Suara hak sepatu beradu dengan lantai marmer di salah satu penthouse mewah di Jakarta. Nara baru saja masuk kesana. Menenteng Iced Americano di tangan kirinya dan dokumen penting di tangan kanannya. Tersampir sling bag berwarna beige di bahu kiri, berpadu dengan setelan kantornya dengan tema earth tone.
Langkahnya menuju ke kamar si pemilik penthouse, yang sekarang sedang tidur terlentang di atas kasur. Tanpa kemeja, hanya jeans belel yang dia kenakan. Hampir keseluruhan tempat itu terlihat kacau, baju-baju bekas berserakkan dilantai, beberapa cangkir kopi bekas di meja komputer, sepatu tanpa pasangan, dan camilan yang terbuka berhamburan dilantai.
Nara sangat membenci pekerjaannya yang satu ini. Membangunkan dan menyeret anak bosnya untuk bisa mengikuti meeting penting beberapa jam lagi. Tapi dia harus tetap melakukannya. Ini adalah bagian dari pekerjaannya.
Laki-laki dihadapannya sibuk bermimpi, sementara Nara sangat tertekan dan sebal melihat tampangnya. Anak bosnya memang sangat tampan dan digilai wanita, tapi tak ada satupun kelakuannya yang bagus. Gamers akut, pengangguran, penggila wanita, durhaka pada orang tua, dan yang paling membuat Nara susah adalah dia tidak mau menggantikan posisi ayahnya untuk menjadi CEO. Sehingga Nara harus datang kesini bersusah payah.
Nara melepaskan salah sepatu hak tingginya, kemudian dengan keras mendorong tubuh laki-laki itu hingga terguling jatuh dari kasur.
BUUUGH
Suara keras terdengar saat tubuh Arvin mendarat di lantai marmer yang dingin. Dengan cepat dia terbangun dan mengerang marah. Dia kemudian melihat sosok Nara berdiri di samping tempat tidurnya.
“Ngapain sih lo? Kenapa lo bisa masuk apartemen gue? Hah?” Bentak Arvin galak, sambil mengelus kepalanya yang terbentur lantai.
“Halo Pak Arvin. Seperti yang saya sudah informasikan kemarin, Pak Candra masuk rumah sakit dan harus menjalani operasi pemasangan ring jantung hari ini. Saya disini atas permintaan beliau untuk menjemput Anda mengikuti meeting penting dengan Indo Corp satu jam lagi.” Ucap Nara dengan nada profesional dan mempertahankan senyumnya.
“Si kumis belum mati? Gue kirain udah gak selamat tuh si tua serakah.” Kata Arvin sambil berdiri, meregangkan otot-ototnya yang pegal “Ogah! Gue ga mau ke acara meeting macem gitu. Bukan urusan gue. Suruh aja si Angga yang gantiin.”
“Pak Candra sudah menunjuk Anda sebagai penggantinya.”
“Gue ga mau!”
Arvin berjalan mendekati Nara, kemudian dengan cepat mengambil Iced Americano dari tangan Nara dan meminumnya. Berjalan keluar kamar menuju ruang tengah duduk di sofa sambil menyalakan TV.
“Ck.. Semua berita nayangin si kumis. Bosen banget gue lihat wajahnya.”
Nara mengobrak-abrik walk in closet Arvin, menemukan 2 pasang blazer, celana, dan kemeja yang cocok untuk dikenakan Arvin pada meeting nanti.
“Anda lebih suka warna navy atau grey?” Tanya Nara memegang kombinasi baju untuk Arvin di kedua tangannya.
Arvin menoleh, “Gue lebih suka telanjang.” Jawabnya ketus.
“Anda harus segera mandi. Waktu kita kurang dari 1 jam lagi untuk meeting.”
Nara mencoba untuk tetap tenang. Meskipun rasanya dia ingin melempar meja pada laki-laki tak berguna didepannya. Dia harus bisa menyeret Arvin bagaimanapun caranya agar bersedia meeting dengan Indo Corp hari ini.
