NovelToon NovelToon

Like a Doll

Hanakawa Izumi

Menurutmu apa itu "hal yang paling berharga dalam hidup"? Pasti sebagian orang menjawab keluarga mereka adalah hal yang paling berharga dalam kehidupan mereka. Mungkin hanya aku yang tidak akan bisa menjawab demikian. Hidup sebatang kara, tidak punya saudara ataupun kenalan. Aku hanya di pungut seseorang untuk menjadikan ku sebagai anggota band besar sebagai pemain gitar dan vocalis. Meski sebatang kara, itu jelas-jelas takdir yang sangat langka. Semua yang kulakukan selalu lancar tanpa hambatan, orang-orang pun mulai menyukaiku saat pertama kali manggung. Respon yang sangat jarang terjadi ketika ada anggota yang baru masuk juga.

Saat aku menyadarinya, semua itu mulai terasa membosankan. Aku melakukan semua hal dengan sempurna tanpa ada yang cacat, harusnya aku senang dengan itu. Hanya saja, itu sudah tidak berarti lagi kalau kamu masih sendirian. Aku belum mempunyai hal apapun yang akan menjadi satu-satunya yang berharga dalam hidupku. Terkadang, aku lebih ingin menderita dibanding menjadi yang paling bersinar diantara yang lain. Itu melelahkan, kau tau.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan gadis--tidak, dia lebih seperti boneka hidup timbang manusia. Tubuh nya kecil dan sangat sensitif terhadap cahaya matahari sehingga disekolah pun dia memakai seragam yang khusus di rancang buat seseorang yang punya penyakit demikian. Melihatnya saja membuatku merasa gerah, padahal tidak ikut memakainya sama sekali.

Boneka hidup ini berhasil membuat hidup ku yang membosankan menjadi lebih baik. Tidak ada hal istimewa yang dia lakukan padaku. Hanya ada bisikan kecil yang menandakan dia sedang membuka topik pembicaraan denganku.

.

.

Saat itu tahun ajaran pertama kelas 11, jujur saja kalau bukan karena manager ku, mungkin aku sudah bolos dan pergi ke klub bersama anggota bandku yang lain untuk minum miras bersama. Dengan berat hati, aku masuk, dan aku agak kesal harus berpisah kelas dengan yang lain dan masuk di kelas baru yang bahkan tidak ingin aku masuki.

Mayoritas murid di dalam nya sangat memuja orang-orang populer yang selalu tampil di panggung atau televisi atau berita sosial media manapun. Yah, mungkin ada rasa bangga tersendiri, orang semacam itu berada di antara orang-orang yang menganggap dirinya biasa saja. Mungkin itulah alasan mengapa mereka sangat bahagia saat tahu aku sekelas dengan mereka.

"Lihat, lihat, si gitar sekaligus vocalis tengah band Rox'iz, Azumi Chieko. Keren banget kalau di lihat dari dekat, kyaaa."

"Kyaaa Chie-chan, salaman denganku."

"Azumi-san, bolehkah aku sebangku denganmu?"

"Tidak, aku saja."

"Tidak, tidak, aku!!"

"Azumi, foto bareng yuk."

"Ih, aku juga mau foto bareng."

Ini masih pagi loh, mereka sudah ramai banget mengerumuni meja yang sudah di simpan kan sama seniorku di band ini. Sebenarnya tidak masalah siapa yang akan menjadi teman sebangku di sebelahku, tapi sepertinya mereka semua sudah punya bangku selain aku dan satu orang yang mungkin saja belum datang.

Aku dibuat kesusahan jadi aku putuskan menuruti permintaan mereka satu-persatu kecuali permintaan duduk sebangku. Aku hanya ingin memastikan siapa yang belum hadir dan belum mempunyai tempat. Setidaknya dialah orang beruntung itu.

.

.

Pelajaran pun dimulai, guru sudah masuk kedalam kelas tapi teman sebangku ku belum juga datang. Apa mungkin di sebelah ini tidak akan terisi? Karena hanya satu-satunya bangku ini kosong, di manapun tidak ada lagi. Aku hanya pasrah dan mungkin akan menjadi penyendiri karena tidak ada teman bicara. Bicara dengan yang lain? Tidak. Mereka hanya akan penasaran dengan kehidupanku sebagai gitaris dan vocalis tengah di band Rox'iz. Sungguh pembicaraan yang tidak menyenangkan dan membosankan. Sudah berapa kali aku berbicara dengan orang-orang macam itu dan aku simpulkan mereka hanya tertarik denganmu karena kamu populer, bukan karena ingin menjadi teman atau sahabatmu. Susah juga ya mencari teman di lingkungan lain selain dalam band, mereka sudah aku anggap keluarga.

.

.

15 menit berlalu, pelajaran kali ini tidak terlalu banyak dan memusingkan. Guru hanya menjelaskan singkat pelajaran hari ini dikarenakan akan ada rapat guru setelah jam 9. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 08:15, saat itu pula seseorang berbaju serba hitam dan berbadan besar datang, berdiri di ambang pintu kelas. Seisi kelas mendadak membeku menyadari kedatangan mereka yang misterius.

"Ada yang bisa saya bantu, tuan-tuan sekalian?"

Saat guru kami bertanya, seorang gadis keluar dari kumpulan pria berbadan besar itu dengan payung hitam kecil di tangan kirinya. Gadis kecil dengan pakaian seperti Lolita, tapi desain nya seperti seragam di sekolah ini. Hanya saja, itu terlihat panas untuk di gunakan saat musim panas seperti ini.

"Ahh, nona muda. Maafkan saya. Saya benar-benar tidak menyadari kedatangan anda tadi." Apa barusan guruku memanggil nya nona muda? Aku cukup terkejut melihat si guru yang begitu hormat dan patuh atas kemunculan murid yang harusnya lebih menghormati nya.

"Sisanya, kami serahkan padamu, Midokari-sensei. Nona muda Izumi, kami izin undur diri. Selamat belajar."sekumpulan pria berbadan besar itu pun beranjak pergi dari ambang pintu dan tersisa hanyalah gadis itu.

"Loh?"

"Silahkan kemari, nona muda Izumi." Midokari-sensei mengandeng tangan gadis itu dan kini berdiri dengan jelas di tengah-tengah murid yang lain. Sekilas aku melihat nya mengamati dengan tatapan kosong seisi penghuni kelas ini.

"Mungkin ini bisa di bilang terlambat, tapi ibu maafkan, nona muda. Murid-murid, perkenalkan teman baru kalian, namanya Hanakawa Izumi anak dari perusahaan Butik Izumi dan toko boneka terbesar di kota ini. Dia sangat sensitif dengan cahaya matahari maka dari itu desain seragam sekolah nya beda dari kita. Tapi ini masih desain sekolah dengan tampilan yang berbeda aja. Kalian, berteman lah dengan baik ya. Saya izin beranjak lebih dahulu karena rapat sebentar lagi akan di mulai. Izumi-san, silahkan duduk di bangku kosong dekat Chieko."ucap Midokari-sensei, setelah membereskan barangnya yang ada di atas meja, beliau beranjak pergi meninggalkan kelas. Anak yang bernama Izumi itu berjalan ke arahku dan mulai menyimpan barang-barang nya.

