NovelToon NovelToon

Istri Muda Tuan Galuh

1.1

"Semua karena anak haram kayak kamu ini! Ibumu yang j*l*ng itu sudah merusak rumah tanggaku. Harusnya kamu itu tidak usah dilahirkan!"

Teriakan dari seorang wanita berumur 30 tahunan itu bergema di ruang tamu sebuah rumah megah. Wajah sang wanita paruh baya memerah, akan amarah dan benci yang dia rasakan. 

"Mama!" ucap si anak perempuan berusia 7 tahun. 

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Karena aku bukan Mamamu, anak haram!" teriak sang wanita lagi. 

"Ke--kenapa? Mama juga Mamaku juga, kan?" tanya sang anak perempuan dengan terbata di antara tangis yang tak bisa ia tahan. 

"Aku tidak sudi! Kamu harusnya ikutan mati saja membusuk di neraka sana bersama orang tuamu yang telah menyakiti hatiku ini...."

"Ma!"

Lalu dorongan kasar, membuat tubuh si anak perempuan itu terdorong jatuh dengan posisi menelungkup di lantai keramik itu.

"Kubilang jangan sebut diriku Mamamu, si***n! Pergi kamu dari rumahku, aku tidak sudi lagi menampung anak haram sepertimu!" 

Si wanita paruh baya berlalu pergi menaiki anak tangga menuju lantai dua rumah megah itu. Mengabaikan tetiakan juga isakan pilu dari si anak perempuan yang terus meneriaki dirinya. 

"Ma, tidak! Jangan usir Sisil, Ma. Sisil gak punya tempat tinggal, mau tinggal dimana Sisil kalau Mama usir...."

Si anak perempuan menahan kaki sang wanita yang ia panggil 'Mama'. Menatap memohon dengan linangan air mata yang terus membasahi kulit pipi putihnya. 

"Aku gak peduli! Sekarang juga angkat kakimu dari rumah ini!" ujar sang wanita dengan melepaskan kakinya dari genggaman tangan si anak perempuan. 

"Nggak, Ma! Aku anak Mama, aku gak mau pergi!"

"Sisil!"

Seruan dari seseorang itu membuyarkan lamunan sang perempuan muda yang sedang memandang kosong pada layar monitor komputer.

"Eh! Iya, Bu?" ucapnya linglung.

"Melamun, ya? Ada yang cari kamu tuh di sana," ucap Ibu Anis--sang manager restoran, menepuk bahunya. Menunjuk pada salah satu meja restoran di pojok ruangan, dimana di meja itu ada sosok perempuan cantik yang duduk di kursi menatap ke arahnya.

"Siapa, Bu?" tanya Sisil bingung.

"Katanya keluarga kamu," jawab Ibu Anis.

"Ke--keluarga aku?"

Sisil mengerutkan kening dengan pikiran berkelana. Siapa yang datang berkunjung? Sejak 15 tahun lalu ia diusir dari rumah, tak pernah ada satu orang pun keluarganya yang mencarinya. Lalu, sekarang?

"Sudah. Temuin dulu sana!"

Sisil mengangguk. Meminta temannya untuk menggantikannya sementara di meja kasir.

"Maaf, Mbak cari saya?"

Sisil berdiri di samping meja menghadap wanita cantik dengan penampilan modis, tapi wajahnya tampak pucat.

"Iya. Duduklah. Saya mau bicara sebentar dengan kamu," sahut wanita cantik itu.

Sisil menurut. Duduk di kursi yang berhadapan dengan wanita itu. Dia tahu kalau wanita di depannya bukanlah keluarganya, entah siapa wanita ini dan ingin mengatakan apa padanya.

"Menikahlah dengan suamiku!"

Pricilia Anggraini mengedip-ngedipkan matanya berusaha mencerna apa yang dibicarakan oleh wanita cantik di depannya itu.

"Kamu Sisil, kan?"

Pricilia, yang kerap dipanggil dengan nama kecil Sisil itu, mengangguk.

"Maaf, maksud Mbak ini apa ya? Saya nggak paham," ujar Sisil menyuarakan kebingungannya.

"Aku mau kamu jadi adik maduku dan menikah dengan suamiku...."

