NovelToon NovelToon

The (Un) Lukcy Mr. Winter

Bab 1

Juli, 2017

"Lexa, Lexa !! Jangan pergi Lexa ! Aku mohon !!" ratap seorang pria di suatu malam, mengiba seraya mencengkram kuat lengan seorang wanita yang tak lain adalah tunangannya itu agar tak pergi meninggalkan malam itu.

"Apa katamu?!! Jangan pergi?! Lalu aku harus di sini selamanya bersama dirimu dengan keadaan yang seperti ini, Ze??"sahut wanita itu sinis berusaha melepaskan cengkraman tangan Zehan dilengannya.

"Aku sangat mencintaimu Lexa, aku sangat membutuhkanmu dan apa kamu lupa sebentar lagi kita juga akan menikah Xa" ucap Zehan masih berusaha menahan Alexa.

"Lepaskan aku Ze! Kamu menyakitiku Zen !! "ringis Alexa berusaha melepaskan genggaman Zehan yang mencengkram kuat di lenganya.

"Tidak sebelum kamu berjanji tidak akan pergi meninggalku, bukankah kita saling mencintai Xa? "Alexa menatap tajam pada Zehan yang terlihat begitu menyedihkn dalam pandangannya.

Kemana Zehan yang arogan, dingin, angkuh, seolah tak tersentuh, lihat kini dia layaknya pengemis yang mengharap belas kasih wanita yang ia cintai, sungguh menyedihkan! Begitu cara Alexa melihat keadaan Zehan saat ini. Rongga da** Alexa terlihat naik turun menahan emosi yang meledak-ledak dalam dirinya.

"Heh lumpuh ! Dengarkann aku ! Aku memang mencintaimu, tapi itu dulu ! Sebelum kamu kecelakaan lihat keadaanmu? Kamu itu tidak pantas menjadi suami ku !!" bentak Alexa yang kemudian berhasil melepaskan cengkraman tangan Zehan dari lengannya, namun saat Zehan berusaha meraih kembali lengan wanita yang sangat dicintainya itu, "BRUUKK !!" terdengar suara benda keras menghantam langsung ke lantai. Zehan jatuh terjerembanb dalam posisi tertelungkup dengan posisi kursi roda yang diduduki menimpa ke tubuhnya. Zehan histeris frustasi seraya memukuli lantai dingin yang terbuat dari marmer itu. Alih-alih menolong lalu membantu Zehan untuk kembali ke posisi semula Alexa hanya berjongkok dengan bertumpu dengan satu tangan bertumpu diatas lututnya, sudut bibirnya bekernyut menatap Zehan oleh pria itu adalah sesuatu yang menjijikan. Alexa membuang muka seraya membuang nafasnya.

"Hah,, kamu lihat?! Bahkan untuk menahanku saja kamu sekarang tidak mampu, dan kamu berharap agar aku mau menghabiskan masa mudaku dengan merawat orang ca**t seperti mu, ckckck.. Aku belum segila itu mengorbankan masa depanku Zehan!!" cibir Alexa. Rahang Zehan terlihat mengeras, matanya terlihat sembab dan makin memerah saat menatap Alexa dengan tatapan kekecewaan pada perempuan yang sangat ia cintai itu. Pria itu sama sekali tidak menyangka jika Alexa akan mencampakan dirinya seperti seonggok sampah buangan. Dirinya begitu terluka hingga hatinya terasa sangat sakit dan perih, tatapannya yang beberapa saat lalu masih menatap Alexa dengan teduh kini hanya terlihat kilatan kemarahan membuncah disana, dalam benaknya hanya sorot matanya hanya ada kebencian untuk Alexa.

"Pergii !! Pergi sekarang juga perempuan tidak tahu diri !!" bentak Zehan mengusir Alexa. Tapi perempuan itu sama sekali tak bergeming malah dengan sengaja menatap Zehan seraya menyeringai di sudut bibirnya mengejek ketidakberdayaan pria yang pernah menjadi kekasihnya selama 3tahun ini.

Alexa perlahan berdiri lantas melipat tanganya dengan lagak merendahkan Zehan yang masih tertelungkup di lantai.

"Tidak perlu kamu usirpun aku memang ingin pergi, Pck dasar menyedihkan !" olok Alexa.