“Udah gue bilang gue ga mau pergi. Lu tuli apa?” Teriak Arvin emosi. “Gue ga mau mandi. Coba aja paksa gue kalau lo bisa.” Ucapnya merajuk seperti anak kecil.
Nara menyimpan kedua pakaian pada gantungan. Berjalan menuju kamar mandi dan kembali menenteng seember air dingin.
BYUUURR
Seluruh isi ember tumpah ke kepala Arvin. Kini tubuhnya sudah basah kuyup. Arvin berdiri dari sofa dengan wajah memerah marah, berdiri menantang Nara.
“Aaaaaaaargh” Teriak Arvin kesal. “Kalau bukan karena lo cewek. Gue udah hajar lu habis-habisan.” Kata Arvin memperingatkan dengan nada kasar.
Nara kemudian menendang tulang kering Arvin yang berdiri menjulang dihadapannya, membuat laki-laki itu terjatuh berlutut dan mengaduh.
“Pak Arvin, waktu kita gak banyak. Sebaiknya Anda segera bersiap.”
“Kenapa sih lo ngotot banget?! GUA BILANG GA AKAN PERGI!!”
“Soalnya ini pekerjaan saya. Memastikan Anda mengikuti meeting dan menggantikan posisi Pak Candra sebagai CEO. Asal Anda tahu, semua fasilitas yang Anda peroleh sekarang akan dicabut jika Anda tidak bersedia mengikuti permintaan Pak Candra. Di luar ada 2 bodyguard yang saya bawa. Anda ingin mereka memandikan Anda?”
“Si kumis kurang ajar!” Ucap Arvin semakin kesal.
Dia sangat tahu ayahnya suatu saat memang akan melakukan itu padanya. Setelah menolak selama setahun penuh perintah ayahnya untuk menggantikan posisi penting diperusahaan.
Arvin saat ini tidak punya pilihan selain menuruti keinginan ayahnya. Semua kehidupannya masih disokong dan dia hanya berfoya-foya saja sepanjang hari tanpa memikirkan pekerjaan atau berapa banyak uang yang telah dia habiskan.
Nara menyerahkan handuk pada Arvin yang masih kesal. Dengan kasar Arvin mengambilnya dan berjalan menuju toilet. Selama hampir 10 menit Arvin berada disana, Nara khawatir laki-laki itu malah mengunci dirinya sendiri dan membatalkan keputusannya untuk ikut meeting.
Sebelah telinga Nara ditempelkan ke pintu. Mencoba mendengar apa yang dilakukan Arvin di dalam toilet. Suara klik lembut terdengar, pintu terbuka tiba-tiba saat posisi Nara sedang menguping.
“Ngapain lo?” Suara kasar Arvin terdengar. Dia sudah berdiri di depan Nara, bertelanjang dada dengan handuk melilit di pinggangnya. Nara kelabakan menutupi perasaan malu.
“Gak apa-apa. Saya cuma memastikan kalau Anda benar-benar mandi.” Ucap Nara menguasai diri. Bersikap profesional kembali.
“Ya menurut lo gue di dalem ngapain? Co li?”
Nara benar-benar kesal dengan nada kasar dan jawaban asal jeplak dari Arvin. Ingin rasanya menjambak rambut panjangnya yang tidak beraturan itu.
“Lu penasaran banget pas gue mandi ya sampe nguping gitu?” Nada kasarnya hilang berganti dengan senyuman jahil yang tersungging dari bibir Arvin “Mendingan lihat gue aja langsung, ga usah nguping dan mengira-ngira gue lagi ngapain.” Lanjutnya sambil merentangkan tangan.
“Saya gak tertarik.”
Arvin bingung memilih baju mana yang akan dia kenakan. Meskipun dia terpaksa hadir pada meeting yang ayahnya kehendaki, tapi setidaknya dia harus berpenampilan menarik. Siapa tahu ada gadis menarik yang bisa dia goda. Pikiran nakal mulai muncul dibenaknya.
“Heh lo!” Kata Arvin memanggil Nara “Pakein gue baju!” Tangannya terlipat di dada dengan sombong. Bibirnya melengkungkan senyum nakal.
