Penculikan
Di tengah hutan belantara yang sunyi, hanya terdengar gemuruh angin yang menderu. Sesekali suara beruk hutan dan kicau burung malam ikut meramaikan suasana yang hening. Sebuah mobil box melaju dengan kecepatan sedang.
Sementara itu, di tepian pantai yang tak jauh dari hutan belantara. Perlahan suara debur ombak mengiringi kapal berukuran sedang untuk kembali ke dermaga. Kapal berukuran sedang dan bercat putih itulah yang beberapa waktu lalu membawa mobil box yang berisi dua orang remaja menyeberangi lautan menuju sebuah pulau yang jauh dari daratan. Sebuah pulau terpencil yang tidak banyak orang tahu, bahkan nelayan sekalipun.
"Di mana aku... ?!" seru seorang remaja yang sedari tadi tertidur pulas dengan mata ditutup sehelai kain berwarna hitam. Tangannya terikat ke belakang. Dari balik kain hitam yang menutup matanya, ia coba menerawang, mencari kawan sebayanya. Celingukan, ia arahkan pandangan mencari kawannya yang bernama Arif.
"Rif.... Arif... kamu di mana .. ?" dengan suara yang sengaja ia pelankan, anak muda ini terus memastikan keberadaan kawannya itu.
"Aku di sini Pan, disampingmu" jawab Arif yang ternyata berada tak jauh dari posisi Topan, nama remaja tersebut. Kondisi kedua remaja sebaya ini tak jauh berbeda. Mereka berada dalam box mobil yang terus melaju masuk menyusuri hutan belantara. Sesekali keduanya mengaduh saat kendaraan yang mereka tumpangi terguncang karena melintasi lubang atau melindas batu dan batang pohon yang menghalangi jalan.
Seluruh badan mereka memar dan lebam membiru. Di sela - sela bibir mereka mengeluarkan cairan berwarna merah. Semua itu mereka dapatkan saat akan pulang ke rumah mereka setelah seharian mengamen di perempatan jalan yang cukup ramai.
Topan sedikit lega, setidaknya ia tidak sendirian terkurung di dalam mobil box yang terus melaju entah kemana. Kembali ia mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seumur bidupnya.
"Mau kemana kalian ?!" bentak seorang lelaki dewasa dengan perawakan tinggi besar. Topan, Arif dan Riko yang tak menyangka bakal dihadang dan dibentak seperti itu hanya menunjukan ekspresi seperti kebingungan dan ketakutan. Bagaimana tidak, sudah beberapa tahun mereka mengais rejeki sebagai pengamen di lokasi tersebut. Baru kali ini ada orang yang menghadang mereka dengan suara membentak.
Merekapun tak pernah memiliki perselisihan dengan siapapun. Baik itu sesama pengamen atau pedagang, ataupun dengan warga yang lalu lalang.
"Heh... kalian ditanya bukannya menjawab, malah melotot. Menantang kalian.... ?!" kali ini lelaki gemuk dengan kepala botak yang bersuara. Matanya mendelik marah ke arah ketiga remaja di hadapan mereka.
"Maa... maaf pak. Eh bang... kami mau pulang" jawab Arif spontan. Badannya gemetaran menahan rasa takut yang teramat sangat. Tak jauh berbeda, kondisi Topan dan Riko.
"Kurang ajar... memangnya aku bapakmu... !"
"Sudah..., hajar saja mereka lalu masukan ke dalam mobil. Jangan sampai kita terlambat menemui bos besar, bisa habis kita !" seru lelaki gemuk sambil memperhatikan situasi sekitar yang sudah mulai sepi.
Ketiga remaja pengamen ini semakin ketakutan. Tak mengerti apa yang diucapkan oleh kedua orang di hadapan mereka. Ketiganya terperanjat saat sebuah pukulan menghantam perut Topan. Remaja ini tak siap mendapat serangan mendadak, seketika tubuhnya jatuh terduduk. Dari mulutnya terdengar suara terbatuk batuk.
Arif panik, dia coba menolong kawannya. Namun tamparan keras justru ia dapatkan. Tak sampai di situ, laki - laki tinggi besar terus memukul dan menendangnya hingga ia tersungkur. Bibirnya berdarah dan badannya lebam - lebam kena pukulan.