Suasananya sangat beda sekarang, rasanya seperti ada dendam yang menumpuk dikelas ini. Semua menatap tajam kearah Izumi membuatku merasa risih karena aku juga seperti di berikan tatapan yang sama. Ada apa ini, bukan kah Izumi ini juga orang populer dan bisa di bilang semua kostum manggung yang ku kenakan itu di jahit oleh tangan handal yang ada di Butik Izumi, milik orang yang sekarang duduk di sebelahku. Kenapa mereka seolah-olah sangat dendam akan kehadiran nya?

"Mungkin karena mereka tidak bisa duduk di sebelah mu dan aku yang telah mengambil kesempatan itu."sekilas aku mendengar dia berbicara namun tidak jelas karena suaranya yang sangat kecil. Hanya sebaris kata 'mungkin' yang singgah di telingaku, selebihnya tidak dengar sama sekali. Yah, aku tidak peduli lagi sih, aku ingin menemui anggota lain di kelas sebelah.

Belum sempat aku melangkah, Izumi menarik dan memeluk tanganku.

"Ada apa? Aku mau pergi menemui anggota bandku yang lain. Jangan ikuti aku."

"..." Bibir nya seperti mengatakan sesuatu tapi aku benar-benar tidak bisa mendengar suaranya sama sekali. Seolah dia hanya bisa bergumam tanpa suara dengan bibirnya yang bergerak. Saat aku tanya dia bilang apa, suaranya pun tetap tidak sampai ke telinga. Buang-buang waktu saja, lebih baik aku melepas genggaman nya dan mengabaikan apa yang baru saja dia ucapkan.

Tapi itu tidak mengubah pikiran nya dan tetap saja menarik tanganku dengan sekuat tenaga meskipun sebenarnya aku bisa merasakan tangan nya bergetar karena terlalu memaksa menahan ku dalam genggaman nya.

Dia bergerak memberi isyarat padaku agar aku mendekat ke wajah nya. Dengan berat hati aku mendekatkan telinga ku ke wajahnya sedikit agar aku bisa mendengar apa yang dia katakan.

"Aku ingin ikut bersama mu. Aku belum terlalu tau lingkungan sekolah ini."

"Tidak. Maafkan aku, mungkin lain kali. Aku hari ini ada latihan sama anggota yang lain."

Aku menolak mentah-mentah permintaan nya lalu berjalan menjauh keluar dari kelas. Sebelum nya aku mendengar ucapannya bahwa dia akan di kelas saja untuk seharian ini. Aku sudah tidak peduli, aku tidak ingin direpotkan oleh murid yang suaranya tidak bisa terdengar di telingaku. Tidak tau apa alasannya dia berbicara dengan suara kecil, kalau tinggi badan kita sudah beda jauh harus nya dia lebih berusaha untuk menyesuaikan volume dari suara yang keluar dari bibirnya. Apa mungkin ini pengaruh dari ukurannya sendiri, maksudku bibir.

Buat apa di pusingin, aku harus bergegas menghampiri mereka di jam istirahat karena rapat guru ini. Apa aku bisa makan sekarang? entah lah. Mungkin saja bisa

Di atas atap, tempat perkumpulan band Rox'iz berada. Murid lain dilarang karena tempat itu sudah resmi menjadi milik kami dan tidak boleh ada yang menggunakan nya tanpa seizin dari salah satu anggota Rox'iz.

"Lama banget, Chieko-nee."

"Sorry tadi ada hambatan dikit." Aku duduk di samping Sherin, orang yang baru saja mengeluh keterlambatan ku. Semuanya sudah berkumpul dan aku menjadi anggota terakhir yang duduk di kursi.

"Azumi, apa benar ya Hanakawa sekarang sekolah di sini dan kebetulan nya kalian sekelas kan?"aku mengangguk sambil meneguk air mineral yang sudah di siapkan sebelumnya oleh ketua yang sangat Royal. Rikka, sang ketua menatap serius kearah ku lantas bertanya lagi "Apa kamu sebangku dengan nya?"

Aku mengerutkan alisku bingung, apakah semua pertanyaan itu penting untuk di bahas sekarang? Aku pikir mereka ingin membahas latihan buat konser di festival sekolah bulan depan.

"Kamu cenayang ya, ketua?"

"Jadi benar ya. Saran dariku, Mi, kamu sebisa mungkin harus baik sama dia. Turutin apa yang dia mau dan jangan pernah biarkan dia terluka."Rikka menatapku tajam sekali, sepertinya ini memang benar pembicaraan yang sangat serius. Tapi aku masih tidak paham dengan keterkaitan Hanakawa. Kenapa pula aku harus melakukan hal itu hanya karena aku sebangku dengan nya. Aku ingin berkata demikian, tapi aku paling tidak bisa namanya melawan apa yang di perintahkan ketua meski itu kadang aneh dan menjijikkan.

"Aku baru saja mengabaikan permintaannya sebelum aku kemari. Hemmm, apakah aku akan mati setelah ini? Hahaha--" sesaat aku terkekeh sedikit, yang aku pikir itu akan membuat tatapan seriusnya hilang dan bersama kita tertawa. Namun, hanya ada tamparan keras yang mendarat di wajahku. Kali ini Rikka benar-benar marah dan sepertinya pembahasan ini memang bukan lah hal yang sepele. Semua anggota yang lain menatapku dengan tatapan serupa. Aku jadi bertanya-tanya, ada apa sebenarnya ini?

"Jangan mentang-mentang kamu mendapat posisi yang selalu menjadi pusat perhatian, kamu langsung berani sama ketuamu, sialan. Kamu harus ikutin aja apa kataku. Manager juga sudah menyuruhku untuk meyakinkan nya kalau kamu bisa di percaya. Saat bel dan rapat para guru telah usai nanti kamu harus minta maaf dan buat dia semakin yakin kalau kamu ingin menjadi teman nya." Setelah mengatakan semuanya, Rikka dan yang lain bergegas meninggalkan ku dari atap sekolah sendirian. Sangat mustahil bagiku untuk akrab dengan bocah yang bahkan tingginya saja membuatku tidak bisa melihat atau mendengar suaranya saat berbicara. Terlebih lagi, tatapan kebencian teman-teman kelasku yang lain, membuatku semakin tidak ingin terlibat dalam kebencian mereka. Aku tidak ingin di benci.

.

.

Bel kelas berbunyi, aku bergegas turun dari atap sekolah. Kepalaku kini dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal agar bisa meyakinkan Hanakawa bahwa aku tulus minta maaf kepadanya, walau niatnya aku tidak mau minta maaf karena aku tidak merasa bersalah atas apapun yang sudah terjadi. Tapi kalau ketua dan anggota lain saja menjadi keras padaku, sepertinya tidak ada pilihan lain lagi selain melakukannya.

"Hah, anak menyebalkan itu, kenapa sih harus masuk di kelas ku?" Saat melintas di depan ruang guru, aku mendengar suara Midokari-sensei, sedang kesal. Dia kesal kepada siapa dan kenapa?

