NovelToon NovelToon

DUA SISI : Behind You!

Prolog

Sebuah siulan terdengar dari dalam kamar mandi pada pagi yang cukup cerah ini. Dewangga, pemuda cerdas yang mencoba menjalani pekerjaan sekaligus hobi sebagai detektif swasta ini sedang kembali mencoba menata semangatnya untuk mengawali hari. Tak adanya kasus yang ia tangani dalam beberapa bulan belakangan ini membuat kantor detektif sekaligus tempat tinggal yang ia kelola bersama beberapa temannya terancam tutup karena tak ada pemasukan.

Semenjak kantor kecil-kecilan itu di buka setahun yang lalu, memang belum ada kasus yang berarti atau serius yang dewa tangani. Malah seringnya ia mendapati kasus perselingkuhan atau mencari anak yang kabur dari rumah. Tentu dengan bayaran yang tak seberapa membuat dia sedikit skeptis akan usaha yang ia rintis kali ini. Pemuda yang di kenal cukup cerdas itu menuruni tangga dan seketika kembali termenung dengan rambut yang masih basah memandangi meja kosong di tengah ruangan lantai satu yang menjadi impiannya sejak sekolah dulu.

Ting...

(Suara notifikasi pesan masuk)

Sejenak matanya memandang ponsel yang tergeletak di atas meja di hadapannya. Sebuah pesan dari Hana salah satu temannya yang sekarang bekerja di kepolisian bagian kriminal. Hana dengan teman-teman Dewa yang lain mengajaknya untuk sekedar menghabiskan waktu bersama di cafe langganan mereka.

"Benar juga.. mereka pun harus tau bagaimana kondisi perusahaan saat ini.. tak terasa perusahaan ini sudah di ambang pintu kebangkrutan." Hela nafas dewa mencoba menenangkan hatinya yang sedang kalut. Pria yang di kenal cerdas dan kritis itu kini hanya bisa memandang nanar di balik jendela besar yang menghadap langsung ke jalan raya.

Dewa sendiri tak terlahir dari keluarga kaya raya. Bahkan bisa di bilang sederhana. Bahkan Dewangga sudah menjadi yatim semenjak masuk SMP. Ibunya kala itu meninggal saat sedang membelikan perlengkapan sekolah untuknya. Meninggalkan pilu dalam hatinya. Sedangkan sang ayah, sudah pergi entah kemana semenjak Dewangga SD. Beruntung baginya dia kemudian di ajak masuk di yayasan panti asuhan milik keluarga Hana. Hingga ia bisa menyelesaikan sekolahnya hingga lulus SMA. Namun, ia yang berkepribadian pantang menyerah kemudian berjuang untuk bisa kuliah dengan uangnya sendiri. Meski harus bekerja serabutan namun semua bukan masalah baginya.

Miris memang ketika usaha yang sudah susah payah ia kembangkan kini sudah hampir tutup. Di ruko dua lantai yang ia sewa dari ayah Hana inilah impian dan harapannya ia pupuk tinggi-tinggi. Dengan perlahan ia membolak-balik kertas dokumen kasus yang pernah ia tangani dulu. Sebuah senyum simpul tergores indah sedikit menghibur hatinya yang sedang nestapa.

Brukk

Dengan senyum lebar Dewa menggebrak meja di depannya. Nampaknya ia sudah menemukan kembali semangatnya.

"Sepertinya aku harus mencoba mencari pekerjaan yang lain lagi. Aku tak bisa terus mengandalkan kebaikan orang lain terus. Mulai besok aku akan mencari kontrakan saja. Pak Ferdi dan Hana sudah sangat baik sekali aku sudah sangat merepotkan mereka." Ucap Dewa berbicara sendiri. Seakan menyemangati dirinya sendiri.

Ting...

Hana : Dewaaa!!! Kebiasaan datengnya pasti telat! Cepetan udah di tungguin yang lain. Dasar keong!!

Sebuah pesan yang baru saja masuk membuatnya sumringah. Dengan langkah tegas ia kemudian mengunci pintu dan bergegas menuju ke garasi di samping ruko itu dua lantai itu. bergegas menata hati dan semangatnya kembali.

Bersambung...

Chapter 1. Gadis Baik : Potongan Siapa?

Setelah bersiap-siap, Dewangga pun pergi dengan motor vespa kesayangannya. Dengan setelan baju biru navy dan celana jeans yang pas si badannya yang atletis, di berangkat menuju cafe langganan mereka. Sepanjang jalan ia terus membayangkan bagaimana merangkai kata-kata untuk mengatakan kalau perusahaan jasa yang mereka kembangkan bersama sudah di ambang kata bangkrut.