Sisil membulatkan netranya, membuka mulut hendak mengatakan jika wanita cantik di depanya ini pasti sudah gila, tapi ia tutup kembali mulutnya.

"Mbak pasti bercanda," ucap Sisil terkekeh mencairkan suasana.

Oh dia tentu kaget. Kedatangan wanita cantik ini ke tempat dia bekerja, dan Ibu Anis yang mengabarkan jika wanita ini ingin menemuinya. Dia saja tidak kenal siapa wanita ini, dan kenapa juga si wanita ini memintanya untuk menikah dengan suaminya.

"Saya serius. Saya sudah mengamatimu sejak lama, dan sering meminta Ibu Anis menceritakan singkat tentang dirimu. Ah ya kenalkan... saya Andin Syahira, pemilik restoran ini...."

Sisil kembali ternganga. Segera saja dia bersikap sopan dan meminta maaf pada wanita di depannya yang baru dia ketahui pemilik restoran tempat dimana ia bekerja sekarang.

"Maaf Ibu... saya nggak tahu kalau Ibu pemilik restoran," ucap Sisil menatap gugup dan tak enak hati.

Wanita yang tadi mengenalkan diri dengan nama Andin itu menggeleng dengan senyum ramah.

"Nggak apa-apa. Bagaimana? Kamu mau menerima tawaran saya? Saya akan memberikan restoran ini untuk kamu dan sebuah rumah jika kamu bersedia menjadi adik maduku."

Sisil kembali tergagap. Astaga, sebenarnya kenapa wanita di depannya begitu gigih mencarikan suaminya istri lagi? Sedangkan, di luar sana bahkan para istri amat membenci akan adanya wanita lain di dalam rumah tangganya.

"Bisa beri saya alasan kenapa harus menyetujui tawaran Ibu?"

Sisil mengamati wajah sendu Andin Syahira. Wanita cantik yang Sisil perkirakan umurnya tak jauh beda dengan Kakak sepupunya.

"Saya tidak bisa menjadi istri yang memenuhi hak batin suami saya, dan juga tidak dapat mengandung...."

Sisil diam. Menyimak cerita dari wanita cantik di depannya. Sesekali ia menghela napas, merasa iba juga sedih akan kisah yang diceritakan oleh wanita di depannya itu.

"Saya mohon... saya sudah tahu banyak tentang kamu, dan berharap kamulah yang akan menemani saya menjalankan peran sebagai istri di sisa umur saya...."

"Ibu bisa mengadopsi anak, kan? Tidak perlu mencarikan suami Ibu wanita lain, yang malah menyakitkan hati Ibu dan suami Ibu sendiri," ucap Sisil.

Andin Syahira menggeleng, "lalu setelah saya meninggal siapa yang akan merawat anak itu dan menemani suami saya?"

Sisil terdiam. Dapat dia lihat jika wanita di depannya ini amat begitu mencintai suaminya. Bahkan merelakan jika suaminya mencari wanita lain agar suaminya tidak tersiksa.

"Sa--saya...."

"Sisil, kumohon...."

Sisil menghela napas, "akan saya pikirkan terlebih dulu, Bu."

Senyum Andin terkembang mendengar jawaban dari Sisil. Meski belum pasti, tapi setidaknya dia punya harapan.

"Baiklah. Aku akan menemuimu lagi seminggu ke depan. Kuharap kamu memberikan jawaban yang menyenangkan, Sil!"

Sisil tersenyum kaku mendengar ucapan Andin. Ia mengangguk ketika Andin Syahira berpamitan dan berlalu dari hadapannya, hingga sosoknya tidak terlihat lagi dari ambang pintu masuk restoran.

"Pembicaraan macam apa itu tadi?" gumam Sisil membuang napas kasar.

Tidak ingin memikirkan akan ucapan wanita tadi, Sisil segera kembali pada pekerjaannya di balik meja kasir. Ya, dia bekerja sebagai seorang kasir di AS'G Restaurant, restoran bergaya klasik modern yang ternyata pemiliknya adalah seorang wanita cantik bernama Andin Syahira itu.

...*****...

"Jangan gila, Sayang!"

