Pov Davin
Namaku Davin Saputra, usiaku 26 tahun, aku lahir dari pasangan Tiara Kania dan Dion Sasaka.
Aku sangat menyayangi orang tuaku terutama mama.
Aku adalah anak satu-satunya orang tuaku namun aku punya adik sepupu laki-laki bernama Andika Pangestu.
Sedari kecil aku memang sudah patuh pada kedua orang tuaku, tak ada paksaan dalam menjalaninya.
Termasuk pernikahan yang kujalani karena perjodohan orang tuaku dan sahabat mereka.
Kekecewaan kurasakan ketika aku mengetahui bahwa ternyata istriku yang bernama Mellisa tidak mencintaiku sama sekali.
Dengan segala kemantapan hati, aku, janjiku pada mama, aku akan membuat istriku jatuh hati padaku dan menjadikan rumah tanggaku ini menjadi keluarga yang bahagia.
Prinsip hidupku :
"Ridho-Nya tergantung ridho orang tuaku".
"Kebahagiaan akan datang bila kita selalu berbakti kepada mereka(orang tua)".
***
Pov Mellisa
Namaku Mellisa Anggraini, orang-orang memanggilku Mellisa, saat ini usiaku 22 tahun.
Aku putri pertama dari dua bersaudara ibu Inayah dan bapak Dasuki almarhum. Adikku bernama Kaysa Talita.
Aku sudah dijodohkan sejak kecil oleh bapak ketika beliau masih hidup dengan anak sahabatnya.
Kini aku sudah menikah dengan Davin, seseorang yang sudah dijodohkan denganku.
Aku sangat sadar, aku bukanlah istri yang baik, karena aku tidak bisa mencintainya, aku tidak bisa menerimanya menjadi suamiku.
Bagaimana caranya aku menghadapinya ketika dia meminta haknya sebagai seorang suami?
Prinsip hidupku :
"Aku... ."
"Aku akan berusaha menjadi seorang istri yang baik".
"Ridho-Nya ada pada Ridho suamiku".
"Aku akan menjalani pernikahan sesuai syariat agama dengan segala kewajiban dan hak suami dan istri".
***
Kaysa Talita
***
Andika Pangestu
***
Jeny Clara
***
Anton Wibowo
***
Rosy and Jasmine (girls)
Rosy and Jasmine (women)
***
"Assalamu'alaikum." Mama mengucap salam memasuki kamar Davin.
Davin menoleh ke arah sang mama.
"Wa'alaikum salam." Davin menjawab salam mamanya.
"Kamu bukannya sudah cuti, kenapa masih melihat laptop?" tanya mama duduk mendekati putranya.
Davin menutup laptopnya.
"Hanya mengecek, Ma," jawab Davin lalu menatap mamanya.
"Mama harap kamu tidak terpaksa menjalani pernikahan ini," ucap mama menggenggam tangan Davin.
Davin sebenarnya sangat ingin mempertanyakan banyak hal namun dia urungkan, sedari kecil Davin memang sudah menjadi anak yang penurut, apapun yang dikehendaki orang tuanya selalu dia lakukan.
Bukan apa-apa, Davin hanya ingin orang tuanya bahagia, apapun keinginan mereka.
"Apa sudah siap?" tanya papa tiba-tiba muncul.
"Kita pulang kampung sekarang," ucap papa lagi.
Davin dan mamanya mempersiapkan barang-barang untuk dibawanya ke mobil.
Sepanjang perjalanan, keluarga kecil ini terus mengobrol.
"Nanti kamu harus memberikan banyak cucu buat Mama," ucap mama.
"Ah Mama, nikah saja belum," sahut Davin datar.
"Mamamu ini ingin punya banyak cucu tapi anaknya hanya satu," ucap papa melirik istrinya.
"Bukan begitu Pa, tapi kan Papa sendiri tahu keadaan Mama." Mama menunduk sedih.
