NovelToon NovelToon

Istri Tak Dianggap

ITD - 1. Hamil

Kanaya beringsut lemah melihat hasil benda pipih di tangannya. Air mata mulai berlinang, dia tak menyangka kejadian dua bulan lalu berakhir seperti ini. Dalam rahimnya kini ada makhluk kecil, hasil kesalahannya bersama seorang lelaki tak lain adalah kakak — sahabatnya. 

Dengan tangan gemetar Kanaya memegang perutnya, dia bingung harus bagaimana saat ini? Haruskah dia jujur pada kedua orang tuanya, atau lebih memilih bungkam sampai mendapatkan jalan keluar. 

"Bagaimana ini, Tuhan?" 

Tangis Kanaya semakin pecah, kepalanya sangat sakit memikirkan semua. Mungkin semua tidak akan  serumit ini jika ayah anaknya masih single, tapi kenyataan tak sesuai harapan. 

"Nay, kamu ada di dalam Nak?"

Kanaya pun terlonjak kaget, suara mamanya begitu nyaring sampai membuatnya gelagapan. "I-iya, Ma," sahutnya dengan suara serak. 

"Kamu baik-baik saja, Nak? Apa kamu menangis?" 

Pertanyaan itu berhasil membuat air mata Kanaya semakin deras, mamanya selalu tau apa yang dialaminya dan ini yang membuat dia takut, takut jika kehamilannya dapat ditebak oleh mereka. 

"Aku baik-baik saja, Ma. Sebentar lagi Naya keluar," sahutnya kembali. 

Tak mau ketahuan, Kayana segera membereskan sampah bekas testpacknya. Dia menyembunyikan semua benda itu di dalam lemari kecil, setelah tersimpan rapi, barulah Kanaya mencuci wajahnya agar tidak terlihat habis menangis. 

"Tenang, tenang, jangan sampai Mama tahu semua Naya, kamu harus merahasiakan semua ini sampai mendapatkan solusinya," gumamnya segera keluar dari kamar mandi. 

Ketika tangannya berhasil membuka pintu, dia dikejutkan dengan tatapan menyelidik dari mamanya. Kanaya hanya bisa tersenyum palsu, sekuat mungkin perasaannya dia tahan agar tidak menangis. 

"Matamu memerah, Jangan-jangan kamu memang menangis," tuduh mamanya sambil memegang kedua pipinya. 

"Ih, Mama suka su'udzon deh. Lihatlah Naya baik-baik saja, tadi memang sempat menangis sih, tapi karena kejedot nakas, lihatlah jidatku hampir retak," ucapnya mengalihkan pembicaraan. 

"Lain kali hati-hati, kamu itu jantung Mama. Jika terjadi sesuatu, Mama selalu merasakan semua."

Kanaya hanya mengangguk, sungguh air matanya ingin tumpah saat ini. Dia hanya bisa mengepalkan tangan untuk menahan tangis, bibirnya selalu dia gigit agar tidak mengeluarkan suara. Dia benar-benar mengecewakan keluarganya, bahkan membuat aib sebesar ini. 

"Ma ...." Panggil Kanaya dengan nada bergetar. 

"Iya Sayang, ada apa? Cerita sama Mama, barangkali Mama bisa memecahkan masalahmu."

Kanaya memejamkan mata saat tangan lembut mamanya mulai membelai pipinya penuh kasih, rasanya sakit sekali jika membayangkan semua ini tidak akan dia rasanya lagi jika dirinya memilih jujur. 

"Jika aku membuat kesalahan besar, apa Mama akan memaafkanku?" Tak terasa air mata Kanaya lolos begitu saja, melihat tatapan mamanya membuat dia yakin jika keluarganya tidak akan memaafkannya begitu saja. 

"Kamu bicara apa sih, Nak?" 

"Naya hanya tanya saja, jika suatu hari aku membuat kesalahan besar, apakah kalian masih menganggapku sebagai keluarga?" Desak Kanaya. 

