"Ranti ... Ranti ... Bangun!"
Mata Ranti tidak bisa langsung terbuka, begitu Aldo pria yang mengguncang-guncang tubuhnya sambil memanggil, mencoba membangunkannya.
Ranti yang merasa kesal dengan gangguan itu, berusaha membuka sedikit mata dan melihat Aldo yang sedang menatapnya.
Dengan nada sedikit nada malas, Ranti bergumam. "Ada apa sih mas? ... Bukankah, kamu sendiri yang sudah menyerah?"
Rasa kantuk yang dirasakannya, bukan karena kelelahan. Namun, saat sebelum ke sini, dia sudah menenggak beberapa gelas minuman beralkohol. Hingga membuat kepalanya berat dan terasa sedikit pusing.
"Ini Bahaya ... Bangun, Cepat!"
Tidak begitu mengerti dengan apa yang dimaksud pria itu, namun hal tersebut berhasil membuat Ranti bertambah Kesal.
Wanita itu akhirnya memaksa tubuhnya untuk duduk, dan langsung berseru pada laki-laki itu.
"Ada apa sih? ... Apa punya kamu tiba-tiba bisa berdiri lagi, hah?!"
Setelah mengatakan itu, Ranti menyibak selimut, memperlihatkan seluruh tubuhnya yang tidak sedang mengenakan apapun itu. Dia meninggikan kedua lututnya dan membuka kedua kakinya lebar, lalu kembali merebahkan tubuhnya.
"Nih ... Lakukan sendiri. Kepalaku sakit, aku mau tidur."
Aldo, sempat menelan ludah sekali saat melihat kemolekan tubuh Ranti tersebut. Memang, tubuh Wanita muda ini begitu menggodanya.
Namun sayang, senjatanya sudah tidak mau berdiri. Seperti kata Ranti tadi, dia sudah menyerah saat satu ronde yang hanya berlangsung beberapa saat saja.
Namun begitu, cepat dia menggelengkan kepalanya. Karena sekarang bukan waktunya untuk menyesali apalagi memikirkan hal tersebut.
"Buk! ... Buk! ... Buk!"
"Aldo! ... Buka pintunya. Kamu pasti di dalam, kan?!"
Kembali suara gedoran pintu serta teriakan dari luar rumah di mana dia kini bersama Ranti berada, membuat jantungnya terasa hendak meledak.
"Ranti ... Di luar ada istriku!"
Saat mendengar itu, seketika mata Ranti terbuka lebar. Dia langsung memaksa tubuhnya kembali duduk, lalu mengedarkan pandangannya.
"Ponsel ... Dimana ponselku?!"
Bukan pakaian atau hal lainnya, tapi ponselnya lah hal yang pertama kali yang melintas di pikiran Ranti saat itu.
"Braaaaakkk ... !"
Ranti dan Aldo langsung terkejut saat mendengar suara pintu rumah tersebut, berhasil di dobrak. Tidak lama berselang, terdengar teriakan histeris dan kata-kata penuh ancaman dari seorang wanita di sana.
"Aldooooo ... Keluar kamu, brengsek ... ?! Akan ku bunuh kalian berdua, lihat saja ... !"
Mirda, dengan beberapa orang, berhasil membobol masuk dan kini sudah berada di dalam rumah.
Aldo sudah seperti kehilangan separuh nyawanya saat mendengar pekikan istrinya tersebut.
Apalagi, sekarang derap langkah beberapa orang, terdengar sedang mendekat ke arah kamar, dimana dia dan selingkuhannya, Ranti berada.
"Mampus aku ... Bagaimana ini?!"
Aldo langsung melihat Ranti berjalan menggapai ponselnya, yang ada di atas meja kecil, di dekat sofa, di mana keduanya beberapa jam yang lalu, bercinta.
"Ranti, apa yang kau lakukan?! ... Cepat bereskan barang-barangmu dan bersembunyi ... "
Tentu saja Aldo merasa heran. Seharusnya, wanita muda yang sedang tidak memakai apapun itu, segera mencari tempat untuk bersembunyi.
Sambil mengusap layar ponselnya, Ranti menggelengkan kepalanya lalu menjawabnya dengan santai.