Tap tap tap.. terdengar suara langkah kaki dari arah pintu yang terbuka lebar, Alexa memutar kepalanya ke arah asal suara itu lantas menghempas nafas lega. Zehan pun sedikit memiringkan kepala serta menyipitkan matanya menilik siapa orang yang baru saja masuk tanpa permisi ke dalam mantionnya, dari derap langkahnya jelas itu adalah langkah seorang pria dewasa. Bola matanya terbelalak membulat sempurna begitpu netranya memastikan jika seseorang yang datang Deren, teman yang ia kenal sejak zaman kuliah.

Pria itu terlihat begitu puas saat melihat keadaan Zehan yang terlihat tak berdaya, tergeletak di lantai dalam posisi tertelungkup dengan kursi roda menindih tubuhnya. Zehan menyorot pria itu dengan tatapan tajam saat pria itu nendekati dirinya lantas berjongkok dengan satu kaki menumpu lengannya sedang tangan satunya lagi ia gunakan untuk menepuk-nepuk pipi Zehan yang mendongak ke arahnya. Meski pria itu tidak berbicara sama sekali namun dari raut muka yang mengejek, Zehanpun bisa mengartikan dengan jelas makna dari ekspresi Deren.

"Ciih !! Kalian berdua memang pantas untuk hidup bersama," cibir Zehan.

"Aku anggap itu adalah sebuah pujian," sahut Deren yang kini sudah berdiri dengan angkuh seraya masukan satu tangannya ke saku celananya, dan satu lagi melingkar di pinggang Alexa.

"Ayo sayang, aku sudah mulai muak lama-lama tinggal lebih lama di tempat ini" sembari mencebik saat melirik ke arah Zehan.

Mendengar hal itu Zehan makin murka, rahangnya makin mengeras, serta kepalan tangannya makin kuat mengepal hingga buku-buku jari tangannya memutih. Dari kilat matanya jelas terbaca seberapa besar kemarahan dan kebencian Zehan saat ini. Dia menyesal tidak mendengarkan apa yang dikatakan Zia dan Bibi Evelin tentang Alexa selama ini. Padahal iapun sangat menyadari jika perangai gadis itu memang angkuh, manja apapun yang ia ingin harus terwujud, ditambah lagi kehidupan pergaulan Alexa memang tidak jauh-jauh dari kehidupan para "jet set" yang bebas berburu kesenangan dan status borjouiss yang hoby pamer barang-barang brandid bermerk yang memiliki harga selangit.

Nama dan sosoknya makin melambung saat ia berhasil meluluh seorang Zehan terkenal sebagai sosok yang dingin juga pemilih. Meski pernah dalam satu kesempatan pada satu pesta, Zehan mengatakan pada Alexa, jika dirinya adalah wanita yang benar-benar memiliki perangai sangat buruk, alih-alih tersinggung gadis itu malah makin menggoda Zehan dengan ******* bibir Zehan di depan semua orang yang hadir dalam pesta tersebut dan tentu saja Zehanpun menikmati setiap pagut*n menggair*hkan dari bibir gadis itu.

Kehidupan sosialitanya dengan para istri para pejabat dan para pengusaha sukses nyatanya mampu membuat Alexa menempatkan dirinya dalam situasi apapun. Mungkin dari sekian banyak sisi negatif Alexa inilah salah satu hal yang membuat seorang Zehan benar-benar dibuat buta, bertekuk lutut oleh wanita ular seperti dirinya selain kecantikan dan kemahirannya di atas ranj*ng.

Dan hari ini, Zehan dibuat amat terpukul, di saat ia membutuhkan dukungan dari Alexa, gadis itu malah menoreh luka baru di batin Zehan dan parahnya membuat mental Zehan makin berkeping-keping, setelah ia merasa hancur saat mendapat vonis kelumpuhan setengah badan akibat kecelakaan tunggal yang dialaminya beberapa waktu lalu. Deren tersenyum pada Alexa dan mengecup bibir gadis itu lantas menggiringnya keluar meninggalkan Zehan yang masih tetap dalam posisinya semula saat ia jatuh.

Beberapa saat berlalu bayangan Alexa dan Deren makin menjauh kemudian menghilang setelah melewati pintu mantion milik Zehan bersamaan dengan itu kelopak mata Zehan terasa makin berat ia berkedip, air matanya masih tak berhenti merembes membasahi pipinya.

