Rahwana Bataragunadi mendongak ke atas, menatap gedung tinggi di depannya. Ia memicingkan mata memfilter semburat cahaya mentari yang menyerang pelupuk matanya.
“Oke,” gumamnya malas.
Gedung tinggi 30 lantai yang mewah, terlihat futuristic sekaligus eco friendly. Sudah pasti pengembangnya tidak main-main membangunnya, ini proyek ratusan miliar. Dan ada di area bisnis center.
Masalahnya...
Pemuda 21 tahun itu melihat ada yang tidak beres di baliknya. Namun sulit dijelaskan dengan kata-kata. Udara yang menyelimuti gedung itu suram dan gelap. Bagaikan ada selubung tak kasat mata yang mengelilinginya.
“Sudah pasti ‘ada’, ini sih,” keluhnya dalam hati.
Dengan langkah berat, setelah memarkir motornya di area parkir luar, Rahwana masuk ke dalam gedung itu sambil dengan waspada menatap sekitarnya.
Area lobi dipenuhi dengan para pekerja kantoran, working space dan cafe juga banyak pengunjung yang sedang beraktivitas.
Sekuriti menyeringai ke Rahwana menyapa pemuda itu dengan ramah, Rahwana menundukkan kepalanya untuk membalas sapaannya. Para operator di front desk meliriknya beberapa kali sampai mengiringi langkah cowok itu lekat-lekat.
Pandangan yang sudah biasa diterima Rahwana sejak ia kecil. Itu sebabnya ia jarang ke area ramai karena risih dan tidak nyaman ditatap sedemikian rupa sepanjang jalan.
Tapi, hari ini Rahwana datang ke gedung ini dalam suatu misi.
Ia melangkahkan kakinya ke arah lift barang, menekan tombol open, dan masuk ke dalam.
Lalu dengan tenang menunggu sampai lift membawanya naik ke lantai 15, lantai yang ia tuju.
Ting!
Lift berhenti di lantai 7.
Dan pintu pun terbuka.
Gelap dan kosong.
Pemuda itu sedikit mencondongkan tubuhnya untuk mengintip area luar lift.
Hanya kegelapan yang tampak di matanya, tanpa penerangan sama sekali. Gelap gulita.
Nggak beres, ini sih, Pikir Rahwana sambil masuk lagi ke dalam lift dan menyandarkan tubuhnya. Ia langsung tegang tak bergerak. Instingnya memerintahkannya supaya waspada.
Ini pagi hari pukul 9, kenapa ruangannya bisa segelap ini?! Bagaikan tidak ada satu pun jendela. Atau...
“Permisi, tolong tahan liftnya,” terdengar suara wanita dari sana.
Reflek, Rahwana menekan tombol hold.
Tapi perutnya langsung mual. “Anjrit!” keluhnya dalam hati.
Wanita berparas manis dengan seragam Office Girl, menggenggam sapu dan menarik troli, muncul di depan Rahwana. Lalu wanita itu masuk ke dalam dan berdiri di sebelah Rahwana.
Pintu lift pun tertutup.
Saat ini pemuda itu menyesal kenapa tadi ia reflek menekan tombol hold. Tapi kalau dipikir, ia tidak tekan tombol pun apakah lift ini akan menuruti jemarinya?
Rahwana menatap ke depan, dari sudut matanya ia bisa menangkap kalau Mbak-mbak yang tadi masuk itu berdiri menghadap ke arahnya, mematung dan menatapnya dengan pandangan kosong.
Rahwana mencoba untuk tenang.
Dan ia berpikir tak perlu basa-basi bertanya ‘lantai berapa, mbak?’, karena ia tahu, pekerja di sampingnya tidak butuh ke lantai berapa pun.
“Masnya bisa lihat saya yaaaaaaa?!” tanya si OG (Office Girl). Suara mendayu dan serak bagaikan tidak minum sangat lama. Terputus-putus dengan nada yang sumbang.
