“saya ingin resigne Mas” menyerahkan surat pengunduran diri pada pemilik perusahaan ini. Sesuai dengan tebakanku, matanya bukan mengarah pada map kuning di mejanya. Tapi tajam pada mataku. Seolah aku sedang membual. Tatapan tidak percaya itu masih terus menghujam. Laki-laki muda didepanku mencari kebohongan di sana dan mungkin itu harapannya saat ini. Sayang nya dia salah. Aku sudah menyiapkan semuanya jauh sebelum hari ini datang.
Namanya Mas Doni, dia atasanku di kantor. Bahkan dia juga pemilik perusahaan tempatku bekerja. Memintaku memanggil “Mas” dari hari pertama aku bergabung, “apakah aku terlihat tua, sampai kamu memanggil aku bapak” katanya, ketika aku memanggil dengan sebutan itu. Orangnya ramah. Dia menerimaku dengan baik dari hari pertama sampai hari ini aku bergabung. Bahkan mungkin akan menjadi hari terahirku menjadi bagian dari perusahaan ini.
“Kamu tidak sedang ngeprank aku kan, Ra” matanya masih tajam mengulitiku ketika kalimat itu meluncur. Dia bukan orang yang akan percaya begitu saja. Apalagi orangnya aku. ”Aku sedang tidak berulang tahun lho hari ini” senyum yang dipaksakan terbit. Sayangnya terasa hambar. Mungkin dia mengajakku untuk mengahiri permainan Prank-prankngan seperti katanya tadi. “Ini terlalu pagi untuk bercanda dan ini tidak lucu Laura” nadanya semakin naik. Wajahnya sudah mulai serius.
Aku tidak sanggup menerima tatapannya. Aku tidak heran dengan reaksinya, seharusnya aku sudah tahu akan seperti ini. Tidak ada hal apapun yang menunjukkan kalau aku akan resigne.
Bahkan mungkin laki-laki itu mengira bahwa aku tidak punya alasan kuat untuk keluar. Ini tempat kerja terbaik yang pernah ada menurutku. Aku tidak pernah mengalami kesulitan disini. Datang terlambat tidak pernah mendapat teguran, bahkan ijin pulang lebih awalpun tidak pernah di persulit. Karena mereka tahu kinerjaku selalu beres. Ada alasan kuat aku harus meninggalkan ini semua, termasuk kota kelahiranku. Bukan untuk menghindari tapi menjauh dari sumber rasa sakit. Tentu saja tidak seorangpun tahu alasan itu. Lebih tepatnya tidak boleh ada yang tahu.
“ Saya sedang tidak bercanda Mas, ini surat pengunduran diri saya” Ku angkat map yang teronggok di meja kerja Mas Doni. Aku sudah meletakkannya dari lima belas menit yang lalu, tapi laki-laki berkaos hijau ini tidak melihat atau mungkin tidak ingin melihat. Netranya malah sibuk mencari kebohongan diwajah ku. “Maaf, mungkin ini terkesan tiba-tiba. Nggak pernah menyinggung ini sebelumnya ke Mas Doni” tidak ada yang salah dengan atasanku. Laki-laki yang baik, dan pengertian. Bahkan dia percaya semua hasil kerjaku tidak pernah mengecewakannya.
“Apa aku pernah ada salah sama kamu, atau gaji kamu kurang. Kita bisa bicarakan ini baik-baik kan, Ra. Tidak usah langsung pergi gitu aja”. Mas Doni sudah percaya bahwa ini beneran, dia putus asa karena tidak menemukan kebohongan di wajahku.
“ Nggak ada, Mas. Semua hal disini yang terbaik buat saya. Tapi ada alasan lain...” Kalimatku terhenti sebelum ujung lidahku membongkar semuanya dihadapan Mas Doni. Tentu saja aku tidak akan mengatakan itu padanya. Aku bukan tipe orang yang mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Masalahku bukan tentang lingkungan kerja. Ini tentang masalah pribadiku. Tidak ada gunanya juga aku membuka sesi curhat.