"Jelas, Mama akan memaafkanmu Sayang. Memangnya kesalahan apa yang membuat anak Mama ini ketakutan, coba katakan biar Mama tahu."

Kanaya menggeleng, "Naya hanya tanya saja, Kok. Sudah ah, pagi-pagi jadi nangis seperti ini. Tadi aku nonton drakor, ada adegan dimana orang tuanya mengusir anaknya karena melakukan kesalahan, sebab itulah aku tanya. Entah kenapa, jadi parno," ucap Kanaya sambil tersenyum lebar. 

"Dasar, Mama kira kamu tersandung masalah!" seru mamanya sambil mencubit gemas pipinya. 

"He he he, maaf." 

Kanaya menggandeng tangan mamanya dan mengajaknya keluar. Dia belum siap jujur, dia masih ingin menikmati kehangatan rumah ini sebelum perutnya semakin membuncit dan semua orang memusuhinya. 

***

Di ruang makan, Kanaya mendadak mual. Bau dari ayam goreng yang disajikan bik una, semakin membuat perutnya dikocok-kocok. Sebisa mungkin Kanaya menahan bahkan sampai tak bernafas, tapi semua menjadi sia-siakan ketika melihat nasi putih diletakkan dalam piringnya. 

Hoeekk!! 

Kanaya berlari sekencang mungkin ke arah dapur, dia memuntahkan semua isi perutnya di atas wastafel. Tidak peduli disana masih ada tumpukan piring, yang jelas perutnya sangat mual. 

"Nay, kamu kenapa?" tanya Anne penuh kekhawatiran. 

"Perutku mual, Ma."

Kanaya tak perduli lagi dengan pandangan mereka nanti. Intinya sekarang perutnya tidak bisa diajak kompromi sampai kram. 

"Kita ke dokter ya, Sayang." 

Seketika kewarasan Kanaya kembali seratus persen saat mendengar kata dokter. Bukan dia tidak mau, tapi jika mamanya benar-benar membawanya ke dokter semua akan terbongkar begitu saja. Tidak, Kanaya belum siap akan hal ini. 

"Ma, aku baik-baik saja! Tidak perlu ke kamar dokter, mungkin ini hanya masuk angin saja. Minum tolak angin pasti sembuh." Tolak Kanaya. 

"Nay, benar kata Mama. Kamu harus ke dokter, lihatlah wajahmu saja sangat pucat." Kini kakaknya — Abrian yang berbicara. 

"Kak ...."

"Sudah, jangan banyak bicara. Biar Kakak yang antar kamu ke rumah sakit, jangan banyak protes, kamu tau sendiri kan, Kakak seperti apa?"

Lemas sudah tubuh Kanaya, dia tidak bisa menolak permintaan kakaknya. Mungkin jika Abian yang bicara dia bisa menyangkal, tapi jika Abrian maka Kanya hanya bisa pasrah dan menurut.

"Baiklah."

Kanaya pun mengikuti langkah kakaknya sampai memasuki mobil, sedikitpun dia tak berani membuka suara dan Kanaya hanya bisa diam di dalam mobil. 

Di perjalanan, tidak ada satupun yang bicara sampai akhirnya mobil berhenti di lampu merah pertigaan dan disinilah jantung Kanaya serasa copot ketika Abrian menanyakan semua yang terjadi. 

"Siapa ayah anak itu, Nay!"

Duar!! 

Jantung Kanaya seperti mau copot dari tempatnya, pertanyaan dari Abrian benar-benar membuatnya takut. Dia hanya bisa meremass kuku jadinya saja, sambil menggigit bibirnya. 

"Jawab Naya!" bentak Abrian membuat Kanaya terlonjak kaget. 

"A-aku, tidak tahu maksud Kakak," ucapnya terbata-bata. Air matanya mengalir deras, dia juga tidak berani menatap kakaknya. 

"Jangan bohong, Naya!"

Brakk!

Kanaya semakin menangis, dia sangat takut dan ingin sekali kabur. Tapi, apa daya semua tidak akan selesai jika dirinya memilih kabur. 