“Pake nanya, lagi...” gumam Rahwana. Pandangan cowok itu tetap ke depan, tapi bulu kuduknya merinding.
“Tolong saya Maaaaas,”
“Ogah,” jawab Rahwana cepat.
Aroma busuk tak terkira langsung menyelimuti lift itu. Kalau diibaratkan, seperti bau bangkai tikus, tapi lebih busuk, dengan aroma anyir yang sangat kuat sampai membuat kepala pusing.
Rahwana merogoh kantongnya dan menyemprotkan hand sanitizer aromatheraphy ke udara.
“Tolong ikut saya matiiii,” kata suara itu.
Ajakan yang sangat epic. Mati kok ngajak-ngajak.
Lalu Rahwana mengernyit. Ini bisa jadi jawaban untuk misinyansaat ini. Bukankah semakin cepat diselesaikan malah semakin baik?
Rahwana ingin cepat-cepat laporan ke Shareholders yang merupakan Papanya sendiri, lalu merombak segala regulasi di sini. “Eh, iya," Rahwana berusaha tenang. Lagipula ia tidak bisa kemana-mana. "Misi Mbak, Saya mau tanya. Kamu dikasih makan di lantai berapa?” tanya Rahwana sambil menatap si Mbak yang kini rupanya sudah berubah wujud menjadi lebih tidak tertata. Rambut berantakan dan melayang di udara, dengan darah di sekujur tubuh dan wajah yang berantakan. Tapi masih tetap dengan seragam OG-nya.
Rahwana ingin sekali lari tapi ia harus berusaha terlihat berani. Anjir serem gilak ! keluhnya dalam hati.
Si Mbak OG menatap Rahwana sambil terbelalak. Mungkin sosok itu akhirnya sadar kalau Rahwana bukan orang sembarangan.
Rahwana mengamati astral di sampingnya ini dengan lebih seksama. Lalu menajamkan hidungnya.
“Coba buka mulutnya,” Rahwana meraih dagu wanita itu dan menariknya ke bawah. Rahang wanita itu langsung copot dan jatuh ke bawah. Wangi kemenyan dan bunga 7 rupa. Dengan sedikit kayu cendana.
Dengan keadaan itu, Rahwana hampir saja berteriak histeris. Tapi ia harus kalem.
Kan T4i... umpatnya dalam hati mencoba sabar.
Tinggal cari bau yang mirip. Kalau Si Mbak OG tidak mau bicara ya sudah. Yang penting aku tahu kalau di sini memang ada pesugihan. Pikir Rahwana.
“Oke Mbak,” jawab Rahwana sambil tersenyum sinis.
“Jangan coba-coba mengusik kami,” geram si mbak.
“Kalau kamu dan teman-teman kamu berulah, saya tinggal minta Eyang Ghandes untu...”
“Eyang Gandhes?!” teriak si Mbak OG memotong kalimat Rahwana.
Bets!!
Lift langsung berhenti. Si Mbak kembali ke wujudnya yang semula, OG dengan wajah manis menenteng sapu. Dan langsung berlutut di depan Rahwana. “Tolong, Jangan!”
“Siapa yang kasih kamu makan?” tanya Rahwana sekali lagi.
“Saya tak bisa bilang. Tapi saya suka di sini, tidak ada tempat lain!”
“Ya kamu suka jahil sih. Tapi sekarang gerakan kamu akan saya batasi, yah.”
“Kamu bukan keturunan Eyang Gandhes, apa hubungan kamu dengan beliau?”
Rahwana maju dan mencondongkan tubuhnya, menantang si astral dan berbicara dengan nada rendah. “Nama saya Rahwana, saya pemilik gedung dan perusahaan ini. Sebarkan ke sejenis kamu. Tapi awas, jangan bicara ke majikan manusia kamu. Saya akan usut semua yang merugikan keluarga saya,”
Dan si Mbak OG pun mengangguk, dan menghilang.
Lift kembali menyala dan pintu pun terbuka. Masih di lantai 7, lantai yang sama.