Tak terasa dua puluh menit sudah berlalu, akhirnya dia sampai juga di cafe 'Kangen Kopi'. Cafe sederhana bertema outdor dengan balai gasebo yang berjejer rapi. Matanya terus mencari keberadaan keempat sahabatnya. Dan sesaat setelah mengedarkan pandangannya, ia menemukan mereka sedang saling berpandangan serius. Dengan langkah mantap ia menuju salah satu gasebo yang berisi keempat sahabatnya tersebut.

"Woy!! Pada ngapain sih keliatannya serius banget. Hehehe". Ketus Dewa menepuk salah satu temannya, Hanif.

"Eh, lu darimana aja sih. Ngaret banget datengnya." Ketus fita salah satu teman wanitanya yang terkenal memang agak tomboy.

Selain mereka berdua, berhadapan dengan Dewa di sisi jauhnya ada Hana dan Budi. Kedua sahabatnya yang bekerja di kepolisian. Budi di bagian kriminal dan Hana di bagian forensik atau bagian otopsi jenazah yang di kirimkan ke rumah sakit Bhayangkara tempatnya bekerja sekarang. Sedangkan Budi temannya yang satu ini lah yang sering memberikan job dari kepolisian untuk Dewa dan teman-temannya demi membantu polisi dalam kasus-kasus yang cukup rumit untuk di tangani.

"Wa, sini! Wa, Kamu masih ingat nggak kasus remaja yang hilang seminggu yang lalu?". Tanya Budi yang sudah terlihat serius membuka obrolan setelah Dewa mengambil duduk. Temannya yang satu ini memang terkenal tegas dan tak suka berbasa-basi.

"Iya ingat, kenapa sih bud? Kasus anjani itu kan? Yang anaknya salah satu pejabat kota? Emang belum ketemu?" Tanya Dewa santai.

"Nah itu dia wa, kemarin malem pak Zulfi sama bu Retno, orangtuanya si Anjani dapet paket." Terang Budi sembari menyeruput tipis capuccino nya.

"Paket apa bud?" Tanya Hanif yang sudah mulai penasaran.

"Hhffffttt, dengerin baik-baik." Budi mulai membuka berkas dokumen yang ia bawa.

"Tanggal 21 September tahun 2019, Hari Sabtu pukul 22:45. Telah di temukan sebuah paket yang tidak di ketahui siapa pengirimnya. Di letakkan tepat di depan pagar rumah begitu saja. Dengan bungkus kardus yang begitu rapi dan bersih. Karena saat itu pegawai rumah mendapati alamat dan atas nama dari pak zulfi, dia berinisiatif untuk membawanya masuk. Setelah melalui metal detektor kemudian pegawai itu memanggil pak zulfi yang saat itu sedang duduk di ruang tengah bersama keluarga istrinya. Merasa tidak pernah memesan barang online dari ritel apapun, pak Zulfi kemudian menyuruh sang pegawai untuk membuka apa isi dari kardus yang di bungkus begitu rapi itu. Setelah membuka kardus itu pegawai itu langsung meloncat ketika mengetahui ada sebuah tangan kiri yang sudah di bungkus dalam plastik vakum dan sudah di bekukan sebelumnya. Beserta itu juga yang membuat pak zulfi begitu shock ialah terdapat baju kaos merah marun milik anaknya Anjani sesaat sebelum dia hilang. Dan di potongan tangan tersebut tersemat cincin yang pak zulfi hafal betul kalau itu cincin anaknya." Jelas Budi membacakan isi berkas.

"Hanya tangan kiri saja? Ada yang lain lagi?" Tanya Dewa kali ini sudah terlihat antusias. Ia seakan melupakan kesedihannya tadi.

"Ya, dan setelah si periksa petugas, semuanya sangat bersih. Hampir tak ada petunjuk sama sekali wa, itu kenapa kepolisian meminta kita membantu mereka dengan aku sebagai penanggung jawabnya." Terang Budi lagi.

"Menurutmu gimana wa?" Tanya Hanif menyenggol pundak Dewa.

"Untuk sementara, mungkin ada kasus dendam dengan keluarga pak zulfi hingga seseorang tega melakukan hal seperti itu." Ucap Dewa mencoba mengawang segala kemungkinan.

"Tapi kita belum tau semuanya hingga besok kita dapet laporan dari hasil forensik dokter Hana, hehehe" lanjut Dewa melirik Hana yang duduk berseberangan dengannya.

"Huffftttt, besok akan aku usahain ya guys" balas Hana.

