iria dengan nada tersinggung.
Iria menghela nafasnya, "Baiklah aku akan memberitahumu tentang situasi yang terjadi sekarang." Katanya
Jantungku berdegup kencang, "Katakanlah." Ucapku menegarkan suaraku.
"Saat ini kamu berada di dalam dunia permainan. Dunia permainan ini adalah duniaku. Di dunia ini aku yang menjadi tokoh utamanya, bukan kamu. Itu sebabnya mengapa orang-orang acuh kepadamu." Kata Iria memulai penjelasannya.
Aku berusaha menjejalkan segala informasi dari Iria ke kepalaku.
Iria berkata lagi, "Sewaktu listrik di apartemen Ryu mati, akulah yang menarikmu kesini. Dan yang mematikan aliran listrik juga aku." Katanya.
Aku hanya bisa ternganga mendengar ucapannya, "Bagaimana?" Tanyaku sambil mencubit-cubit pipi dan lenganku berharap aku akan terbangun.
"Tenang saja ini bukan mimpi. Di dunia ini Ryu sudah membuat setting tempat sama seperti di dunia nyatamu. Hanya saja di dunia ini aku adalah kamu di dunia nyata. Sifatku dan sifatmu sama, hanya saja Ryu membuat aku sesuai dengan kriteria wanita idamannya. Cantik, seksi, bermata biru, tinggi dan langsing. Aku juga tidak paham kenapa aku harus mempunyai sifat seperttimu." Sahut Iria.
"Jadi, karena ini adalah sebuah permainan maka tugasmu adalah memenangkan permainan hingga level akhir. Aku akan memberimu enam hati sebagai nyawamu. Misalkan kalau kamu terjatuh dan berdarah maka nyawamu akan berkurang setengahnya. Tugasmu mudah saja, membuat Ryu jatuh cinta kepadamu. Lakukan segala cara yang kamu punya sebelum nyawamu habis." Sambungnya lagi.
Aku mengangguk, "Hanya itu saja?" Tanyaku menggampangkan.
Iria mendengus tertawa, "Saat tiba waktunya nanti kamu akan segera menyesal telah berkata hanya." Jawabnya ketus.
"Di dunia ini Ryu tergila-gila kepadaku, begitu pula dengan Jane dan semua orang yang hidup di dunia ini. Kamu akan sulit mendapatkan Ryu. Dan lagi, Ryu menciptakan sosok pria yang menyukaimu bernama Zen. Dia adalah sosok pria idamanmu bukan? Kamu nanti diminta untuk memilih antara Ryu dan Zen, jika kamu memilih Ryu maka kamu harus mengalahkanku untuk bisa memenangkan permainan ini. Tapi jika kamu memilih Zen, kamu akan terjebak selamanya disini." Sahut Iria menjelaskan. Jari telunjuknya teracung di depan bibirku. Ia memintaku untuk mendengarkannya lagi.
"Kamu harus membangun duniamu sendiri disini, nanti Zen akan membantumu. Kamu bisa naik level jika kamu bisa mendapatkan terget poin. Di setiap level yang akan kamu naiki, kamu bisa mengupgrade Level Kemampuanmu, Level Cintamu dan Level Kehidupanmu. Tenang saja, akan ada senjata yang membantumu." Sambung Iria lagi.
Mendengar kata senjata aku menjadi bersemangat, "Benarkah? Kamu akan memberiku senjata?" Tanyaku.
Iria menatapku tak percaya, "Aku tidak akan sebaik itu. Senjatanya ada di dalam dirimu sendiri. Carilah dan pakailah kekuatanmu itulah senjatamu."
Aku mencerna ucapan Iria. Apakah aku bisa memenangkan game ini dan kembali ke duniaku atau aku akan terjebak disini? Ah, aku pusing.
"Bagaimana cara memulai permainannya?" Aku bertanya kepadanya.
Iria menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, "Kamu sudah menekan tombol play di layar jadi sekarang sudah mulai permainannya." Jawab Iria.
"Aku sudah terlalu banyak membantumu! Sisanya, lakukanlah dengan caramu kalau kamu ingin kembali. Aku tidak akan membantumu lagi, dan ingatlah permainan ini sudah dimulai. Bersemangat lah Kei untuk bisa memenangkan permainan ini." Pesan Iria kepadaku.
...----------------...
Tantangan pertamaku adalah meningkatkan level kemampuanku. Jadi aku harus mampu memiliki 5 orang teman. Apa yang harus kulakukan? Sedangkan di dunia game ini aku sendirian, bahkan Ryu pun tidak mempedulikanku.
