Siang ini udara terasa panas. Terdengar suara tangisan seseorang. Yunda yang sedang asik menggoreng beberapa aneka gorengan untuk ia jual di warung kopi miliknya, jadi tersentak.
"Siapa siang-siang gini ada yang nangis?" gumam Yunda, heran. Terlebih warung juga sedang sepi. Para puruh pabrik dekat tempat ia berjualan juga belum pada keluar untuk istirahat. Lalu siapa yang nangis.
Untuk meredakan rasa penasaran, Yunda pun mematikan kompor. Melangkah keluar dapur. Tentu saja untuk mencari arah suara tersebut.
Betapa terkejutnya Yunda, terlihat di depan warungnya seorang anak laki-laki sedang menangis sendirian.
"Hay, Sayang. Kenapa sendiri? Di mana ibumu?" tanya Yunda sembari berjongkok di depan bocah tersebut.
"Aku.. aku.. aku tersesat," jawab bocah tersebut dengan tangis masih menghiasi suaranya.
"Ya, Tuhan... di sini panas, Sayang. Masuk ke warung Kakak, Yuk!" ajak Yunda.
Beruntung bocah tersebut pun menurut. Mau ikut Yunda masuk ke dalam warung tersebut.
"Kamu sudah makan, Sayang?" tanya Yunda lembut.
Bocah tampan itu menggeleng.
"Ya Tuhan, kasihan sekali. Sebentar, Kakak ambilkan makan dulu ya. Mau kan?" tawar Yunda.
Bocah tersebut pun kembali mengangguk. Sepertinya dia memang lapar.
Beruntung, hari ini menu jualan sayur Yunda tidak pedas. Ia memasak soto Lamongan sesuai reques para pelanggannya.
Yunda keluar dapur membawa semangkok soto dan teh manis. Dengan sabar ia pun menyuapi bocah itu.
"Enak, Sayang?" tanya Yunda pada bocah tersebut.
Bocah itu pun mengangguk, tersenyum dan terus mengunyah makanan yang disuapkan padanya.
"Kamu lapar ya?" tanya Yunda lagi.
"Iya, Xavi lapar, Kakak."
"Oh kasihan. Nama kamu Xavi ya. Rumah kamu di mana? Xavi ingat tidak?" tanya Yunda lagi.
Xavi menggeleng. Lalu Yunda pun berinisiatif mencari sesuatu di dalam tas bocah tersebut. Tak lama, ia pun menemukan secarik kertas. Seperti kartu Identitas seseorang.
"Bapak Richard Dawkins. Astaga ini siapa? namanya susah sekali dibaca," gumam Yunda, sedikit merasa aneh. Sebab nama yang tertulis di sana seperti nama orang asing. Tapi melihat wajah Xavi yang kebule-bulean, membuat Yunda yakin jika kartu nama tersebut pasti ada hubungannya dengan bocah ini.
"Richard Dawkins, ini siapanya kamu, Sayang?" tanya Yunda.
"Papi, tapi Xavi no Papi. Xavi mau di sini saja," jawab bocah tampan itu.
Yunda tersenyum. Mungkin bocah ini sedang marahan dengan ayahnya. Itu sebabnya dia enggan di antar ke ayahnya.
"Oke, Oke... apakah saat ini kalian sedang marahan?" pancing Yunda.
"Yes, papi suka marah," jawab bocah itu lugu.
"Kenapa?"
Bocah tampan itu menggeleng. Ia sengaja tak mau memberi tahu Yunda, kenapa mereka bertengkar.
"Baiklah, Kakak nggak akan paksa kamu buat cerita. Kamu juga boleh di sini, kapanpun kamu mau. Tapi, Kakak harus kasih tahu papimu kalo kamu ada di sini. Biar apa? Biar papimu tidak khawatir! Oke!" ucap Yunda, mencoba bernegosiasi dengan bocah tersebut.
"No, I hate papi."
"Ehh, nggak boleh gitu. Kita harus tetap sayang sama orang tua. Karena mau bagaimanapun dia orang tua kita, oke." Yunda mengelus pipi bocah tampan itu. Lalu ia pun tersenyum.
Xavi mengangguk. Menyetujui ucapan Yunda.
