Dalam keheningan malam duduk seorang wanita bersimpuh dalam sujud dengan air mata yang bercucuran membasahi pipinya.
Asyila Fajarna yang dipanggil Asyi, seorang wanita sholeha dengan alis terukir dengan bulu cokelat kehitaman yang tersusun rapi, di tambah bola mata cokelat yang selalu basah dengan air mata, dan bibir pink yang tersembunyi di balik kain tipis. Siapapun yang memandangnya membuat hati selalu berbisik ingin mempersuntingnya. Wajar saja jika seorang lelaki menginginkan sosok bidadari yang berada di sisinya, seakan pikiran mereka jelas menggambarkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Asyi kini berumur genap 26 tahun. Diusianya yang sudah sangat matang, sedikitpun belum terlintas keinginan untuk menikah. Fokusnya hanya untuk memperdalam ilmu agama dan menebus semua dosa-dosa masalalu. Lelaki datang silih berganti dengan tujuan mulia—ingin melamarnya, tapi tak satupun bisa mengetuk pintu hatinya yang sudah terkunci karena sebuah kesalahan fatal. Hanya kata maaf dan belum siap menikah yang selalu terlontarkan.
Saat ini, ia masih menetap si sebuah pesantren Darul Islam yang berada di Bandung, jauh dari tempat tinggalnya semula, Jakarta.
Tak pernah terlintas ingin kembali, ia sudah mantap tinggal di pesantren dan menemukan orangtua baru yang akan tetap selalu menyayanginya.
Ilmu agama yang sudah mantap, ia pun mendapat mandat untuk mengajar anak didik sekolah menengah pertama dan menegah atas.
Menyambut HUT Darul Islam yang ke-34, semua orang disibukan dengan segala persiapan. Terlihat seorang lelaki paruh baya dengan pakai gamis dan kain yang melilit membentuk sorban di atas kepalanya selalu datang menemui Asyi untuk bertanya kesiapan untuk acara yang akan mendatang.
"Sampai di mana persiapannya?" tanya KH Mahmud dengan lembut.
"Alhamdulillah semuanya sudah selesai, Abi." Asyi memanggilnya dengan sebutan akrab—Abi karena KH Mahmud sahabat dari ayahnya dan setelah ayahnya tiada, ia dititipkan pada KH Mahmud dan memintanya untuk menjadikannya sebagai putri angkat.
"Abi, sebaiknya duduk bersantai saja. Biar semua ini Aina sama Teh Asyi yang mengerjakannya," ujar Aina, anak kandungnya yang sangat rapat dengan Asyi, bahkan orang-orang menganggap mereka saudara kandung, sangking tidak ada jarak pada mereka yang mampu ditafsir setiap mata memandang.
Wajah mereka terlihat sangat meyakinkan, hingga KH Mahmud pamit untuk istirahat.
Aina dan Asyi sedang merapikan meja yang masih dianggap kurang pas dengan posisinya, tiba-tiba terlihat seorang wanita berusia 40 an datang dari arah pintu masuk dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Assalamualaikum, Eneng-eneng sholeha. Bi Imah yang cantik teh bawa minum sama kue untuk kalian." Bibir yang pernah bisa tertutup rapat karena gigi yang terlalu maju membuatnya selalu tersenyum meskipun terkadang air mata kerap keluar karena hati yang sedang sedih. Bi Imah meletakkan nampan di atas meja.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah, Bi Imah cantik." Asyi dan Aina menjawab dengan kompak. "Terima kasih atuh, ini pasti teh enak banget," sambung Aina tersenyum.
Duduk dengan manis di depan meja, tangan mereka segera mengambil kue, dengan bibir yang melirih basmallah mereka segera menyantapnya.
"Gimana atuh? Enak tidak kuenya?" Menatap mereka silih berganti, senyuman mengembang penuh harap 'sebuah komentar enak' terucap dari bibir mereka.
"Masyaa Allah .... Ini enak sekali, Bu Imah. Pokoknya teh Bi Imah paling pintar," ucap Aina menyanjung Bi Imah. Asyi tersenyum mengangguk kepala membiarkan lidah lunak Aina bersenandung dengan pujian-pujian pada wanita yang bertugas menyiapkan makanan untuk para penghuni pesantren itu.
