Tawa memenuhi ruangan kelas, lima murid tengah merundung seorang remaja dengan mata merah tidak bereaksi terhadap tindakan teman-teman sekelasnya. Pada isi kepala sekarang, menimbang-nimbang mengapa disaat ada seseorang yang meminta bantuan di depan umum ... Justru malah..
"Orang-orang akan menontonnya terlebih dahulu, lalu ada yang sukarela membantunya.. memposting di akun sosial media dan banyak lagi hal yang menurut Hatma, tidak membantu.." batinnya.
Remaja ini bergeming, tanpa bergerak melahirkan perasaan kegemaran melanjutkan tindakan pada para perundung ini. Hal yang satu-satunya betul-betul menolongnya, hanyalah bel pulang, begitu mendengar suara tersebut mereka langsung pergi.
Secara bertahap para siswa-siswi meninggalkan kelas, adakalanya kata-kata semangat mulai dilontarkan oleh beberapa orang yang mencoba menghiburnya. Hatma menyentuh kening, berpikir bila mereka memberi obat yang meringankan beban ketimbang yang melenyapkan beban, meski pahit.
"Seolah-olah.. Hatma ini permainan ponsel pintar mereka," ucapnya membatin. Disusul kerlingan tajam mengarah Hatma bertumpu kepada kedua kakinya.
"Hatma, kamu nggak apa-apa?" Tanya seorang gadis menepuk pundaknya dari samping. Sesudah gadis ini memukulnya pelan, Hatma menjeling lalu pergi.
Hatma menolehkan kepalanya dan berkata, "jangan usik Hatma. Apa kau tidak punya kegiatan apapun?"
Dengan ringannya gadis ini menggoyangkan kepala ke kiri kanan. Tetap bersikukuh mengayunkan kedua kakinya bersama Hatma. Membuat risih remaja laki-laki ini, seakan ingin dia bersegera meninggalkannya saja, ketimbang senantiasa menjaga dirinya sendiri.
"Kau itu sangat mengesalkan," kata Hatma melirik tanpa menolehkan kepala. Keduanya berpisah di gerbang sekolah, tanpa sedikitpun Hatma melirik gadis yang melambaikan tangan kepadanya.
Hatma mencuaikan sikap gadis itu walaupun tahu apa yang dilakukannya, bagi seorang remaja dan kesukaran dalam berekspresi. Dia sungguh betul-betul sulit bicara, sifat dinginnya menjadi sebuah awalan bagi para perundung, mendapatkan target.
Orang-orang disekelilingnya membuat Hatma sebagai pusat perhatian sementara, tidak ada yang memusatkan mata pada seseorang setiap saat atau selamanya, mereka masih sibuk dengan pekerjaan serta kehidupan. Hatma pun begitu, meski senantiasa menimbang-nimbang keputusannya.
"Apa Hatma terima saja, tawaran itu?"
Sesudah bergumam sendiri. Dia menjumpai sebuah batu merah terletak di jalanan, Hatma melipat dua lututnya dan bertumpu pada telapak kaki. Bertepatan dengan terlampau terang cahaya matahari, buat pandangan Hurip berkilau-kilau tidak dapat melihat.
Saat Hatma memegang batu ini, dia tahu benar di tangannya ini benda apa. Sebuah mirah atau batu permata merah, kebetulan pada malam tadi begadang hingga pagi buta, membaca sebuah kisah sahir yang menggunakan sihir melalui mirah ini.
...[Ting]...
...[Tuan telah memenuhi persyaratan!]...
...[...]...
...[Baik! Kini, mulai sekarang Anda ialah Sahir Bengis!]...
Hatma dengan muka datarnya menganga, selagi yang lewat cukup mencurigainya layaknya orang hilang akal. Sebuah proyeksi serupa layar ponsel yang futuristis dan bertema game, Hatma pun memukul keningnya berulang kali, justru keanehan lain muncul. Layar ini mengikuti atah matanya.
Remaja ini mengambil ponsel miliknya, semasa melihat cerminan wajah tidak ada layar aneh melayang. Seolah-olah berada di penglihatannya saja, dan tidak dapat dilihat oleh orang lain, buat remaja ini hilang akal sesaat.