"Mas, sudah terlambat. Sebaiknya kamu keluar dan menenangkan nenek sihir itu ... "
Mata Aldo seketika melebar. Dalam kepanikan yang terasa seperti sedang membakar tubuhnya itu, dia tidak habis pikir bagaimana bisa wanita di depannya tersebut, tidak menunjukkan reaksi yang sama.
"Aldo ... Kau di dalam, bukan? ... Buka pintunya, bajingan!"
Jantung Aldo terasa menendang rongga dadanya. Apalagi saat itu dia mendengar suara gagang pintu kamar yang cukup besar tersebut, bergerak-gerak dengan paksa di ujung sana.
Aldo hanya bisa membeku di tempatnya berdiri. Namun, beberapa saat kemudian, Ranti mendekat dan berkata.
"Pergilah ke sana lalu Buka pintunya, dan temui dia ... "
Ranti tersenyum saat melihat Aldo terperanjat saat mendengar dia mengatakan hal tersebut.
Sambil menunduk dan memperlihatkan seluruh tubuhnya yang secara reflek juga di ikuti Aldo, Ranti kembali berkata.
"Atau, kau ingin aku yang keluar dan menemui mereka semua dengan kondisi seperti ini?"
Aldo benar-benar kehilangan kata-katanya dan tanpa sasar bergumam. "Benar-benar Wanita, gila ... "
Aldo langsung teringat kata-kata orang yang lebih dahulu mengenal wanita ini.
Hampir semua dari mereka mencoba memperingatkannya, tentang betapa gilanya wanita yang membuatnya melupakan betapa menakutkannya Mirda istrinya, jika dia membuat wanita yang telah memberinya kekayaan berlimpah itu, marah.
Sekali lagi Aldo memperhatikan keindahan tubuh Ranti, dan membatin. "Racun dunia ... "
Namun begitu, saat merasa sudah memilki Ranti, Aldo merasa sudah menguasai dunia. Tudak sedikit pula orang-orang yang taubtentang hubhngan mereka, memasamg wajah iri, saat melihat mereka berdua begitu mesra.
Hanya saja, jika saat berada di ranjang, Aldo kalah perkasa. Baru beberapa gerakan saja, dia sudah sampai pada puncaknya. Meski, otaknya masih terus ingin melakukannya.
Hasilnya, dia hanya bisa pasrah, dan menanggung malu. Selainnrasa bangga saat di luar sana. Saat berdua, ternyata Ranti sama sekali bukan lawannya. Baik di ranjang, maupun saat bicara.
Aldo akan memberikan apa saja yang di inginkan wanita ini, jika dia memintanya. Karena, setiap Ranti sedikit marah saja. Aldo. Langsung merasa takut akan kehilangannya.
Menyedihkan memang. Tapi begitulah keadaannya. Dia benar-benar tergila-gila dengan wanita yang memiliki wajah serta tubuh yang sempurna, namun, sedikit gila ini.
Pria itu menelan ludah. Dan wajahnya yang sudah pucat pasi namun masih berusaha menikmati apa yang sedang dia lihat itu, sekarang terlihat begitu menjijikkan, bahkan bagi Ranti sekalipun.
Tidak, sebenarnya wanita itu tetap jijik, meski Aldo tidak terlihat seperti pecundang bodoh seperti sekarang ini. Itu kenapa, Ranti memerlukan beberapa teguk alkohol agar bisa membiarkan pria itu menyentuh tubuhnya.
Ranti tau kepanikan Aldo bertambah jadi, karena pria itu mendengar dengan jelas apa yang dia katakan padanya, sehingga pikirannya menjadi tambah kacau.
Melihat bagaimana wanita yang di depannya ini seolah tidak memiliki rasa takut sama sekali, Aldo tidak bisa membayangkan bagaimana jika Ranti benar-benar nekat keluar dan menemui Mirda dan siapapun yang sedang bersamanya dalam keadaan seperti itu.
"Baiklah ... Baiklah, aku akan menemuinya. Tapi Sayang ... Sebaiknya kau juga bersembunyi."
Ranti menanggapi kata-kata pria itu dengan senyuman, sebelum kembali menegaskan.
"Jika kau menunda lagi, maka mereka juga akan mendobrak pintu kamar ini dan menemukan kita dalam keadaan seperti ini."