Pria tampan yang duduk di ujung ranjang menghadap sang istri dengan tatapan terluka.

"Kumohon, Mas! Demi kamu, dan masa depan kita...."

Pria itu menggeleng. Galuh Putra Kanendra. Pria tampan berusia 30 tahun itu menatap sang istri dengan sorot kecewa dan terluka atas apa yang istrinya ucapkan itu.

"Aku bahagia bersama kamu, Andin. Kita bisa mengangkat anak, tanpa aku harus menikah lagi," ujar Galuh menggenggam jemari sang istri.

Andini Syahira menggeleng dengan netra sayu, "lalu bagaimana dengan kebutuhan batinmu, Mas? Sudah setahun ini kamu tak mendapatkan itu dariku...."

"Aku tidak but--"

"Jangan membohongi diri sendiri, Mas! Kita sama-sama tahu jika kamu butuh itu," sahut Andin dengan netra berkaca-kaca.

"Andin!"

"Aku sudah punya cal--"

"Kita hentikan pembahasan ini ya, sayang! Waktunya untuk istirahat."

Galuh segera menghentikan semua ocehan sang istri. Segera ia membawa istrinya berbaring di ranjang, menyelimutinya dan mengecup sayang kening wanita yang ia cintai itu. Keduanya terdiam, berbaring telentang dengan pikiran berkeliaran.

Ingatan Galuh melayang pada pertemuan pertamanya dengan sang istri lima tahun silam. Pertemuan pertama mereka terjadi ketika Galuh yang saat itu sedang meeting dengan klien di sebuah restoran mewah, dan Andin yang juga sedang makan siang bersama teman-temannya. Mereka tidak sengaja berpapasan saat memasuki pintu restoran dengan bersenggolan lengan, dimana saat itu keduanya memang sedang buru-buru karena sudah terlambat dari waktu janjian. Awalnya kejadian itu, tak berarti apa-apa, tapi pertemuan kedua saat mereka ternyata dijodohkanlah yang membuat benih-benih cinta itu hadir di hati mereka.

Lalu kenyataan menyakitkan yang mereka ketahui setahun lalu, membuat Galuh dan Andin merasakn kesedihan dan kepahitan itu saat Andin divonis penyakit chlamydia, penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis. Dokter momvonis jika Andin tidak memungkinkan untuk mengandung, dan karena itu juga Andin tidak bisa lagi memberikan hak batin pada suaminya. Andin yang merasa ia tak bisa lagi untuk sembuh, karena penyakitnya ini sudah di stadium akhir, terus mendesak Galuh agar menikah lagi dan memiliki anak dari perempuan lain. Namun, Galuh bukan pria sejahat itu, yang bisa dengan mudah menikahi perempuan lain demi seorang anak, dan menduakan istrinya sendiri. Tidak, dia amat mencintai Andin Syahira, apapun keadaannya. Galuh selalu yakin bahwa kelak istrinya akan sembuh.

......Bersambung..........

2.2

Hari ini Sisil kembali dikejutkan akan kedatangan seorang pria tampan dengan stelan jas formal seperti pengusaha dan eksekutif muda yang kerap ia tonton di acara televisi. Pria itu mencari dirinya, sehingga di sinilah dia sekarang. Duduk berhadapan di meja pojok restoran.

"Apa yang kamu katakan pada istriku?" tanya pria tampan di hadapan Sisil.

"Apa maksud, Tuan?" Sisil melontarkan  pertanyaan balik, karena tak paham apa yang diinginkan oleh pria di hadapannya itu.

"Jangan mengelak! Kemarin istriku menemuimu, kan? Apa yang kalian bicarakan?" Suara lelaki itu dingin dengan ekspresi datar di wajahnya.

"Tunggu... maksud Tuan Ibu Andin Syahira?" tanya Andin memastikan.

Sayangnya, pria di depannya tak menjawab. Hanya menatapnya tajam dengan tatapan penuh intimidasi. Sisil menghela napas, mencoba menahan rasa gugup dan takut yang sedikit menyelimutinya.

"Kenapa tidak Tuan tanyakan saja pada Ibu Andin sendiri? Saya tidak punya hak untuk menceritakan apa yang kami bicarakan kemarin siang," ucap Sisil datar.