"Potongan tangan kiri, kardus yang di bungkus rapi, penculikan, kira-kira apa yang sebenarnya terjadi?" Batin Dewa berkecamuk dalam pikirannya sendiri.

"Besok aku akan le rumah pak zulfi untuk pemeriksaan lanjutan, kamu mau ikut wa?" Tanya Budi seketika memecah lamunan Dewa.

"Oke! Aku ikut.." jawab Dewa spontan.

"Aku juga ikut!" Hana ikut-ikutan mengacungkan jarinya.

"Baiklah buat Hanif dan fita kalian besok cari informasi dari warga sekitar ya. Siapa tau kita dapet petunjuk. Besok malem kita kumpul lagi di kantor detektif. Oke?" Terang Budi.

"Oke!!" Jawab mereka berempat kompak.

Siang itupun di lanjutkan dengan canda tawa antara kelima sahabat itu. Hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan sudah beranjak sore. Meninggalkan sinar senja di ufuk barat. Mereka berlima pun berpamitan untuk kembali ke kehidupan masing-masing lagi. Dewa segera berjalan menuju parkiran tempatnya menaruh vespa kesayangannya. Saat sudah tinggal beberapa langkah lagi dari motor antik itu, tiba-tiba..

Srrratttttt...

Sebuah goresan dari senjata seperti badik mengoyak lengan kemeja yang ia kenakan. Luka yang tak terlalu dalam namun cukup panjang. Dan belum sempat ia menoleh ke wajah penyerangnya..

Duaakkkk..bruukkkk

Sebuah tendangan keras menghantam ulu hatinya. Darah mengucur dari dahi yang sepertinya sobek menghantam lantai cor. Pandangannya kabur akibat hantaman itu membuatnya tak bisa fokus melihat siapa gerangan yang menyerangnya. Ia sedikit bersyukur karena seseorang dengan jaket coklat dan masker itu kemudian lari setelah menendangnya tadi karena beberapa orang dari jauh melihat serangan mendadak itu. Namun, hantaman tadi membuat kesadaran Dewa perlahan memudar dan entah mengapa seketika semua menjadi gelap.

Bersambung...

Gadis Baik : Keluarga Aneh & Wanita Misterius

Sinar matahari perlahan hangat mulai memasuki ruangan dengan beberapa ranjang berjejer dan hanya berpembatas tirai hijau tinggi. Di sebuah ranjang puskesmas, dekat dengan jendela yang sedikit terbuka, terbaring seorang pria dengan perban di sepanjang lengan dan juga melilit kepalanya. Terlihat darah segar masih sedikit merembes menembus perban dan kapas putih itu.

Dewa mulai mengerjapkan matanya, tangan sedikit menghalangi sinar matahari yang membuat matanya silau. Otaknya berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi padanya. Terakhir yang dia ingat ialah dia jatuh dan sesaat semuanya menjadi gelap gulita.

Cklekkkk..

"Bagaimana wa? Udah ngrasa mendingan?". Ucap Hana yang masuk dengan pakaian santai membuatnya nampak lebih cantik dan anggun.

"I-iya Han, masih agak pusing sih sama badan agak nyeri dikit". jawab Dewa yang tak berhenti memandangi polwan muda di depannya itu.

"Emm, Kamu sendiri mau kemana Han?,". Tanya Dewa mencoba mencairkan suasana. Hatinya memang selalu kikuk kala hanya berdua dengan wanita berambut pendek dengan lesung di kedua pipinya itu.

"Kamu lupa ya, aku kan mau nemenin si Budi buat ke rumah pak Zul. Inget kan?.", Jawab Hana sembari memeriksa dahi dan beberapa luka di lengan Dewa. Membuat muka Dewa semakin memerah di buatnya.

"A-aku ikut.". Potong Dewa menyela Hana.

"Kalo gitu kamu pulang dulu, terus mandi wa. Baumu udah kaya orang gila yang nggak mandi tujuh tahun. eits, tapi jangan lupa bayar dulu gih administrasi disini. hehehehe..". Ucap Hana sembari mencubit kecil bahu Dewa.

Perlakuan Hana dan situasi semacam ini lah yang sering membuat Dewa terkadang terbawa perasaannya sendiri. Walaupun demikian Dewa harus sadar siapa dirinya. Dia dan Hana bagai langit dan bumi yang hanya bisa bermimpi untuk bersatu. Tentu jika ia ingin mendapatkan Hana, ia harus bersaing dengan banyak pria dengan background yang bukan sembarangan dan pastinya kaya raya semua. Sungguh kondisi yang berbanding terbalik dengan dirinya.