...[Tugas : membunuh ke-empat Sahir Perusak]...
"H-Ha? Apa maksudnya ..." Ucapannya terhenti seketika begitu tulisan lainnya muncul.
...[Hadiah : mengabulkan semua keinginan]...
"Apakah emosi juga bisa?" Tanyanya.
...[Dapat dikabulkan]...
"Selama Hatma bisa," Hatma menelan ludah, "jadi.. punya luapan perasaan yang berkembang surut dalam waktu singkat, maka... Akan Hatma lakukan."
Tidak lama seusainya, muncul sebuah tombol tidak/ya di bawah tulisan yang menciptakan kebingungan untuknya. Dia tidak dapat menangkap maupun mencerna kata-kata ini, maknanya pun tak diketahui olehnya dan biarpun tau, Hatma belum paham.
Dia memejamkan mata sejenak mengharapkan agar layar melayang di penglihatannya lenyap, barulah ketika di kamar, ia ingin benda ini muncul lagi dan bukan halusinasi setelah mendapatkan perundungan.
"Benar-benar hilang.. tidak, berpindah ke ujung kiri atas.. kekuatan? Pertahanan? Sihir? Jantur?" Batin Hatma mengamati semuanya.
Dia menghela napas panjang sembari melangkah kembali, meskipun matanya melihat ke depan pikirannya melayang entah dimana. Sebabnya dia berada di dunia, tetapi pikirannya di alam lain yang pastinya berjarak jauh dan tidak terasa dia sudah sampai saja di halaman rumah.
Seorang wanita menepuk kening dan berkata, "Kamu udah pulang? Ngapain aja."
"Tidak, pulang jam sekolah memang ..."
"Ah, nggak usah kebingungan guru, bibi tau kok."
Hatma masuk ke dalam rumah, menjumpai darah kering di depan pintu belum dibersihkan. Dirinya pura-pura tidak melihat dan pergi ke kamar, dengan durja bermuram melekat kuat. Dalam kamar dia memandangi plafon rumah ayah angkatnya.
Saat memikirkan itu muncul layar sebelumnya, dia pun terperanjat tiba-tiba menyembul keluar begitu saja tanpa peringatan. Napasnya memburu ketika hendak memilih tombol ya/tidak, seolah-olah ragu untuk menekannya, tapi dia tetap bersikukuh.
"Hamba sudi selaku khadam Tuan," ucap Hatma dengan lirih pelan nyaris tidak bersuara.
Dia malah teringat kenangan manis pada masa yang telah silam, saat-saat layaknya seorang ayah menemaninya bermain. Dalam sebuah permainan VR yang mirip, bersama ayah angkatnya dan semenjak itu Hatma ingat cara membuat senyuman, kini dia sudah lupa bagaimana caranya.
Serupa mengatur kemampuan dalam game, Hatma menderetkan kemampuan serta sihir dan jantur. Disaat bersamaan, dia pikir ini sebuah imajinasinya sendiri dan mengulurkan tangan dengan tegang menarget ke jendela. Namun, tidak sesuai pikirannya justru api keluar dari jari manisnya, secara bertahap menyelimuti pergelangan tangannya.
"Tidak, Hatma pasti berkhayal terlalu kuat," batinnya sambil berdiri melangkah ke tumpukan kertas pada tong sampah. Sewaktu menyentuhnya dengan pergelangan berapi-api, benar saja terbakar, Hatma pula merasakan panas yang nyata.
"Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, ini pasti hanya imaji saja yang sedang mata ini lihat.."
Hatma berupaya meyakinkan diri, nyatanya sekarang semua yang dicobanya betul-betul terjadi menciptakan banyak keajaiban. Peluh mencicik dari dahi, muka tidak percaya itu sungguh membekas, walaupun dia kini lejar bertahan lama hingga dia terlelap dalam tidur beserta mimpinya.
...***...
Malam harinya, kelopak mata Hatma pun terbangun dengan bekas tangisan pada kedua pipinya. Akibat mimpi itu Hatma enggan tidur, dia menengok ke jam dinding dan ke atas meja belajarnya, sebuah piring dengan makan malamnya sudah tersaji rapi.
