"Astagfirullah, jam berapa ini? Sebentar lagi bang Radis pulang kerja dan aku belum bersiap."
Raga semampai yang belum lama tertidur saat mendengar kajian di radio itu langsung beranjak. Ia menuju lemari dan menatap beberapa gaun tidur yang tergantung dengan bahan yang akan menampilkan lekuk tubuh indahnya.
Sabina menarik napas panjang. Baru saja melihat gaun-gaun tersebut desiran sesak sudah memenuhi kepalanya. Sabina seketika mengucap istigfar. Ia menghempas hal yang beberapa detik lalu mengacaukan bahagia hatinya. Sabina langsung mengalihkan wajah ke sebuah figura besar di atas ranjang. Foto cantik dirinya dengan busana adat Palembang yang tengah berpose mesra dengan seorang lelaki yang cukup tampan berbalut busana adat pula itu seketika membuat hatinya menghangat.
Sabina tersenyum. Desiran aneh memenuhi aliran darahnya saat melihat jemari kokoh melingkar di pinggang rampingnya dalam foto tersebut. Bagaimana tidak, itu adalah sentuhan pertama Radis di tubuh Sabina. Tujuh tahun lalu Sabina akhirnya melepas masa lajangnya. Dia Sabina, Sabina Carissa atau yang biasa dipanggil Bina yang baru genap berusia 20 tahun saat itu akhirnya dipersunting oleh Radis Hardan pria rupawan yang sudah menginjak usia 32 tahun.
Sabina yang melihat pantulan jam dinding menunjukkan pukul 21:05 merasa harus segera bersiap karena Radis akan segera pulang setelah menyelesaikan pekerjaan lemburnya. Seperti hari-hari sebelumnya, Radis akan sampai di rumah pada pukul 21:25 jika tak terkendala macet.
Sepuluh menit berlalu dan Sabina kini sudah tampil cantik dengan gaun tidur berwarna biru yang begitu cantik dipakai Sabina.
Sabina mematut diri di depan cermin. Desiran sesak seketika muncul, namun Sabina lagi-lagi berusaha membuang bayangan itu. Ia memilih memikirkan hal-hal indah saja, tentang hal-hal menyenangkan yang mungkin akan ia lalui bersama Radis malam nanti.
Sabina menatap tampilan cantik dirinya dengan gaun transparan melekat tubuh. Mood Sabina yang telah membaik membuat ia kembali tersenyum. Sejujurnya ada rasa malu saat Sabina melihat tampilan dirinya. Sebelum menikah, Sabina bahkan tak pernah mengenal pakaian semacam itu. Sabina yang mulai konsisten berjilbab sungguh malu bahkan saat memandang gaun seperti itu di kejauhan terpajang di muka toko.
Kini, siapa sangka Sabina kini justru sering menggunakannya. Sabina sangat ingin memanjakan mata suaminya saat ia pulang dan lelah bekerja. Sabina akan menyiapkan diri kalau-kalau suaminya menginginkannya. Sabina berusaha keras merias diri agar suaminya tak melihat hal yang tak ia sukai darinya. Ia akan membuat tubuhnya harum agar suaminya tak mencium aroma tak sedap darinya. Ia mengenyampingkan rasa malu hanya demi kebahagiaan suaminya.
Sabina baru saja selesai menghangatkan masakan saat didengarnya ketukan dari muka rumah. Sabina dengan semangat langsung mendekati pintu dan bersiap melukis senyum tercantiknya menyambut Radis.
Pintu terbuka bersamaan jawaban salam yang diucap oleh Sabina. Seperti biasa Radis akan menyodorkan jemarinya untuk dikecup Sabina dan Sabina dengan sigap meraih tas Radis dan meletakkannya di paku menempel dinding di samping lemari. Sabina mengambil segelas kopi yang sudah disiapkannya beberapa saat lalu dan meletakkannya di meja ruang tamu setelahnya dan ikut duduk di samping Radis.
Sabina sebetulnya ingin mendengar pujian Radis atas penampilannya, tapi ia tak mendengar itu.