Hati pria itu benar-benar telah patah namun di satu sisi iapun tak sanggup mengelak, jika rasa cintanya pada Alexa masih tetap utuh, tertanam dalam hatinya betapapun gadis itu sudah menoreh luka dan menghancurkan harga diri juga egonya sebagai seorang laki-laki hingga luluh lantak.

"Suatu saat kalian akan ku buat lebih hancur dari kehancuranku saat ini.." sumpah Zehan dengan suara lirih menyiratkan kegetiran hatinya. Zehan berusaha menahan diri agar tetap tersadar meski ia menyadari tubuhnya makin lelah, dunia di sekelilingnya makin sunyi makin melambat hingga akhirnya menjadi gelap gulita.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

*******

yuk.. bisa yukkk🥰

Bab 2

Samar-samar aku mendengar keributan kecil disekitarku, mungkin itu suara Zia dan bibi Lynn entah apa yang sedang mereka perdebatkan hingga menyebut namaku berkali-kali. Aku masih berusaha untuk membuka mataku, beberapa kali ku kerjapkan kelopak mataku untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke netraku. Aku mengedarkan penglihatanku, ahh ternyata aku sudah berada di dalam kamarku. Mungkin Gibran dan paman Yohan yang membantuku kembalinke kamar ini. Perlahan aku melenguh sembari memijat kepalaku yang terasa berat,

"Kakak,.." Zia berhambur menghampiriku, jelas dari raut wajahnya aku bisa melihat kekhawatirannya terhadapku, juga bibi Lynn terlihat menyeka air matanya. Aku menghela nafasku seraya mengangguk kecil.

"Tenanglah Zia, kakak mu ini belum mati" ucapku ketus.

"Kakak !!" pekik adik ku cemberut.

"Jangan bicara sembarangan Zehan!" hardik pamanku Yohan memyambungbung ucapan Zia yang terpotong karena hardikannya. Suaranya terdengar kasar dari ambang pintu, aku tahu semua orang begitu mengkhatirkan keadaanku yang sekarang. Sejak kecelakaan itu aku resmi menjadi penyandang disabilitas, aku mengalami kondisi paraplegia mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuan fungsi motorik bagian bawah tubuhku, inilah aku si cac*t.

Aku terdiam mendengar hardikan pamanku sembari berusaha memirigkan tubuhku meski sulit karena tubuh bagian bawahku memang tidak bisa ku gerakan sama sekali. Sejujurnya aku memang tengah mengalami depresi karena kondisiku, ditambah lagi Lexa, perempuan yang aku cintai pun meninggalkanku bahkan mengkhianatiku dengan seseorang yang selama ini menjadi temanku selama 10tahun. Aku tersenyum getir mengingat sehari sebelum kecelakaan itu kami adalah pasangan yang paling berbahagia dan serari "katanya" dalam sebuah pesta pertunangan yang ku buat sedemikian rupa sesuai dengan Alexa yang seorang model papan atas, yang tentunya memeliki kehidupan yang serba wah dan glamor, berapapun kocek yang harus ku rogoh aku tak peduli meski keluarga ku tak sepenuhnya menyetujui hubunganku dengan Alexa. Mereka selalu beranggapan jika Alexa tidak benar-benar tulus mencintaiku. Dan harusnya aku mendengarkan mereka daripada hasratku terhadap Alexa. Kemarin ia mencampakanku begitu saja seolah kami bukanlah pasangan yang saling mencintai. Ia mengolok-olok bahkan menghina kondisiku yang sekarang.

Haruskah aku mengartikannya "Sudah jatuh tertimpa tangga"? ahh rasanya itu terlalu berlebih sepertinya, karena semua masih sama saja, yang berbeda hanya kondisi fisik yang tengah sakit, dan psykisku yang sedikit mengalami depresi karena bebepa peristiwa yang aku alami belakangan ini. Sedang untuk urusan yang lainnya masih terbilang masih normal terkendali, meskipun memang aku sempat mendengar ada beberapa klient yang membatalkan kontrkak, ya sudahlah mungkin memang belum rezeki. Untuk sementara perusahaan aku bisa percayakan pada paman dan Gibran suami Zia yang juga merangkap sebagai sekertaris pribadi ku.