"Kakak tau dua bulan ini kamu belum haid, Nay. Semua perlengkapanmu Kakak pantau dan ...." 

Abrian melempar sebuah amplop coklat ke pangkuan Naya, dengan tangan  gemetar dia membuka amplop itu dan segera membacanya. Matanya seketika melotot saat mengetahui jika lembaran tersebut adalah hasil medisnya. 

"Kakak melakukan tes tanpa sepengetahuanku?" tanya Kanaya entah dapat keberanian dari mana. 

"Jika Kakak tidak gerak cepat, mungkin kamu akan menyembunyikan semua sampai perutmu membuncit! Sungguh Kakak kecewa sama kamu, Nay!" serunya. 

Kanaya hanya bisa menunduk, dia memang salah dan mengecewakan semua orang. Jadi wajar, jika kakaknya marah besar, andaikan saja malam itu dia bisa menolak mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. 

"Maaf," lirihnya tak berani menatap Abrian. 

"Katakan siapa ayah dari anakmu, sebelum kesabaran Kakak habis!" desak Abrian masih sangat murka. 

Sedangkan Kanaya masih diam, mungkinkah dia berkata jujur? Apakah akhirnya akan baik-baik atau semakin rumit. 

"Naya, Kakak tidak mau mengulang kedua kalinya!" Gertak Abrian membuat Kanaya tak memiliki alasan lagi untuk menyembunyikan semua. Dengan gemetar, Kanaya menuduh dan berkata. 

"Di-dia, Kak Kennan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Kanaya Maheswar

ITD - 2. Hamil Anakmu

Meminta pertanggung jawaban"Kak, aku mohon jangan seperti ini! Aku belum siap bertemu dia, Kak." Tangis Kanaya semakin pecah saat Abrian membawanya ke kantor Kennan. Dia benar-benar takut, pikirannya semakin kacau karena tindakan Abrian.

"Kennan harus bertanggung jawab, Naya!" bentak Abrian.

Kanaya menggeleng, tidak! Dia tidak ingin Kennan bertanggung jawab, apalagi keadaan lelaki itu sudah beristri. Mana mungkin dia tega merusak keharmonisan keluarga Kennan, sungguh Kanaya tak bisa.

"Aku tidak mau merusak rumah tangga orang, Kak! Please, jangan buat aku seperti pelakor. Semua murni kesalahanku, andai saja malam itu aku menolak semua tidak akan seperti ini," ujar Kanaya terus menangis.

Dia masih ingat betul kejadian dua bulan lalu, di mana dia meminta izin pada kedua orang tuanya untuk mengerjakan tugas kampus di rumah Febrian. Kala itu, rumah sangat sepi seluruh penghuni sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Awalnya semua berjalan lancar sampai akhirnya Febrian pamit membeli kekurangan bahan materi mereka berdua.

"Nay, kamu tunggu disini dulu ya? Aku mau beli kekurangan ini, sekalian cari makan," ucap Febrian.

"Kok di tinggal sih! Aku takut sendirian, lebih baik aku ikut kamu saja," balas Kanaya bergegas membereskan laptop serta alat tulisnya.

"Nay, ini sudah malam loh. Anginnya juga kencang, aku tidak mau kamu sakit. Mengertilah, hanya sebentar tidak akan lama." Kanaya pun menghela nafas panjang, dia tak bisa membantah jika sahabatnya ini sudah melarangnya.

"Sebentar saja, kamu kunci pintunya agar tidak ada yang masuk," kata Febrian.

Kanaya akhirnya menurut, dia mengunci pintu rumah setelah Febrian pergi. Merasa bosan sendiri di rumah, Kanaya memutuskan untuk membuat susu hangat.

Tapi, saat dirinya menunggu dispenser menyala hijau tiba-tiba ada sebuah tangan melingkar sempurna di perutnya. "Aaahh!" teriak Kanaya berusaha melepas pelukan itu.