"Rikoo... lariii.... !" sebuah teriakan keras dari Topan menyadarkan Riko yang kebingungan. Dengan posisi terduduk menahan sakit, Topan mengingatkan kawannya untuk menyelamatkan diri. Namun terlambat. Sebelum Riko melangkah, sebuah cengkraman keras berhasil mencekik leher remaja tersebut. Kini perlahan tubuh Riko terangkat. Kakinya mencari pijakan dengan kondisi tenggorokan yang tercekik. Wajahnya mulai memerah menandakan sulit mendapatkan oksigen untuk bernafas.
"Hahaha.... kalian harus ikut kami !" seru lelaki gemuk dan berkepala botak yang membuat Riko hampir saja mati kehabisan nafas , kalau saja Topan terlambat menolongnya.
Topan bangkit, sekuat tenaga diraihnya gitar yang biasa dijadikan senjata untuk mengumpulkan koin demi koin rupiah. Dengan sisa tenaga yang ada, ia hantamkan gitar tersebut ke kepala botak si lelaki gemuk.
Braakkk.... !
Seketika gitar berwarna hitam itu hancur berantakan. Tak berselang lama tubuh Riko terlepas dan jatuh. Tak menunggu lama ia berlari menjauh sekuat tenaga. Setelah merasa aman ia beranikan diri menyaksikan apa yang dialami kedua kawannya dari jauh.
"Kurang ajar !" hardik lelaki gemuk sambil meraba kepala botaknya yang sedikit berdarah. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Melihat situasi tersebut, Topan bersiap berlari menyusul Riko untuk menyelamatkan diri.
Lelaki botak tak mau kehilangan buruannya. Secepat kilat diraihnya remaja tersebut dengan kasar, lantas didorong hingga terjatuh menindih tubuh Arif yang sudah babak belur tak berdaya.
"Kalian ikut kami !" lelaki botak bersuara lantang, sesekali tangannya meraba bekas hantaman gitar yang tampak membulat seperti bisul.
"Tapi pak, salah kami apa... ?" Suara Arif lirih mengharap belas kasihan dari kedua manusia yang tak ubahnya monster itu. Berbeda dengan Topan yang tampak tegar, tak ada sedikitpun rasa takut terpancar di wajahnya. Dipandangi terus kedua orang yang berada di hadapannya seolah menantang. Dibuang jauh - jauh rasa sakit yang menimpa sekujur tubuhnya.
"Kalian tidak salah" jawab pria tinggi besar.
"Lantas kenapa kalian memukuli kami ?" Lantang suara Topan seolah menuntut keadilan. Kedua pria tersebut tak menggubris pertanyaan tadi. Tanpa basa basi ditariknya kedua remaja itu masuk ke dalam box sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Cepat masukkan mereka ke dalam, kita tak ada waktu lagi jika ingin mendapatkan bonus yang dijanjikan bos besar" ucap pria tinggi besar. Tangan kanannya membuka box mobil bagian belakang sementara tangan kirinya mencengkeram tubuh Arif yang terus meronta. Namun tenaganya sudah tak ada artinya.
"Benar katamu , kita harus segera berangkat. Aku kira dua bocah ini sudah cukup sebagai tebusan bonus yang ia janjikan" jawab pria botak. Kedua tangannya sibuk mengikat kedua tangan Topan dan Arif. Tak lupa mata mereka ditutup menggunakan kain hitam yang cukup tebal. Tak lama kemudian, kendaraan itupun berjalan meninggalkan lokasi kejadian penculikan.
"Kita mau dibawa ke mana Pan... ?" tanya Arif membuyarkan ingatan kawannya. Dengan setengah berbisik, Ia khawatir dua orang lelaki yang ada di belakang kemudi mendengar obrolan mereka. Dengan mata masih tertutup ia berusaha menguasai dirinya yang diliputi rasa takut.
"Aku tak tahu Rif. Sepertinya kita sudah meninggalkan kota. Dari tadi aku tak mendengar suara kendaraan lain, baik itu sepeda motor atau mobil" ucap topan pelan.
"Aku takut, Pan. Emak pasti khawatir karena aku belum pulang"
"Tenang Rif. Riko selamat, pasti dia mengabarkan keadaan kita. Semoga saja ada yang menolong kita"
"Kalau tidak bagaimana Pan ? huhuhu..."
Arif menangis pilu, membayangkan maut yang sedang mengintainya. Sementara sahabatnya terus menguatkan, berharap Arif tak larut dalam kesedihan dan ketakutan. Bagaimanapun mereka harus bisa berfikir menggunakan logika akal sehat dan tentunya berserah pada Allah. Karena itulah hal penting dalam menghadapi situasi sulit ini.