"Kamu berani bermain-main dengan saya?"

"Iya. Kenapa saya harus takut?" tantang Sisil berani. Dengan senyum miring mengejek. Dia sudah hapal kesombongan orang-orang berpakaian rapi seperti ini.

"Istriku memintamu menikah denganku, kan? Tolak saja permintaannya itu. Karena sampai kapanpun saya tidak akan bisa menerima perempuan manapun selain istri saya," ucap pria itu dingin.

"Dengar, Tuan Galuh... Putra... Kanendra, saya juga tak berminat pada pria sombong dan angkuh seperti Anda!" ujar Sisil mengeja dengan setiap penekanan pada penggalan nama pria di depannya itu. Ah, dia tentu tahu siapa pria di depannya ini.

"Kamu...."

Sisil bangkit dari tempat duduknya.

"Maaf, Anda sudah menyita waktu kerja saya. Saya per--"

Sisil terkejut karena sebuah tangan menahan lengannya kasar. Dia menatap sosok pria yang masih menahan lengannya itu.

"Jangan berani melawanku, jika kamu tidak tahu konsekuensi dari sikap sombongmu ini, perempuan!"

Setelah mengucapkan kalimat itu, Galuh pergi dengan langkah lebar keluar dari restoran itu. Meski ada beberapa pasang mata yang amat penasaran dengan pembicaraan Galuh dan Sisil, tapi mereka hanya mencuri-curi pandang saja.

"Pria gila!" gumam Sisil mengelus lengannya yang sedikit memerah karena Galuh mencengkramnya tadi.

Galuh Putra Kanendra. Pria berusia kepala tiga itu adalah seorang pewaris dari sebuah perusahaan tekstil dan impor dari keluarga Kanendra. Tidak perlu diragukan lagi akan kecakapan pria muda itu dalam menjalankan bisnis keluarganya hingga terkenal hingga mancanegara itu.

Dering ponsel Galuh yang diletakkannya di atas meja kerja, membuat fokus pria itu teralihkan dari kertas di tangannya. Segera ia menyanbar handphonenya, menekan tombol jawal pada panggilan dengan ID number 'Mama'.

"Ada apa, Ma?" tanyanya setelah mengucapkan salam pembuka.

"Andin kritis, Nak. Segera ke rumah sakit sekarang!"

Berusaha mengendalikan diri yang bergetar mendengar apa yang Mamanya ucapkan, Galuh menjawab ucapan Mamanya.

"Baik, Ma."

Setelahnya Galuh bergegas mengantongi handphonenya, menyambar kunci mobil dan melesat keluar dengan langkah lebar. Hampir dua puluh menit dia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di sebuah rumah sakit milik keluarga mereka. Dia segera menuju ruang UGD di mana di sana sudah ada keluarganya dan juga kedua mertuanya.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Galuh pada Mamanya.

"Masih ditangani dokter," sahut Nina Andriani--Ibu Galuh.

Galuh menghela napas, menyandarkan diri di dinding samping pintu. Mengusap wajahnya kasar dengan tubuh gemetar. Dia khawatir, cemas, dan takut menjadi satu menyelimutinya.

Hampir sepuluh menit Galuh berdiri dengan menunduk, hingga suara pintu UGD di sampingnya yang terbuka membuat ia segera menegakkan diri, dan menghampiri sang dokter.

"Bagaimana kondisi istri saya, Dok?"

Dokter wanita paruh baya itu menghela napas, "amat mengkhawatirkan, Pak Galuh. Semua usaha sudah dikerahkan, hanya Tuhan yang menentukan umurnya," jelas sang dokter prihatin.

Galuh dan semua keluarga yang mendengar ucapan sang dokter langsung merasa lemas. Bahkan ibu mertua Galuh sudah menangis terisak di pelukan suaminya. Tak terkecuali Galuh yang juga menangis dengan menangkupkan tangan di wajahnya. Bahu pria itu bergetar menahan isakan tangis. Dia sakit, perih, dan terluka. Kenapa harus istrinya yang menderita? Kenapa tidak dirinya saja?

