•
•
•
Namaku Nayara Syila, aku biasa di panggil dengan panggilan Naya oleh kedua orang-ku, tak terkecuali untuk seseorang. Umurku sekarang dua puluh dua tahun, beberapa bulan yang lalu aku baru saja lulus dan menyelesaikan pendidikan terakhirku di salah satu Universitas yang ada di kota tempat ku tinggal saat ini.
Aku anak yang sangat beruntung karena dilahirkan dari kedua orang tua yang teramat sangat menyayangiku. Mungkin karena aku adalah anak satu-satunya dari Ayah dan Ibu. Sehingga mereka begitu menyayangi aku. Meskipun begitu, Ayah selalu mengajari aku untuk tidak menjadi manja. Ayah selalu bilang untuk menjadi pribadi yang baik, bertanggung jawab, serta harus bisa menghormati dan menghargai orang lain. Tidak boleh memandang rendah siapapun. Karena menurut Ayah semua manusia itu sama. Banyak sekali pelajaran yang aku terima dari kedua orang tua ku. Dan aku sendiri sangat bangga bisa memiliki kedua orang tua hebat seperti mereka.
Ya, karena Ayah dan Ibu adalah orang yang sangat berharga dalam hidupku.
Karena aku begitu menyayangi mereka berdua, maka akupun tidak bisa menolak saat mereka ingin mengenalkan ku pada seseorang. Seorang laki-laki yang mereka kenal sebagai anak dari sahabat Ayah.
Awalnya aku terkejut saat Ayah ingin menjodohkan aku dengan laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal. Aku ingin menolak, aku ingin mengatakan kepada mereka kalau aku tidak ingin di jodohkan. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Ayah dan Ibuku yang meminta secara langsung.
"Ra ... apa sebaiknya kalian berdua bertemu dulu?" Aku menatap Ayah yang sekarang duduk berhadapan dengan ku."Kalo kalian sudah bertemu, Ayah tidak akan memaksa jika kamu benar-benar menolak perjodohan ini."
Aku menatap Ibu, pun dengan Ibu yang ternyata sedang menatapku pula. Lantas ibu tersenyum sambil menggenggam tanganku lembut.
"Ayah sama Ibu tidak akan memaksa jika kamu keberatan, sayang." Ujarnya sambil tersenyum.
"Siapa laki-laki itu Ayah?" Tanya ku pada Ayah. Aku penasaran kenapa mereka berdua ingin sekali menjodohkan ku dengan laki-laki itu.
"Namanya Sebastian Alamsyah, dia anak laki-lakinya sahabat Ayah." Ayah mengambil napas terlebih dulu sebelum kembali membuka suaranya. "Beberapa minggu yang lalu Ayah bertemu dengan Adi secara tidak sengaja. Kami banyak bercerita panjang lebar. Hingga akhirnya, Ayah menceritakan tentang kamu pada Adi. Begitu Adi melihat poto kamu dalam ponsel Ayah, Adi begitu tertarik sama kamu. Dan dia secara langsung mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan putranya dengan kamu."
"Kenapa bisa secepat itu Ayah? gimana kalo lelaki itu pun menolak bertemu dengan-ku?"
Ayah tersenyum sembari menyesap kopinya secara perlahan. "Sekarang kamu sendiri mau tidak bertemu dengan Tian? kalau untuk Tian, itu masalah gampang." Ujarnya lagi sambil menaruh kembali cangkir nya di atas meja.
Aku terdiam sesaat, bibirku terasa kelu untuk mengatakan kalau sebenarnya akupun menolak.
Aku tidak akan menyalahkan Ayah dan Ibu karena kejadian beberapa tahun yang lalu. Mungkin mereka berdua sakit hati ketika melihat putri satu-satunya itu terluka. Aku sempat marah, kesal dan kecewa karena Ayah dan Ibu melarang aku untuk menikah dengan kekasihku-waktu itu. Aku sampai berpikiran buruk kepada kedua orangtua ku sendiri kalau saja kebenaran itu Tidak terungkap.
Dimana waktu itu aku begitu hancur, sakit hati dan tentunya sangat terluka saat mengetahui kalau laki-laki yang begitu aku banggakkan selama ini, begitu aku sayangi dan beberapa bulan lagi akan resmi menjadi seorang suami, ternyata telah mengkhianati-ku. Aku mendengar dan melihatnya secara langsung bagaimana ia mengakui kesalahannya sendiri yang telah melakukan sebuah kesalahan besar. Kesalahan yang tidak mungkin untuk aku maafkan dalam waktu sekejap.