“Kalau lo mau gue pergi ke meeting hari ini, pakein gue baju!” Ucapnya lagi.
Aaaaaargh!!
Nara ingin berteriak sekarang. Dasar manusia menyebalkan! Bisa-bisanya menyuruh seorang wanita tak dikenalnya untuk memakaikannya baju.
Nara merapal kata-kata berulang-ulang. Dia harus bersikap profesional pada pekerjaannya. Dia harus bisa membuat Arvin pergi menghadiri meeting dengan Indo Corp hari ini.
Langkah berat dilakukan oleh Nara menghadapi Arvin. Dia menghampiri laki-laki yang berdiri sombong itu. Satu tangan Nara mencengkram handuk di pinggang Arvin, dengan cepat menariknya dari sana dan melemparkannya. Kini Arvin berdiri tanpa mengenakan sehelai benangpun.
“GILA LO ANJ---” Teriak Arvin panik menutupi area sensitifnya.
“KELUAR!! KELUAR LO CEPETAN!!” Teriak Arvin panik. Dia masih berusaha menutupi bagian tubuhnya yang paling berharga.
Nara keluar dari kamar Arvin dengan santai, menutup pintu dibelakangnya. Kemudian terduduk seketika, lututnya terasa lemas tidak percaya apa yang sudah dia sendiri perbuat. Tangannya gemetar. Dia baru saja melihat tubuh telanjang seorang laki-laki. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Bahkan dia tidak pernah melihat tubuh pacarnya sendiri!
Dia melihat tubuh indah laki-laki asing itu. Dengan otot-otot perut yang kotak-kotak, kulit yang indah, dan dibawah perutnya ada...
Aaaaaaaaaaaaaaaaaa matanya sudah tidak suci!!!!
Nara memukul kepalanya sendiri membenci kebodohannya yang bertindak berlebihan. Dia hanya berniat menakut-nakuti Arvin, tapi tanpa sengaja malah melepas handuk dari tubuhnya. Arvin pasti sangat marah padanya. Bagaimana kalau dia tidak jadi hadir di meeting hari ini karena merasa telah dilecehkan oleh Nara?
Gawat!!!
“Cewe anj---!!! Apa-apaan dia!!!” Gerutu Arvin memungut handuk yang terkulai dilantai. Mukanya kini semerah tomat karena malu dan marah.
Seumur hidup baru pertama kalinya dia merasa dilecehkan seperti ini apalagi oleh seorang perempuan yang baru dia temui. Benar-benar menyebalkan!!! Rasanya ingin memecat gadis itu. Tapi dia adalah sekretaris ayahnya, saat ini Arvin tidak punya kewenangan untuk itu.
Cukup lama Nara menunggu Arvin keluar dari kamarnya. Hatinya bimbang, apakah dia harus mengetuk pintu dan memanggilnya? Waktu mereka sangat sempit. Sebentar lagi meetingnya akan segera dimulai.
Pintu terbuka, Arvin berdiri di ambang pintu berpakaian rapi. Dia akhirnya memilih menggunakan blazer dan celana berwarna navy. Rambutnya yang panjang sebahu dia sisir kebelakang dan dia ikat dengan rapi. Tampak necis.
“Lo! Kalau gue atasan lo, udah gue pecat lo sekarang!” Desisnya marah, menunjuk Nara penuh kebencian.
“Anda kan yang minta saya pakaikan baju.” Kata Nara dengan nada setenang mungkin. Ekspresi wajahnya dia atur kembali, berusaha tidak menunjukkan kepanikan dan perasaan malunya.
Arvin menyadari kesalahannya karena iseng menyuruh gadis ini memakaikannya baju. Benaknya berpikir, apakah gadis ini robot sampai dia benar-benar melakukan hal yang diperintahkan Arvin dan tetap tenang setelah melihatnya tak berbusana.
“Ayo cepetan! Ga usah dibahas lagi. Awas lo kalau bilang-bilang soal kejadian tadi! Kalau sampe ada gosip yg komentarin badan gue. Gue pastikan lo bakal gue pecat.” Ancam Arvin.