...[Tugas Opsional : memburu Rablis]...
Sesudah bertanya-tanya Rablis itu apa, penjelasan mengenai mahkluk itu terngiang-ngiang di kepala Hatma. Seekor mahkluk berperawakan manusia, yang tinggal di tempat gelap, memiliki kemampuan untuk menyerap kehidupan orang lain buat mereka semakin kuat. Hanya Sahir pula yang dapat melihat.
"Hatma, jika ada kesempatan, kamu bisa mendapat ekspresi.. maka ambilah dan jangan ragu. Mengharapkan orang mati hidup lagi, itu konyol."
Hatma membuang napasnya seraya melahap makan malamnya, masih hangat dan terasa hambar. Sejak kehilangan seseorang, Hatma tiada dapat merasai maupun menikmati makanan, bahkan semilir angin pula tidak dapat dinikmatinya buatnya bingung.
Dia bertumpu pada kedua kakinya, kerlingan tajam yang menarget ke lemari melahirkan perasaan mengesalkan. Laki-laki ini menghampiri peti besar tempat menyimpan baju, dia membuka pintu lemari dan meraih satu pisau berbilah runcing agak tebal.
Hatma membuka pintu perlahan-lahan, langkahnya sangat pelan berupaya tidak membangunkan orang lain di rumah. Sewaktu sampai depan pintu keluar, darah kering ini membuat Hatma mengigit bibirnya sangat kuat kesal menerbitkan ingatan minggu lalu.
Dia mengayunkan kaki menuju keluar, perlahan-lahan menyingkap pintu melihat keadaan luar. Hatma berjalan keluar begitu seusai menutup pintu rumah, dia berjalan sesuai arahan dari kompas melayang di penglihatan pada mata kirinya.
"Bukankah jalan ini ..."
Sesudah Hatma bergumam menyadari tengah jalan ke mana, lelaki ini berkeras hati dan lamban melangkah dengan waspada. Dia sampai di kolong jembatan yang terdapat para remaja mabuk-mabukan, mereka kelihatan tengah mengantri untuk dicengkeram sebuah mahkluk.
Mata Hatma terbuka lebar, dia barulah ingat berita terkait para berandalan yang mendadak hilang dari kota tanpa sebab. Sekumpulan mayat manusia, dengan tubuh kering tanpa cairan tergeletak begitu saja, menciptakan suasana hati Hatma buruk.
"Para berandalan ini kelihatan terhipnotis, tetapi ada yang sadar.. sedang mabuk-mabukan," batin Hatma.
Satu per satu remaja itu dicengkeram lehernya, lalu monster itu seakan tengah menelan sesuatu yang keluar dari mulut, kedua mata, dan kedua telinga serupa asap. Asap itu akan habis sesudah tubuhnya mengering, serupa minuman dalam plastik yang terus disedot sampai habis kering ringkai.
"Berita itu memang benar, Hatma juga dapat dampak baiknya.. apakah membiarkan mereka mati itu.."
Semasa menimbang-nimbang baik atau buruknya, remaja ini ragu mengeluarkan belati dari sarung. Ketimbang menyelamatkan mereka, Hatma lebih memilih hidup, tetapi kali ini dia angkat kaki dari tempat tersebut. Dengan keringat dingin mengucur membahasi bajunya ia bersikukuh lagi.
Mengambil jalan memutar agar lebih dekat, daripada berlari menerobos kerumunan berandalan tidaklah mudah. Sembari memikirkan cara membunuhnya, Hatma tidak mampu berpikir jernih, dia sekarang sampai di arah lain. Di belakang mahkluk besar ini.
...[Rablis level sedang]...
...[Tidak dapat menganalisa]...
Dia masih ingat saat-saat percobaan sihir, karena tak latihan sama sekali kadangkala sihir meleset dan Hatma pikir kan sulit tanpa pelatihan. Pilihan terbaik adalah pulang dan belajar menggunakan kemampuannya, tapi dia enggan pulang dan memilih untuk menarik belati keluar dari sarungnya.