Aku memilih mundur, dan membatalkan rencana pernikahan ku sendiri. Aku melepaskan laki-laki itu untuk perempuan yang saat ini tengah mengandung anaknya. Darah dagingnya sendiri. Meskipun Arga, sempat berlutut dan menjelaskan semua kejadian yang membuat perempuan itu hamil di luar kendalinya, tapi keputusanku sudah bulat.
Aku tidak akan melanjutkan pernikahan ini.
Aku menangis dan meminta maaf kepada Ayah dan Ibu karena sikapku yang sudah sangat keterlaluan kepada mereka berdua. Kalau saja aku mau mendengarkan alasan mereka yang melarang untuk menikah dengan Arga dari dulu, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Ternyata, ada alasan lain yang membuat kedua orang tuaku tidak merestui hubungan kami berdua, alasan yang selalu aku tolak mentah-mentah.
Mereka pernah melihat Arga, laki-laki yang dulu masih berstatus sebagai kekasih-ku tengah jalan bersama dengan perempuan lain.
Mengingat kejadian itu, ku tutup mataku rapat-rapat. Janji untuk selalu mencintai dan menyayangi-ku hanya tinggalah Janji semata. Impian dan semua rencana kita berdua untuk menikah pun sirna seketika karena sebuah kesalahan yang di lakukan olehnya sendiri.
Jujur, aku sangat mencintai Arga waktu itu.
Tapi keadaan yang membuat aku harus segera melepaskannya, aku sendiri yang harus membuat laki-laki itu bertanggung jawab pada kesalahannya sendiri.
Dan tepat di hari dimana aku dan Arga seharusnya menikah, maka yang menjadi pengantin perempuannya itu bukan aku, melainkan perempuan lain yang kini telah resmi menjadi istri dari seorang Arga Devano, lelaki yang seharusnya menikah denganku.
...******...
Dua minggu kemudian, aku menyetujui ajakan Ayah dan Ibu untuk makan malam bersama dengan keluarga temannya itu. Namanya Adi Putra Alamsyah dan Maya Septa, mereka berdua adalah Ayah dan Ibu dari laki-laki yang katanya akan dikenalkan padaku.
Pertemuan itu pun terjadi, dan aku sendiri sudah melihat laki-laki itu. Kesan pertama saat aku melihatnya adalah ... lelaki itu begitu dingin. Di balik pesona dan wajahnya yang tampan, ada aura dingin yang begitu kentara. Aku menelan ludahku dengan susah payah saat mata kelam milik laki-laki itu terus menyorotiku dengan tajam. Dan sepertinya lelaki itu pun sama sekali tidak tertarik dengan pertemuan ini.
Ah ... rasanya aku juga ingin pergi dan menghindar dari tatapan laki-laki itu.
"Bagaimana Tian, Naya cantik kan?" beruntunglah karena mendengar suara dari Ayahnya itu, membuat Tian langsung mengalihkan pandangannya. Dan akhirnya akupun bisa bernapas lega.
"Iya, sepertinya Mama juga menyukai Naya." Ujar wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik dan berkelas itu. Siapa lagi kalau bukan Maya Septa, Ibunya sendiri.
Laki-laki itu tidak menjawab atau mengeluarkan suaranya sedikitpun, ia kembali menatapku dengan tatapan yang sangat menyebalkan. Dan tidak butuh waktu lama untuk aku mengerti kalau laki-laki itu sedang menatapku remeh.
"Bisa saya bicara dengannya sebentar?" Tiba-tiba saja suara itu terdengar, suara yang terdengar sangat tegas dan sedikit parau.
Setelah semua mengijinkan, maka mau tidak mau akupun mengikutinya. Meskipun rasanya sangat enggan sekali berbicara dengan laki-laki kutub sepertinya.
"Ada apa?" Tanyaku setelah kami berdua sampai di taman belakang restoran ini.
"Aku tidak mencintai dan juga menyukaimu." Tanpa basa-basi lelaki itu mengatakannya. "Tapi aku akan tetap menikah denganmu." Karena ada janji yang harus ia tepati.
Janji akan menikah dengan perempuan pilihan Ayahnya, dan janjinya pada seseorang.