"Yuk lanjut makan lagi, setelah itu, kamu boleh berbaring di tempat kakak. Kakimu pasti lelah setelah seharian berjalan. Oke!" ucap Yunda.
Xavi menyetujui. Sepertinya ia menyukai Yunda. Hingga apapun yang Yunda katakan, ia menyetujui dan tak pernah melawan.
***
Siang berganti malam, suasana kediaman seorang Tuan Besar terasa seperti neraka. Bagaimana tidak? sang pemilik rumah, Richard Dawkins, marah besar, sebab para pegawainya tidak becus menjaga anak semata wayangnya.
"Kerja kalian apa saja sih? Kenapa jaga bocah sekecil itu tidak becus. Bagaimana bisa dia pergi tapi tak ada satupun di antara kalian yang tahu. Astaga! Kalian membuatku pusing saja. Cari dia sekarang!" perintah itu terdengar menggelegar di setiap sudut ruangan. Tentu saja, semua pegawai di rumah mewah itu pun menggigil ketakutan.
"Cek semua CCTV, cari ponsel yang biasa di pegang Xavi. Periksa tas yang dia pakai. Cari apapun yang bisa kasih kita petunjuk! Yang lain cari di lapangan!" pinta pria itu lagi, tentu saja dengan emosi tak terkendali.
Tak ayal, semua pegawai segera melaksanakan perintah itu. Separo dari mereka segera mengecek CCTV, kamar dan barang-barang milik tuan muda mereka. Sedangkan yang lain, langsung menyisir lokasi yang dicurigai.
Bukan hanya Richard yang tak habis pikir dengan kelakuan aneh putranya. Para pegawai di sana tidak menyangka, bahwa bocah sekecil itu bisa mengelabui seisi rumah. Bukankah ini membingungkan?
Richard menghela napas kasar, ingin rasanya ia menembak semua orang yang ada di rumah ini. Kenapa mereka begitu bodoh sampai bisa di kelabu oleh bocah sekecil itu.
Richard bertambah kesal ketika melihat cara Xavi kabur. Bocah tersebut menunggu semua orang sibuk. Melepar tasnya terlebih dahulu dari jendela. Lalu merangkak di sela-sela tanaman. Setelah itu ia berlari di belakang pos security. Melihat security lengah, ia pun membuka pintu kecil. Dengan kecerdikan yang ia miliki, Akhirnya Xavi pun bisa meloloskan diri dari perhatian para pekerja di rumahnya.
"Astaga! cerdik sekali dia," gumam Richard, kesal.
Sayangnya, tas yang di bawa oleh bocah itu bukan tas yang dikhususkan untuknya. Tas yang sudah diisi dengan chip, agar sang ayah bisa dengan mudah mencari keberadaannya.
"Apakah dia ada dapat telpon seseorang yang mencurigakan hari ini?" tanya Richard pada dua ajudan yang menggantikan babysitternya sudah satu minggu ini izin pulang.
"Tidak, Tuan. Tuan Muda tidak menerima telpon dari siapapun," jawab salah satu ajudan itu.
"Astaga! Kenapa ini anak? Bisa-bisa nya dia kabur!" gumam Richard lagi. Di detik berikutnya, ia pun ingat bahwa tadi pagi dia dan Xavi bersitegang. Xavi menginginkan sesuatu tapi Richard melarang. Mungkinkah itu penyebab dia kabur.
"Aahhhh, dasar tukang merepotkan!" umpat Richard kesal.
Bersambung...
Sambil nunggu novel ini update, kalian bisa tongkrongin karya emak yang lain.
ini salah satunya... cekidot😍
Hari sudah malam. Orang tua Xavi belum membalas pesan teks darinya. Jangan kan membalas, membaca pesan darinya pun tidak. Membuat Yunda kesal sendiri dibuatnya.
Tak punya pilihan lain, Yunda pun menghubungi nomer tersebut.
Kali ini sang pemilik nomer pun menyambut panggilan tersebut.
"Hallo.... " terdengar suara pria berbicara.
"Ya, Hallo.... apa benar ini dengan bapak Ri... Richard Daw... ah, siapa tadi namanya ya!" ucap Yunda.
Di seberang sana, seorang pria terlihat menunggu sembari mengerutkan kening.