"Bagaimana pekerjaan Abang hari ini?" Sabina menetralkan hatinya dan mulai bertanya memberi perhatian pada Radis.
"Seperti biasa," jawab Radis datar.
Sabina yang berharap suaminya itu akan menatapnya penuh cinta harus berkali menarik napas panjang saat tatapan itu hanya tertuju pada benda pipih di tangan. Ya, belakangan ini memang Radis lebih sering menatap ponsel ketimbang dirinya.
"Abang mau makan sekarang? Aku akan menyiapkannya." Sabina lagi-lagi berkata dengan sangat lembut, ia tersenyum bersiap jika suaminya akan menoleh dan menatapnya. Sabina ingin suaminya hanya melihat wajah cantiknya saja saat ia menoleh ke arahnya.
"Boleh, ambilkan lah!" kata Radis lagi-lagi tanpa menatap Sabina. Desiran sesak kembali menguasai, tapi Sabina mengalihkan semua dengan berbagai angan indah dalam otaknya. Sabina pun kembali tersenyum.
"Abang mau mandi? Aku akan siapkan air hangat!" kata Sabina yang melihat Radis sudah memasukkan suapan terakhirnya ke dalam mulut.
"Aku sepertinya tidak akan mandi malam ini, kau tidur saja, Bin! Ini sudah malam!"
Bang Radis menyuruh aku ti-dur, apa ini artinya a-ku akan tidur sendiri la-gi?
"O-hh, i-ya, Bang," lirih Sabina seketika langsung meraih piring dan gelas kopi yang telah kosong. Ia beranjak ke dapur dan menuju kamar tidur setelahnya.
Dalam kamar tidur Sabina langsung memeluk guling, tak terasa air mata itu seketika menetes saja dari sudut matanya.
Bang Radis tidak Rindu padaku, kah? Bang Radis jahat karena lagi-lagi membiarkanku tidur sendiri. Bang, aku juga ingin tidur dipeluk Abang. Janin dalam perutku juga ingin dibelai ayahnya pula.
Sabina terus bermonolog dengan air mata mulai membasahi kain penutup guling. Sabina yang tengah hamil 8 bulan memilih mengintip dari celah guling menatap langit-langit kamar. Sabina terus menahan air mata yang memaksa untuk ke luar.
Sabina masih melamun saat terdengar sayup suara televisi yang mulai menyala.
"Bang, apa kau masih mencintaiku? Mengapa menatap layar ponsel dan menonton televisi seolah lebih kau sukai kini ketimbang menatap wajahku? Mengapa kau seolah tak membutuhkan kehangatanku lagi? Apa karena aku tengah mengandung jadi tak secantik dulu? Bahkan Zidan putra pertama kita juga merindukan ayahnya. Kau selalu pulang saat Zidan sudah tidur, Bang. Apa kau tidak rindu putramu?
Sabina menarik tisu dan mengeluarkan lendir bening dari hidungnya.
Gaun tidur, untuk apa aku kenakan? Seharusnya aku sudah bisa menebak bang Radis juga tidak akan melihat penampilanku! Berhias, untuk apa! Bang Radis juga tak menghiraukanku! Bang, aku tanggung jawabmu. Jangan mengabaikanku, Bang. Aku ingin tidur ditemani olehmu! Apakah ini salah?
...💕💕...
"Mbak ... Mbak Bina!"
"Eh, Vi? Kamu balik la-gi?"
"Mbak pasti sedang melamunkan suami mbak lagi, kan? Mba-k, sudah!"
Wanita muda yang sudah terlihat cantik dengan seragam mini market tampak menggenggam jemari bocah kecil disampingnya.
"Zi-o?"
"Iya, tadi aku baru aja mau berangkat, tapi aku lihat Zio di sekitar lift. Karena aku khawatir, aku balik lagi mulangin Zio dulu," kata si wanita muda, ia meraih tisu setelahnya dan menyeka bulir di sudut mata wanita di hadapannya.