Papa suka lupa tentang hal ini, awalnya hanya ingin bercanda namun mama terlanjur sedih.
Mama memang sudah tidak bisa hamil lagi semenjak rahimnya diangkat karena alasan sebuah penyakit.
Waktu itu Davin berusia 1 tahun, mama tentu saja sangat sedih, bagaimana tidak? dia baru saja mempunyai satu anak, malahan mama punya rencana kedepannya ingin punya anak perempuan setelah Davin, namun apalah daya Allah berkehendak lain.
Papa menggenggam tangan mama.
"Aku minta maaf, Ma." Papa nampak lesu menyesali ucapannya.
Mama menangis membuat papa langsung memeluk istrinya.
Davin yang melihat kesedihan mamanya lalu ikut menangis, dia mengusap air matanya dengan cepat sebelum orang tuanya mengetahuinya.
'Davin berjanji, sepanjang hidupku, selama aku masih hidup, aku akan berusaha membahagiakan mama.'
'Jika memang pernikahan ini membuat mama bahagia aku akan bersedia menjalaninya demi mama'
'Ya Allah semoga benar jalan ini. Menikah adalah ibadah terlama dalam hidup'.
'Restuilah kami nanti, jadikanlah kami keluarga yang sakinah mawaddah warohmah. Aamiin.'
***
Tok!
Tok!
Tok!
"Assalamu'alaikum." Talita memberi salam.
"Wa'alaikum salam." Sahut Mellisa dari dalam kamar.
Mellisa beranjak dari duduknya, dia segera mendekati pintu untuk membukanya.
"Kakak, dipanggil ibu," ucap Talita, adiknya.
Mellisa mengangguk pelan.
"Kak," panggil Talita mendekati kakaknya.
"Hm," jawab Mellisa menatap sang adik.
Mellisa seolah mengetahui apa yang ingin adiknya utarakan.
"Kakak akan menikah?" tanyanya pelan, ada nada kesedihan dalam pertanyaannya.
Mellisa segera memegang pundak Talita yang kini tertunduk lesu.
Mellisa tersenyum lalu memeluk adik satu-satunya itu dengan lembut.
"Kalau sudah waktunya, semua orang pasti akan menikah kan, Dek."
"Terus aku akan sendirian, pasti sepi dan bosan."
Mellisa tersenyum. Menatap Talita dengan seksama.
"Kok sendiri? kan ada ibu," jawab Mellisa mengusap lembut punggung adiknya.
Talita menggelengkan kepalanya.
"Hanya ada aku dan ibu, biasanya kan kita bertiga pasti kurang rame, Kak." Talita menjawab dengan cemberut.
Mellisa lagi-lagi tersenyum.
"Udah. Katanya ibu memanggil Kakak, nanti ibu marah loh." Mellisa melepaskan pelukan adiknya lalu menariknya berjalan keluar kamar untuk menemui sang ibu di ruang depan.
***
"Tanggal pernikahanmu sudah ditetapkan Mell," ucap ibu.
Mellisa kaget, namun sekaget apapun Mellisa hanya menjawab dengan anggukan kecil saja.
"Minggu depan kamu akan menikah sayang." Ibu mengusap lembut punggung putrinya.
Mellisa tersenyum dan mengangguk pelan.
"Persiapkan dirimu Mell, sebentar lagi kamu akan segera menjadi seorang istri, jadilah istri yang baik untuk suamimu nanti, jangan kecewakan Ibu dan almarhum bapakmu."
"Baik, Bu."
***
Setelah selesai Mellisa berjalan bersama Talita menuju kamar.
Sesampainya di kamar, Mellisa segera masuk bersama adiknya.
Mereka memang tidur bersama satu kamar karena hanya ada dua kamar di rumah mereka.
Mellisa tidur dengan Talita dan ibu tidur di kamar yang satunya.