Setelah Ranti mengatakan itu, Aldo yang tidak bisa berpikir jernih, langsung mengikuti kata-katanya.
Aldo berjalan tergesa ke arah pintu tanpa berpikir panjang. Sampai di sana, pria yang sudah bisa dikatakan tidak memiliki kesadaran sepenuhnya itu, langsung membuka pintu kamar tersebut.
Begitu pintu terbuka, dia bisa melihat istrinya yang telah berdiri di sana dengan beberapa laki-laki, menatapnya penuh amarah.
"Mirda, ada ap—"
"Plak! ... "
Satu tamparan keras, mendarat di wajah pria itu. Di ikuti dengan sebuah tendangan keras dari kaki wanita yang merupakan istri sahnya tersebut, tepat mengenai wilayah kedua pangkal pahanya.
"Buk!"
"Argh ... !"
Aldo seolah merasa kedua bola pusaka miliknya itu, baru saja berpindah dari bawah perut ke tenggorokannya. Wajahnya yang tadinya pucat, seketika memerah.
Aldo langsung berlutut, kemudian ambruk kelantai sambil memegang benda pusaka miliknya yang baru saja di serang Mirda secara brutal tersebut.
"Di mana kau sembunyikan jallang itu, brengsek ... ?!"
Tentu saja Aldo tidak bisa menjawabnya. Lagipula, sepertinya Mirda tidak menunggu jawabannya.
Karena Istrinya yang juga di ikuti empat orang pria tegap tersebut, langsung masuk ke kamar dan menuju ketempat di mana terakhir kali dia melihat Ranti berdiri, masih tanpa mengenakan apapun untuk menutupi tubuhnya.
Ranti Olivia
Saat baru saja melewati gang antara pintu dan ruang tempat tidur di dalam kamar, Mirda langsung mendapati pakaian suaminya dan milik wanita lain, berserakan di lantai.
Namun, setelah mengedarkan pandangannya untuk mencari di mana keberadaan wanita tersebut, dia tidak bisa menemukan siapapun di sana.
Wajahnya semakin memerah karena murka, dan kepalanya seolah ingin meledak.
"Pelakor sialan, keluar kau, brengsek ... Aku benar-benar akan membunuhmu ... "
Empat orang yang bersamanya, juga ikut terkejut mendengar lengkingan suara wanita yang menjadi majikan mereka itu.
Namun, seseorang yang telah berdiri di dekat jendela kaca yang sudah terbuka, langsung berkata
"Maaf nyonya, sepertinya wanita itu telah kabur ... "
Setelah melihat ke arah jendela tang sama, Kemarahan Mirda semakin menjadi-jadi. Dia benar-benar tidak ingin membiarkan pelakor itu lolos dan bebas begitu saja.
Dengan nafas terengah karena marah membuncah, Mirda kembali berteriak.
"Kejar dan tangkap dia sampai dapat, cepaaatt ... !"
Saat itu juga keempat pria berjas hitam itu menganggukkan kepala dan langsung meloncat lewat jendela bergantian, berniat mengejar wanita itu.
Sementara, Mirda masih berdiri di sana mencoba mencari-cari Ranti, yang berkemungkinan masih ada di sana.
Namun, hanya beberapa saat kemudian sebuah suara dari belakangnya membuatnya sedikit terkejut.
"Tidak perlu mencari lagi, aku di sini ... "
Hampir satu menit berlalu, namun itu sudah cukup meyakinkan Ranti yang sejak tadi sebenarnya berada di dalam lemari, bahwa para pria berbadan tegap itu cukup jauh.
Dia cukup puas karena upayanya untuk mengalihkan perhatian empat orang yang menurutnya bisa membahayakan dirinya itu, cukup berhasil.
Sekarang, di depannya baru saja berbalik wanita yang sudah dia ketahui sebelumnya sebagai istri dari Aldo, pria yang telah banyak memberinya uang sejak beberapa bulan yang lalu.
Saat berbalik, mata Mirda terbelalak. Dia akhirnya melihat wanita yang membuat Aldo suaminya itu, berpaling darinya.