Aku memutuskan untuk berdiri sebentar di ambang pintu ruang guru yang tertutup, menguping pembicaraan mereka.

"Siapa?"

"Anak sulung Keluarga Izumi itu loh. Asli, aku sebenarnya tidak pernah berharap akan mengajar anak sialan itu."

"Hahahaha, aku sangat beruntung dia tidak masuk di kelasku. Siapa juga yang mau mengajari gadis bisu dengan tatapan kosong."

"Semoga aku tidak dikutuk olehnya."

"Wih seram nya, hahahaha."

Mendengar semua itu membuat telingaku sedikit panas, aku langsung pergi meninggalkan ruang guru. Aku tidak menyangka mendengar semua ujaran kebencian itu dari Midokari-sensei yang baru saja memanggil Hanakawa dengan sebutan 'nona muda'. Lagipula, Hanakawa itu tidak bisu, dia hanya tidak bisa berbicara dengan keras karena bibirnya yang kecil dan tinggi nya yang hanya sebatas pinggang ku saja. Jadi, sebelum aku, ada orang lain yang ternyata sudah membencinya.

Aku hanya tau keluarga Izumi ini terkenal karena butik dan toko boneka nya dan selalu menjadi sponsor kami dalam hal membuat kostum. Selebihnya, aku tidak pernah tau hal jelek apa yang telah mereka perbuat sehingga si sulung ini di anggap iblis.

.

.

Sesampainya dikelas, betapa dikejutkan nya aku dengan kehadiran Hanakawa yang tergeletak di lantai kelas. Lebih parahnya lagi, semua orang hanya melihat dan tidak menolong.

"Izumi..." aku berlari kearahnya dan membantunya berdiri. Astaga, hidungnya mengeluarkan darah dan banyak memar di wajahnya. "Siapa yang telah menghajar mu, Izumi?" dia hanya menggeleng. Raut wajah nya terlihat sangat tersiksa dengan luka-luka yang sepertinya masih baru. Aku yakin dikelas ini ada yang menghajarnya.

"SIAPA, HAH?! SIAPA YANG BERANI MENGHAJAR ANAK ORANG INI, HAH?! NGAKU KALIAN SEMUA." senyap, hanya sepintas kudengar suaraku sendiri yang menggema memenuhi kelas, seolah-olah penghuni lain yang ada disini selain aku dan Hanakawa bisu mendadak. Mereka hanya menunduk, diam, tidak bersuara dan tidak ada yang berani menatap kemari.

serius, sebenarnya apa yang terjadi?

Hanakawa menarik telapak tangan ku. Tatapan nya begitu berat untuk terbuka tapi dia sepertinya berusaha menyampaikan sesuatu sampai akhirnya dia benar-benar pingsan di pangkuanku.

"Chieko, aku minta tolong bawa saja aku ke UKS." aku mengangguk dan menggendong tubuh nya yang kecil itu menuju UKS. Betapa bodohnya aku, dia sedang menahan sakit di sana mungkin dalam waktu yang cukup lama dan tidak ada siapapun yang tergerak hatinya untuk membantu Hanakawa. Aku bersumpah akan menghajar balik orang yang sudah membuatnya seperti ini.

"Permisi, dokter." pintu abu-abu itu terbuka dengan keras, membuat penjaga UKS sekaligus dokter terkejut dan melotot kearah ku.

"Ma..maaf, aku begitu panik." dokter itu hanya menggeleng dan mengizinkan ku masuk kedalam. aku menidurkan Hanakawa yang sudah pingsan dalam dekapan ku di atas ranjang. Dokter tadi menyiapkan beberapa obat dan plaster sambil menanyakan kejadian nya.

"Ini sih perundungan namanya. Apa kamu tahu siapa yang melakukan nya?"

"Tidak, saat itu aku baru saja masuk kelas bersamaan dengan bunyi bel. aku lihat dia sudah di atas lantai dalam keadaan begini." suaraku hampir kacau karena ingin menangis. Rasanya ini seperti karma untuk ku. Karma yang membuat ku merasa bersalah hingga sesak di dada, bersalah karena menolak permintaan nya untuk diajak berkeliling bareng buat melihat sekitaran sekolah. Jika saja aku mengikuti walaupun terpaksa, mungkin dia tidak akan seperti ini.

Aku merasa air mataku mau menetes, tapi ku tahan karena ada orang dewasa di dekatku.

"Lukanya sudah di obati. Saran saya, temani dia sementara di sini sampai dia sadar. Jangan lupa untuk memberinya air hangat." pintanya lalu kemudian pergi keluar untuk mengajar di kelas lain. Kini UKS hanya di tempati olehku dan Hanakawa.

"Maafkan aku, kamu jadi seperti ini." Sial, rasa bersalah ini semakin menumpuk sehingga terasa sangat sakit. Aku ingin mengulang ini dari awal. Bukan karena aku benci dengan nya, aku hanya takut akan berakhir sama seperti dirinya dan aku takut akan dijauhi seluruh teman kelasku sendiri.

Penyihir dan Gadis Gereja

"Aku akan membawanya ikut kembali kerumah, Ibu. Jangan khawatir. Aku bisa mengendalikan nya."

"Tidak perlu memaksakan dirimu, oke."

Bayang-bayang mimpi itu dalam sekejap menghilang dan digantikan dengan cahaya matahari yang menyilaukan. Dia berusaha berkedip pelan, lantas membuka matanya.

Tatapan nya beralih menuju kearah seseorang yang sedang duduk tertidur di kursi sambil melipat tangan nya di atas pinggiran ranjang.

Dia mencoba memanggil namanya, tapi takut salah memanggil nama dan suaranya tidak cukup mencapai jangkauan itu.

"Hng? Astaga, aku ketiduran.. eh, Izumi, sudah sadar? Bagaimana keadaan mu?" Gadis itu, Chieko, menghampirinya dan menatapnya dari dekat. Chieko mengelus rambut Izumi dengan pelan, tatapan nya sendu juga marah. Izumi tersenyum tipis.

"Terima kasih, Chieko. Maaf karena aku telah merepotkan mu." Chieko hanya menggeleng pelan. Tatapan nya masih sama seperti sebelumnya. Dia juga terlihat sangat menyesal sekarang. Dalam keheningan, mereka tidak lagi mengeluarkan sepatah katapun. Hanya memberi Hanakawa minum kemudian kembali terdiam.

Bau obat mulai berhembus di tiup angin dari kaca jendela yang sejak tadi Chieko buka karena gerah. Matahari sudah mulai meninggi dan jam pelajaran ketiga telah usai tanpa kehadiran mereka berdua.

"Hei... Tadi itu, kamu kenapa?" Tanya Chieko dengan tatapannya yang masih sama. Entah berapa kali sudah Hanakawa memperhatikan raut wajah nya yang tidak berubah sejak awal dia melihat kehadiran nya di sampingnya. Berat rasanya dia menjawab pertanyaan yang bahkan itu sebenarnya tidak ada hubungan nya dengan Chieko, tapi melihatnya menunggu, Hanakawa menghela nafas berat lalu menceritakan semua kejadian setelah Chieko pergi meninggalkan dirinya di kelas.

.