Bi Imah tersenyum lebah penuh kebahagian melihat kue satu persatu hilang dengan gigitan gigi mereka. Begitu piring dan gelas kosong, Bi Imah berpamitan membawa kembali nampan berisi piring dan gelas kosong.
Jarum jam yang pendek mengarah pada jam 3 dan yang panjang berdiri lurus pada angka 12. Seperti sebuah alarm yang selalu mengagetkannya. Asyi bangun setiap sepertiga malam akhir.
Kakinya melangkah ke kamar mandi, menyalakan kran air dan membasuh tangan, wajah, dan semua anggota wudhu. Setelah berdoa ia kembali ke kamar, membentangkan sajadah, menghadap kiblat dengan balutan mukenah putih bersih, kedua tangan diangkat seraya takbiratul ihram. Niat dalam hati melaksanakan shalat tahajud. Suasana hening, senyap merasuki sanubari, hatinya terenyuh dalam kalam Allah hingga mengutuskan cairan bening mengalir di pipi putih kemerahan itu.
Bayangan dosa masa lalu terus mengusik hatinya hingga tangannya terus menadah ke langit, memohon ampunan atas diri yang hina.
"Ya Rabb ... hamba yang hina ini tak berhenti memohon ampunan padamu, kesilapanku yang telah merenggut semua yang berharga dari diriku. Sesungguhnya hanya pada-Mu sang pemilik hidup ini. Hamba hanya ingin Engkau tempatkan posisi yang terbaik untuk orangtua hamba, dan limpahkan semua dosanya padaku, agar mereka tak menanggung dosa anaknya ini."
Suara isakan tangis Asyi melekat pada daun telinga Aina. Ia pun mengerjap lalu membuka lebar matanya.
"Teteh, menangis lagi?" tanya Aina serak sambil mengucek matanya, masih fokus menatap wajah Asyi dari samping yang masih basah, bukan dengan wudhu, tapi dengan air mata.
Asyi menyeka air matanya, menoleh pada Aina sambil menyungging sebuah senyuman yang menegaskan ia baik--baik saja.
"Aina, mau shalat tahajud?" tanya Asyi berdalih. Ia tak ingin Aina terlibat dalam masa lalunya yang pasti akan membuatnya semakin kepikiran dan mungkin akan mengangapnya hina dan kotor.
Aina mengangguk kepala. Ia bangun sambil menadahkan tangan ke langit dan berkata, "Allahamdulillahilladzi ahyaanaa ba'dama amaatanaa wa ilahinnusyur, Amin." Mengusap wajahnya, ia pun berjalan ke kamar mandi.
Sambil menunggu azan datang, Asyi meraih mushaf Alquran pemberian almarhum ibunya, hatinya kerap bergetar saat membuka dan membacanya perlahan sambil meresapi isi yang dibacakannya.
Begitu azan subuh datang, sesuai dengan peraturan pesantren, semua santri diwajibkan shalat berjamaah kecuali bagi perempuan yang memiliki hari spesial setiap bulannya, namun mereka tetap harus hadir untuk mendengar tausiah usai shalat subuh meskipun mereka hanya bisa duduk di teras masjid.
Setiap kaki yang melangkah masuk ke dalam masjid, selalu bergetar berucap, "Allahummaf tah lii abwaaba rahmatik." (Ya Allah, bukalah untukku pintu pintu rahmat-Mu)
Dan dilanjutkan dengan niat 'Nawaitul i'tikafa fii hadzal masjidi lillahi ta'ala' (saya berniat i'tikaf di masjid karena Allah ta'ala) kala pantat mereka sudah merapat pada lantai masjid.
Begitu usai azan, semua orang tegak berdiri guna melaksanakan shalat qabla subuh atau lebih dikenal shalat fajar 2 rakaat. Sesuai dengan sebuah hadist Rasulullah, 'dua rakaat shalat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya' (HR Muslim).
Baru setelah itu, muazin kembali mengumandangkan iqamah dan semuanya ikut shalat subuh berjamaah.
Kegiatan ini terus bergulir setiap hari. Ketika matahari sudah menampakkan wujudnya, baru mereka diizinkan kembali lada kegiatan masing-masing.