Dulu aku sempat tercengang saat Gibran terang-terangan menyatakan perasaannya pada Zia, yang ku kira hanya candaan belaka. Jelas aku terkejut, kepribadian mereka berdua sangat bertolak belakang, Zia selalu terlihat ceria, meloncat ke sana kemari seperti kelinci, orang-orang di sekitarnya pasti akan bisa merasakan vibes positive darinya. Sedang Gibran sifat dan karakternya tidak jauh berbeda dengan ku, dia sosok yang pemikir serius, ulet, Fokus, tepat waktu, cuek, tidak suka basa basi, namun ya harus aku akui dia sosok yang sangat dewasa ketika berhadapan dengan adik ku yang pecicilan.

Hmmm mari kita lupakan sejenak soal dua orang itu, kembali pada keadaanku, ini kan ceritaku bukan story telling tentang percintaan mereka berdua. Author ini masih bab dua lho -_-

"Ze,," seru pamanku, perlahan aku pun merubah kembali posisiku terlentang dibantu pamanku memposisikan bantalku agar aku bisa merasa lebih nyaman, aku menoleh sekilas ke arah paman, lantas kembali netraku mengawang menatap kosong ke bagian lain kamarku.

"Ze, papa tau semua inu berat untukmu, tapi bagaimanapun kamu harus bisa bangkit dari keterpurukan ini Ze," ucap bibi ku lembut, suaranya terdengar serak sesekali ia mengisak sembari membelai lembut rambutku.

"Nak, kami ingin kamu sembuh, tapi dengan kejadian Alexa kemarin malam rasanya akan lebih sulit jika kamu masih tinggal disini dengan segala kenangan bersama perempuan tidak tahu diri itu" timpal pamanku terlihat dari raut wajahnya kebencian mendalam saat ia menyebut nama Alexa. Aku menatap nanar pada ke dua orang tua itu, usia mereka sudah lebih dari setengah abad, namun sisa-sisa ketampanan dan kecantikan mereka di masa lalu masih terlihat meski di beberapa bagian terdapat kerutan rentang usia mereka. Mereka adalah orang yang aku hormati selain mendiang kedua orang tuaku.

Ya kami berdua adalah yatim piatu, kedua orang kami meninggal dalam suatu kecelakaan pesawat sewaktu aku baru berusia 9 tahun dan Zia baru berusia 4tahun. Kami cukup beruntung Paman Yohan dan Bibi Lynn mau merawat kami, mereka memperlakukan kami sama seperti kepada anak-anaknya. Sebelum ada kami mereka sudah memiliki Nathan dan Nathalie sepesang anak kembar yang usianya hanya berbeda 2 tahun di bawahku, meski mereka sudah kerepotan dengan anak-anak mereka namun mereaka berhasil mendidik kami, semua anak-anak paman dan bibi termasuk aku dan Zia mendapatkan prioritas dan kasih sayang yang sama. Tidak ada pilih kasih.

Setelah dewasa kami memilih jalan masing-masing, Nathan sukses menjadi komposer musik, Nathalie menjadi seorang penari balet internasional, Zia baru saja lulus S2 sejarah seni di University of Cambridge. Sedang aku karena masih belum ingin bekerja di perusahaan mendiang ayah, setelah lulus dari UI aku memutuskan untuk melanjutkan program S2 dan S3, di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Cambridge, USA.

Sebagai lulusan Cumlaude dari MIT paman terus membujuku agar segera masuk ke perusahaan namun karena aku masih merasa minim pengalaman aku masuk ke perusahaan jalur mandiri, dengan kata lain aku memulainya dari bawah, karyawan biasa, dan selama itu aku merahasiakan identitas asliku. Baru tiga tahun setelahnya terpaksa aku harus segera menggantikan posisi paman sebagai pemimpin perusahaan karena paman sempat mengalami serangan jantung. Pengangkatan tersebut tentu membuat beberapa orang yang menganggapku kacung ketar ketir, namun karena melihat dedikasi mereka pada perusahaan serta tidak adanya bukti KKN dalam bentuk apapun pada mereka mereka tetap bekerja di posisi mereka masing-masing, meski aku sempat melayang "surat cinta" pada mereka sebagai peringat untuk tidak semena-mena terhadap bawahan mereka.