“Kalau aku nggak ngijinin kamu keluar, apa kamu akan mengurungkan semuanya?” pertanyaan ini tidak pernah terlintas dalam benakku. Mungkin, ekspektasiku terlalu tinggi. Aku pikir Mas Doni akan mengabulkannya dengan mudah. Seperti biasanya, apapun keinginanku menyangkut pekerjaan dan hal pribadi Mas Doni dengan gampangnya mengiyakan.
“Surat ini hanya formalitas, apapun tanggapan Mas Doni. Saya akan tetap keluar”. Kutundukkan wajah, tidak berani bersitatap dengannya, aku tahu laki-laki dihadapanku ini sekarang sedang mengalami kecewa. Tapi aku tidak punya pilihan, menetap dan bertahan disini hanya akan membuatku semakin menderita.
Tiga tahun ku habiskan waktuku disini. Terlalu banyak kenangan manis. Rekan kerja yang ramah, tempat kerja yang nyaman. Atasan yang baik. Tidak ada alasan aku untuk tidak betah.
Alasanku keluar bukan tentang mereka, aku hanya perlu mundur dari kehidupan pribadiku. Menjalani pernikahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Cukup aku yang tahu, bagaimana perlakuan mereka yang aku anggap keluargaku sendiri. Tidak akan kubagikan pada siapapun, termasuk Mas Doni.
“Bagaimana caranya biar kamu mengurungkan niatmu Ra” tidak ada. Aku menggeleng lemah. Kulihat Mas Doni menarik nafas panjang dengan menyugar rambutnya kasar. Badannya disandarkan kebelakang, dia putus asa. “Apa ada perkataanku atau hal yang membuatmu sakit hati, kita perbaiki semuanya asal kamu jangan keluar, Mas mohon Ra” suaranya mengiba. Aku tidak tega melihatnya.
Kecewa itu ketika ekspektasi tidak sesuai kenyataan kenyataan. Mungkin bayanganku terlalu indah tentang hidup berumah tangga, nyatanya aku tidak mengalami itu sejak hari kedua setelah aku sah berstatus istri. Terkejut, pasti. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. apapun itu, mungkin sudah menjadi jalan takdirku. Bahwa pernikahanku hanya bertahan enam bulan saja. Cukup, sudah terlalu banyak air mata yang terkuras. Tak banyak yang tahu, bahkan suamiku sendiri tidak tahu kalau aku harus berderai airmata kala Dia terlelap setelah menuntaskan hasratnya.
“Aku nggak ngijinin kamu keluar Ra, itu keputusanku” kalimat Mas Doni menyentakku dari lamunan. “ Jam dua belas nanti kamu ikut Mas Marwan porspek di kantor inspektorat” Ah, aku sampai lupa. Kemarin mereka sudah membuat janji pengadaan alat elektronik dikantor mereka. “ jangan sampai ketunda lagi, ini sudah ketiga kalinya, bagian pengadaan dikantor itu baru bisa sekarang” lanjutnya lagi. Mas Marwan, yang paling menguasai tentang spek komputer, di kantorku. Aku bagian negosiasi, berbicara tentang harga dan hal lain yang berhubungan dengan uang.
“Tidak bisa Mas, ini sudah Final. Saya benar-benar minta maaf ini terlalu tiba-tiba. Tapi saya tidak punya pilihan. Meskipun berat” di ahir kalimat aku pelankan suara. Hampir saja air mata sialan ini menetes lagi. aku tidak ingin membuat Mas Doni curiga alasanku resigne.
“Kita bicarakan lagi nanti, kamu membuat aku pusing tahu nggak” Dahi laki-laki dihadapanku ini berkerut. Mungkin dia sudah lelah menebak, atau bahkan kehabisan cara menahanku untuk tetap bekerja disini.