"Akhirnya hari itu datang juga, minggu depan aku akan menikah," gumam Mellisa pelan.
"Kakak belum tidur?" tanya Talita melihat kakaknya belum tertidur.
"Sebentar lagi, Dek. Kamu kalau mengantuk tidur duluan saja."
Talita mengangguk dan kembali tertidur.
Mellisa mencoba mengingat kembali calon suami yang hanya baru sekali dia temui, kira-kira satu bulan yang lalu, mungkin dirinya telah lupa.
Mellisa tak begitu memperhatikan wajah calon suaminya, yang dia tahu dia sama sekali tidak mencintai calon suaminya itu.
Lalu bagaimana kedua pasutri ini menjalani pernikahan mereka?
Memang Mellisa sudah dijodohkan dengan Davin sedari kecil.
"Aku ingin berbesan denganmu, bagaimana kalau kita jodohkan dan nikahkan mereka ketika mereka dewasa."
Permintaan sahabat bapak itu telah diutarakannya ketika Mellisa berusia 5 tahun.
Akhirnya demi persahabatan mereka, juga untuk merekatkan hubungan kekerabatan, bapak menyetujuinya.
Kejadian tragis menimpa sang bapak. Setahun setelah perjodohan, sebuah kecelakaan menimpanya dan membuatnya meninggal dunia.
Kini Mellisa sudah dewasa dan siap menikah, ibu dan calon besannya telah mempersiapkan pernikahan anak mereka.
***
Davin merenung di balkon, sibuk dengan pikirannya, sebentar lagi dia akan berumah tangga.
"Assalamu'alaikum," salam mama.
Davin membalikkan badan, dia kaget mendapati mamanya ada di belakangnya.
"Mama."
"Tidak menjawab salam Mama." Mama menghampiri putranya.
"Iya wa'alaikum salam."
"Mama tahu apa yang kamu pikirkan."
Davin membalikkan badannya kembali.
"Memangnya apa yang aku pikirkan, Ma."
"Mellisa anak yang baik, belajarlah mencintainya, pilihan kami pasti yang terbaik untukmu." Mama mendekati Davin.
Davin menoleh mamanya dan memeluk sang mama.
"Mama ingin melihatmu bahagia." Mama membalas pelukan putranya.
"Iya, Ma. Aku tidak akan mengecewakan Mama dan Papa."
***
"Calon suamimu adalah seorang pengusaha, setelah menikah kamu akan ikut dengannya ke kota, ingat jadilah istri yang baik, menurut apa kata suamimu nanti." Ibu memegang tangan putrinya.
'Akan aku usahakan Bu, tapi tak janji,' batin Mellisa.
Mellisa mengangguk dan memeluk ibunya.
"Aku akan sering mengunjungi Ibu nanti."
Ibu melepaskan pelukannya.
"Tidak Mell, suamimu seorang pengusaha, dia pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya, jangan memintanya untuk sering-sering datang ke sini, jangat merepotkannya. Berkunjung saja jika dia yang mengajaknya."
Mellisa terdiam.
"Setelah menikah prioritas utama seorang wanita adalah suami, taat dan patuhlah pada suamimu selagi itu tidak menentang ajaran agama, ingat itu baik-baik ya Mell. Anak ibu yang satu ini pasti tidak akan mengecewakan Ibu dan Bapak."
Mellisa mengangguk.
Ibu tersenyum kemudian mengelus kepala Mellisa.
"Besok hari pernikahanmu, Ibu yakin jika kamu sudah siap."
***
Mellisa digandeng oleh sang mertua menuju ke sebuah kamar.
"Ini kamar suamimu," ucap sang mertua dengan sumringah.
Mellisa melihat pintu di depannya.
Mertuanya lalu membuka pintu kamar dan mempersilahkan Mellisa untuk masuk.
"Masuklah, kamar mandinya ada di sebelah sana. Ganti bajumu dan beristirahatlah."