"Kita pasrahkan semuanya kepada Allah, pemilik alam semesta. Zat yang menggenggam nyawa kita" jawab Topan mantap. Arif terdiam dan perlahan dapat menenangkan fikirannya yang kalut.
"Sekarang kau buka kain hitam yang menutupi mataku" pinta Topan.
"Bagaimana Pan, tanganku terikat ?"
"Gunakan gigimu, lepaskan ikatannya"
Tanpa menunggu lebih lama, Arif segera melakukan apa yang dikatakan sahabatnya itu. Setelah melepaskan ikatan kain yang menutup mata, ia beralih melepaskan ikatan pada kedua tangan Topan.
Setelah itu, gantian Topan yang membebaskan Arif dari kedua ikatan di tubuhnya. Bedanya, kali ini ia melepaskan seluruh ikatan tersebut menggunakan kedua tangannya.
"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa melepaskan ikatan ini"
"Iya Rif, sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya keluar dari mobil box ini" jawab Topan pelan. Sesekali matanya melirik ke arah dua orang yang berada di belakang kemudi. Dari kaca berukuran dua jengkal persegi itu, ia dapat dengan jelas melihat laki - laki botak dengan benjolan di kepalanya yang masih tertidur pulas. Sementara di sebelahnya pria bertubuh tinggi besar sedang fokus melajukan kendaraan yang membelah gelapnya malam di tengah hutan belantara yang menyeramkan.
Kabur
"Sepertinya kita sedang melewati hutan Rif" Jelas Topan sambil terus mengamati jalan yang terkena sorot lampu mobil. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya pohon - pohon besar saling berhimpitan.
Sesekali penglihatannya terhalang oleh gelapnya malam saat kendaraan yang membawa mereka melintasi lubang atau batu - batu besar.
"Yang benar Pan ?" sedikit kaget, Arif reflek mengikuti apa yang kawannya lakukan. Dengan rasa takut yang menghantui, dan kepanikan yang semakin menjadi. Remaja ini seolah tak percaya apa yang dilihatnya di luar sana.
Setelah yakin kawannya tidak berbohong, Arif kembali terduduk menyesali nasibnya. Belum hilang lebam dan memar di tubuhnya, dan belum hilang rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang diterimanya. Kini ia harus menerima kenyataan, terkurung dan tak tahu akan dibawa ke mana.
"Sekarang kita harus bagaimana ?" tanya Arif dengan muka yang terlihat makin murung. Suaranya sangat lirih seolah putus asa.
"Kita harus bisa menyelamatkan diri Rif. Kamu harus kuat" jawab Topan memberi semangat.
"Caranya bagaimana .... Topann....?, sementara kita terkurung di sini. Dan orang itu bisa saja membunuh kita sewaktu - waktu !"
"Ssttt... , jangan berisik" dengan cekatan Topan membekap mulut kawannya agar tak terdengar oleh dua orang yang duduk di depan. Bagaimanapun ia harus bisa menenangkan Arif yang terlihat makin frustasi.
"Untuk saat ini kita tunggu kendaraan ini berhenti. Dan jika ada kesempatan untuk kabur, jangan sampai kita sia - siakan" terang Topan meyakinkan. Dijawab anggukan kawannya.
Sementara hari mulai menjelang pagi. Perlahan - lahan keadaan yang tadinya gelap gulita, kini mulai terpapar sinar mentari. Walaupun tidak semua mampu ditembus, karena rimbun dan padatnya pepohonan yang ada. Namun ini sudah cukup untuk memberikan pencahayaan yang dibutuhkan. Kini mulai terlihat jelas tempat yang mereka lewati adalah hutan belantara yang masih alami.
Di kanan kiri jalan kecil yang mereka lewati terdapat aneka pohon - pohon besar berusia puluhan, bahkan ratusan tahun. Pohon beringin menjulang dengan gagahnya, di antara dahan dan batangnya menjuntai beberapa akar gantung yang bergoyang - goyang saat beberapa monyet bergelayutan mencari makanan.
Di sebelahnya berdiri pohon dadap yang tak kalah gagahnya. Beberapa burung berulangkali terbang bermain main di antara rimbunnya daun dan dahan pohon tua itu.