“Ra, berkas untuk rapat hari ini aku taruh di mejamu, tinggal ngasih harganya saja, jangan lupa kasih limit penawarannya. Konsul dengan Mas Doni takut salah” tiba-tiba Mas Marwan masuk, untung percakapanku dengan Mas Doni sudah berhenti. Untuk saat ini hanya aku dan Mas Doni yang tahu kalau aku ingin Resigne.
“Muka kalian kenapa tegang banget, wajahmu kayaknya sedih Ra” tatapan mas Marwan bergantian dari aku pindah lagi ke Mas Doni. Tatapannya bingung melihat aku dan Mas Doni diam. “ada apa sih, cerita dong” katanya lagi.
“Aku selesaikan penawarannya Mas, nanti kesini lagi” tanpa menunggu jawaban, aku berdiri. menghalau kecurigaan Mas Marwan tentang percakapanku dengan Mas Doni. Berjalan menuju meja kerjaku. Sudah ada file yang berisi tentang spek elektronik yang akan aku bawa nanti. Ku usap kedua mataku yang terasa panas. Aku tidak menyangka kalau ini akan menjadi hal yang paling berat. Melepaskan pekerjaan ini bukan hanya masalah penghasilan. Lebih dari itu, aku akan berpisah dengan mereka yang sudah aku anggap keluarga. Tapi, aku tidak punya jalan lain. Semoga Mas Doni tidak menceritakan apapun ke Mas Marwan. Aku ingin mereka tahu setelah aku siap untuk keluar.
Bukan apa-apa, tentu mereka akan bertanya alasanku keluar, aku tidak punya jawaban untuk itu. Aku tidak ingin mereka tahu tentang peliknya hidupku diluar lingkup pekerjaan.
Entah kemana hilangnya semangat kerjaku seperti biasa, aku malas membuka lembaran putih didepanku. Masih ada waktu dua jam sebelum meeting. Ku teguk air putih dalam tumbler kuning cerah, warna kesukaanku pastinya.
“Ra, kok lesu gitu, biasanya kan kamu paling semangat kalau mau ada porspek, bonus didepan mata ayo semangat” mengangkat tangannya yang terkepal ke atas. Kubalas dengan tersenyum canggung. Aku bernafas lega setidaknya Mas Doni tidak menceritakan apapun pada laki-laki kurus didepanku.
“Efek hari senin kayaknya” ujarku menghilangkan kecanggungan. Aku benar-benar tidak ingin menjalankan apapun hari ini. Tidak ingin berkutat dengan laporan apapun bahkan tidak ingin memegang pena termasuk juga didalamnya.
Masalah keluargaku sudah cukup lama. Yang bikin aku tidak enak sekarang adalah, menunggu keputusan Mas Doni. Aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk setelah tiga tahun mengukir kesan baik.
“Di tunggu Mas Doni tuh, laporannya. Fix kan dulu sebelum meeting. Aku kesini lagi nanti kalau mau berangkat” aku hanya bisa mengangguk. Mas Marwan menatapku tajam. Kebiasaanku yang selalu ramai mungkin jadi perhatiannya kali ini. “ Kamu sakit gigi ya, irit banget bicaranya ” benar kan. Dia mencurigaiku.
“PMS mas, kayak nggak tahu ajah urusan cewek” alasan paling valid yang aku lontarkan. Aku berharap setelah ini Mas Marwan pergi. Untuk hari ini saja rasanya aku ingin sendiri. Benar-benar sendiri dalam arti yang sebenarnya. Mungkin tinggal di Bikini Bottom bersama spongebob bisa menjadi solusiku, sayangnya itu hanya dunia hayalan. Aku tidak akan mampu bertahan hidup hanya dengan meletakkan toples kaca diatas kepala tanpa tabung oksigen seperti yang dilakukan Sandy. Mungkin aku hanya mampu bertahan dua jam, selebihnya akan mengambang tanpa nyawa.