Langkah panjang Arvin menuntunnya ke luar penthouse nya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa di luar sana.
“Lo bohong ya bilang bawa bodyguard kesini?” Tanya Arvin makin kesal. Tadi dia dilecehkan, sekarang dia dibohongi. Sekretaris ayahnya benar-benar cewek menyebalkan!
Nara hanya mengedikkan bahunya. Kemudian mereka melanjutkan berjalan menuju lobby apartemen mewah itu. Mobil sedan mewah sudah menunggu. Mereka duduk bersisian di kursi belakang, kini mobil tersebut melaju menuju tempat meeting yang telah di tentukan.
“Siapa nama lo? Gue lupa.” Tanya Arvin memecah keheningan. Selama beberapa hari sekretaris ayahnya terus menghubunginya. Mengabarkan bahwa ayahnya pingsan tiba-tiba dan harus melakukan operasi ring jantung. Tiap hari Arvin selalu menolak panggilan gadis ini. Hingga ponselnya dibombardir chat untuk menyuruhnya menggantikan ayahnya sementara.
“Saya Nara. Nara Danastri.”
“Udah berapa lama lo kerja sama si kumis?”
“2 Tahun. Sebelumnya saya bekerja di bagian General Affair. Saya ditunjuk menggantikan senior yang resign setelah melahirkan.”
“Ditunjuk langsung si kumis?”
“Iya. Pak Candra yang meminta saya menjadi sekretarisnya.”
“Lo bukan selingkuhan si kumis, kan?”
“Maaf?” Tanya Nara bingung.
“Lo selingkuhan si kumis bukan? Soalnya dia suka banget cewe muda, apalagi sekretarisnya. Lo ada main sama si kumis?” Tuduh Arvin.
“Maaf. Hubungan saya dan Pak Candra hanya sebatas atasan dan bawahan saja.” Nara tetap tenang menanggapi tuduhan dan mulut kotor Arvin.
“Ck..basi.” Balas Arvin tidak peduli. “Jadi gue sekarang ketemu sama siapa nih? Gue gak dikasih review meeting sekarang harus ngapain?” Lanjutnya kesal.
Nara hampir lupa. Dokumen penting yang sejak tadi dibawa, dia serahkan ke tangan Arvin. Selama perjalanan Arvin sibuk membaca dan mempelajari dokumen tersebut.
Hingga sekarang Nara tidak tahu kemampuan Arvin dalam bisnis. Dia memang tahu Arvin sempat kuliah double degree di luar negeri untuk jurusan bisnis dan IT. Namun selama ini yang sering Nara dengar bahwa anak CEO-nya ini tidak bekerja dimana pun, hanya hidup berfoya-foya dan sibuk dengan dunianya sendiri. Nara tiba-tiba menjadi khawatir apakah kerjasama dengan Indo Corp hari ini bisa berjalan lancar atau tidak.
Mobil memasuki lobby Indo Corp. Saat turun mereka disambut oleh perwakilan perusahaan tersebut. Mereka diarahkan ke ruang meeting yang berada di lantai 5.
“Gue ga hapal orang-orang ini. Back up gue.” Bisik Arvin pada Nara yang mengikutinya disamping.
“Orang yang tinggi di tengah adalah CEO Indo Corp, Pak Budiman Sanjaya. Sebelah kiri adalah CFO, Pak Agus Martono, sebelah kanannya adalah Senior Manager R&D, Pak Jaya Asrori yang paling penting untuk develop produk kerjasama perusahaan kita.” Bisik Nara ditelinga Arvin.
“Yang botak siapa?”
“Indra Sanjaya, anaknya Pak Budiman.”
“Kok anaknya bisa botak duluan dibanding bapaknya?” Komentar Arvin.
Nara ingin sekali memelototi dan memukul kepala belakang Arvin gara-gara komentar anehnya. Tapi Nara hanya memutar bola matanya kesal, dia mencoba sabar. Saat ini dia lebih khawatir tentang meeting yang ada di depan matanya. Bagaimana kalau Arvin sampai berkata kurang sopan dan merusak kerjasama perusahaan mereka.