"Shut! Diam Sayang, nanti orang rumah terbangun oleh suara sexy-mu," bisik lelaki itu.

Seketika mata Kanaya melotot, aroma alkohol pun menusuk indra penciumannya. Hidupnya dalam bahaya kali ini dan Kanaya harus lari, "Ka-kak Kennan, please jangan seperti ini," ucapnya sangat gemetar. Air mata mulai bercucuran, dia sangat takut dan Kanaya berdoa agar Febrian segera kembali.

"Aku menginginkanmu, Nabila."

Kanaya menggeleng cepat mendengar Kennan menyebut nama istrinya. "Kakak salah orang, aku bukan kak Nabila. Aku Kana --" Belum juga Kanaya selesai bicara, tapi tubuhnya di balik begitu saja dan sebuah ciumann mendarat sempurna di bibirnya.

Bola matanya semakin membulat, ciumann pertamanya direnggut lelaki beristri. Padahal, dia selalu menjaga semua untuk suaminya kelak, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Lepas!" teriak Kanaya saat ciumann itu terlepas. Dengan kasar dia mengusap bibirnya agar bekas Kennan menghilang.

"Ck! Kamu sangat munafik, Sayang!" seru Kennan mau mencium Kanaya tapi Kanaya terlebih dulu mendorong tubuh Kennan.

"Aku Kanaya bukan kak Nabila!"

Mendapat kesempatan kabur, Kanaya segera lari menjauhi Kennan. Dengan sangat cepat dia menuju pintu rumah, tapi usahanya sia-sia saat Kennan mengejarnya dan berhasil menangkapnya.

"Mau kemana kamu!" Murkanya sangat mengerikan.

Tubuh Kanaya semakin bergetar, bibirnya terus meminta tolong tapi sayangnya tidak ada satupun orang yang mau menolongnya, bahkan pembantu rumah ini juga hanya diam tak berani mendekati mereka.

"Kak, aku mohon lepaskan aku!" teriak Kanaya saat tubuhnya di gendong begitu saja oleh Kennan.

Kennan benar-benar gelap mata, dalam bayangannya Kanaya adalah istrinya. Sekuat apapun Kanaya menolak, dia tidak akan melepaskannya begitu saja sampai akhirnya dia berhasil merenggut mahkota yang selalu Kanaya jaga.

Setelah Kennan selesai menuntaskan hasratnya, Kanaya langsung memunguti semua pakainya dan pergi begitu saja dari rumah Abrian.

Brakk!!

Kanaya tersentak kaget, dia tersadar dari lamunannya dan melihat Abrian turun dari mobil menuju lobby utama kantor Kennan. "Kakak!"

***

Kennan berjalan keluar dari ruangannya, baru saja dia mendapat kabar jika ada seorang lelaki mengacaukan lobby bawah sambil berteriak memanggil namanya.

Dia sangat kesal, siapa yang ingin bermain-main dengan dirinya. Jika sampai dia mengalami kerugian besar, maka Kennan akan menuntut lelaki itu ke rana hukum.

"Pak Kennan!" seru beberapa karyawan.

"Dimana orang orang itu?" tanya Kennan sangat sinis, siapapun yang melihat mimik muka nya saat ini pasti takut.

"Dia ada di sana, Pak."

Kennan tak menjawab, dia segera menuju tempat keributan. Samar-samar telinganya mulai mendengar teriakan seorang lelaki, bahkan dia juga mendengar tangisan wanita yang sangat familiar.

"Kakak, jangan seperti ini aku mohon."

Kennan semakin penasaran, dia semakin mempercepat langkahnya dan benar dugaannya wanita yang memohon itu adalah Kanaya — sahabat adiknya.

"Ada apa ini?!" tanya Kennan penuh penekanan.

"Brengsek!" seru Abrian langsung menyerang Kennan.

Perkelahian itu pun tak dapat di hindari, mereka saling adu tonjok sampai membuat Kanaya ketakutan. Dia juga berusaha melerai mereka, sampai akhirnya satu tinjuan mengenai wajah Kanaya.