...****************...
Hari yang ditunggu telah hadir menyapa. Senyuman terukir indah di bibir setiap santri menyambut kedatangan HUT Darul Islam. Bukan acaranya yang penting, melainkan kedatangan orangtua yang selalu dinanti-nanti.
Di bawah pohon menghadap ke arah tenda tamu undangan, terlihat wanita bercadar duduk sendirian sembari memperhatikan satu persatu dari mereka yang menyambut kedatangan orangtuanya. Senyuman pelepas kerinduan, pelukan hangat dan kecupan di punggung tangan orangtua yang dibalas dengan ciuman di kening sang anak.
Tak terasa senyuman yang bersemayam di balik cadar memudar saat kerinduan pada sosok ayah dan ibunya kembali melanda hati. Buliran-buliran air mata pun berjatuhan.
Sosok gadis berjilbab pink terus menatapnya, hingga tergerak mendekatinya.
"Teteh, menangis?" Aina mengernyit kening, hatinya larut dalam tangisan Asyi.
"Nggak kok! Teteh hanya terharu saja." Asyi segera menyeka air matanya.
"Kalau begitu ayuk kita ke rumah Abi! ... Abi sudah menunggu kita," ajak Aina dengan memegang tangan Asyi.
...****************...
Di kediaman KH Mahmud terlihat seorang lelaki berkulit putih, alis tebal dengan bulu-bulu pendek merapat pada rahang yang lebar duduk berhadapan dengan KH Mahmud.
"Sudah lama atuh Ujang Salman tidak ke berkunjung ke rumah Abah," ucap KH Mahmud. Para santri kerap memanggilnya Abah dan hanya anak-anaknya yang memanggil Abi.
"Saya belakang ini sibuk, Abah. Semenjak papa meminta saya menggantikan pekerjaannya, serasa saya tidak cukup waktu, bahkan Abah tau sendiri usia saya sudah kepala tiga tapi belum sempat mencari istri," ujarnya terbuka dengan sang guru.
Langkah kaki kedua wanita diiringi salam membuat Salman menoleh. Ia menyapu pandang saat menangkap sosok wanita bermata indah itu. Jilbab hitam dan kain hitam yang menutupi sebagian wajahnya dengan alis lebar membuat manik-manik mata semakin memancarkan aura kecantikannya.
Bibirnya tergerak mengucapkan, "Masya Allah, cantik sekali."
Suara yang kening tak begitu jelas di telinga KH Mahmud. "Ada apa atuh?" tanyanya mengernyit kening.
"Eng—nggak, Abah," jawabnya terbata-bata segera menjatuhkan pandang pada KH Mahmud.
"Abi lagi ada tamu ... kalau begitu kami permisi ke belakang dulu," tutur Asyi sembari melihat Salman yang terus memandang ke wajahnya. Ia tersipu malu lalu menunduk wajah.
"Ke sini dulu atuh! Abi mau mengenalkan sama kalian dengan salah satu alumni yang sudah mengharumkan nama pesantren kita." KH Mahmud melambaikan tangan yang terlihat butiran tasbih yang melingkar di jari-jarinya.
Salman tersenyum malu, sementara Aina dan Asyi masih bingung.
"Jadi, Ujang Salman inilah orangnya," Ia tersenyum lebar terlihat gigi yang masih rapat dan kokoh diusianya memperkenalkannya.
Aina tergeming, mata terus menatap sambil mengetuk dagu dengan jari telunjuk. "Kang kasep, eh, maksudnya Kang Salman ini sahabatnya Kang Iqbal betul?"
"Iya, Aina. Ini Akang Salman .. Aina udah besar ya, udah cantik, sholeha lagi." Bibir begitu enteng memuji Aina tapi sorotan mata masih tertuju pada sosok wanita yang belum dikenalnya, yang terus menekukkan wajahnya menghindari kontak mata langsung.
Aina tersipu malu. "Akang bisa saja atuh. Aina jadi malu," ia tersenyum mencubit-cubit bajunya.
Hati sudah meronta rasa penasaran, Salman segera menatap KH Mahmud. "Oh ya Abah, yang di sebelah Aina ini siapa? Sepertinya baru di sini?" lirikan masih utuh pada Asyi yang enggan berucap.