“Saya Arvin Arshaka Aditama. Saya mewakili ayah saya yang saat ini tidak bisa hadir, karena beliau sedang sakit. Mohon doanya untuk kesembuhan beliau.” Ucap Arvin memperkenalkan dirinya di forum tersebut. Sikap cuek dan tidak sopannya menghilang seketika digantikan karisma yang kuat. Semua orang kini menatapnya.
“Saya turut sedih dengan kondisi rekan saya, Pak Candra. Semoga beliau lekas diberikan kesehatan.” Balas Budiman dengan sedih.
“Bisa kita mulai saja pertemuan hari ini?” Lanjut Arvin ramah.
Diskusi dan pemaparan mengenai program kerjasama antara perusahaan IT dan layanan berbasis cloud ini dimulai. Arvin menjelaskan goal kerjasama antara kedua perusahaan tersebut. Dia banyak sekali menjelaskan mengenai teknikal kerjasama yang bisa mereka lakukan jika proyek ini terselenggara.
Selama hampir 5 menit mulut Nara terbuka dan dibuat tidak percaya dengan penampilan Arvin dalam meeting kali ini. Nara benar-benar kagum dengan kemampuan dan kepiawaian Arvin dalam menjelaskan mengenai inti kerjasama mereka. Padahal dia hanya beberapa menit saja melihat isi dokumen kerjasama yang dibacanya dalam perjalanan menuju kesini.
Laki-laki ini jenius? Bahkan atasannya saja tidak pernah selihai ini ketika memimpin meeting kerjasama antar perusahaan. Siapa laki-laki ini? Apakah dia adalah orang yang sama yang Nara temui di panthouse tadi pagi? Si malas, si kurang aja, si sombong itu? Gosip-gosip mengenai anak laki-laki kandung Candra Askra Aditama yang bodoh, tidak kompeten, tidak tahu tentang dunia bisnis dan IT saat ini terpatahkan.
“Luar biasa. Saya sangat suka dengan pemaparan dan program kerjasama yang Pak Arvin tawarkan.” Ucap Jaya penuh kekaguman.
“Saya juga setuju. Kerjasama ini akan sangat menguntungkan kita. Bagaimana kalau setelah ini kita melakukan pertemuan lanjutan untuk membahas mengenai teknikalnya?” Sambut Budiman.
“Saya akan sangat senang menerima undangan bapak berikutnya.” Balas Arvin.
Arvin sekilas melihat wajah bengong Nara yang memperhatikan dari kursinya. Dia kemudian tersenyum kecil menandakan kemenangan. Pasti gadis itu berpikir Arvin hanya laki-laki manja, tidak berguna, dan sombong dibalik kemewahan yang diterima dari ayahnya. Dia tahu sejak awal Nara meremehkannya. Sekarang dia bisa melihat Nara berubah pikiran mengenai dirinya.
“Ngapain si lo ikutin gue? Meetingnya kan udah beres?” Tanya Arvin kesal saat Nara mengikutinya kembali ke penthouse.
“Tapi Pak Canda meminta Anda untuk menggantikannya sementara di perusahaan sebagai CEO. Bukan cuma meeting tadi saja.”
“F*ck! Si kumis banyak maunya banget sih!” Ucap Arvin, dia mulai membuka blazernya. Melemparkan ke sembarang tempat kemudian menjatuhkan diri berbaring diatas sofa.
“Masih ada beberapa meeting kerjasama dengan perusahaan lain minggu ini, ada banyak dokumen yang harus Anda periksa, beberapa dokumen untuk di tan—“
“Ambilin gue air minum dingin.” Potong Arvin saat Nara menjelaskan. Meskipun enggan, Nara terpaksa berjalan menuju pantry dan mengambil air dingin di dalam lemari es. Kemudian menyerahkannya pada Arvin yang berbaring malas-malasan.
“Anda hari ini harus ke kantor, banyak sekali pekerjaan yang Pak Candra tinggalkan untuk Anda kerjakan.”