"Aww!"

"Naya!" seru kedua lelaki itu sambil mendekati Kanaya. Mereka sangat khawatir apalagi saat melihat darah keluar begitu banyak dari hidungnya.

"Panggil dokter!" teriak Kennan pada sekretarisnya. Setelah itu, barulah Kennan mengangkat tubuh mungil Kanaya dan membawanya ke dalam ruangan.

Sedangkan Abrian mengikuti Kennan dari belakang, dia juga merasa bersalah karena berbuat gegabah. Tapi, semua dia lakukan karena emosi.

Siapa sih yang tidak emosi jika adik kesayangannya ini di hamili orang, siapapun pasti marah, hanya saja Abrian terlalu berlebihan sehingga membuat Kanaya terluka.

"Kamu baik-baik saja, Nay?" tanya Kennan.

"Iya, Kak."

Kanaya masih memegang hidungnya, sampai akhirnya seorang dokter wanita masuk dan memeriksa keadaan Kanaya. Dengan telaten dokter itu membersihkan darahnya, sambil menanyakan hal-hal kecil.

"Dok, apa adikku baik-baik saja? Dia sedang hamil, aku takut ini akan berpengaruh dengan kandungannya," kata Abrian sangat jelas masuk ke dalam gendang telinga Kennan.

"Hamil?" tanyanya sedikit tak percaya.

"Iya hamil dan sebab itulah aku datang kesini untuk meminta pertanggungjawaban mu," jelas Abrian.

Suasana di dalam sana kembali memanas, dua lelaki itu saling menatap sengit. "Kenapa meminta pertanggungjawaban? Dia hamil anak siapa, jangan asal bicara kamu!" seru Kennan.

Abrian semakin geram, dia ingin memukul Kennan tapi dicegah oleh Kanaya. "Kak, jangan," lirih Kanaya.

"Tapi dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, Naya!"

Kennan semakin bingung, kenapa dua manusia ini selalu membahas pertanggungjawaban. Siapa yang menghamili Kanaya saja Kennan tidak tahu, tapi Abrian begitu marah padanya.

"Nay, jujur sama Kakak, apa ini anak Febrian? Katakan saja, jika iya Kakak pastikan dia akan bertanggung jawab," ucap Kennan sangat serius.

Tapi, belum juga Kennan mendapat jawaban, sebuah pukulan mendarat sempurna di wajahnya. Abrian terus mencengkram kerah bajunya sambil berkata, "Kanaya hamil anakmu, Brengsek! Kamu yang menghamilinya, bukan adikmu!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Maaf Hanya Bisa Seperti Ini, Pikiran Lagi Buntu Dan Juga Ada Kabar Duka Dari Keluarga Suami. 🙏🙏

ITD - 3. Menjadi Ibu Tunggal

Kennan mengusap wajahnya sangat kasar, setelah mendengar cerita Kanaya kepalanya mendadak sakit. Sungguh dia tidak ingat sedikitpun kejadian malam itu, tapi memang ketika bangun Kennan tak memakai sehelai baju dan lagi, ada bukti yang lebih kuat yaitu noda darah di atas sprei miliknya.

"Aku tidak bisa bertanggung jawab, sungguh aku tidak ingat kejadian malam itu," ucap Kennan sangat frustasi.

"Bajingann! Aku tidak mau tau, kamu harus bertanggung jawab dan ini juga anakmu," marah Abrian sambil menarik kerah baju Kennan.

Siapapun pasti akan marah jika melihat lelaki yang menghamili adiknya tak mau bertanggung jawab, padahal jelas-jelas itu perbuatannya sendiri.

"Aku sudah beristri, Brian!"

"Masa bodo dengan istrimu! Aku hanya ingin kamu bertanggung jawab, nikahi adikku walaupun dia harus menjadi istri kedua!"