"Kau ... Kau ... "
Meski banyak umpatan yang ingin dia muntahkan pada wanita yang berdiri tanpa sehelai benangpun yang melekat pada tubuhnya itu, namun tidak ada satupun yang bisa dia ucapkan.
"Plak ... "
Tanpa berusaha mengelak, Satu tamparan yang sangat keras dari Mirda, yang langsung berjalan mendekat padanya, mendarat tepat di pipi kiri Ranti.
Wanita itu hanya tersenyum miring, dan meludahkan darah yang ada di mulutnya.
Hal tersebut membuat Mirda semakin kesal. Karena menurutnya satu tamparan saja tidak cukup memuaskannya, Mirda kembali melayangkan telapak tangannya.
Namun, kali ini tangannya itu berhenti di udara, karena tangan Ranti menyambut dan menahannya.
Ranti sangat mengetahui kesalahannya. Karena siapa saja wanita yang merasa suaminya telah bermain dengan wanita lain, ditambah dengan keadaan wanita itu kini berada tepat di depannya, tidak mungkin dia akan bisa menahan diri untuk menghajarnya.
Itu kenapa, Ranti membiarkan Mirda menampar wajahnya, sebelumnya. Namun, dia tidak akan membiarkan lebih dari itu. Karena Ranti tau benar apa yang sedang di lakukan ya.
"Nyonya ... Cukup Satu kali saja."
Mirda sempat tertegun sebentar, lalu saat itu juga tangan satunya terlihat ingin melayangkan pukulan lainnya.
Cepat Ranti memelintir tangan yang di pegangannya hingga membuat tubuh wanita itu terpaksa berbalik membelakanginya.
Sambil mengangkat sedikit tangan Mirda, yang membuat wanita itu merapatkan bibir serta memicingkan mata menahan sakit, Ranti kembali bersuara.
"Aku bilang, sekali saja, bukan?"
Mirda yang merasakan sakit mulai dari lengan tangan kanan hingga ke bahunya itu, berniat berteriak memanggil empat orang yang tadi berada di luar sana.
Namun, satu tangan Ranti yang lainnya, langsung membekap mulutnya. Kemudian, dia merasakan Wajah wanita itu mendekat ke telinganya, dan mulai mendengar wanita yang telah mengambil suaminya itu, berbisik.
"Suatu saat, kau akan berterimakasih padaku ... "
Mirda kembali tertegun dan matanya melebar, sebelum akhirnya dia tersentak saat Ranti mendorongnya hingga tersungkur di kasur.
Masih ada beberapa kata yang ingin Ranti katakan pada Mirda, namun dia sudah mendengar derap langkah beberapa orang mendekat dari arah jendela, sedikit jauh luar sana.
Mirda berbalik dan berteriak kesal. "Dasar pelakor ... !"
Ranti tau bahwa sekarang, dia Tidak akan sempat mengenakan pakaiannya. Dia hanya bisa menarik selimut di sana, lalu menutupi tubuhnya.
Sebelum benar-benar berniat untuk pergi, Ranti menoleh pada Mirda yang juga menatapnya. Dengan tersenyum meremehkan, wanita itu kembali berkata.
"Ya, seperti katamu. Aku memang Pelakor ... Tapi, bukan pelakor biasa ... Aku Ranti Olivia, Pelakor kelas Profesional ... "
Setelah mengatakan itu, Ranti segera berjalan dengan selimut menutupi tubuh, layaknya jubah.
Melihat bagaimana sikap Ranti yang seolah tidak merasa bersalah sama sekali itu, tentu saja membuatnya bertambah marah.
Hanya saja, entah kenapa saat melihat Ranti berjalan begitu santai melewati gang menuju pintu kamar tersebut, membuat Mirda kehilangan keinginan untuk mengejar apalagi untuk kembali menyerangnya.
Ranti berjalan melewati Aldo yang masih berbaring di lantai dengan kedua tangan dia jepit di pangkal paha, menahan sakitnya.
Setelah sengaja melangkahi tubuh pria yang terlihat sudah tidak berdaya itu, Ranti berbalik dan membuka selimut untuk memperlihatkan sekali lagi pada Aldo, semua aset miliknya yang membuat pria mesum namun lemah syahwat itu, tergila-gila padanya.