.

.

.

.

.

Aku sudah duga dia akan langsung membenciku, tapi aku tidak akan menyerah agar bisa dekat dengan nya. Dia adalah tokoh masyarakat yang populer, perfomanya harus bagus makanya harus sering-sering latihan. Walau aku bisa baca pikiran nya, dia bohong saat bilang ingin latihan.

Kelas begitu ramai namun tidak ada yang mau mendekat menuju kemari, mereka terkadang menatap tidak suka ke arahku. Aku tidak mengerti, segitu dendam nya kah penghuni kelas ini karena kesempatan mereka agar bisa sebangku dengan nya, pupus karena kehadiran ku. Mereka benar-benar serakah kalau demikian, toh mereka sudah mempunyai bangku mereka sendiri lantas kenapa harus cemburu?

Di jam istirahat ini aku mencoba memakan sandwich buatan bibi sambil membaca buku novel yang kubawa dari perpustakaan di rumah. Novel ini menceritakan tentang hubungan kakak adik yang tragis dan tidak memiliki ending yang bagus. Aku sudah membacanya puluhan kali dan tidak pernah merasa bosan dibuatnya. Kisah ini hampir sama dengan yang ku alami, hanya saja belum menemukan ending nya apakah akan baik atau buruk, seperti yang ada dalam novel ini.

"Roh Angelina kemudian di panggil kembali dan di masukkan kedalam raga yang baru saja selesai dipermak oleh profesor-- bukan kah ini seperti 'dia'?" sambil mengunyah sandwich ditangan ku, aku menatap tiap baris kalimat dalam novel itu. Aku masih di buat takjub saat membaca adegan pemangilan roh yang di lakukan oleh profesor. Aku tau, sedikit tidak masuk akal, kebanyakan profesor tidak menyukai hal spiritual, tapi mungkin lain cerita kalau dia adalah kakak kandung nya yang tidak mengikhlaskan kepergian adik kesayangan nya.

"Tapi semua itu tetap ada konsekuensinya, misalnya, tumbal? Atau mungkin nyawa profesor itu sendiri."

Brak--

Saat kunyahan sandwich yang terakhir, aku dibuat terkejut oleh seseorang yang tiba-tiba saja menghampiri dan menggebrak mejaku. Hampir saja aku tersedak, cepat-cepat aku meminum susu kotak sampai habis.

Aku sebenarnya tidak kesal, hanya saja kaget. Sambil melirik ke pelaku, aku sudah melihat 2-- tidak, 5 orang murid dikelas ini yang berdiri mengerumuni ku dari samping dan belakang tempat dimana aku duduk.

Apa aku terlalu berisik ya bergumam sendiri sambil membaca novel ini? Ah, aku rasa tidak. Suaraku bahkan tidak bisa didengar oleh Chieko padahal aku berdiri tepat di dekatnya.

"Hanakawa Izumi.. aku peringatkan kamu agar tidak terlalu menempel sama idola kami, Chieko-san. Kami bahkan menahan hasrat kami untuk memeluk ataupun menyentuhnya. Kamu, mentang-mentang dari keluarga orang yang sangat kaya raya di kota ini, harus bisa jaga sikap, paham?" Gadis yang terlihat seperti preman, tidak, style seragam dia hampir 11/12 dengan Chieko, hanya saja ini lebih terbuka dan ada tato hati di lehernya. Aku tidak mengerti, apa sekolah ini tidak punya aturan untuk tidak menggunakan tato?

Tapi ternyata benar, mereka semua terlalu terobsesi dengan Chieko sampai menaruh dendam padaku dan melarang ku untuk dekat dengan nya.

"Hei, kenapa diam?" Gadis itu menarik rambutku dengan kasar sampai badanku sedikit terangkat dari kursi. Aku meringis kesakitan, berusaha melepaskan tangan nya tapi kalah ukuran dan aku semakin di buat kesakitan. Seperti kulit kepalaku akan terkelupas bersama dengan rambut-rambut yang di tariknya.

"Sa..sakit--" aku hanya di jadikan objek tertawaan bagi kawanan nya yang lain. Menatap hina diriku seolah aku pantas di perlakukan seperti ini. Penghuni kelas yang lain, hanya menatap dari kejauhan, kadang aku melihat mereka cekikikan saat aku merintih kesakitan sambil menangis. Tetap berusaha melepaskan genggaman gadis ini, karena aku sudah tidak kuat.

"Apa? Kenapa kamu melotot kearah ku?! HAH?!" Amarah nya semakin memuncak setelah aku menatap nya dengan air mata yang masih mengucur deras menahan rasa sakit di kepala, lantas dia dengan segenap kekuatan nya membanting ku kelantai hingga tulang punggung ku rasanya sedikit dibuat patah karena hantaman yang keras.

"Akhh..." Kepalaku sudah pusing, penglihatan ku mulai kabur dan tubuh ku jadi sulit bangkit dan menghindar. Gadis itu, yang aku tidak bisa ingat namanya, sekarang menyuruh kawanan nya yang lain untuk menghajar dan menendang seluruh tubuh ku yang masih terkapar tak bergerak sama sekali di lantai. Beberapa diantaranya memukuli wajah ku dengan sadis sampai darah mulai keluar dari ujung bibir ku. Tidak sampai di situ, gadis yang membanting ku tadi sampai menginjak perut ku dengan keras sambil tertawa kegirangan mendengar rintihan kesakitan ku yang semakin menjadi. Aku sudah mulai kesulitan bernafas, saat itu aku hampir kehilangan kesadaran. Tapi aku tetap memperhatikan semua nya, aku akan mengingat wajah-wajah ini dan akan terbalas suatu saat nanti.

Di ujung pintu kelas, aku sempat melihat beberapa guru hanya menonton sambil menahan tawa, kemudian pergi saat mataku sempat bertemu dengan mereka. Aku sudah duga ini adalah sekolah yang paling buruk di kota ini.

Saat bunyi bel masuk, mereka menghentikan aksinya. Ketuanya, mungkin, dia menarik kepalaku lagi dan memberiku peringatan.

"Mohon di ingat ya, nona muda Izumi." Dia membanting kepalaku kelantai sekali lagi dan kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Seisi kelas mendadak bisu dan tidak ada yang mau meladeni diriku yang babak belur dan penuh lebam. Aku, terkapar di lantai karena tidak mampu untuk bangun lagi hanya bisa menunggu. Menunggu Chieko datang. Aku tau dia tidak akan mengabaikan ku.

.

.

.

"Izumi!!" Setelah beberapa menit berlalu, aku mendengar suaranya. Chieko sudah datang, dia akan menyelamatkan ku. Aku sudah duga kalau Chieko ini satu-satunya orang baik di sini, meskipun dia telah menolak permintaan ku.

Chieko mengangkat pelan badan ku yang terkulai lemas di lantai, dengan seksama melihat seluruh tubuhku yang penuh lebam biru dan darah yang sudah mengering.