Kanaya menggeleng cepat, dia tak ingin masuk dalam hubungan rumah tangga Kennan, apalagi dia sangat tahu pasti, betapa harmonisnya keluarga mereka meski belum memiliki anak.

"Kak, aku tidak mau menikah dengan kak Kennan," tolak Kanaya penuh permohonan.

"Kamu bilang apa, Nay? Jangan bilang kamu ingin aborsi? Tidak! Kakak tidak akan setuju akan hal itu," tegas Abrian dan Kanaya kembali menggeleng.

"Bukan seperti itu! Walaupun dia hadir diwaktu yang salah, bukan berarti menggugurkan kandungan menjadi solusi. Kak, tolong mengerti posisiku, please aku mohon jangan paksa Kak Kennan bertanggung jawab. Semua murni kesalahanku," kata Kanaya mulai berkaca-kaca. Sulit sekali membujuk Abrian untuk berhenti memaksa Kennan, entah harus pakai cara apa agar kakaknya berhenti bicara.

"Nay, kamu tidak salah. Jangan menyalahkan diri sendiri, dia harus bertanggung jawab. Apa kamu tega melihat anakmu lahir tanpa ayah," ucap Anbrian sambil memegang lembut kedua pipi Kanaya.

Disinilah, Kanaya harus menguatkan hatinya. Dia tak mau dipandang lemah, dengan perasaan hancur Kanaya tersenyum lembut ke arah Abrian. "Aku lebih memilih menjadi ibu tunggal, daripada merusak pekarangan orang Kak," lirihnya.

Setelah berkata seperti itu Kanaya menghadap ke arah Kennan, dia juga tersenyum lembut sambil berkata, "Kak, maaf sudah membuat keributan di kantor Kakak. Untuk masalah ini, tidak perlu diperpanjang. Aku akan mengurus anakku sendiri, bagaimanapun juga ini kesalahanku karena tak bisa menolak pada malam itu. Sekali lagi, aku minta Maaf," ucapnya sangat tenang, akan tetapi tangannya mengepal erat.

Hatinya sangat hancur saat mengatakan semua ini, tapi sedikitpun Kennan tak merson. Lelaki itu hanya diam, tidak bersuara sepatah kata pun. Jadi, daripada hatinya semakin sakit lebih baik Kanaya segera pergi.

"Kak, ayo pulang," ajak Kanaya.

"Nay, kamu jang —"

"Kak! Kita pulang, jangan membuat aku semakin malu. Dengan cara seperti ini, sama saja Kakak telah membuka aib terbesarku, bahkan sekarang orang luar tau aku hamil!" tegas Kanaya.

Tatapan matanya juga sangat tajam sehingga membuat Abrian tak berkutik. Mau tak mau, dia harus mengikuti apa kata Kanaya. "Baiklah kita pulang, tapi masalah ini bagiku belum selesai. Dia harus tetap bertanggung jawab, walaupun nanti ada hati yang tersakiti!"

***

Sepulang dari kantor, Kennan memutuskan masuk ke dalam ruang kerja. Bahkan sapaan dari istrinya pun Kennan abaikan dan lebih memilih mengutak-atik komputer untuk mencari rekaman CCTV malam itu, malam dimana dia tak sengaja menodai Kanaya.

"Aku harus melihat semua dengan mata kepalaku, jika yang dikatakan Kanaya benar, aku harus segera menyingkirkan rekaman itu. Jika Nabila sampai mengetahuinya, pasti akan hancur rumah tanggaku!" serunya sangat ketakutan. Kennan tak mau kejadian ini diketahui istrinya, jadi sebisa mungkin dia harus menghapus semua rekaman CCTV.

Setelah beberapa menit menelusuri rekaman CCTV, akhirnya Kennan berhasil menemukan rekaman kejadian malam itu. Awalnya dia masih datar melihat hasil rekaman, namun beberapa detik kemudian kedua bola matanya melotot lebar.

Benar kata Kanaya, dia tiba-tiba menyerang gadis itu bahkan langsung menggendongnya ke kamar. Terlihat sekali jika dia memaksa Kanaya, secara sadar dan tidak ada lembutnya sama sekali.