"Lihatlah untuk terakhir kalinya, anggap ini salam perpisahan dariku, mas Aldo ... "
Setelah mengatakan itu, Ranti segera berbalik dan kembali berjalan. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, heran.
Dia bisa melihat Aldo masih sempat menelan ludah, karena terpesona oleh lekuk tubuh yang memang sengaja dia rawat dengan biaya sangat mahal, untuk menjerat para kaum adam biadab, seperti laki-laki tersebut.
"Tamatlah riwayatmu sebentar lagi, brengsek ... "
Bersamaan dengan itu, Mirda juga sudah berdiri di sana menatap Aldo, lalu melirik pada Ranti yang sudah berjalan menjauh, menuju pintu keluar rumah.
Saat empat orang yang mengikutinya tadi kembali masuk dari jendela, dan barusaja tiba di sana berniat mengejar Ranti, Mirda langsung bersuara, menahannya.
"Biarkan saja, dia ... "
"Tapi Nyonya—"
Mirda hanya menggelengkan kepala sekali menegaskan keputusannya. Namun matanya tetap menatap Ranti hingga menghilang di balik pintu rumah tersebut.
Kata-kata Ranti saat berbisik padanya beberapa saat yang lalu, membuatnya sedikit berpikir.
Meski belum bisa menyimpulkan maksudnya, namun hal itu membuat Mirda memiliki perasaan, suatu saat dia benar-benar akan berterimakasih pada wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya tersebut.
Sekarang, di depannya, Mirda melihat Aldo yang kini berusaha untuk berdiri. Menyadari itu, kekesalannya kembali ke puncak kepalanya.
"Kalian berempat! Aku ingin kalian menghabisi pria brengsek ini ... Kemudian tinggalkan tubuhnya di jalanan ... Tanpa sehelai benangpun!"
Setelah mengatakan itu dengan penuh emosi, Mirda mulai berjalan melewati Aldo. Namun ternyata, pria yang kini tampak menyedihkan itu masih berusaha menahannya.
"Sayang, tolong ... Arggghhh ... "
Kata-kata Aldo, tidak bisa dia selesaikan, karena tiba-tiba saja Mirda berhenti dan langsung menggenggam dan meremas kejantanannya dengan sekuat yang dia bisa.
Sambil menikmati bagaimana wajah Aldo menahan sakit, Mirda berkata dengan penuh penekanan.
"Setelah ini, bawa benda yang tak berguna ini, menjauh dari kehidupanku ... "
Saat kata-kata itu terlontar dari mulutnya, saat itu juga Mirda mulai berpikir.
Jika dia ingat-ingat lagi, kata-kata Ranti tadi mulai ada benarnya. Selain wajah tampan yang kini sudah mulai menua itu, sebenarnya pria itu sama sekali tidak ada guna baginya.
Bahkan, Mirda sendiri tidak pernah merasa terpuaskan saat melakukan hubungan suami istri dengan Aldo.
"Sial, tentu saja aku tidak menginginkan benda tak berguna seperti ini lagi ... "Batinnya.
Mirda melepasnya, dan kembali berjalan. Saat itu, satu hal yang dia sadari. Dengan kekayaannya, dia bisa mendapatkan pria seperti apapun yang dia mau.
Lagipula, dia belum terlalu tua untuk menikmati masa-masa-masa di puncak dunia. Mirda menggelengkan kepala, sambil tersenyum miris.
"Wanita sialan, kau ... Kau ... Entahlah ... Tapi, Ya ... Mungkin, kau benar ... Terimakasih ... "
Mirda bergumam sambil tersenyum dan terus berjalan menjauhi Aldo yang mulai berteriak, saat satu tendangan keras dari salah satu pengawalnya, mendarat di perutnya.
"Mulai hari ini, aku akan memulai pertualanganku, sendiri ... " Ucap Mirda, membatin.
Sementara itu, beberapa menit kemudian, tidak jauh dari rumah itu, setelah bersembunyi di tempat sedikit gelap, Ranti akhirnya keluar.
Sekarang di depannya baru saja berhenti sebuah mobil SUV berwarna hitam.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia segera membuka pintu belakang, lalu masuk sambil berkata.