"Makasih banyak, Vi-o. Zio sini sama Bunda yaa, kak Vio mau berangkat kerja dulu! Lain kali Zio jangan ke luar apartemen ini ya anak pintar, kalau ada orang jahat bagaimana? Apa Zio ma-u jauh dari Bun-da?"
"Ng-gak, Bunda."
Bersambung ....
_____________
💕Maju mundur cantik ya😁
💕Karya ini Bubu tulis santai, plan akhir bulan 20 Bab diharap reader bersabar dan tidak baca setengah-setengah🙏
💕Terima kasih yang selalu support Bubu😘
"Gimana, Mbak? Mbak mau kerja di tempat kakaknya teman aku? Pengasuh anaknya itu tiba-tiba minta berhenti kerja, padahal kakaknya teman aku sibuk sering ke luar kota, kasihan kan anaknya kalau nggak ada yang jaga. Anaknya itu sepantaran Zio, tapi perempuan."
Viola terus menatap wajah bergeming Sabina berusaha menerka apa yang Sabina pikirkan, tapi ia tak juga mendapat jawabannya. Viola takut salah menerka. Maklum lah keduanya baru dekat dua bulan ini, keduanya masih saling menyelami satu sama lain dan Viola tak ingin berasumsi yang belum tentu benar.
"Mbak, gimana?" Viola memutuskan bertanya lagi. "Mbak bingung ya? Aku sih sekadar menyambung mulut aja alias ngasih info, kalau Mbak ragu ya jangan diambil. Sekarang terserah Mbak, tapi ya memang kakak temanku itu berani kasih gaji besar dibanding gaji pengasuh pada umumnya. Sambil Mbak mikir, aku mandi dulu ya, nanti habis mandi aku harap sudah dapat jawaban dari Mbak."
.........
"Mbak Bina, kenalkan aku Puspa dan ini suamiku mas Yoga. Viola pasti sudah ngasih tau pekerjaan Mbak, Mbak cuma harus memastikan anakku Putri makan tepat waktu, tidur siang teratur, nggak banyak main di luar dan tidur nggak terlalu malam. Aku akan pulang jam sepuluh malam dan aku harap Putri sudah tidur di jam itu!" Sabina mengangguk.
Sabina memang akhirnya menerima tawaran Viola. Bukan hanya sekedar gaji yang lumayan, tapi alasan lainnya adalah karena Sabina bisa membawa putranya Tzion Arkana Pandya atau biasa disapa Zio yang genap berusia 5 tahun ke rumah tempatnya bekerja.
Puspa Kirana, wanita yang resmi menjadi majikannya telah berdiri di hadapannya. Wanita cantik dengan tinggi semampai itu begitu anggun dalam pandangan Sabina. Sebetulnya Sabina pun tak kalah cantik darinya, hanya saja nasib mereka berbeda.
Setelah menjelaskan tugas Sabina, tak menunggu lama Puspa langsung bersiap meninggalkan rumah tersebut.
"Yang, aku berangkat dulu ya," kata Puspa memberi kecupan dan pelukan pada Yoga sang suami.
"Hati-hati, Yang. Jaga diri sebaiknya dan semoga kamu pulang membawa keberhasilan," ucap Yoga.
"Aamiin. Do'a yang sama untukmu, Yang!"
"Terima kasih. love you."
"I love you too."
Sabina tertegun, melihat kemesraan Puspa dan Yoga, tiba-tiba ia teringat Radis mantan suaminya. Bagaimana dulu Radis begitu romantis di awal pernikahan, namun selang waktu berjalan keromantisan itu hilang tersapu godaan wanita luar yang terlihat lebih memukau. Jangankan memeluk dan mencium pipi, mencium tangan saja Radis sering menganggap remeh semenjak tahun kelima pernikahan. Ia harus mengejar Radis ke depan rumah dan meminta Radis menunggunya baru ia bisa mencium tangan suaminya. Juga panggilan manis, semua hanya bualan di awal pernikahan, selebihnya Radis terbiasa memanggil nama saja meski di depan kedua anak mereka.