Selagi aku duduk berpangku tangan sambil merenung di sebuah kafe kopi, Zen menghampiriku.
"Hei, kamu tau tidak kalau terlalu banyak mikir rambut putihmu akan bertambah." Katanya menggodaku sambil menyodorkan sepotong brownis full cokelat.
Aku mengangkat wajahku, "Darimana kamu tau ini kue favoritku?" Aku bertanya kepadany.
"Karena aku suka sama kamu. Sesimple itu Kei rasa sukaku ke kamu." Jawabnya tersenyum lebar.
Deg..
Jantungku tidak aman! Kenapa aku jadi berdebar? Ryu jahat sekali, dia benar-benar menciptakan Zen sesuai kemauanku. Bagaimana kalau pada akhirnya aku jatuh cinta kepadanya dan aku tidak bisa kembali ke duniaku?
Aku merebahkan kepalaku di atas meja, airmataku mengalir dengan cepat. Kenapa di dunia aku seperti keran bocor sih?
Tiba-tiba Zen memelukku, "Aku tidak tau apa yang terjadi kepadamu Kei. Akan kusewakan bahuku dengan gratis khusus untukmu." Katanya. Dia membelai rambut panjangku dengan lembut sambil terus mengoceh.
Bagaimana ini Zen benar-benar pria idamanku?
Aku menceritakan masalahku kepada Zen tentu saja aku tidak mengatakan kepadanya bahwa Iria menarikku ke dunia ini.
"Oh, jadi kamu mau berteman dengan yang lain?" Tanya Zen memastikan.
Aku mengangguk, "Cobalah untuk ikut mengobrol bersama mereka atau bawakan mereka snack favoritenya. Iria itu menyukai tiramisu mocacino, Jane aku kurang tau. Aku juga tidak terlalu dekat dengan mereka. Tapi aku akan membantumu." Kata Zen.
"Benarkah?" Tanyaku dengan mata berbinar.
Zen mengangguk tersenyum sambil menepuk pucuk kepalaku, "Senang melihatmu ceria kembali Kei." Ucap Zen.
Blush!
Wajahku terasa panas, dan kurasa sekarang warna pipiku berubah menjadi merah muda hanya karena ucapan Zen.
Keesokan harinya Zen menjemputku, aku cukup kaget karena dia mengetahui alamat apartemenku. Ryu saja tidak pernah menjemputku, kalau mengantar pernah tapi untuk menjemput? Big no! Dia tidak akan melakukan mobilisasi dari kursi kesayangannya ke apartemenku.
"Hmm, bau wangi apa ini?" Tanya Zen begitu aku membukakan pintu untuknya.
"Masuklah. Aku sedang membuat spaghetti brulee, tadinya akan kuberikan kepada seseorang tapi seseorang itu pasti sudah dapat dari orang lain, jadi makanlah bersamaku." Ucapku.
"Benarkah? Asik, aku bisa menghemat uang makan." Katanya sambil berjoget-joget.
Dia memakan masakanku dengan lahap, "Wah, kamu pintar memasak Kei. Buatkan untuk teman-teman yang lain dan bagikan saat makan siang nanti, bagaimana?" Sahut Zen.
"Benar juga. Bagus idemu itu Zen." Balasku tersenyum, "bantu aku yah Zen." Pintaku.
Zen mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya kepadaku. Selesai sarapan, aku dan Zen mulai menyiapkan kembali bahan-bahan untuk membuat spaghetti brulee.
Zen menyenangkan, dia selalu bisa membuatku tertawa dan dia membiarkanku terus bercerita. Zen pendengar yang baik. Berbeda sekali dengan Ryu, aku yang selalu mendengarkan segala keluh kesahnya dan pembicaraannya tentang games. Aku senang berada dekat dengan Zen.
"Sudah jadi deh." Kami mengucapkannya bersamaan lalu tertawa bersama.
Zen membantuku membawakan loyang spaghettinya. Sesampainya di kantor, Zen memintaku untuk membawanya dan menawarkan kepada teman-teman yang lain.
"Morning everyone. Hari ini Kei membawakan kita makan siang." Ucap Zen.
Semua yang mendengarnya mendekati Zen. Zen memintaku untuk membuka loyang makanan itu.
"Apa ini Zen?"
"Apa benar Keira yang membuatnya?"
Zen dengan cekatan membagi-bagikan spaghetti brulee buatanku kepada mereka.
