Ilena menyesap kopi hitamnya, hasil seduhan semalam yang kini sudah berubah dingin. Dengan mata menggantung, perempuan itu akhirnya membuka perangkat virtual reality yang sudah dipakainya semalaman. Ini sudah hari kedua uji beta dilaksanakan untuk permainan yang dia kembangkan dua tahun terakhir, Galatean. Sejauh ini sudah dibuka dua puluh server di dua puluh Negara di dunia. Animo para pemain sangat besar, dan berdasarkan data yang dia dapat, game buatannya sudah dimainkan oleh lebih dari dua puluh juta pemain di seluruh dunia.
“Kurasa aku bisa tidur sebentar,” gumam gadis itu sembari menggeliat pelan.
“Kau sudah mau pulang?” sebuah suara muncul dari balik punggung Ilena
Gadis itu menoleh dan mendapati Dean, rekan kerjanya tengah berdiri membawa dua cup Americano yang mengepul. Pria muda itu merupakan asisten pengembang yang bekerja di bawah Ilena. Pagi itu Dean memang dijadwalkan untuk mengawasi kelangsungan uji beta Galatean menggantikan Ilena yang sudah berhari-hari berkutat dalam pekerjaannya. Sementara para karyawan lain di ruangan tersebut masih sibuk berkutat dengan pekerjaan mereka masing-masing.
“Aku harus mandi dan tidur sebentar, Dean. Sudah dua malam aku tidak pulang,” jawab Ilena sambil mengepak barang-barangnya, bersiap pulang.
Dean menghela napas pelan. “Kalau begitu kopimu untukku, ya,” ujarnya sembari mengangkat dua cup kopi yang dia bawa.
Ilena mendegus kecil lantas tersenyum. “Kadar kafein dalam tubuhku sudah di ambang batas toleransi, Dean. Jadi, ya, kedua kopi itu milikmu sekarang,” tandas Ilena tertawa.
Dean mengangguk senang lantas duduk di meja kerjanya sendiri, tepat di seberang layar super besar yang biasa digunakan Ilena untuk menguji permainan buatannya. Ilena di samping itu, sudah membawa barang-barangnya yang hanya sebanyak satu tas selempang kecil. Setelah mengucapkan salam perpisahan singkat, gadis itu pun segera melesat menuju lift di luar ruang kerjanya.
Beberapa pegawai lain menyapa Ilena saat ia berjalan menuju pintu keluar gedung tempatnya bekerja, Alcanet Tech. Namun, belum sampai ia melewati pintu keluar, mendadak ponselnya berbunyi. Ilena buru-buru merogoh tasnya dan mendapati nama Dean tertera di layar ponselnya.
“Ada apa, Dean?” tanya Ilena menjawab panggilan dari rekan kerjanya.
“Ilena, sepertinya kau tidak bisa pulang sekarang. Kau harus kembali ke sini secepatnya,” kata Dean terdengar panik.
“Ada masalah apa?” tanya Ilena sembari berbalik menuju lift.
“Kerusakan sistem! Galatean mendadak berhenti beroperasi. Aku tidak tahu kenapa system crash ini terjadi, tetapi seluruh sistem di semua server terputus total. Tidak ada yang bisa mengaksesnya termasuk dua puluh juta lebih pengguna kita yang sedang melakukan uji beta,” terang Dean tampak panik.
Ilena sudah berada di dalam lift. Seluruh rasa lelah di tubuhnya mendadak menghilang ketika otaknya berputar sedemikian cepat memikirkan berbagai kemungkinan penyebab kerusakan sistem di Galatean. Sambil masih menggenggam erat ponselnya, Ilena memikirkan beragam skenario, tetapi tidak satu pun yang masuk akal baginya. Tidak mungkin sistem eror bisa terjadi serentak di semua server di seluruh dunia, sekalipun kerusakan tersebut berasal dari pusat.
“Aku sudah hampir sampai. Kututup dulu, Dean,” ucap Ilena sesaat setelah pintu lift berdenting terbuka.
Tak lama kemudian Ilena akhirnya sampai di ruang kerjanya. Ia mendapati Dean dan para anak buahnya sedang berkutat di depan layar super besar yang kini sudah dipenuhi kode sistem.
“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Ilena berusaha tetap tenang.
“Entahlah. Sesaat setelah kau pergi, mendadak sistemnya mati lalu menjadi seperti ini. Aku bahkan belum menyentuh apa-apa sebelumnya,” kata Dean tampak kebingungan
Ilena segera mengambil alih pusat server dan mengutak-atiknya, menelisik penyebab kerusakan sistem. Akan tetapi, tiba-tiba suara dengung kuat terdengar melengking di kedua telinganya, disusul rasa pening luar biasa yang menyerang kepalanya. Ilena segera menutup kedua telinga dengan tangannya dan meringkuk di depan layar komputer sambil menahan rasa sakit yang mendadak muncul.
“Ilena, ada apa?” tanya Dean terkejut. Pemuda itu lantas menggoyangkan bahu Ilena dengan cemas, mencoba menelaah kondisi Ilena yang tampak kesakitan.
Ilena tak bergeming. Gadis itu meringkuk semakin dalam hingga kepalanya nyaris menyentuh lutut. Rasa sakit di kepalanya begitu kuat hingga membuat Ilena sama sekali tidak bisa mendengar suara Dean ataupun merasakan sentuhan rekan kerjanya tersebut. Bahkan ketika Dean mencoba mengguncang-guncang tubuh Ilena, gadis itu justru semakin kaku di tempatnya.
Akhirnya, karena kondisi Ilena yang tampak sangat mengkhawatirkan, Dean pun berinisiatif membopong rekan kerjanya tersebut ke sofa panjang di ujung ruangan. Namun, belum sempat ia mengangkat tubuh Ilena, mendadak suara debum yang sangat keras terdengar memekakkan telinga. Kejadian selanjutnya, seluruh aliran listrik di gedung itu mati total, termasuk di ruang kerja Ilena dan Dean.