"Sabina ...."
"Eh Pak Yoga. Ma-af." Yoga menatap seksama Sabina yang dengan cepat melesat ke arah dapur.
"Bik, makanan non Putri apa sudah siap?" kata Sabina kepada Suman ART rumah itu.
"Ini sudah saya siapkan, non Putri sangat senang jika makan sambil bermain boneka barbie, Mbak." Sabina mengangguk.
Beruntung Putri gadis yang penurut dan mudah menerima orang baru, maklum lah pengasuh Putri sering bergonta-ganti. Putri juga mudah akrab dengan Zio, seperti saat ini keduanya tampak asik bermain sembari Sabina menyuapi Putri.
.........
Tiga bulan berlalu dengan cepat. Sabina sudah bekerja dengan Puspa selama tiga bulan. Putri semakin dekat dengan Sabina, segala hal yang dibutuhkan Putri akan cepat diberikan Sabina. Putri juga senang tidur di kamar kecil Sabina dan Zio karena mamanya selalu pulang larut demikian juga dengan Yoga sang papa.
Tok ... Tok ...
Hari masih subuh saat ketukan terdengar di muka kamar Sabina. Sabina dengan sigap membuka pintu kamar setelah menyelesaikan salamnya. Masih berbalut mukena berbahan rayon, Sabina membuka pintu dan tampillah Yoga berdiri mematung di muka kamarnya. Jelas Yoga baru pulang ke rumah terlihat dari kemeja yang dipakai masih sama seperti kemarin pagi ia berangkat. Kondisi majikannya itu tampak kurang baik, wajah lesu, rambut tak tertata rapi dengan tepi kemeja bagian bawah menyembul ke luar.
"Maaf saya mengganggu kamu Bina," kata Yoga sangat lembut. Sabina mengangguk.
"A-da perlu apa ya Bapak ke kamar sa-ya?" tanya Sabina setelahnya terbata. Ia yang agak risih memilih mengalihkan tatapannya.
"Maaf saya baru pulang sementara mamanya Putri ada proyek mendadak di luar kota sehingga tidak bisa pulang. A-pa Putri ti-dur bersama kamu lagi? Tadi saya cek ke kamarnya tapi ia tak ada," kata Yoga berusaha memindai pandang ke dalam kamar Sabina, tapi ia tak bisa melihat apa pun karena tertutup tubuh Sabina.
Sabina melebarkan pintu kamar. "Iya betul, non Putri tidur di sini. Kalau Bapak mau ambil non silahkan, tapi sepertinya non masih sangat pulas, kalau Bapak paksa angkat kasihan non bisa terbangun," kata Sabina. Sabina menunduk setelah menyelesaikan kalimatnya.
"Baik saya tunggu Putri bangun saja. Apa kamu punya waktu, ada yang mau saya bicarakan?" Sabina sedikit mengangkat wajah dan kembali menunduk saat menyadari Yoga sedang menatapnya seksama. Sabina sebetulnya sungkan bicara berdua dengan Yoga sementara Puspa tidak di rumah, tapi mengingat Yoga adalah majikannya ia pun mengangguk.
"Kamu buka mukena kamu dulu, saya akan tunggu kamu di ruang kerja!" Melihat Sabina mengangguk, Yoga berbalik menuju ruang kerja.
Tak menunggu lama Sabina sudah bersiap dengan hijab menutup kepala mendekati ruang kerja. Dalam satu ketukan, pintu langsung terbuka. Yoga tersenyum mempersilahkan Sabina masuk, Sabina yang tak biasa melihat senyuman lelaki dalam setahun belakangan ini memilih mengalihkan tatapannya.
"Ayo masuk!"
"Pak, jangan ditutup rapat!" Yoga seketika menoleh, ia kaget mendengar suara Sabina yang terlontar tiba-tiba. Ia mengangkat jemari yang hampir saja merapatkan pintu dan membiarkan pintu terbuka sedikit.