"Anak muda, aku ingatkan agar Jangan sekali-sekali melihat kebelakang. Atau, kau akan mati ... "
Seorang pemuda tampan yang duduk di bangku pengemudi, menanggapi kata-kata Ranti dengan tersenyum. Dia langsung memutar kaca tengah mobil sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa lama sekali? ... "
Ranti langsung mengirim lokasi keberadaannya pada pemuda tersebut, sesaat setelah dia menemukan ponselnya, begitu Aldo mengatakan bahwa Mirda istrinya berada di luar rumah.
Sebuah bentuk pesan tanda darurat darinya, yang langsung dimengerti oleh pemuda tersebut.
"Aku terpaksa harus menurunkan pacarku, di antah berantah terlebih dahulu, sebelum kesini ... "
"Ah, seharusnya pemuda sepertimu, fokus saja kuliah ... Jangan membuang-buang waktumu dengan gadis-gadis seperti itu ... Nick ... "
Melihat kaca tengah mobil sudah mengarah di mana dia yakin Nick tidak bisa melihat, kecuali pemuda itu sendiri yang memutuskan untuk berbalik badan.
Namun dia cukup mempercayai Nick, dan pemuda itu tidak akan pernah melakukannya.
Ranti melepaskan selimut yang sejak tadi menutupi tubuhnya. Lalu menghamparkan benda tersebut antara dua kepala kursi di depannya.
Sekarang, di belakang, tubuhnya kembali terbuka seluruhnya, dengan Nick masih memacu mobil yang berkaca hitam gelap tersebut, membelah jalan raya.
Di atas kursi, Ranti berdiri dengan kedua lututnya, lalu berbalik kemudian mencoba meraih sebuah tas di belakang dan membawa tas tersebut ke tempatnya.
Ranti membuka tas itu dan mengeluarkan pakaian ganti yang memang sudah dia siapkan untuk situasi-situasi tidak terduga, termasuk seperti saat ini.
"Apa kita akan langsung menuju rumah?"
Sambil berusaha mengenakan celana dallamnya, Ranti menjawab "Ya, tentu saja ... Kau pikir, seharusnya kemana kita saat ini?"
Jika tidak ada selimut yang membatasi mereka, dan Nick memutuskan berbalik untuk melihat, posisi Ranti saat ini seolah sedang menantangnya.
"Aku pikir, kau menginginkan sedikit alkohol seperti saat itu ... "
Dari balik pembatas di belakang, Ranti menjawabnya. "Tidak, tidak ... Sudah cukup untuk malam ini. Sebaiknya, kita langsung pulang saja."
Pernah sebuah kejadian, membuat Ranti harus menenggak beberapa gelas Alkohol, untuk bisa segera melupakannya.
Bahkan, saat ini saja, dia sama sekali belum lupa di mana dia membiarkan seorang pria tua mesum, mencoba memasukkan ulat bulu miliknya, namun gagal, setelah beberapa kali mencoba.
Mengingatnya saja, membuat tubuh Ranti bergidik. Mungkin, dia akan mempertimbangkan untuk tidak memasukkan kasus seperti itu, pada Target yang berikutnya. Karena baginya, ternyata hal itu sangat menjijikkan.
Nick menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Setelah memindahkan perseneling, Nick menginjak pedal gas mobil tersebut, dalam-dalam. Sehingga, tiba-tiba saja mobil itu berakselerasi dan melaju semakin kencang
"Buk ... !"
Terdengar suara benturan di belakang sana, sebelum sebuah umpatan mengikutinya.
"Bocah Sial ... Kau baru saja membuatku merusak pengait tali penutup kedua benda ini ... "
Nick hanya tersenyum menahan tawa. "Maaf, aku sengaja melakukannya ... "
Tidak lama, Ranti yang telah selesai mengenakan pakaian, menyibak selimut yang menjadi pembatas lalu pindah duduk ke depan.
Hatinya masih sedikit kesal karena saat ini dia tidak memakai bra. Hingga sedikit guncangan saja, bisa membuat kedua bukit sintal yang memiliki bentuk proporsional tersebut ikut bergoyang.
Ranti melihat Nick yang berkonsentrasi mengemudi, mengurungkan niat untuk sekali lagi mengumpatnya.