"Sebentar lagi kita sampai" pria di belakang kemudi berguman datar. Diarahkan pandangan ke pria botak yang masih dibuai mimpi.
"Bangun .... Jarot, sebentar lagi kita sampai !" kali ini pria tinggi besar bicara dengan nada tinggi. Sontak saja pria botak yang bernama Jarot itu memicingkan mata lalu menguceknya. Tak lama kemudian, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan benda pipih.
"Aku kabari bos besar, agar segera disiapkan bonus yang dia janjikan pada kita" ucap Jarot sambil jari - jarinya memijit benda pipih berwarna hitam.
"Itu saja yang kamu pikirkan. Aku yakin dia orang yang menepati janji" jawab pria di belakang kemudi. Pria tinggi besar dengan potongan rabut klimis, Kubil namanya. Matanya terus mengamati jalan di depannya. Sesekali menoleh ke arah kawannya yang sedang berbincang dengan seseorang yang dia panggil bos besar.
"Bagaimana... ?" tanya Kubil lagi, sesaat setelah kawannya mematikan handphonenya.
"Dia sudah menyiapkan apa yang kita minta"
"Hanya itu ?, setelah perjalanan yang melelahkan ini. Tidak mungkin kita kembali ke daratan tanpa beristirahat" cecar pria yang sedang mengemudi tersebut. Terlihat raut muka kurang puas di wajahnya.
"Dia juga sudah menyiapkan ahli yang bisa mengembalikan kebugaran kita seperti sedia kala" jawab Jarot sambil tersenyum tipis.
"Itu baru yang ditunggu - tunggu !"
"Aku sudah lama tidak dipijit !"
" Hahahaha..... !! " tergelak, terbahak - bahak kedua bajingan itu membayangkan apa yang akan mereka nikmati.
Tak lama berselang, kendaraan yang mereka tumpangi berhenti. Beberapa puluh meter di hadapan mereka berdiri megah sebuah bangunan. Dari bentuknya, bangunan tersebut lebih mirip seperti pabrik atau gudang. Tanpa membuang - buang waktu, Bergegas kedua orang tersebut turun.
"Bawa mereka ke dalam" seru lelaki tinggi besar sambil menunjuk ke arah belakang. Tak menunggu lama, Jarot segera membuka box bagian belakang kendaraan tersebut.
Sementara di dalam box kendaraan tersebut, kedua remaja sudah menyusun rencana besar. Saat pintu belum terbuka sempurna, Topan memberi aba - aba.
"Satu..., dua..., tiga... !" keduanya menerjang pintu box kendaraan dari dalam. Selanjutnya mereka berlari sekencang - kencangnya.
Bruuuukkk.... !
Jarot kaget dan tersungkur ke tanah. Mukanya mengeluarkan darah segar terkena pintu besi yang akan dibukanya.
Sementara itu lelaki tinggi besar hanya terpaku di tempatnya berdiri. Antara bingung dan heran, Tak percaya tawanannya bisa kabur semudah itu. Ia tersadar saat pria botak berteriak sambil memegangi hidungnya yang mengucurkan darah kental.
"Kejar mereka... kejarrr... !" seru pria botak. Tangannya menunjuk dua remaja yang berlari menjauh. Sesekali keduanya menengok ke belakang. Memastikan apakah lelaki tinggi besar itu mengejar mereka.
"Terus lari Rif !" seru Topan saat melihat kawannya berhenti sejenak akibat kelelahan.
"Masuk ke dalam sini Pan !" Seru Arif saat menyadari lelaki tinggi besar itu kini menaiki kendaraanya hendak mengejar mereka. Setelah dengan susah payah memutar balik kendaraanya, kini ia sudah berada di tempat buruannya berhenti sejenak. Namum kini dua remaja itu sudah menghilang, masuk ke dalam rimbunnya pohon - pohon besar dan tanaman semak yang begitu rapat.
"Aduhh..." Arif menjerit pelan, saat kakinya tak sengaja menginjak benda berbentuk bulat. Penasaran, remaja tersebut meraih benda yang tertutup oleh lebatnya rumput alang - alang itu. Sementara Topan hanya mengawasi keadaan sekitar. Betapa terkejutnya kedua remaja tersebut saat melihat apa yang ada di tangan Arif.
"Teng.... tengkorak Pannn .. !" seru Arif panik. Spontan ia buang lagi benda yang baru saja di genggamnya. Topan yang ikut panik segera memberi kode agar mereka meninggalkan tempat tersebut.