"Ini Neng Asyi, anak sahabat Abah."
Salman mengangguk-angguk kepala.
"Abi acaranya hampir dimulai, semua tamu undangan dan para santri sudah hadir. Mari kita ke sana!" Asyi langsung berdalih, tak ingin terus terlibat pada lirikan yang menodai mata.
"Baik. Sebaiknya kita semua ke sana!"
Acara HUT kali ini menjadi lebih terkesan saat Salman menjadi pengisi acara. Ia menceritakan perjalannya menjadi alumni pondok pesantren, hingga tembus menjadi mahasiswa di Universitas kebanggaan muslim dunia yang ada di Timur Tengah.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita mau mencoba. Karena Allah telah berfirman dalam surah Ar-rad ayat 11 innallaha laa yughairu maa biqaumi hatta yughairu maa bi anfusikum, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang menghubah nasibnya. Jadi yang diperlukan saat ini diri kalian sendiri bagaimana mengepush agar lebih giat lagi dalam belajar."
Asyi terpukau mendengar ucapan Salman yang berisi ajakan kebaikan. Tubuh atletis yang terbungkus baju koko putih liris cokelat keemasan memaparkan kegagahannya. Tatapan tanpa paksaan masih fokus pada lelaki itu hingga ia tersadar segera menekukkan wajahmu saat bola mata lelaki itu tertuju padanya.
Setiap memandangnya, aliran darah mengalir deras, jantung berdegup kencang. "Apakah ini yang dinamakan tanda-tanda jatuh cinta?" gumamnya.
Asyi terus merapalkan istigfar, entah apa yang terjadi, benteng pertahanan yang selama ini disemai sedikit demi sedikit mulai menunjukkan kelemahannya. Jantung mulai berdebar, pikiran masih menyiarkan bayang-bayang Salman yang terkesan begitu sempurna dalam pandagannya.
...****************...
Acara berakhir dengan ditutup doa dan permohonan maaf atas kesilapan dari MC. Semua para tamu undangan berjalan menuju ke meja makan.
"Ustadzah!" suara panggilan dari seorang gadis remaja nyaring terdengar hingga menghentikan langkah kaki Asyi.
"Assalamu'alaikum, Ustadzah," ucap Maira yang menghampiri Asyi.
"Wa'alaikum salam, Ada apa?" tanya Asyi. Suaranya sangat lembut bahkan burung yang berterbangan ikut berhenti kala mendengar suaranya yang halus nan lembut.
"Ustadzah, euuu ..." Asyi mengernyit kening. "Itu, mau nggak kenalan sama Kakaknya Maira?" tanya Maira tanpa basa basi dengan maksud sesuatu.
"Boleh." Asyi tanpa ragu menolak, ia sudah memikirkan Maira akan mengenalkannya pada saudara perempuan.
Dari sisi kiri Mira menarik tangan Salman tanpa perlawanan menghampiri Asyi.
"Ustadzah, ini Kakak kami, Kak Salman." Mira begitu semangat dan kompak dengan adiknya, Maira untuk memperkenalkan mereka berdua, seperti ada sesuatu harapan yang terlihat dari sorotan mata mereka.
Asyi seketika membelalak. "Oh ini Kakaknya kalian?" Mengangguk cepat.
"Euu, anu ... maafkan adik-adik saya, Ustadzah. Mereka sangat nakal-nakal. Bahkan saya saja sampai diseret ke sini ... Oh ya, kalau Ustadzah jengkel dengan mereka, ikat saja di tiang bendera," cerocos Salman menghilangkan kecangguannya.
"Eh, eh, eh! Enak banget fitnah kita, Oh ... Minta dilaporin ke mama sama papa ni kayaknya ni," berdecak sebal dengan bibir yang mengangkat sebelah. "Hmm, baiklah kalau begitu, Dek! Habis acara ini telpon mama! Kita aduin semuanya biar dijitak kepala Kakak," melirik sinis.
Asyi tersenyum kecil, mereka begitu menggemaskan.