Oke, kumpulkan semangat. Kerja lagi demi kata “iya” dari Mas Doni. Apapun itu. Selesaikan meeting hari ini dengan gembira, klien puas, owner puas. Bukankah begitu tugas karyawan. Bonus itu hanya mengikuti.
“saya tidak punya alasan untuk menahanmu disini. Semua keputusan ada di tanganmu Ra, hanya saja ada syaratnya” suaranya terjeda. Pengajuan suratku sudah di ACC sepertinya, dia memegang map yang tadi aku letakkan di mejanya.
Entah bagaimana perasaan ku, bahagia tentu tidak, sedih pasti. Harus barahir se naif ini kehidupanku. Karir dan kehidupan rumah tanggaku kandas dalam waktu bersamaan. Usiaku masih muda, tentu peluang berkarir masih terbuka lebar. Tapi bagaimana dengan rumah tangga. Rasanya aku tidak ingin mengulang lagi. cukup satu kali rasa sakit yang menerpaku, jangan ada kedua ataupun ketiga.
“kamu selesaikan urusan tagihan dengan klien, cari pengganti yang bisa melakukan semuanya seperti kamu. Setelah itu silahkan kamu keluar saya tidak punya hak untuk melarang” suara Mas Doni menyentakku dari cengkraman rasa sakit. “Semoga di tempat baru, karir mu lebih bagus. Tapi kalau kamu tidak berhasil kembalilah, dengan senang hati kamu masih diterima disini” lanjutnya lagi dengan suara lemah.
Suara Mas Doni semakin menyiksaku, bait kalimat yang terucap seolah mengiris luka, meninggalkan jejak berdarah. Mas Doni orang baik, sayang sekali harus ikut terlibat dalam peliknya rumah tanggaku sekalipun tidak dia sadari. Seandainya aku punya pilihan lain, aku akan memilih jalan itu. Sayangnya cinta yang masih membara tidak akan mungkin bisa membuatku cepat sembuh dari sakit ini. Bunga pernikahan seharusnya masih merekah dan harum. Tapi tiba-tiba layu dan tak ada tebaran wangi yang tercium.
Bertahan hanya akan menyiksaku dalam kesakitan, menjauh pun sebenarnya bukan jalan keluar. Mau bagaimana lagi, melupakan dan mengikhlaskan adalah keinginanku saat ini. Demi hati yang ternyata terlalu dalam mencinta.
Dia laki-laki sempurna yang memujaku bak dewi, meratukanku setiap hari. Itu dulu ketika masih masa pacaran. Memang terlihat manis, bahkan sangat manis.
Bukan perokok, bukan peminum tidak juga main perempuan, suamiku tidak memiliki semua sifat buruk itu. Laki-laki tampan dan sabar jangan lupakan dia begitu menyayangi ibunya, sebagai tempat ridho mencari surga ditelapak kaki wanita yang melahirkannya. Bukankah begitu agama mengajarkan.
“Saya harap kamu menemukan penggantiku secepatnya” aku tahu Mas Doni tidak menginginkan ini, begitupun aku. Kami sama tersiksanya dengan keadaan ini. Seharusnya aku mengembangkan karirku disini. Bersama mereka yang sudah kuanggap keluarga, menua bersama menikmati hari tua hingga purna tugas bersama. Tapi nyatanya itu hanyalah hayalanku. Kenyataannya Tuhan punya rencana lain tentang jalan hidupku.
“Maafkan saya mas, maaf banget” ulangku, meyakinkan mas Doni kalau aku pun sama beratnya untuk keluar dari zona nyaman dalam karirku. “Saya tidak punya pandangan siapa yang bisa menggantikanku disini, takut tidak sesuai dengan keinginan mas Doni” lanjutku lagi.