Aku dikenal sebagai seseorang yang lumayan gila kerja, meski terkadang bingung juga heran pada orang-orang yang menganggap dan mengatakan bahwa aku adalah jenis manusia yang sulit didekati, terlalu kaku, selektif,teliti, tegas, dingin, acuh, tapu menurutku itu sikap yang normal seperti orang kebanyakan, tapi entahlah.

Aku menatap wajah bibi yang terlihat sembab dan lelah, kecemasan pada adikku, dan keraguan pada pamanku.

"Kak, kakak mau ya ikut aku dan Kak Gibran ke Hongkong untuk sementara waktu," ucap Zia sembari menarik tanganku dengan wajah penuh mengharapan.

"Iya Ze, kita tinggal di sana sementara waktu sampai kondisimu pulih lagi" bibi Lynn ikut menyahuti. Aku tersenyum getir pada 2 wanita berbeda genre ini, lantas menyentuh punggung tangan mereka secara bergantian.

"Aku baik-baik saja, berobat dimana pun kalo memang cac*t ya cac*t saja" jawabku sarkas tanpa penekanan.

"Ze, kamu harus ingat ada banyak orang yang bergantung pada kesembuhanmu, bukan hanya paman,bibi, adik-adikmu tapi juga ribuan karyawan perusahaan. Apa kamu sudah lupa tanggungjawabmu pada kami Nak?" ungkap paman lirih, dari matanya yang mulai berkantung mulai menggenang air mata yang mulai menganak siap merembes kapan saja. Aku kembali diam membisu. Aku hanya menghela nafas sembari memejakan mataku.

"Nak, mama tahu semua ini sulit, tapi lihatlah papa mu sudah tidak sekuat dulu, adik-adikmu juga bukan orang kompeten untuk mengurus perusahaan, Gibran juga tetap menolak jika harus menggantikanmu selamanya. Papa dan mama mohon padamu Nak, pikirkan lah kami yang sudah renta ini, pikirkan juga orang-orang yang bekerja sejak awal di perusahaan ayah mu, rasanya tidak adil jika mereka harus jadi korban kelakuan Alexa Nak,, hiks.." ucapan bibiku benar, aku memang sedang terpuruk tapi tidak seharusnya aku mengorbankan orang-orang disekitarku. Sekali lagi aku menghembuskan nafasku. Lantas aku mencoba meraih tangan paman dan bibi untuk bisa duduk di atas pembaringanku.

Aku mengenggam tangan hangat kedua orang tua itu,

"Kak, aku mohon" ratap Zia sekali lagi.

"Tuan, saya tidak tau apa tepat atau tidak saya mengatakan hal ini sekarang, tapi..." aku melirik tajam pada Gibran kemudian ia mendekatiku lantas berbisik di telingaku.

"saya mendengar selentingan bahwa kecelekaan yang tuan alami ada kaitannya dengan Deren, karena kecurigaan itulah, saya sedang menyelidikinya." mendengar penuturan Gibran darahku seketika mendidih, sekali lagi aku mendelik tajam pada Gibran yang berdiri diantara adik-adik ku.

"Tuan, jika tuan tidak berusaha bangkit dan sembuh maka sampai kapan tuan tidak akan bisa membalas semua perbuatan culas mereka pada tuan" tambahnya lagi sedikit bergeser dari tempatnya semula. Gerahamku makin mengerat, rahangku mengeras menahan agar emosiku tidak meledak. Aku menatap tajam lurus ke depan.

"Zi, kapan kita berangkat?"

...****************...

********

terima kasih untuk dukungannya kepada author 😍

Bab 3

Aku melonjak kegirangan memeluk kakak ku, Zehan. Begitu mendengar ia menanyakann kapan jadwal keberangkatan kami, aku sama sekali tidak memperdulikan motif apa yang menjadi pemicu kakak ku mau ikut bersamaku dan Gibran ke Hongkong. Bukan tanpa alasan kenapa kami bersikeras ingin membawa kakakku ke sana, salah satu alasannya karena aku mendapat tawaran bekerja di Hong Kong Museum of History yang aku dapatkan secara tidak sengaja, selain itu suamiku juga kebetulan tahun ini ada pengambangan jaringan perusahan di sana, lalu aku search dan aku mendapat banyak info rumah sakit disana juga terbilang bagus untuk terapi disabilatas seperti kondisi yang sedang Kak Zehan alami sekarang.