"Ya udah, jangan pada berantem di sini! Malu tau dilihat sama Ustadzah," ujar Maira menengahi. Seakan dia yang bungkus yang paling bijak.
"Ustadzah kan udah kenal sama kakak kita nih. Hmm ... boleh nggak kalau Ustadzah Asyi jadi kakak Ipar kami?"
Asyi dan Salman mengaga, sorotan mata yang penuh harap membuat mereka tersipu malu.
"Adek, Jangan bikin malu Kakak dong di depan Ustazah kalian!" Salman menggertak giginya, melirik Asyi dengan rasa tak nyaman.
Tak digubrisnya. "Ustadzah, Ayo lah! Kami mohon!" masing-masing mereka memegang tangan Asyi, menatap melas.
Salman menatap tajam. Permintaan itu sukses membuat Asyi galau. "Anak-anak, Ustadzah baru saja mengenal Kakak kalian, bagaimana Ustadzah menjadi istrinya? Semua itu butuh proses, Nak. Tidak segampang membalikkan telapak tangan," jelas Asyi berharap mereka bisa mengerti maksud hatinya.
"Yah, Ustadzah. Padahal kami berharap sekali Ustadzah bisa menjadi kakak ipar kami, biar bisa merubah tu Kakak yang batu itu ..." ucap Mira menurunkan alisnya, terlihat kekecewaan yang mendalam.
"Hmmm nggak apa-apa deh! Tapi Ustadzah boleh dong kenalan jauh sama Kak Salman? Mana tau nanti perangai baiknya Ustadzah bisa mengalir ke Kak Salman. Hehehe," ledek Maira menyeringai.
"Kalian pikir air apa bisa ngalir gitu aja, hah? Gini-gini Kakak kalian juga loh." Maira dan Mira acuh terhadaonya. " Awas aja, nanti kalian nggak dapat uang jajan lebih dari Kakak."
"Loh, kenapa malah main ancam-ancam?" Maira menatap kesal.
Mira menarik tangan Maira. "Kakak paling hebat dan baik hati sedunia, nggak mungkin tega lihat adik-adiknya menderita, kan, kan?" tersenyum mengedip mata.
Salman mendengus kasar. Kedua adik-adiknya terlalu pintar mengubah situasi.
...****************...
Letih melanda setiap orang yang hadir di acara HUT Darul Islam. Mereka semua terlelap dalam mimpi indah mereka. Namun masih ada sosok pria dan wanita yang masih belum bisa berdamai dengan matanya hingga tak terlihat tanda-tanda kantuk. Asyi dan Salman berdiri di jendela yang berbeda menatap sinar bulan purnama yang sama.
Angin malam main manja pada dedaunan, terasa nyaman ketika menyentuh kulit hingga mengusik pikiran saat bayang-bayang satu sama lain mengisahkan rasa deg-degan. Apa ini yang dikatakan orang-orang? Pertemuan pertama menyisakan rasa penasaran?
Bibir tersungging kala ocehan Maira dan Mira melekat ingin mempersatukan mereka.
"Apakah aku telah jatuh cinta?" gumam keduanya.
Senyuman indah mulai pudar berganti dengan embun yang menghiasi manik-manik mata.
"Aku nggak boleh memikirkan cinta! Bahkan aku tak pantas untuk siapapun," lirihnya mengusap sudut mata.
Salman dan Asyi kompak menutup jendela, melangkah ke kamar mandi yang berbeda untuk mengambil wudhu, lalu melaksanakan shalat istiqarah. Sama-sama bermunajah kepada sang Khaliq tentang hati yang sedang dilanda pilihan.
"Ya Rabbi! Ampunilah dosaku yang telah memikirkan yang tak sepantas hamba pikirkan. Ya Rabbi ... Ada apa sebenarnya dengan hati ini? Kenapa hatiku sekarang merindukan Asyi? Gadis yang belum halal untukku. Ya Rabbi ... hamba mohon kepada-Mu tunjukanlah jalan untukku, tenangkanlah hatiku. Hamba tidak ingin rasa ini membuatku hilang kendali dan melupakan-Mu. Tolonglah Hamba-Mu ini Ya Rabbi ... Mudahkanlah setiap langkahku dan cegahlah aku ketika hendak berbuat dosa Rabbi ... Amin," pinta Salman dengan tangan tertadah ke langit, cairan bening menjadi saksi bisu atas dirinya yang merasa bersalah.