Setelah menyelesaikan administrasi dan segala macamnya, Dewa pun bergegas pulang. Ia sudah di tunggu Budi di ruko kontrakan milik Dewa sedangkan Hana setelah menjenguk Dewa, ia pulang dulu karena ada yang tertinggal katanya. Setelah tiga puluh menit mengendarai ojek online, Dewa sampai juga di ruko sederhananya. Bergegas ia masuk dan segera mencari keberadaan sahabatnya tersebut.

"Kemana sebenarnya si kucrut ini sih! Sembarangan aja. Mana pintu ruko nggak di kunci juga. Hish! ,". Gerutu Dewa sembari mondar mandir tak jelas mencari keberadaan Budi yang tak terlihat sama sekali. Setelah lelah mencari, Dewa pun duduk di sofa ruang kerja di lantai bawah. Ia menyadarkan kepalanya yang masih terdapat kapas dan perban. Tak terasa, Ia pun malah terlelap sejenak.

"Woy!!!" Bentak Budi mencoba mengagetkan Dewa yang sedang terlelap. Ia datang bersama Hana.

"Hish anj*ng lu bud! Bikin orang spot jantung aja lu,". Dewa meloncat saking terkejutnya melihat kedua orang itu tiba-tiba sudah ada di depannya.

"Hehehe, Jadi ikut nggak prend? Kalo nggak jadi gua tinggal lu. Biar aku berdua saja dengan Hana. Hehehehe.", Ucap Budi masih terkekeh melihat temannya yang meloncat kaget karena ulahnya.

"Kampret lu! Aku ikut, Tapi tak mandi dulu ya guys,". Ucap Dewa segera bangkit dari duduknya.

"Kelamaan ah, gausah mandi. Ganti baju aja.". Ketus Budi mendorong Dewa agak cepat sedikit.

"Tapi kan, bau badan bud,". Tutur Dewa polos membuat Hana yang sedari tadi menyimak tertawa receh dengan kelakuan dua Sabahat sejak kecil itu.

"Biarin. Lumayan kan kalo kita butuh obat bius bisa pake bau badanmu. Jadi bisa hemat sedikit.", Ketus Budi kembali.

"Hishh iya iya. Cerewet!.", Ucap Dewa dengan terpaksa.

Setelah berganti pakaian dan memakai seliter minyak wangi, Dewa, Budi, Hana segera berangkat menuju rumah pak zulfi yang berada sekitar lima belas kilometer dari tempat mereka saat ini. Menggunakan mobil, Mereka segera bergegas karena hari juga sudah siang dan panas.

Setelah lama menempuh perjalanan akhirnya mereka pun sampai juga di tempat tujuan. Saat mereka sampai mereka terlihat terheran-heran karena di rumah itu tak ada suasana berduka yang terlihat. Semua nampak berwajah biasa saja bahkan sama sekali terlihat tak ada bendera kuning tanda berduka cita atau atribut apapun dan yang terlihat hanya rutinitas normal saja seperti tidak pernah ada kejadian apapun.

Setelah memencet tombol bel yang ada di pagar, mereka menunggu sejenak hingga sang tuan rumah membukakan pagar. Hingga semua masuk ke dalam rumah, semua hanya diam dengan raut wajah datar cenderung sinis. Hana dan Dewa saling berpandangan karena merasa ada yang tak beres disini.

Mereka di antarkan hingga ke ruang tamu. Ruang dengan furnitur antik menghiasi segala sudut. Ada vas bunga antik, guci-guci kuno dan ada beberapa keris dan tombak yang ikut menghiasi dinding ruangan ini. Ruangan ini terkesan lebih mengerikan dengan adanya lukisan wanita tua dengan jubah hitam dan ada sosok hitam besar samar-samar tergambar di belakang wanita itu. Ekor mata Budi juga menangkap sebuah wadah dari daun pisang di pojok ruangan. Nampaknya ada dupa juga yang sudah di bakar menancap disana.

"Ruangannya bikin aku nggak nyaman wa,". Ucap Hana merangkul lengan Dewa yang juga masih memperhatikan benda-benda yang menurutnya awam baginya.

"Lukisan buruk seperti ini kok di pajang ya Han.", Ujar Budi sambil mencoba melihat dari dekat bungkusan daun pisang itu.

"Mm-mungkin tradisi mereka Han. Kita hargai saja, dan jangan aneh-aneh bud!". Dewa mencoba meredam ketakutan Hana di sampingnya dan mencegah Budi yang mencoba menghampiri benda yang ia duga sebagai sesajen itu.