Mellisa mengangguk. Dia melihat sekeliling kamar.
"Dengar, jangan sungkan-sungkan, ini rumahmu sekarang." Mama mertua berjalan mendekati Mellisa.
"Mama sangat ingin mempunyai anak perempuan, dan kini sudah terwujud. Kamu putri Mama sekarang, mulai sekarang panggil Mama, anggap Mama seperti ibumu sendiri." Mama memegang tangan Mellisa kemudian memeluknya, senantiasa disertai dengan senyumannya yang hangat.
"Iya, Ma, terimakasih."
Mama melepas pelukannya.
"Baiklah Mama tinggal dulu, mandilah dan istirahat sana, oh iya Davin mungkin masih mengobrol dibawah karena banyak saudara-saudaranya yang datang," ucap mama sambil berjalan meninggalkan kamar.
Mellisa mengangguk.
Sepeninggal mama mertuanya, Mellisa kembali melihat sekeliling, mengamati seisi kamar yang terlihat sangat rapi dan bersih juga mewah tak seperti kamarnya yang jauh dari kata mewah.
Matanya kemudian terhenti pada sebuah foto yang terletak di atas nakas di samping tempat tidur.
Mellisa berjalan mendekatinya.
Bukankah seharusnya Mellisa merasa beruntung bersuamikan seorang Davin yang kaya dan mapan dan tampan tentunya.
Tapi Mellisa bahkan tak memikirkan hal itu.
Mellisa mengambil bingkai foto dan mengamati wajah dalam foto itu dengan seksama, karena baru kali ini dia bisa melihat wajah suaminya dengan jelas, walaupun sudah dijodohkan sejak kecil.
Selama pernikahan tadi siang, Mellisa tak menatap atau bahkan melihat wajah suaminya, walaupun mereka disandingkan di atas pelaminan dan saling berdekatan, namun Mellisa tak mau walau hanya sekedar menatap sebentar.
Setelah acara yang diselenggarakan secara sederhana itu selesai, Mellisa langsung diboyong keluarga suaminya untuk langsung ikut ke rumah mereka, tentu saja dengan diiringi isak tangis terutama Inayah, sang ibu yang terlihat sangat bersedih, Mellisa pergi meninggalkan rumah tempat dia dibesarkan.
***
Mellisa berjalan keluar dari kamar mandi menuju tempat tidur dengan perlahan, perasaannya campur aduk tak karuan, bagaimana menjalani rumah tangga yang dia sendiri bahkan tidak mencintai sang suami.
Sudah pasti karena ini malam pertama pernikahan baginya dan sang suami, dia tahu betul jika kini saatnya dia harus melayani sang suami, siap tidak siap, mau tidak mau dia harus melakukannya karena itu kewajibannya sebagai seorang istri.
Mellisa melangkahkan kakinya mendekati pintu balkon yang sedikit terbuka, walaupun sudah semakin dekat, suaminya tetap tak menyadari kehadirannya karena masih sibuk dengan telefonnya.
Mellisa menghentikan langkahnya dan kembali ke tempat tidurnya. Bagaimana jika suaminya menginginkannya malam ini? bagaimana Mellisa menghadapinya sedangkan dia sama sekali tak mencintai sang suami.
"Ibu...." Mellisa memegang dadanya yang berdebar.
"Maafkan aku Bu, aku belum siap."
***
Davin menyudahi pembicaraannya di telefon, dia lalu membalikkan tubuhnya, sedikit mendongakkan kepala ke dalam kamar untuk mencari Mellisa yang tidak nampak olehnya, dia lalu melihat pintu kamar mandi yang masih tertutup.
Davin memang penasaran, dia belum melihat dengan seksama bagaimana wajah sang istri.
Demi baktinya pada kedua orang tuanya, dia bersedia menikahi wanita yang belum dia kenal sebelumnya, dia berjanji akan mencintai sepenuh hati dan tidak mengecewakan kedua orang tuanya.