“Males. Gue udah bilang kan suruh aja si Angga. Dia pasti seneng banget menjilat sama si kumis.”
“Tapi ini semua pekerjaan yang Pak Candra serahkan langsung untuk Anda. Saat beliau sempat siuman, saya disuruh untuk mengalihkan semua ini pada Anda.” Nara tetap berkeras membujuk Arvin.
“Bawel banget sih lo?! Capek gue dengerinnya!”
“Ini adalah pekerjaan saya. Saya akan mengulang ribuan kalipun agar Anda bersedia menggantikan Pak Candra memenuhi semua pekerjaannya.” Jawab Nara tegas dan tidak mau kalah.
“Aaaaaarghh ya udah oke. Besok gue ke kantor gantiin kerjaan si kumis.” Teriak Arvin benar-benar frustrasi mendengar ocehan Nara yang terus memaksanya. “Biarin hari ini gue istirahat dulu. Pergi dari apartemen gue sekarang!!!” Lanjut Arvin mengusir.
“Oke. Saya pegang janji Anda. Besok Anda harus sudah hadir di kantor pukul 9 pagi. Kalau tidak, saya benar-benar akan membawa bodyguard untuk menyeret Anda agar berangkat ke kantor.” Ucap Nara serius.
“Lo ngancem atasan lo sendiri? Berani bener lo?!”
“Saat ini Anda bukan atasan resmi saya. Atasan saya tetap Pak Candra.” Kata Nara menantang.
“Waaah.. asli lo ga ada takut-takutnnya.” Balas Arvin tidak percaya dengan perkataan Nara.
“Saya permisi pulang kalau begitu.” Nara segera berdiri dari sofa. Berjalan pergi meninggalkan Arvin yang masih kesal dengannya.
“Heh tunggu lo!” Kata Arvin memanggil, namun Nara tetap berjalan menjauh “NARA!!” Teriak Arvin tegas.
Nara memutar tubuhnya. Menghembuskan napas kesal. Kemudian menatap Arvin.
“Bikinin gue makanan dulu sebelum pergi. Gue laper.”
WHAAAT??!!
Sungguh hari ini paling berat selama karir Nara. Baru kali ini dia bertemu dengan atasan yang benar-benar menyebalkan. Tingkahnya yang sombong, kata-katanya yang tajam, perilakunya yang tidak waras. Hari ini dia sudah dimaki, dituduh selingkuhan, dan sekarang harus memasakan makanan untuknya. Dia sekretaris bukan pembantu!!!
Nara tidak bisa menolak permintaan Arvin, secara tidak langsung dia adalah atasannya. Saat ini Nara juga tidak ingin kalau mood laki-laki itu memburuk hanya karena Nara tidak menuruti permintaannya. Bisa-bisa dia besok tidak jadi datang ke kantor dan Nara harus mengulangi hal melelahkan untuk membujuknya.
Tak ada bahan yang bisa dimasak di lemari es Arvin, hanya telur, susu, sosis. Beberapa bungkus mie instan ada di lemari kitchen set-nya. Nara juga menemukan roti yang hampir dekat masa kadaluarsanya. Kenapa dia hidup seperti anak kosan yang susah seperti ini? Bukankah gosipnya dia menghamburkan uang ayahnya untuk berfoya-foya?
Akhirnya Nara hanya memasak scrambled egg, roti panggang, dan sosis. Sementara Nara sibuk memasak, Arvin mandi. Dia bisa mencium wangi masakan Nara, kemudian menghampirinya. Dengan sabar dia duduk di bar pantry. Memperhatikan gadis asing itu memasak.
Setelah memperhatikan sejenak Arvin mendekati Nara. Menyudutkannya ke arah lemari-lemari pada kitchen set. Dengan panik Nara berbalik, melihat laki-laki itu menatap dekat dengan wajahnya. Dia bisa mencium harum shampoo yang dipakai Arvin pada rambutnya yang panjang sebahu. Rambut tersebut masih basah, butiran air jatuh ke punggungnya yang tak mengenakan kaos. Kenapa laki-laki ini sangat senang bertelanjang dada?