“Makanya tetap kamu yang pegang semuanya Ra, saya sudah mempercayakan sama kamu. Bahkan perusahaan ini semuanya kamu yang pegang. Masalah gaji saya akan naikkan” bukan, bukan itu masalahnya. Bukan tentang materi. Aku ingin pergi menjauh hanya demi kenyamanan hati.
“Gaji saya disini sudah lebih dari cukup mas, saya harap sepeninggal saya kelak perusahaan ini bertambah besar dan maju” ini hanya penghiburan untuk Mas Doni. Rasanya aku ingin menghilang dari hadapannya, membicarakan tentang rencana Keluarku dari perusahaan ini hanya menambah rasa tidak enak hati, menumpuk rasa bersalah yang semakin menggunung.
“Ayo berangkat, mereka sudah on the way katanya” untuk kali ini Mas Marwan menyelamatkanku dari rasa canggung. Aku bisa sedikit bernafas lega. Merapikan berkas yang sudah di bubuhi tanda tangan aku beranjak. Menghampiri Mas Marwan di pintu. Kebiasaan laki-laki ini kalau masuk ruangan tanpa permisi tahu-tahu nongol saja. Kami sudah mengerti dengan kebiasaannya, tidak pernah terganggu.
“Permisi dulu Mas, kita berangkat” Pamitku pada Mas Doni
“Saya harap kamu bisa menyelesaikan secepatnya, ketika kamu pergi tidak ada beban nantinya” aku lirik Mas Marwan, khawatir mendengar kalimat Atasanku. Belum saatnya mereka mengetahui rencanaku. Apalagi Mas Marwan, orang yang sudah ku anggap kakak di kantor, tentu dia tidak akan berhenti bertanya sebelum mendapat jawaban memuaskan.
“Kamu mau pergi kemana Ra?” Nah, kan. Seharusnya aku sudah menduga jarak dari meja kerja Mas Doni dengan pintu tidak terlalu jauh, dan benar saja, yang aku takutkan terjadi. Mas Marwan mendengar percakapan terahir kami. Tepatnya, kalimat penutup sebelum aku pergi tadi.
“salah dengar Mas” mencari celah, agar pembicaraan ini tidak berlanjut.
“Saya belum pernah ke THT lho, dan saya masih muda kalau kamu lupa” aku tertawa keras. Kadang candaannya yang terdengar garing justru membuatku terpingkal. Laki-laki Humoris kalau dikantor. Entahlah kalau di rumah. Setidaknya kehidupan perkawinan Mas Marwan sudah masuk usia ke lima. Dia suami dan ayah yang baik sepengetahuanku. Sikapnya yang pengayom untuk junior dikantor, sedikit memberikan gambaran bagaimana laki-laki ini memperlakukan keluarga kecilnya.
“Bisa jadi karena kena Virus Komputer atau PC dikantor” menjawab candaan Mas Marwan, juga berusaha mengalihkan topik yang tidak ingin aku bahas.
“Ah, iya juga. Kemarin saya me scan Virus di laptopmu lupa nggak pakai masker, Ya Tuhan, bagaimana ini. Antar saya Vaksin kerumah sakit sekarang Ra. Takut nularin anak istriku dirumah” aku semakin terpingkal. “pantas, kemarin laptopmu batuk-batuk terus gitu ada sesak katanya. Ini tidak bisa dibiarkan. Kayaknya perlu pengadaan masker dan handsanitizer untuk semua komputer dan laptop kantor” malah diteruskan, membuat perutku kram karena kebanyakan tertawa.
“Tahu nggak Ra, Mas bahagia lihat kamu tertawa lagi. Sudah sebulan lebih lihat kamu murung terus di kantor. Ada apa Ra, cerita. Mungkin Mas bisa bantu, yah paling tidak bacot ku ini bermanfaat” aku terdiam, tawaku terhenti. Aku tahu, semua orang melihat perubahanku yang tiba-tiba. Tapi aku salut, tidak seorangpun yang bertanya aku kenapa. Termasuk Mas Marwan. Baru sekarang dia bertanya. Mungkin mereka melihat diamku sudah berlebihan.