"Dilihat-lihat lagi, dia seperti genderuwo saja.." ucap Hatma waktu lawannya menengok ke belakang. Bersicepat Hatma melompat ke samping, tangan lawan menghantam bumi menciptakan guncangan.
"Apa tidak ada sihir yang..." Hatma membaca semua kemampuannya dalam daftar. Hampir keseluruhan sihir terkunci, cuman hitungan jari saja yang dikuasai Hatma dan itupun seperti tidak berguna.
Sewaktu memikirkan sihir Teleport, mendadak saja cahaya putih muncul menyelimuti tubuh Hatma membuatnya seperti kepompong. Tak membutuhkan waktu lama Hatma membuka mata, menjumpai halaman depan rumahnya, dia tengah berdiri dengan mata membelalak sambil memegang belati.
Dia kembali melihat sihir yang disusun berderet dari atas ke bawah, menemukan sihir Teleport yang akan aktif jika sahir merasa dalam bahaya dan ingin angkat kaki dari tempat itu. Maka pengguna Teleport akan kembali ke tempat yang ingin dituju.
"Hatma ketakutan dan secara tidak langsung ingin pulang.. karena ngeri.." batinnya.
Hatma memasukan belati ke dalam sarung sembari berjalan menuju pintu, ia membuka pintu dan menemukan bibi yang tengah meneguk secangkir minuman hangat, tentunya kelihatan bahwa dari atas tempat minum itu asap mengepul. Tanpa secuil pun pertanyaan, bibi hanya menyipitkan mata kepadanya.
Walaupun hendak berpura-pura tidak mengindahkan kehadirannya, muka datar Hatma tidak membedakan mana bohong atau jujur. Dia mengayunkan kedua kakinya menuju kamar, justru ketika melewati pintu kamar dan masuk, melihat layar mengambang lagi.
...[Tugas opsional: belajar untuk sekolah besok]...
...[Hadiah: kemampuan dasar]...
Mata Hatma segera menyipit meragukan layar ini bukan imajinasinya, sedikit harapan remaja lelaki menghembuskan napas dan duduk depan meja belajarnya. Dia pun membuka buku melawan rasa malas yang hampir menguasai isi kepalanya.
Tangannya terus menulis menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya, pada masa SMA ini dia bertanya-tanya pada diri, bagaimana cara agar dapat nongkrong di warung dilatarbelakangi suara bising obrolannya bersama teman. Hanya kesulitannya terlalu tinggi.
"Hatma mengantuk," lirihnya pelan.
Perlahan-lahan kedua kelopak matanya mengatup merasai tenaga menurun beserta rasa kantuk muncul. Dia menguap tak lama seusainya. Setelah bermaksud akan menutup mata, layar di penglihatan menampilkan sebuah gambar, serupa rekaman vidio mempertontonkan Rablis tadi dekat rumahnya.
...[Kemampuan dasar didapatkan!]...
...[...]...
...[Hadiah tambahan: sepasang Sord Kembar ]...
Mendadak cahaya putih menyembulkan keluar dua pedang lurus, sepasang pedang ini dijumpai Hatma dengan keadaan masih bagus. Kemunculannya yang tiba-tiba buat Hatma terperanjat, ditambah keraguan mengenai layar melayang ini adalah imajinasi hilang.
"Apa yang--"
Kejutan lain muncul, sebuah guncangan layaknya gempa bumi, Hatma menyingkapkan tirai melihat keluar kamar lewat jendela. Karena terkejut, mata Hatma membeliak menemukan Rablis sebelumnya tengah berada dalam perjalanan kemari.
...[Mencoba menganalisa]...
...[. . .]...
...[Rablis tingkat sedang, kemampuan: menyerap energi kehidupan manusia]...
Hatma berdecak kesal, lalu, melihat dengan tajam pada kedua pedang kembar itu. Dia mengambil benda tersebut dan keluar dari jendela. Mengendap-endap keluar gerbang, tanpa diduga akan ditemukan dengan cepat, Hatma mempercepat langkahnya.
Sesudah berada di tempat sepi serta luas, Hatma memberhentikan gerakan dan bersikap siaga mencoba mengingat-ingat permainan anggar dari ayah angkatnya, walau kala itu melenceng jauh dari kata permainan serta aturan aslinya.