"Duduk lah!" kata Yoga setelah ia duduk di kursi kerjanya. Sabina dengan langkah landai akhirnya mendekat, ia duduk.
"Kita akan bicara santai saja, jangan gugup!"
Sabina mengangguk dengan wajah menunduk seperti biasanya.
"Berapa usia kamu kalau boleh saya tahu?" tanya pertama terlontar. Sabina dibuat bingung dengan pertanyaan Yoga mengenai dirinya, tapi ia tetap menjawabnya.
"Tiga puluh dua tahun, Pak," lirih Sabina. Yoga mengangguk. Sabina yang sadar Yoga terus menatapnya dengan pandangan tak biasa merasa risih. Ia menunduk semakin dalam.
"Saya dengar kamu membesarkan Zio sendiri tanpa suami, apa benar?" Sabina sedikit mengangkat wajah dengan bingung dan kembali menunduk lagi.
"Hanya menjawab tanya tidak sulit, kan?" Yoga yang melihat Sabina tak juga menjawab tanyanya kembali berucap.
Sabina terus memilin tepi kemeja yang digunakan. Ia berusaha berusaha tenang, membuang keanehan yang menelisik otaknya.
"Be-tul," jawab Sabina singkat.
"Saya sebetulnya sudah mencari tahu status kamu. Kamu sekarang single, tanpa ikatan dengan lelaki mana pun."
"Ma-af, kemana arah bicara Bapak sebetulnya?" lugas Sabina. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Sabina kembali mengalihkan wajah ke sembarang arah.
Sabina kaget, jemari Yoga tiba-tiba menggenggam jemarinya. "To the Point saja, saya menginginkan kamu menjadi istri kedua saya."
Sabina tercekat. Kalimat Yoga terdengar lantang tanpa rasa bersalah sedikit pun kendati permintaan itu nyatanya akan menyakiti hati istri tercintanya, Puspa.
"Lepas tangan saya, Pak!" geram Sabina berusaha melepaskan tangannya tapi cengkeraman jemari Yoga begitu kuat.
"Jangan pura-pura jual mahal! Kamu butuh uang banyak untuk membesarkan dua putramu, kan? Saya bahkan tahu satu putramu yang lain tinggal di pesantren dan itu membutuhkan biaya tak sedikit."
Sabina tersenyum getir. "Bapak tidak perlu memikirkan biaya pendidikan anak saya, saya bisa mencukupinya sendiri!"
"Ayolah Bin, aku butuh kamu dan kamu butuh uangku. Simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Bagaimana?"
Sabina berdecih tak menyangka dengan yang didengarnya. "Jangan jadikan kalimat seperti ini bahan candaan, Pak! Saya di sini untuk bekerja dan tidak sedikit pun terlintas hal lainnya!" imbuh Sabina dengan garis dahi yang tercetak jelas. Ia marah.
"Tidak ada yang bercanda!"
"Ta-pi, apa Bapak sadar permintaan Bapak itu akan menghancurkan hati ibu Puspa?"
"Puspa tahu dan ia mengizinkan!"
Netra Indira membulat, ia semakin dibuat bingung saja.
Ada apa ini, keluarga ini terlihat harmonis, mengapa harus mencari istri kedua? Mengapa juga harus a-ku? Apa sebegitu menyedihkannya aku di hadapan mereka? Aku memang janda, tapi aku bukan pelakor!
Bersambung ....
______________
💕Happy reading 😘
"Jadi sejak kapan Abang mencurangi aku?"
Sabina menatap lekat wajah sang suami yang diketahuinya ternyata memiliki wanita lain di belakangnya dengan bulir yang terus menetes. Sabina meringis setelahnya sambil menatap Zio dan Zidan yang tengah tertidur. Zio saat itu berusia 4 bulan, sedang Zidan anak pertama Sabina berusia 6 tahun.
Ponsel yang menjadi sebab terbukanya hubungan terlarang Radis dan wanita berinisial M itu tergeletak di lantai setelah Sabina spontan menjatuhkannya.