Davin merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil bermain ponsel.
Ceklek.
Davin mendengar pintu kamar mandi terbuka, namun dia masih belum menoleh.
Mellisa berjalan ke meja rias di sebelah tempat tidur.
Davin meletakkan ponselnya dan mendekati Mellisa.
"A...! Ibu!" teriak Mellisa, dia kaget Davin tiba-tiba melingkarkan tangannya ke pinggang Mellisa dari belakang.
"Kenapa? ada apa?" tanya Davin melepaskan tangannya.
"Aku hanya kaget," jawab Mellisa gugup.
"Oh, apa kamu gugup sayang?"
Davin membalikkan badan Mellisa, kini wajah mereka saling berhadapan.
Davin mencium kening Mellisa pelan, Mellisa memejamkan matanya lalu membuka matanya kembali dan mendorong tubuh Davin hingga terjatuh.
'Hampir saja aku terlena,' batin Mellisa.
"Kenapa lagi?" tanya Davin masih duduk di bawah.
"Maaf, aku belum terbiasa," jawab Mellisa lalu duduk di tempat tidur.
Davin bangun lalu mendekati Mellisa lagi.
"Tak apa-apa, apakah sekarang sudah siap?" tanya davin sambil mengelus pipi istrinya.
Mellisa semakin bingung, bagaimana ini aduh rasa hati tak karuan bukan karena menantikan malam pertama namun memikirkan cara menolak hak suaminya.
"Apa kita harus melakukannya?" tanya Mellisa balik lalu menunduk.
Davin nampak terkejut, kenapa istrinya bertanya seperti itu, namun dia tak mau bertanya kenapa alasannya, mungkin Mellisa lelah, pikirnya.
"Baiklah ayo kita tidur, aku tak akan memaksamu kalau kamu belum siap."
Davin mengusap kepala Mellisa dan mencium keningnya perlahan.
"Mas, bisa tidak jangan terlalu dekat begini," pinta Mellisa.
Davin melonggarkan jarak mereka, mereka kini agak kejauhan.
Sebenarnya Davin kecewa, namun dia juga tak mau jika malam pertama mereka ada keterpaksaan dari sang istri.
"Ayo tidur, besok kita akan bersiap," ucap Davin lalu memejamkan matanya.
Davin membalikkan tubuhnya, Mellisa melihatnya terkejut.
Apa mungkin suaminya tahu tentang perasaannya, lah mana mungkin, pikirnya.
'Aku kira dia akan memakanku dengan beringas, ternyata dia cukup menghormatiku,' batin Mellisa.
***
Keesokan harinya.
Mellisa bangun dari tidurnya, dilihatnya suaminya masih tertidur.
Mellisa membiarkan suaminya itu sampai terjaga sendiri.
Setelah selesai menyelesaikan sholat subuh, Mellisa bergegas menuju dapur.
Dilihatnya sang mama mertua tengah memasak.
"Ma," panggil Mellisa.
Mama menoleh, dia tersenyum menyambut menantunya datang.
"Sini sayang," suruh mama.
Mellisa mendekati mama.
"Aku bantu ya, Ma."
Mama mengangguk.
Mereka memasak bersama sambil sesekali mengobrol.
"Kamu tahu tidak, Mama sangat ingin punya anak perempuan."
"Oh." Mellisa tersenyum.
"Mama senang sekarang ada kamu sayang." Mama mengusap kepala Mellisa.
Keduanya nampak akrab, mama yang merangkul menantunya dengan lembut membuat Mellisa tidak merasa begitu canggung ketika ada di dekat sang mama mertua.
"Nah udah selesai aja, tak kerasa ya," ucap mama sambil membereskan dapur.
"Hm baunya harum, masakan Mama pasti enak," puji Mellisa.
Mellisa membantu mama mertuanya.