Aku bukan orang yang membawa masalah rumah ke kantor, begitupun sebaliknya. Aku akan tertawa lepas melupakan semua masalah dirumah dan kembali ceria sebagai Laura yang ramai dan berisik. Tapi tidak untuk sebulan terahir. Ketika aku harus keluar dari rumah suamiku karena di usir. Yap, kalian tidak salah dengar aku di usir mertuaku keluar dari rumahnya hanya karena aku membantah ucapannya setelah sekian lama bungkam. Dimana suamiku, ada. Dia diam tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya tertunduk dengan wajah sedih entah dibuat-buat atau memang beneran sedih aku tidak tahu. Dan hebatnya, dia tidak berani membela ku di depan ibunya.
“Kalau nggak mau cerita tidak apa-apa myas paham. Tapi jangan tiba-tiba diam. Takut kesambet Laura. Dekat-dekat sini nggak ada para normal” candaan lucu Mas Marwan tidak terdengar lucu lagi ditelingaku.
“Lho, belok kanan kantor inspektorat, kenapa lurus” protesku. Aku bingung, sudah hampir masuk halaman kantornya malah lurus. Aku tatap Mas Marwan dengan tanda tanya dikepala.
“pertemuannya di rumah makan seafood yang baru buka itu Ra, Mas Doni nggak ngasih tahu kamu” lha, aku yang tidak bertanya. Mungkin mereka pikir aku sudah paham. “jangan banyak melamun Ra, itu di chat WA grup baca. Sudah jelas” Aku belum baca sama sekali.
Bahkan ahir-ahir ini malas membuka chat WA. Karena terlalu berharap suamiku menghubungiku sekedar bertanya kabar atau keadaanku setelah aku tidak tinggal dirumahnya. Tapi aku harus menelan kecewa berkali-kali. Dia sama sekali tidak menghubungiku. Begitu cepatnya dia berubah, melupakan semua tentangku. Wanita yang katanya paling di cintai dalam hidupnya.
Aku tarik nafas, menghalau sesak yang manghimpit. Mencari pasokan oksigen lebih banyak.
“Maaf mas, saya kurang teliti” memang begitulah aku sekarang. Fokus ku hilang entah kemana.
“bukan hanya itu Ra, bahkan kamu tidak pernah lagi komen di group” membuka saja rasanya ku tidak sanggup apalagi baca chat. Mungkin harapanku terlalu tinggi untuk mendapat perhatian dari suamiku sekalipun hanya lewat obrolan di dunia maya.
“Sudah sampai, jangan lupa berkasnya di bawa, cek lagi takut ada yang tertinggal” pesannya padaku sebelum turun dari mobil. “Fokus Ra, ini proyek besar. Apalagi melibatkan instansi pemerintahan. Mereka orangnya jeli. Sedikit kesalahan, bisa panjang pertanyaannya nanti” lanjutnya lagi, melepas seatbelt setelah mematikan mesin. Kami bersiap turun.
Aku cek lagi kelengkapan berkas takut ada yang tertinggal. Untunglah semua sudah lengkap.
Ku hempaskan tubuh ke kasur. Lelah, benar-benar lelah. Ahirnya usai sudah karir dan rumah tanggaku. Bersiap untuk mengemasi barangku kedalam koper rasanya malas sekali. Aku ingin istirahat, tidur sehari penuh tanpa mempedulikan apapun. Aku ingin masa bodoh dengan semuanya. Kalau bukan karena dukungan orang-orang yang masih mencintaiku entah bagaimana caranya aku mengahadapi badai ini. Sesingkat ini perjalanan rumah tanggaku.