Sabina wanita sholehah yang penurut, ia tak pernah menuntut Radis harus begini dan begitu. Setiap perilaku acuh Radis di masa-masa kehamilan Zio selalu dibalas kelembutan Sabina. Sabina selalu sabar dan berfikir positif menghadapi lelaki yang telah menghalalkannya tersebut. Radis yang berasal dari pulau Sumatera memang memiliki nada bicara yang keras berbanding terbalik dengan Sabina yang berasal dari Solo. Sabina berperangai lembut seperti wanita Solo kebanyakan. Menghadapi perbedaan karakter itu bahkan Sabina kesulitan di awal pernikahan. Kini, dengan terbukanya hubungan terlarang Radis, sungguh membuat kesabaran Sabina kembali diuji.
"Bin, pahami aku, ini hanya sebatas hubungan bisnis!" Radis tampak berlutut kini di hadapan Sabina. Ia yang melihat wajah Sabina menahan kesedihan yang teramat membuatnya tak tega, Radis juga tercekam perih harus bermain api, tapi keadaan memaksanya walau ia terlarut setelahnya dalam hubungan tanpa status yang berkedok hubungan bisnis.
"Abang tidak perlu menyentuhku! Abang sudah menyakiti aku," lirih Sabina dengan linangan air mata yang semakin deras.
"Bina, ma-af .... Abang tahu sudah bersalah sama kau. Tapi Abang terpaksa. Wanita itu telah menanamkan saham yang cukup besar pada perusahaan yang Abang rintis. Abang memang bodoh! Abang tak bisa menolak saat ia meminta Abang menemaninya, tapi semua Abang lakukan demi kau dan anak-anak, Bin. Sungguh!" Radis menjatuhkan kepalanya pada jemari Sabina. Ia jelas merasa bersalah, tapi sayangnya hati Sabina sudah terluka. Sabina menghempaskan jemarinya hingga kepala Radis nyaris terjatuh.
"Bina, to-long maafkan, A-bang!" Kata permohonan itu terlontar lagi. Sabina membeku tak bergerak. Bongkahan sesak menyergap batinnya dan Sabina hanya bisa meluapkan sesaknya melalui tangisan.
"Ja-di selama ini Abang memberiku dan anak-anak makan dari uang investasi wanita itu. Menjijikkan, Abang menanam keburukan di tubuh Zidan dan Zio yang bahkan belum mengerti apa-apa!"
"Bin, jangan membahas ini! Bagaimana pun kita butuh suntikan dana darinya. Kalau tak ada dia usaha Abang tak akan berkembang seperti sekarang." Kata itu memang terucap lirih, tapi sangat menusuk. Bagaimana Radis telah mengorbankan anak-anak dan dirinya demi kesuksesan dunia.
"Urus perceraian kita, Bang!" lugas Sabina setelahnya.
"Tidak, Bin. Aku cinta kau dan anak-anak. Aku tak kan membiarkan kalian pergi jauh dari hidup Abang!"
"Cinta? Cinta macam apa? Bahkan Abang selama ini tak menghargai keberadaanku! Abang telah mendapat kepuasan dari wanita lain dan Abang mengabaikanku!" Sabina yang melihat Zio terbangun mendekatkan tubuh pada putra kecilnya itu dan terus menepuk punggung Zio. Zio tak lama terlelap lagi.
"Ma-af, Bina. A-bang sudah letih setelah menghabiskan waktu bersamanya hingga A-bang terpaksa menghindarimu. Sejujurnya semua sulit Abang lakukan, Bin. Abang juga ingin bermesraan denganmu."
"Stop. Kalimat Abang sangat menyakitkan! Dasar pembohong! Abang sedang merayuku tapi aku tak kan tergoda!"
"Semua jujur dari hatiku, Bin. Coba pikir, jika kita berpisah bagaimana kau menjalani hidup. Berstatus janda itu tak mudah. Kau ingin bekerja lagi? Lalu siapa yang akan menjaga anak-anak? Jika kau tak bekerja, tak ada yang menjamin hidupmu! To-long, buang pikiran cerai dan tetaplah di sisiku!"