Beberapa hari yang lalu, saat sang Ayah memintanya untuk menikah dengan perempuan yang sama sekali tidak ia kenal, Tian menolak dengan keras, lelaki itu marah bahkan sampai membuat penyakit jantung Ayahnya kembali kambuh.
Dan ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat melihat sang Ayah terbaring lemah. Meskipun keras, tapi Tian sangat menyayangi Ayahnya itu. Pada akhirnya Tian kalah, ia pun menurut dan menyetujui untuk menikah dengan wanita pilihan Ayahnya itu.
...******...
•
•
•
Pernikahan pun terjadi,
Hari ini, tepatnya beberapa jam yang lalu aku baru saja resmi menjadi istri dari seorang Sebastian Aydan. Lelaki tampan dengan aura dinginnya yang menakutkan. Pernikahan yang terbilang cukup megah itu membuatku merasa sedikit kelelahan. Pun dengan Mas Tian. Lelaki itu tampak sangat lelah karena seharian ini berdiri di atas pelaminan sambil menerima beberapa ucapan selamat dari para tamu undangan yang hadir.
"Mas ... mau mandi sekarang?" Tanya ku saat melihat Mas Tian duduk dengan menyandarkan kepalanya pada punggung sofa. Matanya yang terpejam seketika menoleh menatap ke arahku. "Aku siapkan air hangat ya?"
"Gak usah." Tukas nya, "Aku bisa sendiri."
Aku hanya diam melihat Mas Tian masuk begitu saja ke dalam kamar mandi. Niatku hanya ingin membantu, tapi sepertinya Mas Tian memang tak menyukainya.
Baru beberapa jam saja menjadi istrinya, sudah membuatku bergidik ngeri seperti ini. Bagaimana aku bisa melewati hari-hari selanjutnya dengan pria judes sepertinya?
Ah ... untuk membayangkannya saja sepertinya aku takkan sanggup.
Sembari menunggu Mas Tian yang masih berada di dalam kamar mandi, aku memutuskan untuk melepaskan semua aksesoris yang masih melekat pada tubuh dan juga kepalaku. Satu persatu aku melepaskan semuanya, hingga yang tersisa hanya tinggal gaun pengantinku yang sudah membuat badanku terasa lengket semua.
Ku tatap wajahku di dalam cermin, sekilas aku tersenyum saat baru menyadari ternyata aku sangat berbeda pada hari ini. Aku sampai tak percaya, jika wajah yang biasanya hanya mengenakan bedak tipis dan sedikit pewarna di bibir bisa membuatku berubah menjadi seperti ini. Pantas saja semua orang yang datang ke pesta pernikahan kami memujiku, mengatakan kalau aku terlihat sangat cantik. Dan ternyata itu benar.
"Ya ampun, ternyata aku cantik.!" gumamku pelan, tanpa aku tahu kalau ada seseorang yang berdiri di belakang tubuhku.
"Ekhem ..."
Sedikit terkejut, seketika itu juga aku menoleh ke belakang. "Eum ... Mas. Sudah selesai mandinya?" Tanyaku dengan sedikit menyengir kaku.
Sepertinya pertanyaan aku itu terdengar begitu bodoh di telinganya, sampai-sampai ia tak menjawab. Lelaki itu hanya diam, menatapku datar sambil mendesis.
"Kenapa, Mas?" Lagi, aku tak mau kalah. Aku sudah menjadi istrinya, sudah seharusnya pula aku melayani dia kan?
"Mas Tian membutuhkan sesuatu?" Ku pikir ia tak akan menjawab, tapi ...
"Aku mau tidur.!"
"Hah?" Ku gigit bibir bawahku, kenapa aku bersikap seperti orang bodoh lagi?
"Ya - udah, kalo mau tidur silahkan."
Lelaki itu semakin mengernyit, menatap ku dengan pandangan yang ah ... Dingin seperti biasa.
"Kenapa Mas?" Tanyaku saat melihat lelaki itu hanya diam saja. "Mas mau ----?" Lalu, aku mengikuti kemana lelaki itu melangkah. Aku melihat Mas Tian, membawa satu bantal dan selimut dari ranjangku, kemudian ia membaringkan tubuhnya di atas sofa. "Mas ... kenapa kamu tidur disitu?" Aku tahu ini adalah malam pertama aku dan Mas Tian. Tapi bukan itu yang aku inginkan. Sungguh, karena aku tahu Mas Tian tak menginginkan pernikahan ini, apalagi untuk menyentuhku.
Rasanya sangat mustahil.