"Mas ...."

Deg!

Dengan cepat Kennan menutup layar laptopnya dan langsung menatap Nabila. Hampir saja dia ketahuan, untung tangannya gerak cepat. Kalau tidak, semua akan berantakan. "Kamu ngagetin saja, Bil," ucapnya gugup. Keringat dingin juga mulai bercucuran, takut jika kebohongannya ini akan diketahui istrinya.

"Hari ini kamu agak aneh, Mas. Masa aku panggil nggak nyaut, malah langsung masuk ke sini. Ada apa? Apa ada masalah di kantor, sampai pucet gitu mukanya," balas Nabila.

Kennan menggeleng, dia berdiri dari duduknya dan terus mendekati istrinya. "Maaf, aku nggak dengar tadi," ucap Kennan terus mencium kening Nabila.

Dia benar-benar merasa bersalah, selama sepuluh tahun menikah, baru kali ini Kennan mengkhianati istrinya. Padahal dia sudah berjanji akan selalu setia pada Nabila, walaupun nanti mereka tak memiliki seorang anak.

Kennan masih ingat betul, janji suci mereka sepuluh tahun lalu. Di saat itu dia berjanji akan selalu setia pada Nabila, meskipun badai menerjang rumah tangganya, dia akan selalu mencintai Nabila sampai maut memisahkan. Tapi, nyatanya janji itu hanya sebuah bualan, ketika dia berkhianat.

"Bil, maafkan aku ya. Sungguh aku sangat mencintaimu, jangan pernah tinggalkan aku," ujar Kennan semakin erat memeluk Nabila.

Hatinya begitu takut kehilangan Nabila, istri yang sangat dia cintai. Namun, di sisi lain Kennan juga tak bisa lepas tanggung jawab pada Kanaya apalagi setelah mengetahui semua fakta di malam itu. Namun, jika untuk menikahi Kanaya, dia tak bisa melakukannya.

Mungkin, Kennan akan mencari waktu yang tepat untuk bicara empat mata dengan Kanaya. Dia sudah memutuskan akan bertanggung jawab, tapi semua harus disembunyikan dari keluarganya. Jika, Kanaya menolak maka jangan harap dia akan bertanggung jawab.

"Aku juga mencintaimu, Mas. Oh ya, aku sudah menyiapkan air hangat untuk mandi. Sana mandi, setelah itu kita makan malam," kata Nabila.

Kennan tak menghiraukan ucapan Nabila, dia masih ingin memeluk erat istrinya. Setelah itu, dia menarik Nabila ke atas sofa. Di sana Kennan langsung merebahkan tubuhnya dan menjadikan istrinya sebagai bantal.

"Kepalaku sangat sakit, biarkan aku tidur sebentar saja. Posisi ini sangat nyaman, kamu nggak keberatan kan?" tanya Kennan.

"Tentu saja nggak, Mas. Sini aku pijitin kepalamu, mungkin bisa meringankan rasa sakitnya," balas Nabila.

Melihat anggukkan kecil dari Kennan, Nabila segera memijat kepala suaminya. Dengan sayang dia memberikan relaksasi pada Kennan agar rasa sakitnya hilang.

Namun, disini Nabila tidak menyadari jika saat ini Kennan tengah menangis. Dia merasa telah melakukan kesalahan fatal, sehingga membuat Kennan merasa takut juga bersalah secara berlebihan.

Kennan menjadi bingung, harus berbuat apa. Mungkinkah dia harus menyuap Kanaya dengan uang agar tidak membocorkan masalah ini, dan merahasiakan semua. Tapi, jika dipikir dua kali Kanaya bukan wanita tamak akan uang, jadi sangat mustahil menerima tawarannya.

"Tuhan, apa yang harus aku lakukan?"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Apakah akhirnya Kennan jujur pada Nabila? Jika iya, apakah dia siap kehilangan Nabila? 🤔🤔

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!