"Bagaimana cara mengeluarkan sihir? Saat itu sihir muncul begitu ... memikirkan bentuknya!" Batinnya.
Terlihat Rablis menampakkan diri kepada Hatma, melangkah dengan lambat menemui lawannya. Kali ini Hatma tidak bisa lari, karena dia sadar kalau akan sulit kabur dari mahkluk ini. Sebabnya dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba satu sihir.
...[Skill: Bolide Kecil]...
Dari cahaya kecil secara bertahap membesar membentuk bulatan api merah di ujung pedang Hatma, Hatma pula dengan senyum kecil memulai tindakan pertamanya. Dia berlari menuju Rablis itu sekuat tenaga, begitu berjarak dekat, Hatma tidak melangkah dan melemparkan Bolide ke mukanya.
Bolide meledak waktu bersentuhan dengan muka lawan, Hatma menyusul menggunakan sihir lain seusai debu serta asap mulai mereda. Dia sekarang bertumpu pada kedua kaki semasih belum lompat.
...[Skill: Melompat Jauh]...
Hatma melompat ke udara, dia mengudara sambil mengayunkan kedua pedang bercahaya biru diikuti dengan tebasan horizontal ke kiri dan kanan menggunakan dua pedang, secara bergantian. Dia sebelum akhirnya melakukan ayunan berkekuatan penuh dari posisi leher berupaya memenggal lawan.
"Arrrggg!"
Bertepatan dengan Hatma menggeram sambil menggeser pedangnya bersusah payah memotong leher lawannya, Rablis pun tidak tinggal diam dan berusaha menarik Hatma yang bersikukuh berat hati melepaskan kedua pedangnya. Hingga akhirnya dia berhasil memotong leher Rablis.
"Berhas--!"
Terlalu cepat untuk girang, Hatma lengah dan malah melepaskan genggaman tangan membuatnya terlempar oleh Rablis. Hatma terpelanting jauh lebih dari beberapa meter, akibatnya. Beruntungnya dia mendarat di tumpukkan kantong sampah penuh.
"Kamu kayak biasa, repotin doang.."
"Kakak?" Mata membelalak itu berbinar-binar. Entah menandakan kegembiraan hati atau sebaliknya.
...[Skill: Pawana Kecil]...
Pada bagian belakang tubuh Hatma muncul angin mendorong tubuhnya untuk bangun, meskipun dia merasai tulangnya seperti patah. Laki-laki ini berupaya melangkah, justru ketika menaikkan mata malah mendapatkan orang lain dan remaja yang disebutnya kakak melangkah jauh.
Hatma menggertakkan giginya ketika terbit ingatan tentang mereka, pikiran tentang kakaknya menghilang begitu saja digantikan amarah meluap-luap meruak bagai api. Dia bermaksud melontarkan perkataan yang bengis akan menimbulkan dendam.
"Harus segera pergi saja daripada tertelan amarah singkat yang akan merugikan," batinnya.
Ia menginjak tanah bersusah payah tegak bertumpu pada kaki, tidak lagi melipat lutut sebagai tumpuan tuk berdiri, melainkan dia bangkit. Mengingat dia hanya diam dan berlutut sambil memandangi kedua kakinya, Hatma bertekad berubah dengan secuil dendam kepada mereka yang merundungnya dahulu.
Sesudah terlempar jauh dari lapangan dan mendarat di tumpukan sampah, akhirnya Hatma selamat meskipun samar-samar bertemu kakak kandungnya dan para perundungnya dihadapan. Pada pandangan mereka melihat Hatma penuh darah serta luka.
Sementara Hatma mulai bangkit, uluran tangan salah satu dari mereka ditepis oleh Hatma yang tidak sudi menerima bantuan. Walaupun darah segar mengucur deras, kedua kakinya mengeluarkan darah yang tampak dari celananya basah, Hatma tak peduli dan tetap bersikukuh berjalan menuju kediamannya.
"Harusnya Rablis itu sudah mati, lalu pedang Kembar ada dimana?" Batinnya melihat ke pinggang hanya ada sarung belati kosong.