"Hay, kamu... kamu cari siapa?" tanya pria itu.
"Itu, Pak, Ehhh... Om, apa benar ini nomer bapak Richard Dawkins?" .... (bener nggak tu ku sebut namanya tadi e, ishhh) terdengar suara Yunda menggerutu berbicara sendiri.
"Ya, namaku Richard. Kenapa? ada apa kamu mencariku? jangan bertele-tele aku sedang sibuk!" bentak pria itu.
"Ehhh... sebentar, Pak.. anu.... "
Tootttt... tooottt....
Panggilan telepon terputus. Ternyata ponsel Yunda mati.
"Ya Tuhan hepeee ... pengen tak pidak ae koen... iki urusan penting, nyapo matiiii.... " teriak Yunda kesal.
Xavi yang melihat tingkah lucu Yunda tentu saja langsung tertawa.
"Hay, kekasihku... jangan tertawa kamu. Hapeku mati kamu malah ketawa!" ucap Yunda sembari menggelitik perut Xavi.
"Kakak lucu, seperti bibi! Suka mengomel pakek bahasa planet," ucap Xian, masih terkekeh.
"Bahasa planet? Siapa yang bilang?"
"Papi!"
"Dasar, papimu mesti ku omelin. Itu bahasa daerah Kakak tau." Yunda melirik manja.
"Xavi tau, tapi papi nggak tau." Bocah empat tahun itu tersenyum lagi.
"Papimu perlu ku omelin!" ucap Yunda.
"Apa kakak berani?" tanya Yunda.
"Emm, apakah dia galak?"
"Sangat, papiku menyeramkan. Suaranya keras. Seperti badannya, keras!" jawab bocah itu, lugu.
Spontan Yunda pin terkekeh.
"Seperti apa papimu? Apakah dia tampan juga sepertimu?" tanya Yunda. Seketika ia membelalakkan mata, kenapa jadi bertanya seperti itu. Bukankah ini sangat tidak sopan.
"Eh, sorry. Maaf kakak tidak sopan."
"Tidak pa-pa, papi tidak dengar ini."
"Hay, kenapa kamu berpikir begitu, ha? tidak boleh, Sayang. Sama siapapun tidak boleh ngomongin di belakang. Itu namanya julid. Julid itu nggak baik. Oke!"
Xavi mengangguk. Lalu kembali memeluk Yunda. Seakan tidak ingin berpisah dari wanita cantik itu.
"Kamu jauh dari orang tuamu, lalu bersama orang asing. Apa tidak takut?" tanya Yunda.
"Kakak baik, tidak memarahiku, kasih Xavi makan. Peluk Xavi, mandiin Xavi. Beliin Xavi baju. Bolehkah Xavi di sini saja. Xavi suka di sini," jawab bocah itu lugu.
Yunda tersenyum sambil mencium tangan bocah tampan itu. Andai boleh, Yunda juga ingin tetap bersama Xavi.
Menghabiskan waktu bersama. Berdua. Selama-lamanya.
Namun bagaimana dengan orang tua bocah tampan ini. Apakah mereka akan mengizinkannya.
"Xavi boleh kok sering-sering ke sini. Pokoknya kalo malam kakak ada di rumah, pagi sampai sore kakak di warung. Jadi Xavi sudah tahu kan di mana kakak berada kalo Xavi ingin bertemu?" ucap Yunda, sedih. Di peluknya bocah itu dengan penuh kasih sayang. Seolah enggan berpisah. Tapi mau bagaimana lagi? Xavi memiliki orang tua dan dirinya juga memiliki kehidupan sendiri.
Untuk menyalakan Handphone itu kembali, Yunda pun segera menge charge handphone itu. Sambil menunggu, Yunda pun pergi ke dapur untuk membuatkan Xavi susu.
Setelah susu itu jadi, Yunda segera kembali ke ruang tamu. Tentu saja untuk menemani bocah tampan itu menonton televisi.
"Sayang, susunya sudah jadi. Di minum dulu yuk!" ucap Yunda sembari menyuapi Xavi susu buatannya.
Namun ketika ia menyuapi bocah tampan itu susu. Pintu rumahnya didobrak seseorang. Spontan, Yunda dan Xavi pun terkejut. Mereka langsung berpelukan takut.