"Tempat apa ini Pan ?"
"Sepertinya banyak orang yang mati di tempat ini, beberapa kali kakiku terantuk benda keras dan panjang seperti tulang manusia" jelas Topan sambil terus mengamati sekeliling.
"Iya Pan, kakiku juga merasakannya" jawab Arif. Kedua remaja ini terus mengendap - endap, memastikan kedua orang penculik itu tidak mengejar mereka.
Perlahan hembusan angin menyapu kawasan hutan belantara itu. Di tengah segarnya udara yang berhembus, keduanya mencium aroma yang tidak sedap. Bau busuk dan anyir menyeruak ke segala arah. Sontak saja kedua remaja itu hampir muntah dibuatnya. Berbagai upaya dilakukan agar aroma busuk itu tidak tercium, namun sia - sia.
"Bau apa ini Pan. Wuoaeekkk... !" jerit Arif yang hampir memuntahkan seisi perutnya.
"Sepertinya ini bau darah atau daging busuk" jawab Topan sambil menutup hidungnya. Dia arahkan pandangan ke segala arah, mencari asal aroma tidak sedap yang mereka hirup. Namun yang dilihatnya hanyalah pohon - pohon besar yang saling berhimpitan. Dan tentunya tumbuhan semak dan ilalang yang mampu menyamarkan keberadaan mereka.
Setelah memastikan keadaan aman, keduanya terus berjalan menjauh. Di benak keduanya dipenuhi pertanyaan yang masih menjadi misteri. Kenapa mereka diculik, siapa yang menculik mereka, dan untuk apa mereka diculik. Dan yang pasti mereka ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa mereka di bawa ke tempat mengerikan ini.
Berita Duka
Malam itu cuaca cukup terang, cahaya lampu jalan dan cahaya rembulan yang membulat tidak cukup membuat hati seorang remaja untuk tenang. Hatinya gelisah dan khawatir akan keselamatan kedua kawannya.
Riko coba mengejar kendaraan yang membawa Topan dan Arif. Dia terus membuntuti mobil yang membawa kedua rekannya dengan berlari, namun sia - sia. Baru beberapa menit ia berlari sekuat tenaga, kakinya lemas tak mampu lagi digerakkan. Persendiannya goyah bahkan gemeteran. Pandangan matanya terus mengiringi kepergian dua sahabatnya hingga kendaraan tersebut menghilang di tikungan jalan. Dengan terduduk lesu dan raut muka sendu, dia berucap lirih.
"Maafkan aku sobat. Semoga kalian baik - baik saja. Aku akan mencari pertolongan" tak terasa bulir - bulir bening luruh di pipinya dan menetes membasahi aspal jalan yang hitam pekat. Tak berselang lama, ia bangkit. Diusapnya air mata yang menetes dan bergegas meninggalkan tempat tersebut.
Dikumpulkan sisa - sisa tenaga yang ada, ia kembali berlari. Kini tujuannya adalah rumah kedua kawannya. Secepatnya ia ingin mengabarkan apa yang terjadi kepada keluarga Topan dan juga Arif. Riko terus berlari, keluar masuk gang - gang sempit yang berliku - liku seolah sebuah labirin yang tak berujung.
Kemudian ia melewati sebuah jembatan usang yang membentang rapuh. Di bawahnya mengalir air sungai yang keruh berwarna coklat pekat. Tak jauh dari jembatan terlihat beberapa bocah tengah asyik menceburkan dirinya ke aliran sungai yang tampak tenang. Rupanya cahaya bulan purnama yang cukup terang membuat mereka nekad berenang di sungai malam - malam begini. Bocah - bocah tanpa sehelai benang itupun dengan riangnya berenang ditemani aneka macam sampah yang datang dari hulu. Sesekali suara riuh saling bersahut - sahutan berlomba keluar dari mulut mungil mereka.
Setelah berada di seberang sungai, Riko masuk ke sebuah gang sempit. Dia masih saja berlari, tak memperdulikan apapun yang ada di sekitarnya. Hal itu membuat beberapa orang yang tengah asyik bermain catur terheran - heran. Orang - orang tua dan anak - anak muda yang tengah mengitari sebuah papan catur teralihkan perhatian mereka.
"Kenapa Si Riko pulang lari - larian begitu. Seperti dikejar setan saja ?" seru orang tua yang sedang memindahkan pionnya beberapa langkah.