Bahkan belati peninggalan ayahnya pun menghilang membuat pikirannya semakin kacau dalam pusing yang menyerang. Hatma berjalan terseok-seok dengan terhuyung-huyung, terlebih lagi begitu banyak orang yang memperhatikannya, sebagian besar dari mereka ketakutan dan merasa ngeri padanya.
Hatma terjatuh ke jalan, kakinya telah mencapai batas melebarkan luka membuat darah yang keluar semakin banyak. Dia bersandar pada tong sampah di trotoar jalanan, menahan rasa sakit kepala bersama luka yang seolah-olah menjalar ke sekujur tubuhnya.
...[Tugas opsional: meminta pertolongan]...
...[Hadiah: Jubah Tempur]...
"Yang benar saja," batin Hatma menjumpai tugas ini menciptakan perasaan kesal.
Dia tau tugas opsional itu bersifat pilihan bukanlah keharusan. Namun, pada waktu yang sama Hatma merasa tugas itu penting. Dia sekarang melihat-lihat ke sekeliling, tiada yang diharapkan untuk dapat membantu pada keadaan dan situasinya sekarang.
Jikalau dia berteriak meminta pertolongan secara langsung, akan menimbulkan pengamatan yang dimana orang-orang akan mengamatinya ataupun merekam kejadian ini membagikannya pada sosial media. Kemudian, akan ada beberapa orang yang benar-benar peduli dan menolong.
"Pak, maaf!" Panggil Hatma. Sesudah yang dituju menoleh Hatma bertanya, "bisa minta tolong tidak?"
Pria yang kebetulan lewat ini begitu menoleh dan menemukan Hatma, ia segera bersicepat angkat kaki dengan keringat dingin. Hatma tidak ingin kembali, meminta pertolongan tanpa aksi apapun seperti dulu. Dia mencari target yang tepat lagi.
"Maaf pak!" Panggil Hatma.
"Astaga! Kamu kenapa dek?" Pria ini langsung mulai merespon mengindahkan Hatma. Dia menaruh ponselnya ke dalam saku dan menyimpan tasnya.
Hatma tanpa basa-basi meminta pertolongan pada pria ini, pria berkacamata memberhentikan taksi mengantar Hatma ke rumahnya. Dalam perjalanan menuju kediaman Hatma, Hatma ditembaki berbagai pertanyaan yang sudah sewajarnya ditanyakan.
...[Jubah Tempur didapatkan!]...
...[Tugas wajib: beristirahat selama seminggu]...
...[Hukuman bila gagal: mati]...
Tertampak raut wajah Hatma bermuram durja seolah mendapati hantu mengerikan, selagi pria ini bercakap-cakap melalui ponselnya. Hatma merasai sakit yang luar biasa di kedua kakinya. Rasa sakitnya seperti memaksanya untuk merintih kesakitan.
"Sebentar Silvi, ayah tutup dulu teleponnya.." pria di samping Hatma bertanya, "kamu ini benar tak apa-apa? Lebih baik bapak antar ke rumah sakit!"
"Tidak, tidak usah repot-repot.."
"Bapak baru pulang kerja dan tak merasa direpotkan sama sekali ... tolong berhenti depan kafe" ujarnya kepada supir taksi. Selagi Hatma masih sadar, dalam batin ia merasa salah memilih orang yang dimintai pertolongan walaupun ini lebih baik daripada dulu.
...***...
Pada kala itu, Hatma bertanya-tanya kepada dirinya sendiri alasan dari kedua orang-tua kandungnya tersenyum kepada pengurus panti asuhan. Kemudian menghilang begitu saja, seorang anak kecil umur 5 tahun ini sudah hancur dan kutukan melekat berakar ke dalam hati beserta ekspresinya.
"Kakak Hatma?"
"Ya aku ini kakakmu tau. Lihatlah... ini foto ayah-ibu dan kakak sama kamu.." ujarnya sambil memperlihatkan selembar foto pada Hatma.
Pertamakali Hatma memegang tangan hangat dari keluarganya, kemana saja kakak selama ini? Itu adalah satu dari sekian banyaknya soalan yang terus memutari isi kepalanya. Sewaktu mereka berdua sampai di tempat yang disebut 'rumah' ini Hatma tak berpikir demikian mengenai bangunan ini.