"Nak, ayo kita temui Andin dulu!" Mamanya mengajak Galuh berjalan menuju ruang VVIP mengikuti para perawat yang mendorong brankar Andin yang masih belum sadarkan diri. Galuh menurut, mengusap sisa airmatanya dan berusaha kuat.

.............

Setelah hampir dua jam Galuh menunggui sang istri di ruang rawat, akhirnya wanita yang ia cintai itu membuka netranya. Memberikan sebuah senyum tipis untuk Galuh yang diliputi kecemasan.

"Sayang!"

Galuh mengecup singkat kening sang istri. Setelahnya menekan tombol panggilan untuk dokter agar memeriksa kondisi istrinya.

"Mas...."

"Sstt! Nanti saja ngomongnya, ya! Tunggu dokter periksa dulu," ucap Galuh menghentikan istrinya yang hendak berbicara.

Andin mengangguk. Tak sampai lima menit, dokter Anita masuk ke ruangan itu bersama seorang suster. Galuh memperhatikan saksama sang dokter yang fokus memeriksa istrinya.

"Untuk saat ini, kondisi Ibu Andin sudah cukup membaik."

Galuh mengangguk. Setelah Dokter Anita berpamitan dan mengatakan akan meminta suster mengantarkan makananan dan obat yang harus diminum.

"Jangan buat aku khawatir, sayang!" bisik Galuh lirih mengecup tangan kiri sang istri yang tak diinfus.

"Maaf ya, Mas...."

"Mas, kumohon kabulkan permintaanku!" ujar Andin menatap memohon pada Galuh.

Galuh menggeleng. Kenapa istrinya terus saja membahas hal itu? Untungnya keluarga mereka sedang makan di kantin rumab sakit sehingga tak perlu mendengar apa yang akan mereka bahas ini.

"Mas hanya mencintai kamu. Mas mohon kamu paham dan mengerti jika Mas tidak bisa memasukkan perempuan lain dalam kisah kita...."

"Mas, aku ingin kamu bahagia saat nanti aku pergi. Aku ingin ada perempuan yang akan selalu menemani langkahmu di dunia ini saat nanti aku tak bisa lagi menemanimu. Komohon, Mas! Menikahlah lagi dengan perempuan yang kupilihkan...."

"Sayang...."

"Please! Aku sudah lelah menanggung sakit ini, Mas. Biarkan aku tenang dan melihatmu bahagia...."

Galuh terdiam. Menundukkan kepala dengan denyut sakit di dalam dada. Kenapa kisah cintanya harus semiris ini?

"Mas!"

"Baik. Mas akan menikahi perempuan yang kamu pilihkan itu, tapi dengan syarat kamu harus punya motivasi untuk sehat dan bertahan untuk Mas," ucap Galuh pada akhirnya. Menerima permintaan sang istri.

Andin tersenyum dan mengangguk dengan netra berkaca-kaca. Dia terharu, tapi juga merasa sakit di satu sisi yang lain. Ya, tentu saja. Dia wanita berperasaan yang tak akan rela melihat suaminya menikah lagi, meski itulah permintaannya. Namun, untuk kebahagiaan pria yang ia cintai, dia rela. Rela melihat suaminya akan kembali mengucapkan ijab dengan nama wanita lain.

"Terima kasih, Mas!"

...Bersambung.......

3.3

"Ada perlu apa lagi Tuan Galuh Yang Terhormat menemui saya?"

Pricilia Anggraini berdiri dengan dagu terangkat menatap datar pria berstelan jas yang duduk di salah satu kursi di meja restoran.

"Duduk!" Suara pria itu datar dan dingin seperti biasa.

Sisil menghela napas. Menurut, dan duduk di kursi berhadapan dengan Galuh Putra Kanendra.

"Saya harus bekerja. Jadi, cepat Tuan katakan apa keperluan Tuan menemui saya?" ucap Sisil judes.

"Baca ini!" Galuh mendorong map cokelat ke hadapan Sisil.

Sisil mengerutkan kening. Mengamati map cokelat di depannya sejenak dan membuka map tersebut. Menemukan selembar map yang di dalamnya terisi selembar kertas.