Segerombolan orang berpakaian preman, masuk ke dalam rumah sederhana milik Yunda. Tanpa berucap apapun, salah satu dari mereka menodongkan pistol pada Yunda dan Xavi. Membuat mereka berdua mengigil ketakutan.
"Ada apa ini? Kalian siapa?" tanya Yunda sembari mendekap Xavi. Terlihat Xavi tersenyum di dalam dekapan Yunda, sebab ia tahu bahwa orang-orang itu adalah ajudan yang selalu menjaganya.
"Jangan banyak tanya, serahkan anak itu pada kami. Atau kami ledakkan kepalamu!" printah orang itu.
"Enak saja, dia anakku! Kalian nggak berhak bawa dia!" jawab Yunda.
Yunda tidak menyadari bahwa ucapannya itu malah memancing kesalah pahaman.
"Apa kau bilang, dia putramu? Dia itu Tuan Muda kami! Jangan ngarang ada." ucap pria itu.
Tentu saja Yunda tidak percaya begitu saja dengan ucapan ketua geng itu. Bisa saja mereka preman yang hendak menculik Xavi. "Tidak kalian bohong. Mana mungkin dia Tuan Muda kalian. Dia putraku!" Yunda tetap kekeh pada pendiriannya. Tak mau menyerahkan bocah itu pada segerombolan preman itu.
Tak sabar, ketua geng itu pun meminta anak buahnya untuk membawa keduanya ke mobil. Tentu saja untuk menyarankan mereka berdua pada bos mereka.
"Ehhh... ehhh... kami mau dibawa ke mana? Jangan pegang-pegang, kita bukan muhrim. Ehhhhh.... " teriak Yunda heboh.
"Diam, dasar wanita gila!" bentak salah satu dari mereka.
"Aku tidak gila, bodoh! Kalian salah tangkappp... " teriak Yunda lagi.
"Lepasin kami, Brengsek!" teriak Yunda lagi. Kesal.
Para preman itu tak menghiraukan. Telihat ketua preman itu memberi anak buahnya kode. Salah satunya pun mengangguk. Tak lama kemudian mereka melakban mulut Yunda, serta mengikat tangan wanita itu. Tentu saja agar tidak berisik. Sedangkan Xavi hanya diam, tersenyum dan menonton kejadian menyenangkan itu. Tanpa berucap sedikitpun.
Bersambung...
Di dalam mobil para preman itu, Xavi terus memeluk Yunda. Duduk dipangkuan Yunda. Seakan Yunda adalah ibunya.
Sayangnya Yunda tidak bisa membalas pelukan itu. Sebab tangannya diikat. Meski begitu, tak menyurutkan niat hati Xavi untuk tetap memeluk perempuan yang ia sayangi ini.
Sesampainya di rumah mewah milik Xavi dan orang tuanya, Yunda terlihat terpesona dengan keindahan dan kemewahan rumah itu. Sangking terpesonanya, gadis ini sampai tidak melihat kedatangan seorang pria tampan dengan tatapan tajam ke arahnya.
"Lepaskan ikatan mulutnya, aku ingin mendengar alasan dia menculik putraku!" pinta pria bernama Richard Dawkins itu.
"Siap, Bos!" jawab salah satu dari mereka, terlihat bangga karena berhasil menangkap wanita yang disinyalir sebagai penculik Tuan Muda di rumah ini.
"Aku tidak menculik anakmu, Om. Sumpah! Dia tersesat. Lalu aku menolongnya, kalo tidak percaya, tanyakan saja padanya" ucap Yunda. Sedangkan Xavi sendiri tak mampu bericara, ia juga ketakutan melihat wajah ayahnya yang terlihat marah itu.
"Siapa yang memberimu izin bicara di sini?" tanya pria itu, masih dengan tatapan super dingin.
"Tapi, Om... kan saya memang tidak menculik. Saya menemukan putra Anda tersesat," jawab Yunda, dengan mimik wajah ketakutan.
"Diam! Siapa yang menyuruhmu bicara!" bentak Richard lagi.
Yunda langsung diam. Namun ia memberanikan diri mencuri pandang pada pria galak itu. Entahlah.. antara takut dan tidak. Tapi Yunda penasaran.