Dia begitu sibuk bolak-balik dari dapur ke meja makan menyiapkan sarapan hingga suaminya yang sudah menatapnya dari tadi tak dia sadari.
"Eh, Mas," ucap Mellisa kaget ketika suaminya mendekat.
"Istriku sedang apa?" tanya Davin memeluk Mellisa dari belakang.
Mama yang melihatnya hanya tersenyum.
Mellisa tak dapat menolak pastinya karena mama melihatnya.
"Ada mama, Mas," ucap Mellisa berusaha melepaskan tangan Davin.
Davin semakin mengeratkan pelukannya, membuat Mellisa kesal.
"Ayo kita sarapan dulu, Mas," ajak Mellisa berharap Davin melepas pelukan.
Akhirnya Davin melepas pelukannya. Dia menarik tangan Mellisa menuju meja makan.
Pada saat sarapan, Davin berbicara kepada kedua orang tuanya jika dirinya harus segera kembali ke kota.
Mellisa tersenyum senang, dia akan tinggal di rumah ibunya, pikirnya.
Tentu saja orang tua Davin kaget karena sepengetahuan mereka masa cuti Davin belum selesai.
"Kenapa buru-buru?" tanya mama.
"Perusahaan membutuhkanku," jawab Davin.
"Baiklah kalau memang kamu mau kembali ke kota." Papa ternyata cukup mengerti.
Mellisa tersenyum kembali, betapa senangnya setidaknya untuk sementara tidak bertemu suaminya dulu dalam beberapa waktu, pikirnya.
"Mellisa. Sebelum pergi sebaiknya sekarang kalian pergi ke rumah ibumu, kalian berpamitan dulu." Papa melihat Mellisa yang sedari tadi hanya terdiam saja.
Mellisa nampak kaget mendengar perkataan papa mertuanya.
"Kenapa?" tanya papa melihat kekagetan menantunya.
'Aku pikir aku tidak ikut,' batin Mellisa.
Mellisa memberanikan diri menjawab pertanyaan papa.
"Iya Pa, bukannya mas Davin nanti akan sibuk, nanti malah Mellisa kesepian, jarak dari sini ke kota kan sekitar dua jam saja, mas Davin bisa pulang seminggu sekali."
Papa mengerutkan keningnya.
"Bagaimana bisa seperti itu, kalian suami istri tapi akan tinggal berjauhan?" tanya papa dengan nada sedikit tinggi.
Mellisa nampak takut dan terdiam, Davin melihat istrinya yang agak aneh, pikirnya.
Kenapa Mellisa seperti tak mau ikut dengannya ke kota.
"Iya, Nak. Jangan seperti itu, kalian suami istri harus selalu bersama-sama, lagipula kamu harus mengurus suamimu, itu sudah kewajiban seorang istri," ucap mama yang sependapat dengan suaminya.
Mellisa hanya bisa terdiam dengan rasa bimbang jika sebenarnya dia tak mau tinggal bersama suaminya.
Davin menatap Mellisa.
"Ayo ikut aku ke kota Mellisa, kamu tenang saja, aku akan mengurangi kesibukanku di kantor dan akan menemanimu biar kamu tak kesepian." Davin merangkul istrinya, tentu saja Mellisa tak dapat menolaknya.
"Baik, Mas," jawab Mellisa patuh.
Sekejap perasaan Mellisa menjadi gundah, dalam hati resah tiada henti.
'Bagaimana ini, aku akan ikut suamiku tapi malah perasaanku tidak tenang,' batin Mellisa.
***
Walaupun jarak antara rumah mertuanya dan rumah ibunya tidak begitu jauh, namun Mellisa memilih untuk berpamitan kepada ibu melalui telfon saja.
"Kamu yakin tak mau berpamitan langsung dengan ibu?" tanya Davin.
Mellisa menggelengkan kepalanya.
Davin hendak menggenggam tangan istrinya, namun Mellisa menolak.