Dulu, aku akan perduli dengan omongan orang. Tapi sekarang, aku akan menjalani hidupku tanpa menghiraukan apa kata mereka. Karena bahagia aku yang tentukan. Hati dan pikiranku tetap sehat karena aku yang memperjuangkan. Peduli setan dengan mereka yang hanya bisa menilai. Menjadi wanita dengan status tanpa suami itu memang berat. Tapi lebih berat kalau aku masih bertahan, mungkin hidupku akan lebih hancur. Aku yang akan memperjuangkan kebebasanku sendiri. Merdeka sebagai individu yang pernah terkekang. Berjuang itulah tujuan hidupku untuk saat ini, demi aku dan demi buah cintaku yang bahkan kehadirannya saja Dia tidak tahu, atau mungkin tidak diinginkannya.
Didalam rumah itu aku terbiasa menerima perlakuan tidak adil. Sejak hari pertama aku menginjakkan kaki melewati pintu utama setelah sah menjadi seorang istri. Bahkan ibu mertuaku mengingatkan bahwa surga istri ada di telapak kaki suami dan surga suami ada ditelapak kaki ibunya. Aku yang tidak mengerti konsep surga yang mereka maksudkan hanya mengiyakan. Karena aku yakin bahwa suamiku bisa melakukan itu semua. Dia akan menempatkan perannya sebagai suami bagi istri dan juga seorang anak bagi ibunya.
Hingga pada ahirnya hal yang tidak terpikirkan terjadi. Rumah tanggaku tidak berjalan seperti pada tujuan. Laki-laki yang aku panggil suami tidak pernah menjalankan kewajibannya selain nafkah bathin. Dia hanya berperan sebagai anak yang baik tapi tidak sebagai suami. Dari sanalah aku paham konsep surga yang mereka sebutkan ketika diawal aku memasuki rumah tanggaku.
Janji untuk tidak tinggal satu atap dengan mertua diingkarinya, bahkan dengan tegas suamiku menolak dengan alasan kedua orang tuanya sudah sepuh dan adiknya masih sekolah butuh biaya.
“jangan pernah mengajak Farhan untuk keluar dari rumah ini, kamu hanya orang baru yang tdak bisa merubah anak saya. Dari awal saya katakan bahwa surga anak laki-laki itu pada ibunya. Jadi urungkan niatmu untuk keluar dari rumah ini” kata-kata pedas pertama yang aku terima.
Kaget, itu yang kurasakan. Dari mana ibu tahu padahal aku hanya membicarakan ini dengan Mas Farhan suamiku berdua di kamar, dengan pintu tertutup dan suara pelan. Apakah mertuaku suka menguping. Ternyata tidak, kalimat berikutnya membuatku lebih kaget lagi.
“semua hal yang kalian rencanakan, harus melalui persetujuan saya. Farhan terbiasa menceritakan apapun pada ibunya karena saya yang mendidiknya menjadi anak yang patuh dari kecil, dan lihat hasilnya, saya berhasil bukan” suamiku tidak pernah menunjukkan bahwa dia beperilaku begitu selama kami menjalani penjajakan.
Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk kami saling mengenal, dan selama itu, aku mengenalnya sebagai seorang lelaki yang baik, sopan bertanggung jawab. Tidak pernah menunjukkan bahwa laki-laki itu masih berlindung di bawah ketiak ibunya. Seandainya dari awal dia menceritakan semuanya bagaimana dia menjalani hidupnya, akan menjadi pertimbangan bagiku untuk melangkah sampai ke pernikahan.
Ku tarik nafas, hanya sesal yang menderaku tak berkesudahan. Lebih baik pernikahan yang singkat dari pada terpuruk dalam luka yang tak berkesudahan. Berpisah, bahkan bercerai tidak pernah menjadi bayanganku selama ini. Ternyata Tuhan punya rencana lain. Aku yakin akan ada pelajaran yang ingin Tuhan ajarkan mengapa aku bertemu dengan Mas Farhan. Ikuti alurnya. Biarkan sang pemilik hidup mengatur semuanya, aku hanya menjalani sesuai kapasitasku sebagai ciptaannya.