“Kalau lo lebih montok dikit aja pasti cakep. Sayangnya lo rata. Bukan tipe gue.” Bisik Arvin.
Mata cokelat Nara membulat kaget. Dia bisa merasakan embusan napas dibibirnya saat Arvin berbicara. Mereka terlalu dekat. Laki-laki ini sangat kurang ajar!
“Pak Arvin juga bukan tipe saya. Saya lebih suka laki-laki pekerja keras, sopan, sederhana dan bersahaja.” Ucap Nara begitu tenang. Semua yang dia sebutkan sangat jauh dari sifat Arvin.
Senyuman melengkung dibibir Arvin kemudian menjauhkan diri dari Nara, tapi tetap menatap lekat ke matanya.
“Lo udah punya pacar?”
“Saya sudah tunangan.” Kata Nara mengangkat jemarinya yang berhiaskan cincin emas.
“Bagus. Gue jadi gak usah godain lo.” Arvin berjalan dan duduk kembali ke bar pantry.
“Saya juga ga mau digoda oleh Pak Arvin.”
“Masa sih?” Tanya Arvin terkekeh.
Sungguh yang ingin Nara lakukan adalah menghajar muka Arvin. Mematahkan hidung mancungnya itu dalam sekali pukulan. Mana mungkin dia mau digoda oleh laki-laki paling menyebalkan yang pernah dia temui. Tidak akan. Dia tidak akan pernah mau digoda oleh orang sejenis Arvin!
***
Nara sudah panik sendiri ketika jam 9 lewat Arvin belum masuk ke kantor. Harusnya dia langsung pergi ke penthouse nya, menyeret laki-laki itu agar datang tanpa beralasan. Sudah puluhan telepon Arvin tolak. Dia lekas mengambil tasnya, turun lewat lift dan bergegas pergi menjemput Arvin. Nara masih mencoba menghubungi Arvin, menekan tombol telepon berulang-ulang.
Saat tiba di lobby, orang-orang berkerumun dan ribut. Mereka seperti sedang melihat sesuatu yang menakjubkan. Nara sampai tidak bisa lewat saat keluar dari lift.
“Ada apa sih?” Tanya Nara pada segerombolan orang di dekatnya.
“Buset ganteng bangeeeet. Asli dia anaknya Pak Candra?” Ujar seorang perempuan.
“Ini si Arvin itu? Yang katanya si anak durhaka itu?”
“Sumpah. Gue betah kalau CEO-nya ganti jadi cowok cakep kaya dia.”
“Gue baru tahu anak Pak Candra seganteng ini.”
Pandangan Nara mulai fokus melihat ke arah orang yang menjadi pusat perhatian.
ARVIN?!!! DIA BENAR-BENAR DATANG KE KANTOR?!
Gayanya sangat berbeda dengan kemarin. Dia terlihat sangat segar dan lebih tampan. Rambut panjang sebahunya yang klimis dan acak-acakan kini sudah dipangkas. Rambutnya ditata dengan gaya half coma, membuatnya terlihat lebih muda dan berkarisma. Tak lupa blazer berwarna abu dengan aksen strips dikenakan dengan pas pada tubuhnya yang jangkung dan proporsional. Dia terlihat seperti seorang aktor terkenal.
Selama beberapa saat Nara terpaku ditempatnya berdiri di dekat lift. Dia tidak bisa berbohong bahwa penampilan atasannya itu sangat tampan dan mempesona. Terlepas dari sikapnya yang sangat menyebalkan. Semua tampilan fisiknya sangat sempurna.
“Bisa gak lo berhenti teleponin gue? Kan gue udah bilang bakalan dateng ke kantor.” Ucap Arvin berdiri dihadapan Nara yang masih terpesona melihat Arvin. Dia juga masih memegang handphone-nya yang menyala menelepon orang dihadapannya.
“I-Iya Pak.” Jawab Nara kaku.
Sesaat terpikir dibenaknya. Kalau laki-laki sesempurna ini menggodanya, Nara tidak akan menolaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!