Awalnya paman dan bibi menolak mentah-mentah rencana ku karena mereka khawatir siapa yang akan merawat dan menjaga Zehan saat aku dan Gibran bekerja, padahal sudah aku jelaskan nanti disana aku akan segera mengambil suster dari rumah sakit di sana khusus untuk merawat dan menjaga kakak saat kami bekerja.

Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya mereka setuju setelah tadi malam aku mengabari mereka tentang kejadian soal Alexa. Aku bahkan ikut syok paman terhuyung ketika mendengarkan bagaimana kondisi kakak saat kami menemukannya tadi malam.

Meski dari ujung mataku kak Zehan terlihat masih tidak terima aku menceritakan keburukan Alexa, aku sampai merasa kesal dan heran sendiri kenapa kakak masih saja melindungi perempuan itu padahal jelas-jelas perempuan itu hampir saja mencelakainya.

Flashback POV Zia

Kamis pagi, aku melakukan kegiatan rutin yang mulai aku biasakan sejak menikah dengan Kak Gibran 3 bulan lalu, aku sendiri menyiapkan sarapan, setelan kemeja, jas, celana, dan sepatu untuk suamiku. Namun hari ini aku akan lebih disibukan lagi karena harus menyiapkan acara syukuran rumah baru kami besok malam. Rumah yang dihadiahkan oleh kak Zehan untuk pernikahanku dengan kak Gibran. Walau sebenarnya suamiku sudah memiliki hunian sendiri, sebuah apartement di kawasan Cempaka Putih. Namun ketika kak Zehan menyuruhnya pindah baginya itu sama saja dengan perintah atasan yang harus dituruinyam, akhirnya dia mengalah pindah ke rumah baru kami yang jaraknya hanya sekitar 30 menit dari mantion utama kak Zehan. Toh kami akan tetap menggunakan apartement itu jika tengah bosan dengan suasana rumah. Hemat biaya untuk berlibur ceritanya.

Aku terheran ketika semua pengurus mantion kakak datang ke rumah, kata Bu Tia kak Zehan sengaja mengirim mereka semua untuk membantu kami hingga acara selesai padahal aku sudah menolak karena tadinya akan menggunakan jasa catering saja, tapi karena bala bantuan datang ya sudah hajar saja, itung-itung temu kangen dengan mereka semua. Alasannya kakak mengirimkan mereka untuk membantuku karena aku menolah jasa EO untuk syukuran nanti. Sejak menikah dengan Ka Gibran aku menyukai segala kegiatan di rumah, apa-apa ingin aku kerjakan sendiri saja, hingga acara syukuran pun akhirnya aku putuskan aku kerjakan sendiri saja,toh aku hanya ingin mengundang anak-anak yatim dari yayasan milik keluarga kami, dan tetangga sekitar kompleks sekalian untuk berkenalan dengan warga lainnya. Intinya aku ingin merasakan hidup sebagai orang biasa, bukan sebagai nona lagi.

Malam syukuranpun tiba, semua berlangsung lancar dan hikmat, meski selama acara berlangsung sebenarnya perasaan ku terus risau merasa tidak tenang. Hatiku semakin janggal saat berkali-kali aku terus berusaha menghubungi kakak dan supir kiriman ku, namun tak satupun dari mereka yang membaca pesan ku, telpone berkali-kali juga tidak ada satupun dari mereka yang menangkatnya, padahal aku tau persis seharusnya ada penjaga kakak di sana.

Selesai acara sekitar jam 10 malam, aku dan Kak Gibran segera bergegas menuju mantion kakak. Perasaanku makin kalut ketika aku sampai di mantion kakak nampak 2 buah mobil terparkir disana. Aku menilik mobil yang terparkir di depan mobil yang aku kirimkan. Dari dalam mobil, mataku terbeliak begitu melihat Alexa keluar lalu masuk ke sebuah mobil sedan mewah diiringi seorang lelaki yang merangkul pinggangnya dengan mesra. Sempat aku tidak percaya saat suamiku mengatakan jika pria itu adalah Deren, sahabat kakakku sejak masa kuliah.