Namun dengan pemandangan yang berbeda, seperti layaknya kantor biasa dengan karyawan yang sibuk berlalu-lalang.
Lagi-lagi Rahwana menghela napas dan menekan tombol close. Lift pun terasa naik ke lantai atas. “Anjrit, belum juga mulai kerja, udah kesasar ke dimensi lain,” gerutunya. Ia memang agak sompral.
Walaupun astral tadi tidak bilang siapa yang memberinya makan, tapi Rahwana yakin akan menemukan si ‘majikan’.
Papanya memang mengeksekusi gedung ini karena masalah hutang piutang. Gedung ini sebagai jaminan kredit di Bank milik Papa Rahwana. Tadinya keadaannya memang tidak terurus, tapi Papanya membangunnya kembali dan memfungsikannya.
Tapi aslinya, gedung ini memang sudah lama tidak ditinggali. Bahkan setelah dibangun kembali dengan fasilitas canggih pun, rumor kalau gedung ini berhantu sangat santer terdengar.
Dan masalahnya, warisan saham Rahwana, seluruh aset atas nama Rahwana, dipindahkan ke gedung ini.
“Ngasih warisan kok wujudnya amburadul,” keluhnya lagi.
Dan kini, perusahaan ini selalu merugi.
Itu sebabnya, Rahwana dalam misi penyamaran untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Tidak mungkin ia datang dalam wujud seorang pemegang saham.
Atas saran salah satu teman Papanya, untuk mengetahui kelakuan yang sebenarnya dari para karyawan, Rahwana disarankan untuk mengambil pekerjaan dengan hierarki jabatan terendah di perusahaan. Karena dengan begitu, tingkat kewaspadaan orang lain akan turun dan cenderung menampakkan sifat aslinya.
Jadi, Rahwana mendaftar di perusahaan ini sebagai Office Boy.
*
*
“Bagaimana keadaannya?” si Papa menelponnya, tepat saat Rahwana keluar dari lift.
“Parah Pah,” jawabnya.
“Bagus,”
Lah kok ‘bagus’, nyebelin banget, khas Papanya.
“Kamu jadi bisa belajar banyak,” kata Papanya lagi.
“Aku nggak dapat warisan, nggak papa kok Pah,”
“Nggak bisa, kamu paling capable,”
“Aku mau minta mata batinku ditutup aja,”
“Nggak bisa, usut dulu semua baru mata batin kamu ditutup,”
“Papa tahu nggak sih kalau kelebihan ini sebenarnya kekurangan? Hanya sesama jin yang bisa melihat jin lain, ini tandanya aku sebenarnya dirasuki-”
“Papa sudah tahu konsep itu,” potong Papa Rahwana. “Tapi kan kondisi kamu yang paling kuat. Pokoknya kalau kamu hampir mati sebut nama Eyang Gandhes, oke?”
“Aku anak kandung atau anak pungut?”
“Heeeei,” sahut Papanya. “Waktu muda dulu, kejayaan yang Papa lalui juga seringkali melibatkan hal Ghoib. Dari mulai transaksi sama Saranjana, sampai bertemu dengan Kanjeng Ratu Barat. Hal seperti itu seringkali terjadi di negara yang masih menganut paham kejawen. Dan perusahaan yang diwariskan ke kamu itu, diukur dari perhitungan probabilita, seharusnya bisa sehat dan profit, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tugas kamu untuk mengusut semuanya,”
Rahwana pun menghentikan langkahnya dan menghela napas berat.
“Iya,” hanya itu yang diucapkannya. Ia akhirnya menyerah. Karena yang bisa mendebat Sang papa hanyalah Sang Mama. Percuma saja Rahwana berusaha merayu.
Ia tiba di ruangan operasional. Di depannya terpampang papan nama raksasa yang berkilau.
PT. Garnet Mas Land, Tbk.
“Hm,” gumam Rahwana sambil menutup sambungan teleponnya.