"Iya, tidak seperti biasanya" ucap pemuda yang berdiri di belakang orang tua tadi.
"Biasanya dia pulang bersama Topan sama Arif. Kemana dua anak itu ?" timpal lelaki paruh baya lainnya. Pandangannya diedarkan mencari jawaban. Tak lama kemudian perhatian mereka kembali tertuju kepada papan catur. Kedua orang yang sedang berhadap - hadapan itu kini saling memakan bidak catur lawannya.
Langkah Riko terhenti di depan sebuah rumah dua tingkat. Dengan nafas yang masih memburu, remaja ini mengayunkan jari tangannya yang mengepal. Diketuknya pintu berwarna coklat dengan ragu - ragu. Pandangan matanya menyusuri setiap bagian rumah berwarna krem tersebut. Tak lupa ia ucapkan salam, berharap sang empunya rumah segera keluar.
"Assalamualaikum....!" ucap Riko tergesa dan suara yang tinggi. Namun netranya belum juga mendapati orang tua Topan, pemilik rumah tersebut. Diulangi sekali lagi ucapan salamnya, dan kini terdengar sahutan dari dalam.
"Waalaikumsalam.... siapa.... ?" jawab seorang wanita paruh baya. Bergegas ia membuka pintu dan mendapati kawan anaknya sedang berdiri dengan gelisah.
"Saya Riko, bu"
"Ooo... ada apa nak Riko ?"
"Saya mau kasih kabar bu" jawab Riko sedikit bingung harus memulai dari mana. Ia tak tega melihat orang tua di hadapannya itu bersedih.
"Kabar apa nak Riko ?, apakah tentang anakku Topan ?, di mana dia sekarang ?" Seperti memiliki firasat, wanita tersebut mencecar Riko dengan pertanyaan tentang Topan, anaknya.
"Topan dan Arif diculik bu. Maafkan, saya tidak bisa menyelamatkan mereka" ucap Riko lirih, seperti menyesali diri yang tak bisa berbuat apa - apa.
"Apaa.... !!!" tanya wanita paruh baya di hadapannya dengan suara yang cukup keras. Bagai disambar petir di siang bolong mendengar kabar tersebut. Matanya melotot tak percaya, seketika badannya lemas.
Kakinya tak lagi mampu menopang badan gemuknya. Hampir saja ia terjatuh jika saja suaminya terlambat datang. Segera dipapahnya tubuh sang istri, dibantu oleh Riko yang panik menyaksikan semua itu.
"Ada apa nak Riko" tanya bapaknya Topan sambil menuntun sang istri untuk duduk di sofa. Sementara di luar sudah ramai oleh para tetangga. Mereka datang saat mendengar suara ribut - ribut dari ruang tamu rumah Topan.
"Topan dan Arif diculik pak" jawab Riko lirih.
"Kamu yakin nak Riko ?" tanya orang tua itu lagi, seolah tak percaya akan kebenaran ucapan remaja di hadapannya.
"Sangat yakin pak, karena saya juga hampir saja ikut dibawa penculik itu. Untung saja Topan menyelamatkan saya hingga saya bisa lari" terang Riko panjang lebar. Remaja ini menceritakan semuanya, hingga ia tak menyadari seorang wanita paruh baya mendesak masuk menerobos kerumunan warga yang berhimpitan di depan rumah Topan.
"Arif... anakku .... di mana dia, Riko ?" seru seorang ibu terbata - bata menahan guncangan emosi mendengar kabar yang menggemparkan itu. Wajahnya lekat mencari jawaban di wajah remaja yang ada di hadapannya. Dia adalah ibunda Arif. Ketiga remaja itu tinggal bertetangga, sehingga sudah saling mengenal satu sama lain.
"Arif diculik bu" jawab Riko.
"Apaaa.... !" seru wanita tersebut kaget. Matanya terpejam dan seketika tubuhnya jatuh di lantai dengan tubuh lemas.
#####
Hari sudah beranjak siang saat sepasang suami istri berjalan memasuki pelataran sebuah bangunan yang cukup luas. Di belakang keduanya mengekor seorang ibu yang usianya tak jauh berbeda.
Raut muka ketiganya terlihat murung, sesekali tangan - tangan yang mulai keriput itu mengusap mata mereka yang tampak berair.
"Assalamualaikum" ucap sang lelaki yang mengenakan baju koko dan peci hitam. Dialah bapak Topan. Di hadapannya berdiri seorang petugas dengan tatapan mata awas. Tangannya menggenggam sebuah senapan laras panjang dengan posisi waspada.