“Belum, berkemas Ra, Kalau berat kamu tetap disini. Ibu sama bapak akan senang kalau kamu masih tinggal dirumah. Kakak mu sudah punya rumah semua, kalau kamu juga pergi kami akan kesepian” ibuku. Wanita yang melahirkanku. Mereka yang selalu ada ketika aku terpuruk,seperti saat ini. Wanita yang memperlakukan semua menantunya seperti anak kesayangannya. Karena aku tiga bersaudara perempuan semua. Manusia yang tidak pernah membedakan kasih sayangnya diantara kami.
“Sebenarnya berat bu, tapi untuk sementara biarkan saya pergi dulu. Rasanya tidak akan mungkin bisa keluar dari rasa sakit ini kalau setiap hari masih melihat wajahnya, kalau sudah waktunya Rara akan pulang, tidak membawa luka lagi. Ibu doakan Rara ya” aku anak terahir. Sifatku selalu dimanja, semua keinginanku akan dikabulkan. Ibu adalah wanita yang menjadi idolaku dan ayah laki-laki yang akan menjadi panutanku ketika aku mencari pendamping hidup. Tidak ada satu pun orang tua di dunia yang ingin melihat anaknya menderita. Tapi, takdir membawaku pada keadaan seperti ini.
Dari kecil kakakku akan pasang badan jika aku tersakiti, tapi untuk saat ini. Mereka memaksaku untuk mundur. Tidak ada satu orang pun yang membelaku untuk tetap bertahan. Bagi mereka keterlibatan mertuaku terlalu jauh dalam rumah tangga kami dan Mas Farhan tidak pernah Tegas dengan ibunya. Jangan mempertahankan rumah tangga jika kepala keluarganya tidak menjalankan perannya dengan baik.
Kalau dilanjutkan tidak akan pernah ada perubahan sikap Mas Farhan, laki-laki boleh berbakti pada ibunya. Tetapi suami punya kewajiban melindungi, dan memberikan rasa aman pada istrinya. Tapi tidak berlaku dalam kehidupan rumah tanggaku. Semua peraturan datangnya dari ibu mertua. Objeknya semua anggota keluarga yang ada di dalam rumah, tanpa terkecuali.
Aku tidak pernah merasa sedang membangun rumah tangga, menuju kehidupan pernikahan. Aku malah merasa sedang terjebak bermain rumah-rumahan dengan Mas Farhan. Baru sebulan perkataan kasar sudah mulai aku terima. Mencoba bersabar karena keyakiannku, bahwa semuanya hanya bersifat sementara. Aku butuh penyesuaian dengan keluarga baruku. Tidak pernah terpikir bahwa keadaaannya semakin hari semakin memburuk aku bahkan melihat ketakutan di Mata suamiku ketika ibunya berwajah masam, tanpa mengeluarkan suara kemarahan. Ekspresi wajahnya mampu mendatangkan aura mistis didalam rumah.
Semakin hari perubahannya semakin jelas, aku yang berusaha menyesuaikan tapi merasa tertinggal. Peraturan demi peraturan baru semakin membuatku tersiksa. Bahkan ketika aku mencoba menceritakan perlakuan tidak enak ibu mertuaku hanya jawaban yang membuatku semakin kecewa terhadap Mas Farhan. “ Apa salahnya mengikuti kemauan ibuku, dia wanita yang sudah melahirkan suamimu”. Bahkan kemauan yang dimaksud Mas Farhan itu sudah melampui ambang batas sebagai seorang ibu mertua.
Semakin aku mencoba bersabar, semakin banyak kesalahan yang aku buat. Bahkan aku sendiri tidak tahu kesalahan yang mana yang mendatangkan murka begitu hebat di pagi itu. Dua hari setelah aku sah menjadi istri dan menantu keluarga mereka. Sakit hati pertama untuk kesalahan yang menurutku sepele.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!