"SIAPA HAH?! SIAPA YANG BERANI MENGHAJAR ANAK ORANG INI, HAH?! NGAKU KALIAN!!" Chieko berteriak, kesal. Raut wajahnya merah padam dan matanya melotot tajam menatap seisi kelas yang sunyi senyap seperti tidak ada penghuninya membuat kemarahan Chieko bergema memenuhi ruangan. Baru pertama kali aku melihat seorang idola menatap sangar dengan penuh kemarahan yang membuat setiap orang yang melihatnya merinding. Dia seram sekali kalau marah, tapi terlihat keren di mataku.

Tapi aku sudah tidak kuat lagi, jadi percuma saja jika Chieko mengamuk di sini. Tidak akan ada yang mau membuka mulut.

"Chieko, aku minta tolong bawa saja aku ke UKS."

.

.

.

.

"Seperti itu lah kira-kira." Izumi menghela nafas setelah nya. "5 orang yang posisi nya ada di bangku depan secara acak, mereka adalah pelakunya--"

Belum selesai Izumi menyelesaikan kalimatnya, Chieko menghajar keras tembok UKS hingga sedikit retak. Emosi nya seperti tidak terkontrol dan tatapan nya begitu tajam sehingga Izumi terkejut dan mulai sedikit takut kalau saja Chieko tidak sengaja menghajarnya.

"Aku tidak akan memaafkan mereka!!"

"Chi..Chieko, tenang kan dirimu."

"BAGAIMANA AKU BISA TENANG SETELAH MENDENGAR SEMUA NYA?!" Chieko melotot dan kembali menghajar tembok tadi membuat Izumi semakin takut dengan emosi yang di buatnya.

"Maafkan aku... Aku yang telah membuatmu seperti ini." Izumi menggeleng pelan. Air matanya hampir menetes sekali lagi karena tatapan yang di berikan Chieko padanya. "Aku bisa... Menghilangkan semua luka ini."

Izumi mengeluarkan liontin perak berbentuk hati dari dalam seragam nya dan digenggam nya erat. Saat itu juga cahaya menyilaukan keluar dari dalam genggaman kecil itu, membuat Chieko terbelalak tidak percaya dengan apa yang saat ini dilihatnya. Dalam sekejap, luka-luka dan patah tulang—yang sebenarnya tidak diketahui Chieko dan penjaga UKS barusan, hilang seketika. Izumi membuka seluruh plester yang ada di wajah nya dan menunjukkan nya pada Chieko.

"Ha..hahh?! Ba..bagaimana mungkin-- lohh?!"

"Chieko, kalem."

"Kamu ... Kamu penyihir."

"Gak loh!!"

"Kok ngotot?!"

"Aku bukan penyihir. Aku gak bisa jelasin, Chieko, tapi ini sudah ada sejak aku lahir. Memang ini pantas nya di sebut sihir sih tapi sekali lagi aku bukan penyihir seperti yang ada dalam pikiran mu." Chieko kembali terduduk di kursinya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tepat di depan matanya sendiri. Izumi bangkit dari tempat nya dan menghampiri Chieko, memeluk nya.

"Makasih. Aku tau Chieko baik, kamu mau kan jadi teman ku, Chieko?"

Di luar sana rintik hujan mulai guyur membasahi jendela UKS yang terbuka, angin nya berhembus sedikit lebih kencang membuat belakang punggung Chieko basah terkena percikan air dari luar. Dalam dekapan Izumi, Chieko menatap heran. Dia tidak bisa menolak perasaan yang di rasanya kali ini dan membalas pelukan nya sambil berkata 'iya, tentu saja. Dan sekali lagi, maafkan aku.'

Izumi tersenyum lebar, melihat wajah Chieko dari dekat. Ada rasa syukur yang terlukis di wajahnya membuat Chieko hampir menangis. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Dengan keadaan Izumi yang sudah pulih—dengan cara tidak masuk akal dan di luar nalar Chieko sendiri.

Mereka berdua memutuskan untuk kembali ke kelas agar tidak di kira sedang membolos.

.

.

.

.

"Hei, apa tadi baru saja ada ritual penyembuhan dari liontin itu?" Di ruangan yang sangat gelap dan lembab, hanya ada cahaya minim dari sebuah lilin kuno yang terpasang di setiap sudut ruangan. Seseorang sedang mengawasi kuali besar menyala hijau di ruang tengah. Di samping nya ada dua orang pria berbadan besar pun ikut mengamati.

"Iya, dia boneka nomor 119 inisial H-I yang sedang mengincar target nya yang berinisial A-C." Ucap orang pertama yang ditugaskan untuk mengawasi. Setelah menyampaikan laporan dia langsung mengambil beberapa ramuan untuk melihat informasi yang lain.

"Anak bodoh itu, kenapa menggunakan ritual langsung di depan targetnya. Coba periksa kondisi alam bawah sadarnya, apa ada perubahan?" Salah satu dari pria berbadan besar itu kemudian memberi perintah dengan tegas yang langsung di laksanakan wanita tua yang meramu ramuan nya untuk melihat kedalam alam bawah sadar seseorang.

Selang beberapa menit, wanita tua itu menggelengkan kepalanya. Tidak ada perubahan yang terlihat setelah kejadian itu—wajahnya terlihat seperti mengatakan demikian.

Kedua pria besar tadi kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan wanita tua itu sendirian di ruangan yang gelap. Seluruh lilin mati bersamaan dengan perginya mereka dan wanita tua berbaju serba hitam itu pun menghilang tanpa jejak di dalam ruangan tersebut.

.

.

.

.

Hujan semakin deras diluar sana, suasana kelas sangat senyap setibanya aku dan Izumi dikelas. Ternyata jam ini kosong jadi tidak ada guru yang masuk. Tau begitu, mending aku main bareng di UKS aja lama-lama sampai jam pulang—lupa, masih beberapa jam lagi kalau mau sampai jam pulang.

Izumi terlihat sangat senang kali ini, dia tidak henti-hentinya memainkan tangan ku di atas meja. Aku baru pertama kalinya bicara banyak dan suaranya menjadi terdengar jelas walau aku tidak mendekatkan wajah ku ke mulutnya—lagi.

"Hem, Izumi. Nanti pulang sekolah mau temenin aku ke gereja gak?" Karena ucapan ku, Izumi langsung membanting tangan ku. Dia melotot kearah ku dan melangkah mundur menjauh dari tempat duduk nya.

Aneh, apa segitu buruk nya ya kalau aku mengajak nya ke tempat ibadah.

Tapi, melihat raut wajah nya, seperti penolakan secara langsung padahal aku belum mengatakan apa tujuan ku mengajaknya ke sana.

Cepat-cepat Izumi merubah ekspresinya kembali, tapi jadi datar. Menatap kosong ke arahku, tatapan yang sama seperti tadi pagi ketika dia baru pertama kali masuk ke dalam kelas.

"Maaf, aku baru ingat hari ini ada acara Keluarga di rumah. Aku kemungkinan langsung di jemput oleh para pengawal ku yang tadi pagi. Maaf ya, Azumi." Dia secara tiba-tiba pula mengubah nama panggilan ku menjadi 'azumi'. Setelah itu dia tidak menunjukkan raut wajah senang nya seperti tadi. Hawanya mulai makin dingin di tambah tatapan kosong yang terlukis di wajahnya, membuatku semakin merinding—bukan karena dingin tapi perubahan drastis dari Izumi yang polos setelah mendengar kata gereja.