"Waalaikumsalam, ada yang bisa kami bantu pak, buk...?" jawab petugas tersebut. Matanya terus menelisik setiap inci tubuh ketiga orang tua di depannya. Kemudian dia mempersilahkan mereka untuk duduk.
"Kami ingin membuat laporan penculikan yang menimpa anak kami" jawab bapak Topan dengan seutas senyuman, berharap laporannya segera ditindak lanjuti. Sementara sang petugas yang duduk berhadapan dengan lawan bicara hanya manggut - manggut. Lama ia termenung. Tangannya membolak balik halaman buku yang ada di hadapannya. Entah apa yang ada di benaknya. Kemudian dia berucap.
"Apakah bapak punya bukti kalau anak bapak diculik ?" tanya sang petugas.
"Buktinya anak kami belum pulang pak. Kawannya menyaksikan sendiri jika anak saya diculik" ucap orang tua topan ragu. Perasaannya mulai tak enak. Di dalam hatinya terbersit usahanya tersebut akan sia - sia.
"Jika anak bapak belum pulang, itu bukan bukti bahwa anak bapak diculik, bisa jadi dia pergi dengan kawannya" jawab petugas itu lagi. Bulir - bulir air mata yang menetes tak mampu menyentuh hati nurani sang petugas. Diacuhkannya laporan orang tua itu dengan alasan yang dibuat - buat dan tak masuk akal. Sang petugas bangkit hendak berdiri, namun dicegah oleh tangan ibunda Arif. Dengan menghiba dan memelas ia coba memohon belas kasihan kepada sang petugas.
"Tolonglah anak kami, pak" ucap sang ibu sambil sesegukan menahan tangis. Namun sia -sia, usahanya tak membuahkan hasil.
"Silahkan bapak dan ibu cari mereka, tugas kami banyak" seru petugas tersebut dengan angkuhnya. Ditepisnya tangan ibunda Arif, bergegas ia beranjak meninggalkan ketiganya.
Tak bisa lagi diungkapkan rasa yang bergemuruh di dada ketiganya. Kecewa, marah, sedih bercampur menjadi satu. Perlahan dan pasti mereka bangkit, hendak pulang kembali kerumah. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari mereka yang digaji oleh negara. Rumah mereka, kendaraan mereka, pakaian mereka, bahkan pulsa untuk merekapun didapat dari pajak rakyat.
#####
Sore itu gerimis turun membasahi bumi. Berbeda dengan siang tadi, panas terik sangat menyiksa. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun masuk ke rumah yang sudah lama tidak ia singgahi.
Setelah mengucap salam, bergegas ia menuju ruang tamu yang juga menjadi satu dengan ruang keluarga. Dipindainya setiap sudut ruangan yang lama ia tinggalkan, tak banyak yang berubah.
Di tembok berwarna krem masih setia menempel tiga buah figura berisi foto dirinya mengenakan seragam tentara, kemudian foto sang adik di gendongan ibunya, dan yang terakhir foto sepasang suami istri dan kedua putranya.
Langkahnya terhenti saat kedua bola matanya mendapati sang ibu sedang menagis pilu. Sementara sang bapak duduk di sebelahnya, tangannya merangkul sang istri untuk menenangkan.
"Assalamualaikum" ucap sang pemuda pelan. Dia tak ingin membuat kedua orangtuanya terkejut.
"Waalaikumsalam, kamu sudah pulang Toni ?" jawab sang bapak saat menyadari kehadiran sang pemuda yang bernama Toni.
"Adikmu diculik, Ton" ucap sang ibu sambil mengulurkan tangannya untuk dicium sang anak. Isak tangisnya kembali menggema. Menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
"Topan diculik siapa buk..., pak... ?" tanya Toni dengan wajah keheranan. Menurutnya untuk apa mereka menculik pengamen jalanan.
"Kami tidak mengetahui siapa yang menculik Topan dan Arif. Dan bapak juga tidak tahu apa alasan mereka menculik adikmu, Ton" jawab bapaknya panjang lebar. Pemuda tersebut sangat marah mendengar kabar tersebut.
Sebagai seorang mantan anggota pasukan elit, ia siap mati untuk menemukan dan menyelamatkan adiknya. Walaupun apapun rintangan yang akan dihadapi, dia sudah siap. Jiwa dan raganya sudah kebal oleh setiap rintangan. Dalamnya lautan, tingginya gunung, terjalnya tebing cadas bahkan terkaman binatang buas sudah biasa ia hadapi.