"Bawa Xavi ke kamar. Bersihkan tubuhnya, ganti bajunya. Baju apa yang dia pakai itu. Buruk sekali!" ucap pria gagah itu.
"Baik, Tuan!" pria tersebut langsung membawa Xavi ke kamar. Padahal Xavi enggan. Ia mau bersama Yunda. Namun tatapan mata ayahnya berhasil membuat bocah berusia empat tahun ini mengalah. Terpaksa dia pun ikut dengan penjaganya.
"Jangan menatap papi seperti itu, Xavi. Lihat bajumu, jelek begitu. Bau lagi!" ucap Richard lagi.
Spontan, Yunda yang merasa terhina pun langsung tancap gas, "Anda jangan menghina ya, itu aku yang beli. Itu seleraku, enak saja! Dia harum sudah ku mandikan tadi. Sudah pakek minyak telon dan parfum. Enak saja anda menghina!"
"Eee... kamu berani padaku ya. Dia putraku, Bodoh! Jadi suka-suka aku lah!" Richard mendekati Yunda, menatap gadis menyebalkan ini.
"Kalo dia putramu, kenapa Anda lalai menjaganya. Sampai dia kelaparan dan kehausan?" tantang Yunda.
"Bukan aku yang lalai, tapi para penjaga bodoh itu. Aku kerja, mana ku tahu kalo dia kabur!" jawab Richard, kali ini sedikit merendahkan nada bicaranya.
Namun Yunda masih telihat kesal.
"Di mana kau temukan putraku?" tanya Richard.
Yunda enggan menjawab. Sebab ikatan tangannya masih belum dilepaskan.
Richard tahu jika gadis muda yang ada di depannya ini pasti marah dengan dirinya dan dengan para ajudannya itu. Ia pun langsung memberi kode pada para ajudannya untuk melepaskan ikatan tangan tersebut.
Benar saja, setelah ikatan itu di lepas, Yunda langsung memberikan tatapan sinis pada pria yang melepaskan ikatan tangannya.
"Ceritakan padaku, di mana kau menemukan putraku atau benar kata mereka, kau menculiknya?" tanya Richard.
"Eeee... enak saja. Anda jangan asal nuduh ya. Saya tidak menculik putramu, Om. Saya menemukan dia menangis di depan warungku," jawab Yunda, jujur.
"Baik, terima kasih!" ucap Richard seraya beranjak dari tempat duduknya. Lalu hendak melangkah meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelumnya, ia berpesan pada anak buahnya untuk mengantarkan Yunda pulang dan memberikan gadis itu hadiah serta tetap mengawasi gadis itu. Sebab Richard tidak percaya, bahwa gadis ini hanya menemukan putranya. Richard yakin, jika Yunda memiliki maksud terselubung mendekati putranya.
"Baik, Tuan. Kami akan terus mengawasi penculik ini," ucap pria berjaket hitam itu.
Sayangnya Yunda tidak tuli, ia mendengar jelas pria itu berkata bahwa dirinya adalah penculik serta memiliki niat terselubung mendekati Xavi. Membuat Yunda meradang. Namun, ia Yunda mencoba tak peduli. Toh setelah ini mereka tidak akan bertemu lagi.
Di dalam mobil ...
Yunda tetap berusaha tenang berada di tengah-tengah orang-orang menyeramkan ini. Sebab ia tahu, saat ini sedang diawasi oleh mereka.
"Ini hadiah dari Tuan Bos, ambilah!" ucap pria itu sembari menyodorkan amplop putih berisi segepok uang.
"Tidak, aku tidak mau. Aku ikhlas menolong Tuan Muda kalian!" jawab Yunda.
"Kami tidak percaya kalo kamu cuma nolongin dia. Kamu sengaja membujuknya agar mau ikut denganmu kan?" ucap pria itu.
"Kau gila! Aku bukan orang seperti itu!" balas Yunda marah.
Tak mau berdebat dengan para pria bodoh ini, Yunda pun memilih diam. Namun tak dipungkiri bahwa saat ini perasaannya telah terpisah pada Xavi. Ia sangat kasihan pada bocah kecil itu. Karena Yunda yakin, bocah itu pasti tertekan oleh ketegasan ayahnya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!