Sayang banget sih kalau misalnya dia tidak bisa. Padahal aku ingin memperkenalkan nya pada teman masa kecil ku yang sekarang menjadi pendeta di sana.

Dia adalah pemuda tampan yang baik juga lemah lembut. Setiap kata yang di ucapkan nya membuat hati jadi meleleh.

Aku niatnya bukan memperkenalkan, tapi, mengajak nya bertanding catur sekali lagi karena kemarin aku sudah di buat kalah 5 kali.

"Aku harap, hujan akan segera berhenti agar aku bisa mampir ke tempat 'nya'"

Penyihir dan Gadis Gereja (2)

10 Januari tahun sekian, seperti biasa hawanya masih panas walau di dalam sini sudah memasang AC saat malam tahun baru. Itu adalah hadiah dari para dermawan yang selalu mengunjungi gereja ini. Meskipun belum lama bekerja sebagai pendeta, gereja mulai menunjukkan perubahan yang sangat bagus baik untuk orang yang tinggal di dalam nya, maupun orang yang datang beribadah.

.

.

Saat sedang sibuk mengatur buku di rak belakang, cuaca berubah tak lama kemudian, membuat ruangan ini berangsur-angsur sejuk. Aku mengambil remote AC dan mengurangi sedikit suhu nya, tak ingin membuatnya tambah dingin.

Hari ini, aku akan bertemu seseorang. Dia sebenarnya sudah sering kemari untuk berdoa, tapi kadang sesekali saat aku berada di gereja, dia menantang ku bermain catur dengan perasaan yang amat menggebu—walau aslinya tidak pandai memainkan nya. Tapi cuaca nya menjadi tidak bagus sekarang, hujan makin deras dan terkadang kilat menyambar beberapa tempat dalam sekejap mata. Aku tidak yakin dia bisa datang lebih awal, jadi langsung saja aku memasang set catur dan menunggunya.

Kamu ingin tau seperti apa orang yang akan ku temui ini? Dia lumayan menyeramkan untuk seorang gadis, namun dia sangat populer di bidang vokal dan musik. Membuatku jatuh cinta. Aku mungkin akan menyatakan perasaan ini padanya, hanya saja, sekarang aku belum siap mental—terutama menahan siksaan yang mungkin saja terjadi, yang di lakukan oleh para penggemar gilanya.

"Hemmm, mungkin seharusnya aku melarang—" belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, suara pintu gereja terbuka.

Gadis itu datang. Aku sangat merindukan nya, aku sangat ingin memeluk nya—tapi tidak bisa.

"Ahh, aku jadi lembab gini padahal dah pake payung—haha, pendeta, maaf ya aku lama." Gadis itu melambaikan tangan ke arahku. Dia masih saja kebiasaan memanggilku begitu, padahal, kalau sama aku panggil nama saja. Kita kan bukan orang asing.

"Loh kok kecut gitu mukanya, jadi kamu dah nunggu lama banget? Maaf ya, pendeta."

"Kan sudah pernah ku bilang, panggil nama saja-- ughh, Azumi gak peka." Aku menutupi wajahku dengan buku. Aku sangat malu, kau tau. Jadi aku tidak ingin dia melihat wajah tomat ini dari seorang pria yang lebih pendek darinya.

"Hahahaha, maaf, aku lupa. Vhylen." Azumi melangkahkan kaki nya menuju tempat berdoa, biasanya dia akan berdoa dulu sebelum bermain denganku. Katanya ingin meminta izin sekaligus di mudahkan permainan baginya kali ini. Dia selalu melakukan nya setiap sudah menantang ku. Benar-benar gadis yang menarik bukan?

"Tolong buat aku menang kali ini, Jesus. Amin."

"Hahahaha."

"Apa sih, Vhylen?!"

"Kamu tidak perlu melakukan nya, ini cuma permainan bukan persaingan inter." Aku tidak bisa menahan ketawaku hingga suaranya bergema ke seluruh ruangan. Gereja saat ini hanya ada aku dan Azumi, yang lain sedang sibuk di panti asuhan melakukan pekerjaan sosial, seperti memberi sumbangan. Seperti nya mereka terjebak hujan dan tidak bisa kembali tepat waktu. Hari ini, aku kebetulan di suruh berjaga jadi aku bisa bermain sepuasnya dengan Azumi tanpa ada yang memanggilku.

Setelah melakukan "kebiasaan" nya, Azumi duduk di sebelah ku sambil menjaga jarak untuk papan catur yang berada tepat di tengah-tengah kami. Aku tidak mengerti, kenapa dia sangat terobsesi dengan catur, mengingat kepintaran nya masih di bawah rata-rata. Tapi aku tidak mengerti kenapa di pelajaran sekolah, semua nilainya sangatlah bagus. Bisa dibilang sebesar 89% lah kemampuan belajar dia di banding memainkan catur ini.

"Bagaimana sekolah mu hari ini? Apa menyenangkan?"

"Hahh?! Emang kamu orang tua ku nanya kek gitu hahahaha."

"Cih, kan aku cuma mau tau. Aku tidak bisa merasakan nya karena sudah di takdir kan menjadi pendeta di sini." Azumi menepuk pundak ku, berusaha menghibur dengan senyum yang singkat. "Kau itu punya bakat di bidang ini, jadi bahagia lah." Tambah nya. Itu membuat ku makin menatap nya dengan mata berbinar-binar—namun tidak lama. Aku mulai merasakan ada yang aneh di tubuh Azumi dan aku tidak menyadari nya sejak awal. Hal aneh itu baru nampak saat dia duduk di sebelahku. Terlihat seperti jejak telapak tangan kecil berwarna hitam di kedua pundak Azumi. Ini kelihatan nya sebuah tanda kepemilikan yang hanya bisa di berikan oleh roh yang di kendalikan oleh iblis dari jauh. Aku tidak yakin sebenarnya, tapi auranya sangat mirip. Saking miripnya, aku tidak bisa melepaskan pandangan ku dari tanda nya.

Aku mendekatkan diri kearahnya—sebelum nya ku pindahkan kembali papan catur itu ke belakangku karena menghalangi. Azumi menatap ku aneh, lantas pelan-pelan dia mundur kebelakang. Tanda ini harus ku hilangkan walaupun tidak akan langsung pudar begitu saja, butuh waktu. Semoga saja yang memberi tanda ini tidak menyadarinya.

"Vhylen, kamu kenapa?" aku sedikit menekan kedua pundak nya sambil bergumam, mantra ini gak langsung sih ngeluarin efek nya, maka dari itu aku harus memberi tekanan—yang pasti Azumi akan kesakitan.

"Tu..tunggu, Vhylen, kamu menyakiti ku." sialan, aku sudah duga ini. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Sedikit lagi tanda ini menghilangkan auranya untuk sementara. "Maafkan aku, Azumi." Aku menepuk pundak nya keras di mana tanda itu masih mengeluarkan auranya. Panas, jadi ternyata tanda seperti itu ada benarnya bisa menempel pada orang yang ingin kamu miliki. Tapi, sepengetahuan ku, tanda ini juga buruk. Dia lebih mudah untuk memancing roh lain, dengan hasrat ingin memiliki nya juga.