Aku segara berlari menuju teras mantion dan ku dapati pak Danang, tergeletak di teras rumah. Jantungku makin berdegup kencang tak karuan, kecemasan dan hal-hal buruk yang mungkin menimpa kakaku mulai menggelayuti pikiranku tanpa bisa aku kontrol. Aku setengah berlari kembali menuju ruangan lebih dalam ruang tamu mantion, mataku membeliak saat aku menemukan kakak sudah pingsang salam keadaan tertelungkup di atas lantai marmer yang dingin. Aku berhambur menyingkirkan kursi roda yang menindih tubuh Kakak,

"Kak Zehan !! Kak bangun kak!! Hiks! kenapa bisa begini hiks ?! bangun kak?! Kak Gibran cepat kemari kak, cepat bantu aku kak,!" teriakku histeris meratap sembari memeluk tubuh kak Zehan yang terasa dingin. Suamiku segera memamggil para penjaga dan skuriti yang berjumlah 6 orang melalui walkitalki, tak butuh lama mereka semua berkumpul, dari raut wajah mereka, mereka nampak tercengang begitu melihat kondiri pak Danang dan kak Zehan tengah sama-sama tergeletak di lantai.

"Tunggu apalagi cepat bantu angkat mereka!!" bentak kak Gibran segera menyuruh mereka untuk membantunya mengangkat Kak Zehan ke kamar dan Pak Danang ke sofa di ruang tamu.

"Tol*l kalian semua!! Dari mana kalian semua hah??! Bisa kalian bayangkan akibat keteledoran kaliaan seberapa fatalnya kejadiannya jika kami tidak segera datang hah ??!! " bentak Gibran berkacak pinggang pada para penjaga setelah meletakan selesai kak Zehan di kamar dan juga pak Danang di sofa.

"Maafkan kami Tuan Gibran, kami benar-benar tidak menyangka nyonya Alexa dan tuan Deren tega mencelakai Tuan Zehan. Kami salah kami bersedia menerima hukuman tapi kami mohon belaskasihnya Tuan dan Nona kecil untuk tidak memecat kami, kami sungguh-sungguh menyesal Nona, tuan.." ujar salah satu sekuriti yang perawakannya hampir sebaya dengan paman Yohan.

Aku menghempaskan nafasku dengan kasar. Aku menghentakan kaki ku karena kesal berlalu pergi meninggalkan mereka saat ku dengar deru sebuah mobil berhenti di teras, yang ku pikir itu pasti Dr. Tama yang tadi sempat aku hubungi begitu mendapati kakak ku pingsan di lantai.

Ingin rasanya aku marah sejadi-jadinya namun sepertinya itu akan sia-sia saja, aku tidak bisa menyalahkan mereka semua atas apa yang sudah terjadi pada Kak Zehan. Mau tidak mau harus mewajarkan jika mereka tidak menaruh curiga apa-apa pada Alexa yang memang berstatus sebagai tunangan kakakku, dan Deren yang notabennya adalah sahabat karib kak Zehan yang sudah sangat sering datang ke mantion ini. Sama halnya seperti aku, mereka juga tidak akan pernah berpikir jika Alexa dan Deren akan mengkhinati bahkan mencelakai kakak.

Aku segera mengikuti Dr. Tama, sedang suamiku masih mengurus para penjaga, tak lama kemudian dia menyusulku. Tangan hangatnya merangkul bahuku, lagi air mataku mengalir begitu saja. Kakak sudah frustasi dengan kondisinya sekarang, lalu Alexa pasti membuat hal lain yang membuatnya lebih syok.

"Hiks..Bagaimana keadaan kakak Om?" tanyaku terisak.

"Syukurlah kakak mu tidak mengalami hipotermia, tapi jika terlambat sedikit saja..." ujar Dr. Tama menggeleng tidak melanjutkan kalimatnya setelah ia memeriksa aliran cairan infus kak Zehan. Melihat reaksinya seperti itu bisa diartikan jika aku dan kak Gibran terlambat, nyawa kakak benar-benar dalam bahaya.

Aku memejamkan mataku dalam-dalam sembari ku genggam jari jemari, bersyukur pada Tuhan yang masih sangat melindungi kakakku, dan membiarkanku datang tepat pada waktunya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

**********

kasih love, koment sama share ya..

😉😉

************

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!