Padahal ini belum jam makan siang tapi mereka sudah memakannya. Dan wajah mereka menunjukan kepuasan, aku rasa misi ini berhasil.
Aku menggenggam erat tangan Zen, "Bagaimana Zen?" Tanyaku.
"We'll see Kei tapi aku rasa ini berhasil." Jawabnya antusias.
"Thanks Kei untuk sarapannya. Besok-besok lagi yah."
"Kei, kamu benar-benar pintar membuatnya." Seru yang lain.
Aku membalas mereka dengan senyuman, paling tidak sistem permainan ini akan menghitungnya.
Zen dan aku kembali ke meja kami masing-masing, aku belum melihat Iria dan Jane sedari tadi. Targetku adalah Jane dan Bern. Tapi mereka belum datang sepertinya.
Ah, mr. Sean!
Aku berlari menghampiri mr. Sean, targetku selanjutnya adalah membuat mr. Sean mempromosikanku menjadi asisten pribadinya. Di dunia ini, Iria yang menjadi asisten pribadi dan termasuk di dalamnya asisten favorit mr. Sean.
"Good morning mr. Sean. I brought you spaghetti brulee for breakfast this morning. Please take it." Sahutku.
Mr. Sean memandangku, aku cepat-cepat menambahkan, "I made by myself."
Mr. Sean mengambii, "Okei. I'll take it. Thank you, ummm. What's your name?" Tanya mr. Sean.
Aku tidak percaya! Mr. Sean yang selalu membanggakanku sekarang melupakan namaku.
"Kei, just call me Kei." Aku menjawabnya.
Kemudian mr. Sean memberikanku senyuman kecil dan berlalu memasuki ruangannya.
Aku menghela nafas panjang meratapi nasibku. Aku tidak boleh menangis lagi. Airmataku terlalu berharga untuk itu.
Tak lama aku mendengar suara Bern, Jane dan Iria memasuki ruangan. Aku memandang mereka dengan iri, biasanya aku yang berada di tengah-tengah mereka bukan Iria. Hatiku terasa sesak sekali melihat mereka.
Iria menatapku, "Hei Keira! Mana salam selamat pagimu! Kami ini seniormu kan harusnya sudah ada kopi tersedia disini." Tukasnya.
Aku berjalan ke pantry untuk membuatkan mereka kopi. Aku melewati mereka, dan tiba-tiba saja Bern menarik kepangan di rambutku.
"Lepaskan saja! Kamu seperti orang yang tidak punya peradaban jika di kepang seperti itu." Tukasnya dan melepaskan ikatan rambutku. Kemudian mereka bertiga tertawa, dan sekarang seisi kantor menertawaiku.
Aku mengibaskan rambut ikal panjang yang tadi aku jalin dengan rapi.
Mataku sudah mulai digenangi oleh airmata yang aku tahan untuk kuturunkan, namun pandanganku menjadi tidak jelas dan tiba-tiba,
Bruk!
Aku terjatuh, lututku lecet. Bagaimana ini? Aku tidak boleh terluka.
Iria tersenyum licik ke arahku, dan memintaku untuk melihat ke atas kepalaku. Aku mendongakan kepalaku, dan melihat satu hati telah retak dan warna kemerahannya berkurang setengah. Aku kesal sekali!
Aku segera berlari dari sana dan menuju atap kantor kami. Setelah sampai di atap aku berteriak mengeluarkan segala kekesalanku,
"Iria sialan!" Aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku tidak peduli ada yang mendengarku atau tidak.
Aku kembali menangis tersedu-sedu. Sesak sekali rasanya. Karena terlalu sakit, aku tidak sanggup lagi menopang tubuhku, aku terjatuh dan kupeluk diriku sendiri erat-erat.
Tak berapa lama ada lengan hangat yang memelukku. Dis tidak bicara, dia tidak tertawa, dia hanya menepuk-nepuk punggungku.
"Zen?" Ucapku.
Zen memelukku erat sekali seakan tidak boleh ada orang lain yang bisa merebutku darinya.
Aku menangis sepuasnya di dalam pelukan Zen, "Te..terimakasih Ze..Zen. Ka..karena ka..kamu sela..selalu ada di sa..sampingku." ucapku terbata-bata.
Zen mengangkat wajahku dengan kedua tangannya yang besar, dan dia memandangku tajam, "Kamu boleh membalas mereka Kei. Kalau kamu kesal, lawanlah mereka." Katanya.
Aku mengangguk, kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arahku dan menciumku dengan lembut. Ini ciuman pertamaku dan rasanya asin karena airmataku masih terus mengalir.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!