Setelah melakukan pengusiran aura yang ada pada tanda itu, Azumi terlihat sedikit berkaca-kaca. Aku tau, sepertinya tadi terlalu berlebihan, untung saja, auranya sudah mulai memudar, hanya tinggal tanda itu. Aku hanya bisa menghilang kan aura tersebut agar tidak memancing lebih banyak roh lain menghinggapi jiwa Azumi.

"Cih, Vhylen. Kok kamu nyakitin aku? Pundak ku jadi berat banget." Azumi sempat menarik rambut ku hingga berantakan. Sakit sekali, tapi mau bagaimana lagi. Ini untuk kebaikan teman masa kecil ku—dan juga calon istriku, semoga.

"Maafkan aku, Azumi. Mungkin kamu tidak akan mengerti tapi akan aku katakan setelah kamu menjawab pertanyaan ku. Siapa yang berada di dekat mu sepanjang hari ini di sekolah?" Azumi menaikkan alisnya. "Apa pentingnya buat mu?"

"Jawab saja." Aku mendekatkan wajahku kearah nya dan menatap kedalam matanya. Aku masih tidak mendapatkan petunjuk sendiri walau jaraknya sudah sedekat ini. Biasanya, aku berhasil melakukan nya dengan menatap pupil mata seseorang.

Azumi berpikir sebentar, menjauhkan tatapan nya dariku dan melihat langit-langit gereja. Aku bertaruh banyak yang berada di sekitar nya itu bukan teman-teman satu band nya, melainkan seseorang yang punya niat jahat padanya.

"Oh, selain anggota Rox'iz, aku juga punya teman baru di kelas, teman sebangku juga. Dia sangat manis dan imut. Tingginya seperti anak SD—sepinggang ku malah dan dia harum seperti permen kapas." Dia membuka ponselnya dan menunjukkan gambar dirinya bersama orang yang dia sebutkan barusan.

Hemm, aku seperti nya tidak asing dengan gadis mungil ini. Apa mungkin, orang yang terlihat suci seperti dirinya punya niat jahat ke Azumi?

"Siapa namanya?"

"Oh, namanya—...." Saat Azumi mencoba menyebutkan nama gadis itu, gemuruh petir menyambar sangat keras di luar sana sehingga menghalangi suara Azumi. Malam ini, kemungkinan akan di lanjutkan oleh badai besar. Azumi yang menyadari akan turun hujan lagi, dia bergegas mengambil helm nya dan berjalan keluar meninggalkan aula gereja. Sebelum nya dia berpamitan padaku dan minta maaf tidak bisa melanjutkan permainan karena dia baru ingat lupa membawa jas hujan dan hanya ada sebatas payung yang dia bawa sambil mengendarai motor.

Aku khawatir kalau dia melakukan itu, tapi, dia adalah gadis paling keras kepala yang aku kenal sejak 10 tahun yang lalu.

"Maaf ya, Vhylen. Aku pamit pulang dulu." Azumi melambaikan tangan kemudian menginjak keras gas motornya dan melaju dengan kencang menembus malam. Aku kecewa karena lupa menanyakan ulang nama gadis itu. Ada kemungkinan, dia yang melakukan nya. Semoga Azumi sampai dengan selamat kerumah nya, gadis gereja sepertinya itu pasti di lindungi Jesus di atas sana.

.

.

.

.

.

Rintik hujan perlahan-lahan jatuh membasahi bumi di dalam gelapnya malam. Azumi membawa motor nya dengan kencang menembus angin dingin yang menusuk kulit, hembusan nafasnya membuat pandangan nya terganggu karena kaca helm nya berembun saat dia bernafas.

"Orang tolol mana coba yang bawa motor pake payung? Ughh, dia jadi gak berguna dan terbang di tiup angin sekarang." Azumi makin menancap gas sekuat tenaga dan mencari tempat untuk berteduh sementara.

Pandangan nya melirik sebentar kearah jam tangan nya. Jam 9 malam lewat 45 menit, dia nampak gusar sekarang. Perjalanan dari gereja menuju apartemen nya benar-benar menghabiskan waktu banyak, untung saja hujan belum turun saat Azumi masih melaju di pertengahan kota. Kemungkinan akan sampai tepat pukul 10, tapi hujan semakin mengerikan dan Azumi tidak tahan dengan hujan deras bersama dengan petir itu.

5 menit berlalu, di ujung jalan ada cafe sepi dengan sebuah pohon mangga yang cukup besar tumbuh berjarak 5 meter di samping nya. Azumi bernafas lega, lantas melajukan lagi motornya menuju cafe itu.

"Ahhh, akhirnya." Cafe itu cukup sepi namun lampunya masih menyala, yang berarti dia masih buka. Azumi cepat-cepat melangkah masuk kedalam cafe, mengistirahatkan dirinya di kursi depan. Pelayan cafe saat itu juga datang dan menawarkan menu nya serta handuk.

"Karamel macchiato dengan cheesecake. Oh, aku boleh beli handuk nya, kalau ada?" Pelayan itu mencatat pesanan Azumi dan pergi kembali masuk kedalam cafe untuk menyediakan pesanan nya. Apa ini hanya perasaan ku saja atau pelayan itu tadi gelagatnya aneh sekali. Tatapan nya kosong dan dia berjalan lumayan sempoyongan saat masuk ke dalam cafe tadi, pikir Azumi lantas kembali menatap layar ponselnya.

Hujan masih terus berjatuhan di luar sana, jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat 55 menit, yang berarti 5 menit lagi pukul 10 tepat. Azumi memeras pangkal rok nya yang basah kuyup dan melepaskan stoking serta sepatunya karena sudah sangat lembab dan tidak nyaman untuk di kenakan seterusnya. Lalu dia mengeluarkan sendal jepit yang sudah dibawanya dari apartemen, berjaga-jaga hal ini akan terjadi.

Pelayan pun datang membawakan pesanan nya bersama handuk dan kantong plastik besar—yang sebenarnya Azumi pun tidak meminta benda itu. Azumi berterima kasih dan mulai menyeruput macchiato nya setelah pelayan itu pergi meninggalkan nya sendirian di bangku luar cafe. Jujur, mungkin saja lebih hangat di dalam sana tapi Azumi berpikir tidak ingin merepotkan lebih pelayan-pelayan di dalam untuk mengelap tempat duduk nya yang basah saat akan di tinggalkan nantinya.

Azumi memang suka memberikan perhatian berlebihan terhadap apapun.

"Aku gak ngerti, Vhylen sebenarnya kenapa ya tadi. Dia sempat menanyakan Hanakawa..." Dalam renungan nya, Azumi memikirkan kejadian di gereja, terkadang rasa sakit di pundak nya muncul samar-samar.

Vhylen biasa tidak melakukan hal itu, kecuali dia sedang melihat hal-hal mistis atau yang aneh lain nya. Meski demikian, Azumi tidak pernah percaya dengan apa yang Vhylen liat dari dirinya.