Ia tidak tahu sama sekali budaya kerja di bidang property dan perumahan. Ia bukan arsitek, backgroundnya bukan teknik sipil, tidak menguasai marketing, awam masalah hukum, dan yang paling penting, ia adalah Mahasiswa Fakultas Desain Jurusan DKV semester 6. Sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaannya sekarang.
“Apa sih yang kulakukan di sini?” gumamnya kesal.
Bersih-bersih tentunya. Membersihkan seluruh ruangan di gedung ini, sampai membersihkan seluruh persoalannya.
*
*
“Eyang Putri,”
“Ya, Le,”
“Mata Batinku ditutup saja ya?”
“Hihihi,” Si Mbah Putri terkikik, “Penglihatan kamu dimaksudkan untuk suatu tujuan, Le. Nanti juga tertutup sendiri setelah semuanya berakhir,”
“Maksudnya semua berakhir? Aku meninggal, gitu?”
“Bukan, lebih ke masalah jodoh,”
“Begitu-gituan kan nggak boleh, Eyang,”
“Ya Eyang bisa apa? Semua atas izin Yang Maha Kuasa. Eyang juga nggak ingin kamu kenapa-napa dengan ikut campur ke dimensi lain,” Eyang Gandhes mengusap pipi Rahwana dan menghapus air matanya. “Sabar ya Le,” sahutnya.
Rahwana melirik ke belakang Eyang, lalu menunduk.
“Apa yang kamu lihat?” tanya Eyang Gandhes.
“Besar, tingginya sampai ke plafond, dan warnanya kebiruan,”
Eyang Gandhe mengangguk, “Dia yang tersakti di jenisnya,”
“Dia yang paling berbahaya,” kata Rahwana sambil menunduk. Memandang makhluk itu berlama-lama membuat dadanya sangat sesak.
Eyang Ghandes kembali mengangguk.
“Jalani dulu semuanya. Kalau tidak kuat, kamu bilang Eyang ya. Nanti Eyang bantu,”
*
*
Ingatan Rahwana barusan kembali ke masa lampau, saat ia mengobrol dengan seorang yang ia sebut Eyang Putri.
Saat Rahwana kecil, Ia mendapat 'penglihatan' ini akibat shock saat diculik. Penculikan atas dasar uang tebusan yang menjadikannya anti sosial sampai sekarang. Di matanya, manusia adalah makhluk yang paling menakutkan.
Walau pun dalam waktu yang cepat ia berhasil diselamatkan dari penculikan itu, namun rasa traumanya tidak serta-merta hilang. Dan walau pun Rahwana berusaha melupakan kejadian itu, tapi banyak hal yang membuatnya teringat kembali.
Juga, termasuk insting spesialnya ini.
Karena pertama kali ia melihat makhluk itu ada, adalah di markas si penculik.
“Pegawai baru, Mas?” seorang wanita menyapanya saat Rahwana akan membuka pintu kaca.
Wanita cantik, bahkan sangat cantik. Wajahnya mirip Noni-Noni Belanda dengan mata hijau dan hidung mancung sempurna. Bibir tipis kemerahannya membuat Rahwana menelan ludah karena dirasa sangat sensual. Tapi...
Rahwana mengulurkan tangan, ke arah dada wanita itu.
Dan meremasnya.
Eh...
Asli ternyata.
Plakk!!
“Gila! Ada orang Mesum!! Saya panggil sekuriti ya!!” jerit wanita itu.
“Eeeh jangan! Jangan!! Saya pikir tadinya kamu nggak real!” Rahwana mengelus pipinya yang nyut-nyutan bekas ditampar sambil mencegah wanita itu dengan panik.
“Apanya yang nggak real? Kamu pikir saya CGI gitu?!” seru wanita itu
“Maksud saya... Ergh!! Ya begitulah, saya pikir halusinasi!”
“Hah?!”
“Tadinya saya pikir kamu setan, soalnya muka kamu mirip Noni Belanda,” sahut Rahwana.