"Bapak, ibu tenangkan fikiran. Biarkan ini menjadi urusan Toni" ucap pemuda itu mantap.
"Temuilah Riko nak, dia adaah saksi kunci. Siapa tahu dia bisa memberikan informasi penting" ucap sang bapak. Sementara sang ibu masih terus terisak.
"Kalau begitu, Toni berangkat dulu. Do'akan agar Toni berhasil membawa pulang Topan dengan selamat" pemuda itu kembali berdiri. Di ciumnya tangan kedua orang tuanya sebagai bentuk penghormatan dan memohon restu akan kepergiannya.
Belum hilang lelahnya dan belum puas melepas rindu dengan kedua orang tua yang sangat dicintai. Dia harus kembali untuk mencari dan menyelamatkan sang adik. Sebagai seorang kakak, tentu tak ada pilihan baginya. Nyawapun siap ia tukar demi keselamatan sang adik tercinta.
#####
Malam itu, Toni dan Riko nongkrong di perempatan jalan tempat terakhir kali Riko melihat kedua rekannya. Hal itu sengaja ia lakukan untuk memancing sang penculik kembali lagi. Setidaknya Riko bisa mengenali penculik tersebut jika mereka melintas di jalan itu. Sesekali keduanya memainkan gitar dan membawakan lagu saat lampu jalan berwarna merah.
Namun netra mereka tak membiarkan satu kendaraanpun yang luput dari pantauan keduanya. Satu per satu kendaraan ditelisik. Diamati dari bentuknya, warnanya dan nomer di platnya. Yang tak kalah penting adalah pengemudinya.
"Bagaimana Ko. Sudah kelihatan ?" tanya Toni sambil memainkan jari jemarinya di antara senar gitar.
"Belum kelihatan bang" jawab Riko. Tangannya sibuk menghitung uang kertas yang warnanya sudah pudar. Sudah seharian mereka berkelahi dengan debu jalan dan bermandikan teriknya sang surya. Namun yang dicari belum juga kelihatan batang hidungnya.
"Seandainya belum ketemu juga penculik itu, apa rencana abang selanjutnya ?" tanya Riko. Saat ini mereka berteduh di bawah pohon ketapang. Cuaca panas membuat mereka harus pintar - pintar mengakali keadaan.
"Beberapa kawanku yang masih berdinas akan ku pinta bantuan. Begitu juga dengan kawanku di bagian intel. Semoga mereka bisa memberikan gambaran penculik - penculik ini. Siapa mereka dan bekerja untuk siapa" jawab Toni panjang lebar.
Dalam fikirannya dia sudah merencanakan apa yang akan dan harus dilakukan. Jika satu rencana tidak membuahkan hasil, maka beralih ke rencana selanjutnya. Dirogohnya kantong celana dan kemudian tangannya ditempelkan ke telinga dengan posisi memegang benda pipih berwarna silver. Tak lama kemudian ia sudah terlibat obrolan dengan seseorang .
"Halloo..."
"Hallo bro. Kemana saja kawan ?"
"Maaf bro, belum bisa nongkrong lagi. Aku lagi sibuk"
"Sepertinya urusan penting kawan"
"Betul sekali bro. Aku perlu bantuan untuk melacak penculik adikku"
"Bailklah. Kau kirim saja ciri - cirinya"
"Oke bro. Nanti aku info lagi"
"Siap, komandan..... !" kata terakhir dari seseorang di ujung sana. Perlahan Toni memasukan handphonenya kembali. Kini kembali ia edarkan pandangan ke setiap kendaraan yang berhenti saat lampu berwarna merah.
Semua informasi sudah ia dapatkan dari Riko. Kini tinggal menunggu kedua bajingan itu kembali melewati jalan ini. Satu per satu orang - orang yang dianggap bisa membantu dia hubungi.
Dia tak perduli apakah orang itu mau membantu atau tidak. Begitu juga bekas teman - temannya di kesatuan elit sewaktu masih menjadi tentara. Banyak di antara mereka yang kini menjadi warga sipil biasa dengan berbagai alasan.
Dari bawah pohon ketapang yang teduh, ia menyaksikan Riko bermandikan peluh terus mengawasi tiap kendaraan, terutama mobil box yang behenti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!