Hanya saja aku sedikit terkejut saat lelaki itu tak mau tidur di atas ranjang. Apa lelaki itu benar-benar takut jika aku pun tidur di ranjang yang sama dengannya?
"Mas ..."
"Hem ..."
"Kenapa Mas Tian tidur di sofa? Mas bisa tidur di kasur ---" Suaraku tercekat saat Mas Tian menyela dengan cepat.
"Aku capek, aku mau tidur. Jadi .... jangan banyak bicara!"
Aku mendesah, lelaki itu sepertinya benar-benar sangat lelah. "Mas bisa tidur di kasur, biar aku aja yang tidur di sofa ..."
"Bisa diam gak!"
Sentaknya yang seketika membuatku berjengit kaget. Ku tutup mataku rapat-rapat saat lelaki yang baru saja resmi menjadi suamiku itu terlihat sangat kesal. Lantas aku pun diam seraya memandangi tubuhnya yang membelakangi ku sekarang, Mas Tian menarik selimut lalu menutup seluruh tubuhnya hingga tak terlihat lagi.
Kehidupan macam apa yang akan aku lalui setelah menikah?
******
Pagi harinya,
Aku dan Mas Tian berpamitan kepada kedua orangtua ku, setelah menikah Mas Tian memang meminta aku untuk ikut bersamanya dan tinggal di rumahnya sendiri. Kedua orangtua ku pun tak bisa menolak, mereka mengijinkan karena aku sudah menikah. Dan aku bukan lagi tanggung jawab mereka sekarang.
Selama dalam perjalanan, baik aku dan Mas Tian tak ada yang bersuara sedikitpun. Kami sama-sama diam dan hanya fokus menatap jalanan saja. Berada di dalam situasi seperti ini tentu saja membuatku sedikit merasa tak nyaman. Aku ingin bertanya, ingin berbicara dengannya, tapi semua itu ku urungkan kembali karena takut jika Mas Tian tak suka.
Sesekali aku hanya melirik ke arahnya, dan sialnya akupun ketahuan.
"Ngapain kamu lihatin aku?"
"Hah?" Akupun kembali terlihat seperti orang bodoh di depannya. "Si - siapa yang liatin kamu?"
Lelaki dingin itu mendengkus seraya berkata, "Kita memang sudah menikah dan akan tinggal satu rumah, tapi ..."
"Tapi apa, Mas?" Tanyaku saat lelaki itu diam.
"Kita tidak akan tidur di dalam kamar yang sama." Jelasnya yang membuat aku mengernyit dengan raut bingung.
"Maksud kamu, kita berbeda kamar?"
"Iya ..." Kepala lelaki itu mengangguk. "Dan aku bakalan jarang ada di rumah, jadi kamu gak perlu melakukan apa-apa."
Setelahnya tak ada lagi perbincangan di antara kami berdua. Mas Tian kembali diam, mulut lelaki itu seakan memakai perekat hingga sangat sulit untuknya berbicara.
Dan selama dalam perjalanan itu pula, aku pun memilih untuk diam, menatap jalanan dari samping melalui kaca jendela mobil. Ada banyak sekali yang aku pikirkan saat ini, dan salah satunya adalah pernikahan kami. Pernikahan macam apa yang akan aku dan dia jalani? Bagaimana aku bisa hidup bersama laki-laki dingin seperti dia? bagaimana aku hidup satu rumah jika tidak ada cinta di antara kami? lalu, Bagaimana aku bisa menjadi istri yang berbakti jika lelaki itu saja sepertinya keberatan dan tak menyukai pernikahan ini?
Kenapa nasib ku selalu seperti ini?
"Kamu mau tetap tinggal di dalam mobil?" Sungguh, aku terhenyak saat mendengar suara berat dan serak milik lelaki itu.
Tanpa menjawab, akupun turun dan mengikuti langkah Mas Tian dari balik punggungnya. Untuk sesaat aku begitu kagum melihat sebuah rumah bergaya Eropa modern itu dari luar. Rumah yang sebenarnya cukup besar untuk Mas Tian dan aku tinggali berdua. Rumah megah yang aku tahu milik lelaki itu terlihat sangat bersih dan juga rapi. Kekagumanku semakin banyak saat melihat isi dari dalam ruangannya, selain barang-barang mewah, sepertinya Mas Tian juga memang lelaki yang menyukai kebersihan.
"Ini kamar kamu."