"Sudah lama?!,". Suara berat seorang pria mengejutkan mereka. Pria dengan rambut cepak dan senyum mengintimidasi. Perawakanya tinggi dengan tubuh gagah nampak sangat berwibawa dengan jas dan dasi yang menempel di tubuhnya.

"Eh, enggak bapak zulfi. Kami baru aja sampai," Jawab Budi kemudian diikuti Dewa dan Hana kompak memberikan senyum.

"Silahkan duduk silahkan duduk. kalo boleh tau, Ada keperluan apa nak kemari?.", tanya pak zulfi seraya duduk di sofa seberang mereka dengan cukup kurang ramah dari raut wajahnya.

"Kami ingin mencari keterangan lagi soal potongan tangan yang di duga milik putri bapak atas nama Anjani..." Terang Budi.

"Sudah!!! Cukup nak. Saya sudah mencabut laporan itu dari kepolisian. Saya anggap putri saya sudah mati karena di culik dan di mutil*si. Dan saya sudah meminta polisi menutup kasusnya.", Ucap pak zulfi dengan suara seakan tak ingin mendengar lagi berita tentang Anjani.

"Tapi kenapa pak? Bukankah itu anak kandung bapak sendiri?.", Sanggah Dewa yang merasa heran dengan keputusan aneh itu.

"Hahaha..itu bukan urusanmu nak! Sekarang pulanglah dan jangan banyak bicara!.", Gertak pak zulfi malah semakin meninggikan nada suaranya.

"Itu benar nak. Pulanglah! Kami sudah tidak ingin mengungkit masalah ini lagi. Anak bandel itu sudah pergi ke akhirat. Aku jadi lega karenanya. Sebaiknya kalian pulang saja kami juga akan segera pergi ke pesta sebentar lagi.", Sela seorang ibu-ibu dari belakang sofa mereka yang ikut campur nimbrung dalam obrolan. Beliau nampak sedang membetulkan posisi gelang emasnya yang cukup besar. Sepertinya itu adalah ibu dari Anjani.

"Tunggu! Apa yang kalian bicarakan! Bahkan jasad anak kalian saja belum di temukan, kalian malah bisa bicara seperti itu. Orang tua macam apa kalian. Hah!!!,". Dewa yang tersulut emosinya dengan berdiri balik membentak kedua orang di hadapan mereka karena merasa seperti di permainkan oleh mereka. Namun, pak zulfi tak sedikitpun bergeming.

"Udin!!! Seret ketiga tamu tak punya sopan ini keluar!.", Panggil pak zulfi pada salah seorang karyawannya. Matanya merah melotot pada Dewa.

"Tidak usah repot-repot mengantarkan pak zulfi yang terhormat. Kami bisa pulang sendiri. Terimakasih!.", Ketus Dewa kemudian menyeret tangan Hana dan mengajak Budi keluar dari rumah pak zulfi tersebut.

Setelah semuanya masuk ke dalam mobil Budi, mereka masih saja berdiam saling memandangi satu sama lain dengan penuh keheranan. Mereka juga tak habis pikir ada orangtua seperti itu yang bahkan masih bisa pergi berfoya-foya padahal raga anaknya saja belum tau dimana rimbanya. Saat mobil sudah mulai mundur dan keluar dari gerbang megah itu, tiba-tiba..

"Tunggu pak polisi!!.", Suara dari wanita paruh baya memghentikan mobil mereka seketika. Wanita gemuk dengan wajah sudah keriput dan memakai baju daster motif bunga dan rambut yang sebagian sudah memutih yang di kuncir asal asalan.

"Iya bu, ada apa?,". Tanya Budi mencoba ramah.

Tak menjawab sepatah katapun wanita itu hanya menyodorkan sebuah sobekan kertas bekas kardus makanan ringan dengan catatan di atasnya. Dengan raut wajah pias dia menyodorkan kertas lecek itu dengan paksa. Terlihat wajahnya seperti sedang menghindari sesuatu. Budi dan Dewa yang menyadari itu segera mengambil kertas itu dan menyimpannya.

"Pergi!.", Ucap wanita tua itu setelah sukses memberikan kertas itu kepada Dewa dan teman-temannya.

Tanpa menunggu lama mereka segera pergi menjauh dari rumah di kawasan elit tersebut dengan di penuhi seribu tanda tanya. Mengapa orangtua Anjani terlihat sangat acuh? Siapa wanita tua itu? Apa hubunganya dengan kasus ini? Dan apa sebenarnya maksut dari catatan yang di berikan ibu-ibu tua itu?

"Ah aku tau!!!.", Tiba-tiba Dewa berteriak seolah menemukan sesuatu di dalam mobil.

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!