'Ada apa dengan Mellisa?' batin Davin.
Sudah setengah perjalanan dan keduanya terus diam membisu, tetap tak ada sepatah katapun yang keluar diantara suami istri itu.
Mellisa mengambil ponselnya di dalam tas, lalu dia menelfon untuk bicara dengan ibunya.
"Assalamu'alaikum," salam Talita setelah mengangkat telfon.
"Wa'alaikum salam, ibu dimana Dek? kakak ingin bicara dengan ibu."
"Sebentar kak, aku cari ibu dulu."
Talita mencari ibunya yang masih di sekitar rumah.
Mellisa menunggu sebentar.
Talita menyerahkan ponselnya pada ibu setelah mengutarakan bahwa kakaknya ingin bicara.
"Assalamu'alaikum Mell, ada apa?" tanya ibu.
"Wa'alaikum salam Bu, hari ini aku dan mas Davin berangkat ke kota Bu, ini sedang di perjalanan Bu, maaf aku pamitan hanya lewat telfon," terang Mellisa menoleh ke arah suaminya sekilas.
"Oh begitu, ya sudah kalian baik-baik di sana, dimana Davin? ibu ingin bicara."
Mellisa menyerahkan ponselnya pada suaminya.
"Kamu pegang saja, aktifkan loudspeakernya," pinta Davin karena dia sedang menyetir.
Mellisa menurut.
"Ibu," panggil Davin.
"Iya Davin, tolong Ibu titip Mellisa, jaga anak Ibu dengan baik, katakan pada Ibu jika Mellisa tak mau menurut."
"Siap Bu, aku janji akan menjaga istriku dengan baik."
Beberapa saat mereka mengakhiri telfonnya.
Mellisa kembali melihat ke luar jendela.
Davin pun kembali menyetir sambil melirik ke arah istrinya.
"Mell," panggil Davin.
Mellisa menoleh.
"Iya, Mas," sahutnya.
"Kamu tidak mau ikut ke kota atau tidak mau hidup bersamaku?"
Mellisa nampak kaget, Davin terlalu buru-buru menanyakan hal itu.
"Aku tahu dari semalam kamu terlihat agak lain tidak seperti perempuan yang gugup di malam pertama tapi lebih ke takut akan sesuatu, boleh tahu itu apa?"
Mellisa sebenarnya bingung mau menjawab apa, beberapa saat dia diam tak menjawab.
Davin hendak menggenggam tangan istrinya namun dia urungkan, pasti akan ditolaknya lagi.
"Aku minta maaf, Mas." Mellisa menunduk.
"Kenapa minta maaf?"
"Aku sudah berusaha untuk mencintaimu, tapi hatiku tak berdebar sama sekali saat di dekatmu, aku minta maaf."
Davin sudah menduganya, tentu saja dia sangat kecewa, padahal semenjak hari pernikahan mereka, Davin sudah memantapkan hatinya untuk mencintai istrinya seorang.
"Apa kamu mau kita tinggal terpisah saja?" tanya Davin membuat Mellisa kaget.
"Jangan, bagaimana kalau ibu dan mama papa tahu," tolak Mellisa.
"Apalah arti sebuah pernikahan jika tidak ada cinta."
"Aku bahkan tidak mengenalmu, bagaimana aku bisa mencintaimu?"
"Kamu tak mau mencobanya, lalu apa mau kamu?"
Mellisa tak menjawab, dia malah menoleh ke jendela mobil tak menghiraukan Davin.
Davin membuang nafas dengan kasar.
Pedih rasanya Davin menahan rasa sakit di hatinya, dia sama sekali tak menyangka kalau istrinya akan bicara jujur seperti itu, bukannya menjalani dulu dan belajar mencintai.
Disisa akhir perjalanan mereka, dihabiskan kembali dengan kesunyian, setelah disela dengan percakapan mereka yang justru membuat Davin penuh kekecewaan.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!