"Masa iya ada iblis yang berani nempel ke aku di dalam gereja? Hahaha, Vhylen mungkin saja ingin mengajak ku berantem waktu itu. Harusnya aku ladenin saja, tapi, seingat ku dia payah kalau berkelahi." Azumi mengunyah habis cheesecake nya lalu kembali merenung. Dia memperhatikan pohon mangga tadi, terlihat ada sesuatu yang aneh menggantung di antara ranting-ranting nya. Seperti bola, tapi tidak terlihat jelas karena tidak ada pencahayaan sedikitpun yang mengenai pohon itu.

Azumi memperhatikan benda—setidak nya itu yang ada di pikiran nya cukup lama, tapi karena hujan tidak kunjung berhenti dia menghentikan niat nya untuk melihat lebih dekat. Seperti ada aura menakutkan yang terpancar di sekitaran pohon mangga itu, setiap melihatnya, sekeliling menjadi lebih dingin dan menusuk ketimbang saat bermandikan hujan dengan hembusan angin saat melaju di atas motor.

"Ah, aku harap cafe ini menjual payung atau jas hujan juga di dalam. Handuk saja dia kasih." Azumi membereskan barang bawaan nya dan dimasukkan nya kedalam tas. Dia masuk ke dalam cafe untuk membayar menu yang di santap, tak lupa dengan handuk nya juga di kasir. Kebetulan mereka juga menjual jas hujan di rak khusus musim hujan, benar-benar cafe rasa toko kelontong.

"Wah, hujan nya makin deras. Jadi males, walau sudah beli jas hujan gini." Dia mengenakan jas hujan nya dan berjalan menuju parkiran. Tetapi, meski sudah memantapkan diri untuk tidak memperdulikan nya, dia masih menaruh perhatian nya pada pohon mangga itu. Semakin tidak ingin melihatnya, semakin besar kemungkinan Azumi nekat untuk menghampiri sesuatu yang entah itu apa.

Setelah menyalakan mesin motornya, diapun akhirnya kalah dengan rasa penasaran yang terus menggebu di dalam hatinya. Bersama dengan motornya, dia mendekati pohon mangga itu.

Agar benda itu terlihat, Azumi menyalakan lampu motornya dan menyoroti pohon mangga itu. Tapi ternyata cahaya nya pun masih tidak menjangkau benda itu, padahal dari cafe benda itu terlihat tidak menggantung di tempat yang cukup tinggi.

Azumi menelan ludah, dengan keberanian nya, dia melangkah sendiri mendekat dengan lampu senter dari ponsel yang dia pegang. Tangan nya menyorot kembali benda itu. Azumi melotot tidak percaya, tatapan nya pucat pasi seketika melihat apa yang ada di atas sana. Satu, tidak, ada lima kepala wanita terikat di ranting-ranting besar, di tumpuk di satu tempat seperti buah kelapa.

"AAAAAAA!!!!!" Azumi lantas jatuh tersungkur ketanah dengan tatapan ngeri. Kepala-kepala itu terlihat masih sangat baru dengan mata yang terbelalak lebar dan mulut menganga dengan darah yang sudah mengering menyelimuti rahangnya. Yang lebih mengerikan nya lagi, sekumpulan kepala tanpa badan yang saat ini ada di hadapan nya terlihat sangat tidak asing. Mereka adalah teman-teman kelas Azumi yang sudah menganiaya Hanakawa di kelas tadi pagi saat jam istirahat. Hari ini, dia melihat mereka sudah kehilangan nyawa, yang menyisakan kepala saja.

Badan Azumi seketika gemetar, perut nya merasa mual dan dingin mulai menusuk lagi setelah hilang sejenak saat berada di dalam cafe. Ternyata benar, menuruti rasa penasaran itu, terkadang bisa membuatmu menyesali nya.

Azumi buru-buru mengambil ponsel nya dan menelfon polisi. Tak butuh berjam-jam sirine mulai menggaung dari ujung jalan menuju ke tempat Azumi yang masih menatap kepala-kepala itu. Hawa mencekam itu ternyata berasal dari jiwa-jiwa pemilik kepala ini, mereka mengeluarkan aura itu untuk memanggil siapapun yang berada di sekitar.

Beberapa polisi mulai menanyai beberapa pertanyaan kepada Azumi, tapi dia masih tertegun. Raut wajah ketakutan nya tetap terlukis bahkan saat polisi tiba di TKP. Bahkan Azumi pun tidak memikirkan kalau dia bisa jadi tersangka dengan kasus kebetulan ini.

Ini membuat Azumi trauma hingga keesokan paginya di sekolah.

.

.

.

.

.

Hari ini sekolah lebih ramai dari biasanya. Semua tengah berkumpul di depan kelas mereka dan melihat halaman depan yang kedatangan sekelompok pria berseragam lengkap dengan senjata di tangan mereka.

Apa akan diadakan simulasi kecelakaan atau mereka sedang menggeledah seseorang yang tertangkap membawa narkoba?

Aku masih tidak bisa menduga apa-apa setibanya aku di kelas.

Di kelas sudah ada Azumi yang duduk tertunduk, dengan mata yang terbuka lebar. Tunggu, apa dia sedang ketakutan?

"Hayo, Chieko-san, masih pagi gini kamu kok bengong?" Aku berlari dan memeluk nya dari belakang. Dia spontan menoleh ke arahku dan melepas kan paksa pelukan ku untuknya. Wajahnya terlihat ketakutan, sedikit marah juga. Terlihat pula keringat membasahi jidat nya yang tertutup sebelah poni nya yang telah berantakan. Chieko terlihat benar-benar kacau pagi ini.

"Bu..bukan aku, bukan..."

"Kamu kenapa, Chieko-san?"

"AKU BILANG, BUKAN AKU PELAKUNYA!!" kali ini dia meninggikan suaranya dan menggebrak meja dengan keras membuat kayu itu sedikit retak karena tangan nya. Padahal aku tidak melakukan apapun selain memeluk nya. 'Pelaku'? Apa maksudnya itu?

"Chieko Azumi, kamu di panggil pak kepala untuk mengatakan kesaksian mu sekali lagi kepada polisi." Tanpa tanggapan, dia berjalan lunglai keluar kelas menuju ruang kepala sekolah.

Setelah kepergian nya, wali kelas pun menjelaskan maksud kedatangan polisi kemari. Seperti yang di beritakan semalam—katanya, soalnya aku tidak punya televisi di rumah jadi aku tidak tahu, semalam telah ditemukan 5 kepala manusia yang dikabarkan merupakan milik dari 5 gadis yang secara kebetulan murid dari kelas ku. Azumi di panggil mereka karena dia yang kebetulan pula menemukan kepala itu saat tengah perjalanan pulang kerumah.

Kasihan sekali Azumi, dia jadi seperti tadi pasti karena telah melihat hal yang mengerikan malam hari di tengah hujan. Mental nya sedang terguncang, pantas saja. Setelah dia selesai memberikan kesaksian nya, terpaksa lagi aku menggunakan liontin ini untuk menyembuhkan traumanya dengan cepat.

Aku tidak ingin Azumi menatap dengan tatapan seperti itu lagi kearah ku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!