Di sisi lain, seorang wanita ikut mengangkat kedua tangan ke langit, sorotan mata penuh harap, cerminan dari hati yang tulus.
"Ya Rabbi ... Ampunilah dosaku yang telah memikirkan hal yang tak sepantas hamba pikirkan lagi. Jika ini cinta, tolong hapuskanlah dari hatiku, Rabbi. Hamba tidak ingin cinta ini membuatku terjatuh kembali ke dalam jurang yang telah lama hamba tinggalkan. Hamba tidak pantas untuknya, Rabbi. Hamba kotor, Rabbi. Dosa yang terdahulu tak mampu ku ubah segalanya, Rabbi. Hamba sendiri, Rabbi. Tidak ada tempat yang bisa hamba ceritakan kecuali pada-Mu. Hamba tidak punya daya dan upaya untuk mengulang dan memperbaiki takdir ini. Meskipun hatiku ingin menikah untuk menyempurnakan agamaku ini, tapi noda dosa masa laluku terus menghantuiku. Ya Allah ... Tolonglah hamba-Mu ini, mudahkanlah setiap langkahku. Amin ya Rabbal 'alamin."
Dalam isakan tangis mengingat dosa hingga tak terasa azan menyuru.
Ada yang berbeda dari sholat yang sebelumnya.
Suara lantunan ayat suci Alquran terdengar berbeda dari sebelumnya. Yang ini terdengar begitu mendayu dalam lebih jernih dan berkarakter, jelas menandakan suara dari seorang lelaki yang masih muda, hingga mampu membuat semua orang terlena menikmati setiap detik shalatnya hingga tak terasa telah usai begitu saja.
"Cepat sekali selesai shalatnya, seharusnya shalat subuh ditambah lagi," gumam para santri yang terhipnotis dengan suara merdu imam.
Mendadak timbul rasa kagum pada diri Asyi hingga menuntunnya untuk mengintip sosok lelaki yang menjadi imam shalat subuh.
Mata yang terus mencari sosok pria yang duduk sendiri di baris terdepan mendadak buyar dengan tepukan tangan di bahunya.
"Teh! Hayo ada yang penasaran," celetuk Aina menyeringai.
"Eh, Huss! Mana ada," jawab Asyi malu dan mengalihkan pandangannya.
Aina cengengesan, berjalan meninggalkan Asyi.
"Eh, tunggu!" Asyi mengejarnya.
Dari arah kanan terdengar ucapan salaman yang datang menghampirinya. Sosok lelaki memakai peci hitam dengan baju koko putih dan sarung hitam sangat cocok untuk wajahnya khas Sunda.
Kompak menjawab salam. "Eh, Akang Iqbal, Kapan pulang?" tanya Aina.
"Akang baru saja sampai ... Oh ya, dengar dari para santri, Salman sudah pulang ya?"
Mereka mengganggukan kepala.
"Ada apa, Bro? Rindu ya sama aku?" kejut Salman menepuk pundak Iqbal.
"Pantang namanya di ucap, ke ujung langit pun langsung datang," balas Iqbal tersenyum sumringah.
Mata Salman sesekali melirik Asyi yang menunduk diam.
"*A*pakah ini jawab dari doaku semalam? ... Begitu cepat Allah mempertemukan kami kembali."
Iqbal melihat ada keanehan dengan bibir Salman yang terus tersungging. "Hei, Bro! Kenapa atuh senyam senyum sendirian?" mencurigai.
"Biasa atuh Akang. Ini yang bikin lelaki salah tingkah," sahut Aina menyenggol lengannya.
Asyi tersipu malu dan segera meninggalkan mereka. Aina berpamitan cepat, buru-buru mengejar langkah Asyi yang terlihat semakin cepat.
Salman memukul pundak Iqbal. "Gara-gara kamu, dia sudah pergi," menatap punggung Asyi dengan kecewa.
"Ehmm ... ada yang sedang jatuh cinta ni," menatap lamat-lamat.
Salman terperanjat, menoleh sekejap lalu beranjak pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!