Sabina terdiam. Ia mencerna ucapan Radis. Entah mengapa ia tiba-tiba dicekam ketakutan tak bisa hidup tanpa Radis, ia tak ingin melalaikan kewajibannya pada anak-anak, tapi ia juga butuh uang untuk menjalani hidupnya.
"Apa jika aku bertahan Abang akan melupakan wanita itu?"
"Itulah, Bin. Ia sedang mengandung dan meminta Abang menikahinya, tapi Abang juga tak ingin berpisah denganmu!"
"Jadi dia hamil? Menjijikkan! Dan Abang ... A-bang sungguh egois!"
"Tolong Bina, akan lebih berdosa jika Abang membiarkannya menggugurkan janin itu!" Radis masih terus memohon. Ia benar-benar tak ingin berpisah dari Sabina. Berpisah dari anak-anaknya tepatnya.
"Bin .... Sebetul-nya tanpa meminta izinmu pun Abang bisa menikahi dia, tapi Abang menghargai ka-u. Bagaimana pun kau ibu anak Abang. Kau wanita yang selalu mendukung A-bang."
Sabina memejamkan mata beberapa saat. Ia menatap wajah Radis intens setelahnya. "Jika Abang menghargai a-ku, Abang tidak akan mencurangiku dan me-minta i-ni!" Akhirnya Sabina bicara. Kalimat yang kini membuat Radis harus berpikir keras menjawabnya.
"Kenapa Abang tidak menjawab? Apa pertanyaanku begitu sulit?" Sabina menunggu respon Yoga tapi tak jua ada jawaban.
"Agar Abang tahu, seperti itu pun aku saat ini menangapi permintaan Abang. Sulit, Bang!" Sabina beranjak, ia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan terisak. Sabina merasa kehidupan sudah tak adil untuknya.
Tok ... Tok ....
Sabina tersadar. Ketukan pintu membuyarkan kejadian masa lalu yang tiba-tiba muncul di otaknya setelah permintaan Yoga sang majikan yang dilontarkan padanya pagi tadi. Sabina menatap jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, ia merapihkan selimut Zio baru kemudian berdiri membuka pintu.
"Aku tenang mbak ada di sini!" Gadis berusia 22 tahun dengan keringat membasahi beberapa bagian tubuh langsung memeluk Sabina.
"Teman kamu pasti yang ngasih tau kalau mbak minta berhenti jadi pengasuh anak kakaknya." Dia Viola mengangguk di bahu Sabina.
"Kamu capek, 'kan? Tadi Mbak masak buat kamu, yuk ke ruang makan!" Keduanya menuju ruang makan yang bersebelahan dengan dapur sambil terus berangkulan.
"Mbak ngapain sih repot-repot?" kata Viola membuka tudung saji dan melihat capcai juga perkedel kesukaannya.
"Gak repot, kebetulan di kulkas ada bahan, jadi Mbak masak aja!" Viola tersenyum.
"Terima kasih kamu nggak merubah kode apartemen ini, kalau nggak mbak gak tau akan ke mana lagi." Sabina berkata lagi dengan sangat lembut dan menerbitkan senyum ramahnya. Ia mengambil piring dan mengarahkannya pada Viola.
"Karena aku memang pelupa, Mbak. Cuma kode itu yang aku hapal. Itu tanggal lahir mendiang mama aku." Sabina mengangguk.
"Sudah makan sana dan lekas istrirahat. Mbak duluan ke kamar ya, belum sholat isya!"
"Mbak memang sudah makan?"
"Sudah tadi sambil menyuapi Zio," kata Sabina berjalan menuju kamar yang sebelumnya diketuk Viola.
"Mbak."
"Ya?"
"Besok aku libur, mbak harus cerita semua yang terjadi sama mbak!" Sabina tersenyum sembari mengangguk lirih. Beberapa saat setelahnya bayang Sabina menghilang di balik pintu.
Bersambung ....
_____________
🕷️Happy reading❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!