“Dipikir saya bakalan percaya alasan kamu?!”
Rahwana menggaruk tengkuknya.
“Memangnya kalau saya setan, kamu boleh pegang-pegang seenaknya?! Mesum ya mesum aja! Justru kamu aneh mesum kok ke setan!”
Rahwana mengaruk kepalanya, bingung menjawab. “Biasanya kalau setan, saya ulurin tangan dianya terbang atau menjauh. Atau berasa kopong kayak remas udara,”
“Teori yang nggak jelas!” gerutu wanita itu.
“Maaf ya Mbak, tolong jangan diperpanjang,” Rahwana menyatukan dua tangannya, memohon ke wanita itu.
“Oke, tapi awas kalau kamu macam-macam lagi ke saya! Huh! Mentang-mentang ganteng banget kamu pikir bisa seenaknya, kamu salah besar!” dan wanita itu berlalu dari sana dengan langkah menghentak-hentak.
Astaga!
Pertemuan pertama yang memberi kesan mendalam! Kacau banget dah semua... Keluh Rahwana.
“Mas?” sebuah suara membuat Rahwana menoleh ke belakang. Wanita berseragam sekretaris membuka pintu kaca di dekatnya dan melongok ke arahnya, ia menatap Rahwana dengan pandangan bertanya. “Cari siapa dan dari mana, mas?”
“Eh? Errrr...” Rahwana menoleh ke wanita cantik tadi, sudah menghilang. “Cari Pak Firman bagian HRD, Saya Iwan dari agency outsourcing ”
“Ooh, saya pikir mau ngapain sendirian di situ. Ayo masuk,” kata si Mbak Sekretaris sambil membuka pintu kaca itu lebih lebar, mempersilahkan Rahwana untuk masuk.
*
*
Pak Firman, Kepala Divisi HRD menatap Rahwana dari atas ke bawah ke atas kebawah lagi sambil mengerutkan kening menajamkan penglihatannya.
“Orang seganteng kamu mau jadi OB? Waaaah kalau semua OB kayak kamu lama-lama kantor kita disangka agency model,”
(OB singkatan dari Office Boy)
“Saya orangnya agak introvert Pak, nggak cocok jadi model,”
“Hah? Kamu anak senja?”
“Nggak juga, cuma nggak suka keramaian aja. Tapi kalo jadi model sekali photoshoot bayarannya semilyar sih boleh lah Pak,”
“Model pamflet Taman Safari, pose sama tapir. Mau?”
“Semilyar, nggak?”
“Nego,”
Lalu mereka berdua cekikikan.
“Kamu jangan jadi OB Lah, marketing aja gimana?” tawar Pak Firman lagi.
“Saya jualan cuma sekali, itu aja gagal Pak,”
“Jual apa?
“Jual temen lucknut di Tokped,”
“Akun kamu langsung diblokir itu,”
“Ya bener sih, tau gitu saya jual ayam aja, pasti laku sebelum di blokir, kan,”
“Ini ayamnya ayam beneran atau ayam McD?”
“McD Pak, Modal Cocot Doang,”
Mereka berdua cekikikan bersama lagi.
“Kalau masih pingin jadi OB, ya terserah. Tapi gajinya dibawah UMR ya, kamu nggak butuh BPJS kan?”
“Ya butuh dong Pak”
“BPJS, Butuh Pelukan Juga Sentuhan,”
“Ya kalau yang itu tergantung, kalau dari bapak ya saya kabur. Kalo dari Mbak-mbak operator ya saya mendekat,”
“Awas ya kurang-kurangin masalah. Soalnya kamu jangan-jangan disini mau modus LGBT,”
“Ya ampun Pak, masa saya dituduh LGBT,”
“LGBT, Lelaki Ganteng Bininya Tiga,”
“Cakep Pak, Cakep Garingnya,”
Dan sekali lagi mereka cekikikan.