Namun, tak berapa lama, muncul sedikit rasa penasaran dari kata-kata Nick sebelumnya, yang membuat Ranti bertanya, penuh selidik.
"Hei bocah, apa kau benar-benar sudah memiliki pacar?"
Mendengar itu, Nick menggelengkan kepala, lalu berbalik menatap Ranti. Pemuda yang masih berumur dua puluh satu tahun itu, tetap merasa bahwa Ranti terlihat sangat muda, bahkan lebih muda darinya meski Ranti berumur enam tahun di atasnya.
Apalagi, wanita yang kini duduk di sebelahnya itu, memiliki wajah yang begitu cantik dengan tubuh yang siapapun melihatnya, pasti terpesona.
"Tentu saja aku punya. Apa menurut mbak, aku begitu jeleknya hingga tidak ada satupun gadis yang menyukaiku?"
Ranti harus mengakui bahwa Nickolas cukup ... tidak hanya cukup saja. Tapi, sangat tampan dan memiliki tubuh yang atletis.
Tentu saja sudah sewajarnya banyak gadis-gadis diluar sana yang tergila-gila padanya.
Karena itu pula, Tidak mengherankan jika banyak orang yang langsung percaya saat keduanya mengatakan bahwa mereka bersaudara.
Seketika, Ranti menggelengkan kepalanya, lalu berkata. "Bukan begitu. Tapi ... "
Ranti menggantung kata-katanya di udara, sambil mendekatkan wajahnya pada Nick yang sudah berbalik melihat ke arah mana mobil berjalan, dan terlihat gugup.
Matanya menyipit penuh selidik, dan kembali melanjutkan kata-katanya.
"Kau sudah pernah melakukannya? ... Dengan siapa?"
Suara Ranti begitu rendah saat bertanya. Namun karena jarak wanita itu cukup dekat, tentu saja pemuda tersebut bisa mendengar pertanyaan itu dengan sangat jelas.
Sontak hal tersebut membuat Nick membesarkan matanya, lalu melihat ke arah Ranti dan kembali melihat jalan.
"Maksud mbak, apa? ... Melakukan? ... Me-melakukan ... Melakukan, itu?"
Ranti kembali mundur dan bersandar sambil melipat tangan di dada lalu menggelengkan kepala.
Dia tidak memerlukan jawaban dari Nick, apalagi menjelaskannya pada pemuda itu.
Dari gelagatnya saja, dia sudah mendapatkan jawaban dengan sangat terang. Dan itu membuatnya tersenyum yang menampakkan deretan giginya yang rapi.
"Huh, kau cukup tampan, tapi memang masih bocah ... Hahahahahha ... "
Wajah Nick berubah kesal, karena jelas Ranti sedang menertawakannya. Dia menoleh ke wanita itu lalu kembali kejalan, dan kembali ke wanita yang tertawa semakin kencang tersebut lalu kembali ke jalan lagi. Hal itu dia lakukan dengan cepat, setidaknya sebanyak lima kali.
Dengan nada kesal, Nick berseru sedikit histeris. "Aku sudah pernah berciuman ... "
"Hahahahahahahahaha ... !"
Bukannya berhasil membungkam mulut wanita itu, tapi sebaliknya. Kata-katanya malah membuat tawa Ranti semakin kencang. Hingga dadanya yang tidak mengenakan alat pereda gempa itu, terlihat ikut berguncang.
"Wanita gila ... "
Meski mendengar Nick mengumpat padanya, namun Ranti sama sekali tidak perduli dan semakin menggodanya.
Sambil menahan tawa, Ranti kembali mendekatkan Wajahnya, lalu berkata.
"Kalau hanya itu, kau tidak memerlukan gadis-gadis di luar sana ... Kemari, biar aku bisa memberikanmu, sebuah ciuman yang hebat ... "
Dengan sebelah tangannya yang bebas, Nick langsung menahan dan mendorong wajah cantik Ranti yang terlihat sedang berusaha menciumnya itu, dan berkata.
"Menjauh dariku ... Dasar, Wanita gila ... "
"Hahahahahahaha ... "
Ranti kembali tertawa dan bersandar pada kursi, karena puas telah membuat wajah pemuda itu memerah.
"Dasar, bocah ... Hahahahha ... "
Nickolas
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!