Aku menoleh, tak sadar jika kini aku dan lelaki itu sudah berada di lantai dua. Berdiri di depan pintu kamar yang Mas Tian bilang kalau itu adalah kamar yang akan aku tempati.
Jadi Mas Tian memang benar-benar tidak ingin berada satu kamar denganku?
"Dan kamar ini adalah kamar aku." Aku mengikuti kemana mata lelaki itu menatap. Ternyata, kamarnya mas Tian bersebelahan dengan kamarku. "Ingat, aku tak suka jika ada orang yang masuk ke dalam kamar ku tanpa seizin dariku."
"Termasuk aku?"
Seketika wajah dingin itu menoleh, lantas mengangguk. "Ya."
"Bukankah aku ini istrimu?"
Bukannya menjawab, lelaki itu malah diam seraya menatapku dengan tatapan yang sangat dingin.
Aku menghela napas pelan, tidak seharusnya aku bertanya seperti itu kan? sudah jelas pernikahan ini seperti apa.
"Kenapa? kamu keberatan? atau ... kamu ingin tidur satu kamar denganku?"
"Eh ..." Buru-buru aku menggeleng, bukan. Sungguh, bukan itu maksud aku. Aku hanya masih berpikir pernikahan macam apa yang akan aku jalani ini. Sampai kapan aku dan Mas Tian akan seperti ini?
Cinta memang tidak ada di antara kami. Tapi ... bisakah aku dan Mas Tian memulainya dari awal?
Aku ingin menjalani pernikahan ini seperti orang-orang pada umumnya. Apalagi kita berdua sudah menikah secara sah, baik dimata agama ataupun hukum. Bukan hanya kepada Tuhan, kami berdua pun sudah berjanji di depan penghulu, kedua orangtua kami masing-masing dan juga para saksi.
Bukankah pernikahan itu bukan untuk permainan?
Lantas, apakah sekarang aku dan Mas Tian sedang mempermainkan pernikahan?
Bagaimana jika Tuhan marah, bagaimana jika kedua orangtua ku tahu kalau aku menjalani pernikahan tidak sehat seperti ini. Apa yang harus aku katakan kepada mereka?
Dan masih banyak lagi yang aku pikirkan selain itu. Entahlah ... belum apa-apa rasanya kepalaku sudah hampir mau meledak.
Apa yang harus aku lakukan?
Ya Tuhan ... aku harus bagaimana?
...****************...
•
•
•
Satu minggu pun berlalu. Pernikahan Aku dan Mas Tian berjalan datar seperti biasa. Setiap hari Mas Tian memang pulang ke rumah, tapi itupun selalu tengah malam di saat aku sudah terlelap dalam tidur.
Ketika pagi datang, aku yang selalu bangun lebih awal memulai tugasku sebagai seorang istri. Aku memasak dan menyiapkan sarapan setiap hari. Tapi ... lelaki itu sama sekali tak menoleh ataupun mau sarapan bersama denganku. Mas Tian lebih memilih untuk berangkat ke kantornya pagi-pagi dan melewati sarapannya. Sama halnya seperti sekarang, aku melihat lelaki itu baru saja keluar dari dalam kamar dan sedang berjalan menuju lantai bawah melewati beberapa anak tangga.
"Mas ..." Sapaku, berharap agar kali ini Mas Tian mau sarapan bersama ku. "Aku udah buatin sarapan, kita sarapan bareng ya?"
"Tidak bisa." Tukasnya.
"Tapi Mas?"
"Aku buru-buru." Tanpa menatapku ataupun menoleh pada meja makan yang sudah tersedia roti bakar, nasi goreng, bahkan susu hangat yang sengaja aku buatkan untuknya.
"Mas ...!" Dengan berani aku sedikit berteriak, membuat lelaki itu berhenti, lalu memutar badannya untuk berhadapan denganku sekarang. "Kenapa kamu gak pernah mau sarapan disini? Aku udah masak buat kamu, aku udah siapin semuanya, tapi kamu ---!"
"Bukannya aku udah bilang sama kamu untuk gak melakukan apa-apa?" Ujarnya sinis. "Aku gak meminta kamu untuk ngelakuin itu semua."
"Tapi Mas, aku ini istri kamu."
"Aku bilang jangan melakukan apa-apa buat aku."
"Kenapa?" Tanyaku tak terima.
"Karena aku gak suka."