“Jadi gini...eeee, “Pak Firman menatap resume Rahwana. “Iwan Gunadi, saya panggil Iwan aja ya,”
“Ya Pak,”
“Saya memang sudah memesan dari Outsource cari Office Boy yang agak istimewa,”
“Ya Pak, saya sudah dikabari,”
“Gedung ini agak aneh, hampir setiap hari ada gangguan tak kasat mata,”
“Ya Pak,”
“Tapi saya perlu tahu, kamu memang ada keistimewaan itu atau tidak,”
“Baik Pak,”
“Coba saya tes dulu ya, lihat sekeliling saya, ada keanehan apa di sini?”
Rahwana melirik, kiri, kanan, depan, belakang. Lalu beberapa saat kemudian dia menatap Pak Firman dengan senyum simpul.
“Kalau di sekeliling, nggak ada Pak,” kata Rahwana.
“Oooh gitu?”
“Tapi kalau di depan saya ada Pak,” kata Rahwana lagi.
Senyum Pak Firman menghilang.
“Di depan kamu?”
“Iya, Pak,”
“Coba jelaskan,”
Rahwana menyeringai. “Pak Firman nggak punya kaki,”
Cklekk!
“Selamat Pagi,”
Rahwana menoleh. “Pagi Pak,”
“Aduh, maaf saya agak telat. Macet banget di jalan nih! Kamu yang namanya Iwan? Saya sudah dapat kabar dari Outsourcing,” pria paruh baya menghampiri mejanya yang terletak di depan Rahwana sambil melihat resume yang diletakkan sekretaris di atas meja.
“Ya Pak,” jawab Rahwana.
“Perkenalkan, saya Firman, Kadiv HRD,” si pria mengulurkan tangan ke arah Rahwana.
“Iwan Gunadi, Pak,” Rahwana membalas jabatan tangannya.
Lalu pria itu mengamati Rahwana, menatap cowok itu dari atas ke bawah ke atas kebawah lagi sambil mengerutkan kening menajamkan penglihatannya. “Kamu yakin orang seganteng kamu ngelamar jadi OB? Jadi marketing aja gimana?”
Rahwana menghela napas sebal.
*
*
Rahwana menatap sekelilingnya sambil tertegun. Orang-orang berlalu-lalang dengan terburu-buru. Mereka berpakaian rapi, elegan, eksklusif, namun wajah mereka tegang dan tanpa senyum. Beberapa berteriak-teriak, beberapa marah, beberapa serius menatap komputer di depan mereka sambil memicingkan mata.
Miris sekali, pakaian rapi tapi keringetan.
Ini pukul 10 pagi, bagaimana mungkin wajah mereka sudah tampak terlihat sangat capek dan stress?! Bagaimana keadaan mereka di jam pulang?! Pikir Rahwana.
Dan yang membuat pemuda itu lebih kuatir, adalah para budak korporat di depannya ini akan jadi karyawannya. Rahwana yang akan menggaji mereka satu per satu, mereka akan bekerja untuknya di masa depan. Setelah Rahwana membereskan kekacauan yang terjadi, tentunya.
Apabila waktunya memimpin nanti tiba, apakah keadaannya akan sama seperti sekarang? Mengingat saat ini mereka semua bekerja untuk Sebastian Bataragunadi, Papa Rahwana.
“Jangan bengong, bro,” Junet, rekan OBnya menyenggol lengan Rahwana. “Tugas lo di area marketing dan legal ya. Mereka lumayan banyak permintaan. Terus nanti kalau udah jam 12an kita bersihin tangga darurat, oke?”
“Hm, oke,” lalu Rahwana pun mengernyit. “Tapi Bang, jam 12 itu bukannya isoman?”
Junet mendengus sinis. “Kalau ada kesempatan sedikit aja lo sempetin ngemil, soalnya kita nggak punya jam istirahat,”
“Hah? Kita nggak ada jam istirahat?!” desis Rahwana kaget.