Sisil membaca setiap baris kata dan kalimat di kertas phtih itu dengan saksama. Membacanya dengan teliti, takut jika ada hal yang terlewat.

Surat Perjanjian Pernikahan

1. Pihak Pertama akan memberikan imbalan uang 100  juta pada Pihak Kedua jika pihak Kedua bersedia menjadi istri Pihak Pertama.

2. Jika Pihak Kedua setuju, ia akan mendapatkan sebuah rumah dan salah satu cabang restoran AG'S, yang akan dipindah namakan atas namanya.

3. Pihak Pertama akan melepaskan Pihak Pertama setelah dua tahun pernikahan, dengan kehadiran seorang anak atau tidak.

4. Setelah menjadi istri Pihak Pertama, Pihak Kedua harus bersedia dan siap atas ketentuan dan aturan yang nanti akan diberikan oleh Pihak Pertama.

Tertanda.

Pihak Pertama

Galuh Putra Kanendra

Pihak Kedua

Pricilia Anggraini

"Apa-apaan ini?" ujar Sisil kesal setelah membaca tuntas dari kata pengantar hingga penutup dari sebuah surat perjanjian itu.

"Saya harap kamu menyetujuinya karena ini menyangkut kesehatan istri saya," sahut Galuh dingin.

"Tuan tidak berhak memerintah dan memaksa saya!" Sisil balas menatap tajam dan dingin pria yang ia akui tampan di hadapannya itu.

"Oh ya? Kalau begitu silahkan kamu angkat kaki dari kontrakan yang kamu tempati sekarang dan saya juga bisa memecat kamu dari pekerjaanmu ini," ucap Galuh dengan sebuah senyum sinis dan licik yang tersumir di bibirnya.

"A--apa?"

Sisil tergagap. Apa-apaan ini? Pria ini mengancamnya? Ck, benar-benar licik.

"Pikirkan! Saya tunggu telepon kamu lusa. Jika lewat dari itu, bersiaplah hidup gelandangan di jalan... anak buangan!" Galuh berbisik licik di depan wajah Sisil.

"Anda!" Sisil kontan bangkit dari posisi duduknya, menunjuk wajah pria di depannya dengan deru napas memburu menahan kemarahan.

"Sampai berjumpa lagi nanti!"

Galuh langsung berlalu tanpa menghiraukan kemarahan di raut wajah perempuan muda itu. Untungnya, tempat pembicaraan mereka agak menjorok ke sudut dan tersembunyi dengan dipisahkan oleh pembatas kaca, sehingga para pengunjung restoran yang lain tak melihat dan mendengar obrolan mereka.

"Ya Allah! Jauhkan aku dari orang-orang seperti itu," gumam Sisil menarik dan mengembuskan napasnya, mencoba menenangkan diri.

****

Nyatanya, doa Sisil tak menemukan muara. Ini sudah dua hari berlalu dari sejak pertemuannya dengan pria sombong bernama Galuh itu. Oh Tuhan, entah kenapa hidup Sisil seolah tak pernah tenang dan damai sejenak saja. Dia ingin bahagia. Kenapa seolah banyak sekali rintangan yang ia lalui?

"Sil! Ibu Andin ingin menemuimu."

"Eh!" Sisil terperanjat dari lamunananya yang memikirkan nasibnya.

"Sana cepat! Kasihan beliau nungguin kamu dari pagi," ucap Rina--teman kerjanya di restoran itu.

Sisil mengangguk. Menaruh tasnya di balik meja kasir, dan berlalu menuju ruangan lantai dua. Ruangan khusus untuk tamu VVIP yang ingin suasana damai dan tenang.

"Duduk, Sil!"

Sisil mengangguk. Duduk di sofa single berhadapan dengan Andin Syahira, yang hari ini wajahnya kian pucat. Sisil makin meringis iba melihat wajah tak bercahaya dan mata sendu wanita cantik di depannya itu.

"Kamu sudah bertemu suami saya, kan?" tanya Andin tanpa basa-basi.

Sisil mengangguk, dengan menundukkan kepala. Memilin jemarinya gelisah.

"Bagaimana? Kamu setuju?"