Aku terbebelak, bahkan sampai diam dan memandangi tubuh lelaki itu yang sudah mulai menjauh. Selama satu minggu ini sikapnya selalu dingin, aku kira lelaki itu akan berubah. Nyatanya tidak sama sekali. Apa salah aku? kenapa Mas Tian membenciku? Apa lelaki itu menyesal sudah menikahiku?
Tidak ... ini tidak bisa di biarkan. Mas Tian tak seharusnya memperlakukan aku seperti ini. Bukan hanya dia saja yang menyesal, akupun sama.
"Mas ... tunggu!"
Ku langkahkan kakiku lebar-lebar untuk bisa mengejar lelaki itu yang hendak menuju ke pintu utama rumah kami, tepatnya rumah Tian.
"Apa maksud kamu bicara seperti itu? kenapa aku gak boleh melakukan apa-apa?" Cecarku yang membuat lelaki itu menoleh seketika, menatapku dengan wajah mengeras dan juga pandangan yang tajam.
"Aku ini istri kamu. Kita udah nikah, dan udah jadi kewajiban aku untuk melakukan itu, Mas.!"
"Aku gak suka. Kamu tuli?" Sentaknya kasar yang membuatku sampai berjengit kaget.
Tak pernah sekalipun kedua orangtua-ku membentak aku seperti ini. Tapi dia - lelaki yang berstatus sebagai suamiku justru tega membentak aku secara terang-terangan.
"Kenapa Mas? Kenapa kamu gak suka? Apa salah jika aku hanya ingin melakukan kewajiban aku sebagai seorang istri?" Lirihku dengan nada terluka.
"Karena aku gak mencintai kamu."
Jantungku mencelos seketika, sekujur tubuhku pun memanas dan napas ku seperti tersendat. Bersama dengan itu, ingatan ku kembali lagi pada hari dimana lelaki itu menyetujui untuk menikah. Tian mengatakan pernikahan ini hanya untuk membuat kedua orangtuanya bahagia, lelaki itupun bilang, ia menikahiku karena ada janji yang harus di tepatinya.
Janji pada siapa?
Ku tatap wajah itu dalam diam sebelum kemudian aku mengatakan sesuatu yang membuat lelaki itu bungkam.
"Aku tidak minta apa-apa sama kamu. Aku tidak minta kamu untuk mencintai aku. Tapi tolong, Mas. Aku hanya ingin kamu hargai aku. Itu saja." Aku diam sesaat hanya untuk menarik napas dalam-dalam. "Jika bagimu sulit menghargai aku sebagai seorang istri, maka hargailah aku sebagai seorang perempuan." Tanpa terasa mataku sudah berkaca-kaca, sekali saja mataku berkedip, maka aku yakin cairan bening seperti krystal itu akan mengalir begitu saja melewati pipiku.
******
Satu hari setelah kejadian itu, Tian masih tetap menjadi manusia paling dingin yang pernah aku temui di dunia ini. Kadang aku sendiri sampai tak habis pikir dengan sikap lelaki itu yang tak menunjukkan keramahannya sedikitpun. Sebenarnya terbuat dari apa hati laki-laki itu? Kenapa Tuhan menciptakan lelaki menyebalkan seperti dia. Sepertinya apa yang aku katakan waktu itu hanya ia anggap sebagai angin lalu.
Ya, karena pada kenyataannya Tian masih saja sama. Lelaki itu malah semakin menjauh dan menghindariku.
"Bu ..."
Aku terhenyak, lamunanku buyar seketika saat mendengar suara seseorang dari belakang punggungku. Aku tersenyum saat mendapati seorang wanita paruh baya yang beberapa hari ini sudah bekerja di rumah kami. Namanya Mbok Iyam, asisten rumah tangga yang Tian ambil dari rumah kedua orangtuanya.
"Ada apa, Mbok?"
Bi Iyam tersenyum ramah padaku. "Apa Ibu membutuhkan sesuatu?" Tanyanya padaku. Aku pun menggeleng. "Mau Mbok buatkan minuman, cemilan atau makanan?"
"Nggak, Mbok." Balasku sambil tersenyum. Melihat wanita itu yang begitu baik mengingatkan aku pada sosok Ibuku sendiri. Aku senang saat Tian membawa Mbok Iyam ke rumah, dengan begitu aku seperti memiliki teman di dalam rumah ini. Waktuku, ku habiskan hanya dengannya, sesekali aku membantu pekerjaan wanita itu meskipun dia selalu melarang ku. Dan Mbok Iyam lah yang mengajariku memasak, memberi tahuku makanan apa saja yang disukai dan tidak disukai oleh Tian.