“Ya menurut kontrak sih jam 12 sampai jam 13, tapi kan pasti kita disuruh-suruh beliin makanan dan cuci piring. Sama aja kerja jatohnya. Oh iya, jangan lupa dispenser diisi,” Junet menjelaskan dengan nada yang terdengar mengeluh. Lalu cowok itu berjalan sambil mendorong troli berisi banyak kardus ke area seberang bagian akunting.
Rahwana dengan ragu melangkahkan kakinya ke ruangan yang tampak mewah di sebelah lorong. Bertuliskan ‘Divisi Marketing’ dan di bawahnya tertulis “Divisi Legal dan Hukum’.
Tampaknya kedua bagian itu disatukan di satu area untuk mempermudah proses pekerjaan.
Rahwana pun melongok ke dalamnya dari balik pilar. Bahkan ruangan itu tampak terlihat lebih sibuk dibanding ruangan yang tadi ia lihat. Seperti adegan pasar bursa di hari Senin yang ada di film-film blockbuster. Kacau.
Pemuda itu mencari-cari pantry yang akan jadi ‘ruangan kekuasaaannya’. Dan ruangan itu berada di pojok dalam.
“Ada yang tau nggak OB yang baru kemanaaaa? Itu galonnya udah hampir habis, gue butuh kopi!” seseorang berseru.
“Lo udah gelas kelima Ahmaaaaad,” seru yang lain menimpali.
“Kepala gue bakal meledak kalo nggak disumpal kopi!” omel Ahmad.
“Kebanyakan kopi, lo bakalan keserang anxiety, woi!" seru yang lain.
Rahwana mendengus. Itu pekerjaannya, dan secara tak langsung ia merasa tersindir.
Tidak ada waktu untuk berdiam diri, dia harus masuk dan bekerja.
“Sebentar ya Pak, saya ganti dulu,” sahutnya sambil masuk dan melewati Ahmad.
Seketika ruangan langsung hening.
Pandangan mata mereka mengikuti sosok tinggi berparas setengah Turki (dari Papa) setengah Indonesia (dari Mama) yang tampak kalem dan ramah, namun pandangannya menyiratkan banyak arti.
Dan yang membuat semua terkesima, dari balik seragam OBnya yang monoton, otot lengan dan dadanya sangat menggoda.
Rahwana pun menuju pantry dan masuk ke dalam untuk membuka gudang tempat penyimpanan galon. Seketika ruangan di belakangnya langsung heboh dan berisik membicarakannya.
Dasar pada norak, biasa aja dong ngeliatinnya... pikir Rahwana sebal. Mereka melihat Rahwana dalam balutan seragam OB saja sudah seribut itu, bagaimana kalau dalam setelan Presdir? Pada langsung pingsan kali.
Saat mengangkat galon untuk didekatkan ke dispenser, Rahwana pun tertegun.
“Ini sih bercanda!” omelnya. Dispenser di hadapannya hanya berupa pompa kecil dengan selang, ada tombol kecil di atasnya dan kabel untuk mencharge. Bahkan untuk masak air mereka menggunakan kompor gas.
“Ceile Papaaaaaaah, kalau dirimu ada di sini sekarang bisa-bisa jantungan! Bener-bener kelewatan deh!” gumam Rahwana. Ia pernah melihat alat seperti itu di platform online shop hanya berkisar 30ribuan saja. Dibilang dispenser juga rasanya levelnya jauh.
Dispenser akan ada di daftar investigasinya kali ini. Karena kemungkinan dana untuk pengadaan peralatan, dikorupsi.
Setelah membuka segel galon, ia sedikit menunduk untuk mencari kaitnya. Namun sialnya pisaunya terkena kakinya dan terlempar masuk ke dalam konter.
Sambil mengeluh, Rahwana menunduk mencari di kolong konter, dan saat itulah ia melihat.
“Hoekk!” ujar Rahwana sambil menegakkan tubuhnya.
Ada k0ndom di bawah konter.
Ia menekan perutnya dan mengatur napasnya beberapa saat untuk menahan mual. Batinnya dipenuhi sumpah serapah.