Sisil mendongak. Menatap wajah wanita di depannya. Ia tatap lekat netra penuh permohonan dari wanita di depannya itu. Ia menghela napas, sebelum mengangguk kaku.

"Alhamdulillah!"

Andin Syahira mengusap sudut matanya yang berair. Ia meminta Sisil mendekat, yang dituruti oleh perempuan muda itu. Andin memeluk erat Sisil, mengucapkan terima kasih dan mengusap punggup perempuan muda itu. Sisil hanya terdiam kaku, dengan kedua tangan terkulai di sisi tubuh.

"Terima kasih, Sisil. Aku akan menyiapkan pernikahan kalian secepatnya. Seminggu ke depan kamu akan resmi jadi adik maduku."

Sisil kembali tergagap. Secepat itukah? Dia tak siap. Sungguh, umurnya bahkan baru 23 tahun. Dia masih amat buta akan laki-laki, apalagi berumah tangga? Oh tidak! Membayangkannya saja sudah membuat Sisil bergidik ngeri.

"I--iya, Bu...."

"Eh sekarang kamu harus biasakan panggil aku Mbak, Sil. Karena kamu akan jadi adik maduku dan kita akan tinggak bersama. Jadi, jangan panggil aku dengan panggilan 'ibu' lagi."

Sisil mengangguk, "iya, Mbak."

Setelah pertemuan hari itu, esok lusanya Sisil diberitahu oleb Ibu Anis jika dia sudah dicutikan. Dia bingung, tapi Ibu Anis segera mengatakan jika itu atas perintah dari Ibu Andin Syahira--pemilik restoran ini. Sehingga hari ini, kerjaan Sisil ya bersih-bersih di kontrakannya. Mencuci pakaiannya yang sudah menumpuk, juga memangkas rumput-rumput liar di halaman depan kontrakannya.

Ketika ia sedang menjemur pakaian di halaman depan, sebuah mobil BMW hitam berhenti di depan pagar kontrakan yang Sisil tempati. Sisil melongokkan kepala, menunggu gerangan siapakah yang datang pagi-pagi begini dengan mobil mewah itu.

Begitu si pengemudi keluar dari mobil BMW hitam itu, Sisil kontan membelalakkna mata  karena ternyata yang datang adalah Tuan Galuh Putra Kanendra, si pria angkuh yang amat membuat kemarahan Sisil menggebu mengingat ucapan pria itu tempo hari.

Dengan menenteng ember bekas pakaiannya tadi yang sudah selesai ia jemur, Sisil berdiri di depan pagar kontrakannya tanpa repot-repot membuakakannya atau menawarkan pria itu untuk masuk.

"Perlu apa?" tanya Sisil cuek.

Galuh menatap tajam perempuan muda dengan tampilan rumahan di depannya. Menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki penampilan Sisil yang hanya mengenakan daster rumahan bergambar bunga-bunga sepanjang betis, dan rambut yang dicepol asal-asalan. Galuh sempat terpana, karena dengan tampilan seperti itu perempuan muda di depannya ini tampan terlihat... seksi. Ah tidak dia segera menepiskan pikiran itu dan segera menetralkan raut wajahnya.

"Mandi sana! Sepuluh menit, saya tunggu di sini," ucap Galuh datar.

"Ngapain? Saya sibuk!" sahut Sisil hendak berbalik pergi, tapi seseorang menarik kerah belakang dasternya hingga dia berhenti dan menatap datar pelakunya.

"Lepasin!"

"Mandi sekarang! Kita harus fitting baju hari ini. Jangan lama, sepuluh menit! Istri saya sudah menunggu di butik...."

Sisil hendak membantah, tapi tatapan tajam pria itu membuatnya menghela napas dan mengangguk. Sisil masuk ke dalam kontrakan sederhanannya itu, segera mandi dan berganti pakaian terbaik yang ia punya. Sebuah stelan rok tutu dan kemeja bunga-bunga. Hanya ini baju terbaik yang ia punya. Belinya juga diskonan di pasar malam.

'Ah, biarin kalau dia malu ajak aku dengan baju gak berkelas ini. Siapa tahu dengan ini mereka berpikir ulang untuk menjadikan aku madu si Tuan Galuh itu!'

...Bersambung.......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!