Hatma masuk berdampingan dengan kakak kandung yang tengah menyeringai lebar, rumah bobrok yang hampir roboh ini membuat Hatma begitu sangat teramat amat ketakutan tak karuan. Kakaknya justru mencampakkannya di dalam kamar sendirian.
"Kak! Kakak! Buka!"
Hatma memukul-mukul pintu sembari menjerit-jerit meminta dan memanggil kakaknya datang, dia sudah menyerah lalu terbaring di atas ranjang kayu yang keras. Tiba-tiba suara menderit dari engsel tua didengar Hatma, Hatma bukannya gembira dengan kedatangan kakaknya, malah ketakutan.
Di tangan kakak kandungnya terdapat perkakas tuk memotong kayu, besi tajam tipis bergigi tajam ini membuat adiknya berteriak kesakitan. Merusak diri Hatma dari segala penjuru tanpa terkecuali.
"Ayahanda dan ibunda bodoh, adinda adalah sumber energi sihir tiada batas! Sungguh bodoh kedua kolot itu membuang ... adinda tercinta.."
"Kakak? Kakak mau lakuin apa ke Hatma?"
"Tiidaakkk!!" Teriak Hatma membuka lebar-lebar kelopak matanya. Laki-laki ini memburu napas sesudah terlelap dalam mimpi manis nan menyiksa.
Hatma menjeling ke berbagai arah dengan keringat dingin mencicik dari dahi, membasahi sekujur tubuhnya. Dia membelai-belai dada mengupayakan ketenangan datang padanya. Sewaktu mencoba tuk tenang, suara langkah kaki terdengar Hatma.
Dia mendatangi Hatma, Hatma tanpa berpikir jernih mengambil belati di atas meja dan menikamnya waktu mereka berdekatan. Laki-laki berjubah putih ini merangkul Hatma ke dalam dekapan, sementara Hatma menusuk-nusuk punggungnya dengan brutal.
"Ini adalah rumahmu, hakmu adalah milikmu!" Bisik laki-laki yang menutupi wajahnya ini.
Sewaktu dia berbisik pada Hatma, ketukan pintu ini menganggu. Sesudah mendengar bisikan dari laki-laki ini, Hatma segera mengantuk lagi dan terlelap kembali dalam tidurnya. Sementara laki-laki berjubah ini melihat darahnya pada lantai.
Pintu terbuka perlahan-lahan, seorang gadis masuk ke dalam menjumpai remaja lelaki ini tengah tidur pulas. Disusul bibi memasuki kamar melihat kalau Hatma tidur, ditemani oleh seorang gadis yang lagi menyentuh pipi Hatma dengan ekspresi cemas.
"Kalau dia bangun, suruh untuk makan dan pergilah ke ruang tamu.." ucap bibi.
"Nggak usahlah, pada akhirnya itu ketidaksengajaan yang diperbuat Hatma aja. Dia nggak berniat mau ngelakuin itu kok!" jawabnya gadis membela Hatma.
Bibi membuang napas, lalu, menutup pintu rapat-rapat seusai mengatakan hal tersebut. Sementara itu Hatma perlahan-lahan membuka kelopak matanya yang sudah mengatup lama, gadis ini begitu Hatma hendak bangun, selaku orang yang tengah tak sabar menunggu bunga untuk mekar.
Hatma yang baru sadar, dengan samar-samar kurang jelas melihat gadis ini selaku kakaknya dan beralih pada posisi duduk. Segera dia memeluk gadis depan dia, membuat perempuan ini merona merah malu menyadari kedua lengan Hatma merangkulnya, buat pipinya memanas disebabkan rasa malu.
"K-Kamu ngapain Hatma? kita belom nikah, loh."
"Kakak. Kak Nggak apa-apa kalo mau darah Hatma, tapi jangan pergi jauh lagi..." lirihnya pelan. Seketika itu juga gadis ini membelalakkan kedua matanya mendengar ucapan Hatma barusan dengan sangat jelas, benar-benar tanpa keliru sama sekali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!