Lalu ia mengambil ponselnya dan memfoto barang bukti. Lalu dengan gunting yang terjatuh tadi, ia menjapit benda menjijikkan itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Lalu menambahkan list barang untuk investigasinya.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara keras dari arah ruangan Direktur Marketing.
"Tidak bisa kalau begitu!! Sudah kerja berapa lama sih Anda ini?! Ini bisa dikategorikan settingan untuk pencucian uang ya!!" seru suara itu. Lalu suara benda dilempar.
Rahwana tidak keluar dari pantry, tapi dia hanya mengintip dari tepi jendela kaca.
Suara teriakan marah itu terjadi beberapa saat, lalu...
BRANGG!!
Beberapa bantex menghantam jendela kaca di samping pintu ruangan direksi sampai kacanya pecah berantakan.
Rahwana menatap kejadian itu dengan alis terangkat. Ia sigap mengambil sapu dan pengki.
Tapi... Kok bisa Direktur naik pitam sebegitunya? Apa masalahnya serius sekali?! Atau memang tabiatnya memang emosian?
"Keluar kalian! Kejadian ini akan saya laporkan ke owner!" seru suara itu.
Dua orang karyawan yang usianya sudah separuh baya, dua-duanya laki-laki, dengan tergopoh-gopoh keluar dari ruangan Direktur Marketing.
Dan setelah itu, pria tinggi dengan pakaian suit yang terlihat mahal, wajahnya tampan dengan jambang dan brewok yang tercukur rapi, juga ikut keluar.
Matanya berkilat menahan marah, dan raut wajahnya berkerut. Ia berdiri menghadap ke arah semua karyawan di sana sambil berkacang pinggang, menantang.
"Saya yakin di antara kalian sudah banyak yang tahu perbuatan Pak Yanto dan Pak Endang sudah lama terjadi. Tapi membiarkannya. Perlu kalian tahu ya, investigasi tidak akan berhenti di sini. Dan kalau terjadi sesuatu dengan saya selama ada kasus ini, semua tahu harus menuduh siapa!" kata si Direktur Marketing.
Para karyawan hanya diam menatap si Direktur dengan tegang.
Lalu pria itu pum masuk kembali ke ruangannya, dan membanting pintu dengan sangat keras, sampai-sampai kaca jendela di sekitar mereka bergetar.
Rahwana dengan ragu membuka pintu pantry sambil membawa sapunya. Ia celingukan mengamati sekitarnya.
Karyawan sudah mulai bekerja tapi dengan gerakan yang lebih kaku dan tegang.
"Duh, males banget ke sana anjir..." gumamnya kuatir takut kena omel juga.
Ya tapi bagaimana? Itu kan pekerjaannya.
Untuk berjaga-jaga, Rahwana juga membawa kotak P3K yang ada di pantry. Siapa tahu pecahan kaca tembus ke dalam sol sepatunya atau menggores jemarinya.
Untung saja lantai kantor terbuat dari granit dan bukannya karpet.
Langkah Rahwana dengan sapu dan pengkinya membuat beberapa karyawan wanita senggol-senggolan sambil meliriknya.
Rahwana kalau dilihat sekilas memang tidak setampan pria-pria bule mediterania dengan jambang tebal, badan berotot berundak dan wajah ganteng maksimal bagaikan artis sinetron Turkiye.
Namun tatapannya yang lembut, wajah manisnya dan perawakannya yang tinggi menjadikannya sangat menarik untuk dipandang berlama-lama. Tidak membosankan.
Apalagi matanya yang coklat terang itu sangat memikat.
Pemuda itu pun mulai menyapu area depan ruangan Direktur, dan berusaha sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Sesekali sudut matanya mengawasi area sekitarnya.
Dan saat itulah hidungnya mencium sesuatu, samar-samar api ia sangat ingat aroma ini.
Wangi Kayu cendana dari Mbak OG yang di lift tadi pagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!