"Mbok, mau kemana?" Tanyaku kemudian saat melihat wanita itu berjalan hendak menaiki anak tangga.
"Mbok, mau bersihin kamar punya Bapak, Bu." Jawabnya yang seketika membuat aku tersenyum. Lantas aku pun memutuskan untuk ikut bersamanya, selain ikut membersihkan, aku juga ingin tahu seperti apa kamar lelaki itu. Kamar yang hampir satu bulan ini tak pernah aku lihat, karena Tian memang melarang aku untuk masuk kedalam kamarnya tanpa seijin darinya. Hanya Mbok Iyam lah yang ia percaya untuk membersihkan kamarnya setiap hari.
"Yang sabar ya, Bu." Mbok Iyam mengusap bahuku lembut. Wanita paruh baya itu mengetahui seperti apa pernikahan yang aku jalani bersama Tian. "Sebenarnya Bapak itu baik, cuma ..." Mbok Iyam diam, menatapku dengan iba. "Mungkin bapak belum terbiasa sama Bu, Naya."
"Iya, Mbok. Aku tahu." Lalu aku memberi seulas senyum tipis padanya. Aku memang banyak bercerita kepada Mbok Iyam, dan aku sendiri yang meminta wanita itu untuk tutup mulut dan merahasiakannya dari siapapun. Terutama dari kedua orang tuanya Tian.
"Em ... Mbok, biar aku saja yang bersihin kamarnya ya?"
"Tapi, Bu."
"Gak papa, Mbok. Aku aja ya?" Pintaku.
"Nanti Bapak marah, Bu."
"Mbok jangan bilang sama Mas Tian, kalo aku yang bersihin kamarnya. Gimana?"
Kepala wanita itu mengangguk. Menyerahkan kunci cadangan dan membiarkan aku untuk membersihkan kamarnya Tian.
Begitu pintu terbuka, hal pertama yang aku lihat adalah keadaan kamar yang terlihat sangat rapi. Hanya ranjangnya saja yang sedikit berantakan. Aku begitu kagum melihat isi dari dalam kamarnya, selain barang-barang mewah dan antik yang ada di atas nakas, di dalam kamar itu juga terdapat beberapa lukisan serta rak buku yang terletak di sudut ruang kamarnya, tak jauh dengan meja kerja di sampingnya. Tapi bukan itu yang kini menjadi pusat penglihatanku, ada sesuatu yang mendorong aku untuk mendekat, melihat apa yang ingin aku lihat. Lalu, aku memberanikan diri untuk meraih benda itu, sebuah figura kecil yang ada di atas meja kerja lelaki itu.
"Siapa wanita ini?" Gumamku pelan saat melihat di dalam poto itu ada seorang wanita yang sedang bersandar sambil tersenyum lebar di bahu Tian.
Wanita itu terlihat sangat cantik dengan Tian yang begitu tampan, mereka berdua terlihat sangat dekat, bahkan keduanya pun sama-sama sedang tersenyum. Senyum yang tak pernah aku lihat sekalipun ketika berada di dalam rumah.
"Kamu tampan Mas, kalo lagi senyum seperti ini." Aku sangat iri melihat Tian yang sedang tersenyum seperti itu. Apalagi lelaki itu tersenyum kepada seorang wanita yang aku ketahui bernama Mentari.
"Jadi ini alasan kamu tidak bisa menerima pernikahan ini, Mas?" Ku usap bingkai poto itu dengan gerakan lembut. "Sampai namanya pun kamu tulis disini."
Terlihat sebuah goresan tinta di bawah poto itu, tulisan yang membuat aku tersenyum miris sekaligus merasa bersalah. Sekarang aku tahu kenapa Mas Tian tak menginginkan pernikahan ini dan selalu bersikap datar kepadaku, mungkin ini alasannya. Karena dia mempunyai kekasih. Kerena dia mencintai wanita lain.
Mungkin, akulah disini yang menjadi orang ketiga. Akulah yang datang di saat lelaki itu masih menjalin kasih bersama wanita lain. Mungkin, Akulah yang membuat Tian berpisah dengan wanitanya itu. Mungkin, Akulah yang merusak hubungan mereka berdua. Ya, mungkin semua karena aku.
"Selamanya aku akan mencintai kamu -- Mentariku."
...******...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!