“Apa yang…” gumam Dean di tengah kegelapan ruang kerja mereka.
Orang-orang di tempat itu pun mulai berkata-kata dengan panik.
"Salah satu dari kalian, pergilah ke ruang pusat daya dan periksa penyebab pemadaman listrik ini. Lalu kau, Kevin, panggil keamanan untuk mengecek penyebab suara dentuman itu," perintah Dean dengan sigap.
Dua orang pegawai laki-lagi segera mengangguk lantas mengikuti perintah Dean.
“Ergh…” terdengar suara erangan Ilena.
“Ilena? Kau baik-baik saja?” tanya Dean khawatir.
Ilena kembali menegakkan tubuhnya yang semula meringkuk. Ia masih memijat-mijat kepalanya, tetapi kini rasa sakit dan suara dengungannya sudah memudar.
“Tiba-tiba kepalaku terasa sangat sakit. Ngomong-ngomong kenapa listriknya mendadak padam?” ucap Ilena lantas bangkit berdiri.
“Aku juga tidak tahu. Seharusnya gedung ini tidak akan kehilangan daya listrik seperti ini,” kata Dean.
Ilena sudah akan menjawab ketika sekali lagi suara debum keras terdengar. Kali ini diikuti dengan getaran kuat serupa gempa bumi yang sukses memporak porandakan ruang kerjanya. Ilena dan Dean yang tidak siap dengan kejutan tersebut lantas oleng dan terjerembab ke lantai. Teriakan panik segera terdengar di sekitar mereka. Para karyawan yang ketakutan mulai berlarian dan berusaha keluar dari ruangan. Mereka berpikir bahwa mungkin terjadi gempa bumi.
Debum ketiga kembali terdengar, tetapi kali ini kejadian mengerikan lainnya kembali mengejutkan Ilena. Separuh dari dinding ruangannya runtuh! Gedung kantornya benar-benar hancur hingga menampakkan pemandangan perkotaan di luar sana.
Ilena terbelalak melihat hal tersebut. Ia semakin terkejut ketika menyadari bahwa kondisi di luar sana ternyata sama kacaunya. Seluruh kota tampak sama hancurnya dengan ruang kerja Ilena. Beberapa gedung tampak berasap bahkan terbakar. Seluruh kendaraan di jalanan porak poranda dan bunyi klakson serta teriakan orang-orang terdengar saling tumpang tindih.
Ilena mencoba bangkit berdiri untuk melongok ke luar lubang besar yang menghancurkan separuh ruangannya. Namun, mendadak sebuah layar hologram kebiruan berpendar di hadapan Ilena bersamaan dengan bunyi plop pelan. Dengan terkejut gadis itu kembali tersungkur ke belakang.
“Apa yang…” gumam Ilena dengan mata terbelalak.
“Ilena… apa sekarang di hadapanmu juga muncul layar aneh yang mirip dengan jendela status karakter di Galatean?” tanya Dean yang ternyata juga tersungkur di sebelah Ilena.
Gadis itu menoleh ke arah rekan kerjanya. Namun, hal yang dilihat Ilena hanyalah Dean yang menatap bingung ke depan. Ia sama sekali tidak bisa melihat layar hologram milik Dean, dan hanya bisa melihat miliknya sendiri.
“Iya, di depanku juga muncul jendela status hologram,” jawab Ilena yang lantas kembali memperhatikan hologram misterius di hadapannya.
Sesuai kata-kata Dean, hologram itu ternyata memang serupa dengan jendela status karakter di game buatannya, Galatean. Bahkan keterangan di dalamnya benar-benar sesuai dengan karakter yang dia mainkan saat itu! Bedanya nama karakter tersebut tetap menggunakan nama aslinya.
Ilena Lockart (Archer)
-Pembuka Gerbang Dimensi-
Lv. 99
Strenght : 20
Agility : 121
Vitality : 45
Inteligent : 20
Dexterity : 187
Luck : 100
Ilena mencoba menyentuh hologram tersebut, tetapi kini jendela status itu justru berubah menjadi pesan selamat datang dari sistem Galatean.
...Open World Adventure RPG: Galatean...
Terimakasih untuk semua pemain yang telah mendaftar dalam Beta Testing Galatean Online. Mulai 13 Maret pukul 9 AM, uji beta telah diubah menjadi mode Open World Adventure dimana semua pemain yang telah terdaftar dapat menjalankan permainan di kehidupan nyata.
Semua status dan skill yang telah didapat selama uji beta tetap sama dan tidak ada pengaturan ulang. Fitur game dapat diakses melalui layar status yang akan muncul bila pemain mengucapkan nama fitur yang dibutuhkan.
Demi kenyamanan semua pemain, fitur asisten juga akan diaktifkan untuk memandu pemain beradaptasi dengan perubahan mode Open World. Silakan memberi nama asisten anda dengan mengucapkan kata apa pun yang anda inginkan.
Ilena mencoba mencerna kejadian yang ada di hadapannya secepat yang dia bisa. Bila diringkas, apakah artinya game buatannya kini tiba-tiba muncul di kehidupan nyata? Bahkan sistem itu kini bisa membuat keputusan sendiri dengan mengubah mode uji betanya menjadi open world, hingga menyiapkan asisten dan membuat kata-kata selamat datang sendiri.
Karena sepertinya tidak ada pilihan lain baginya sekarang, Ilena pun akhirnya memutuskan untuk mengikuti arahan hologram itu. Ia mencoba berpikir cepat hingga akhirnya menemukan satu nama yang cocok.
“Cleo,” ucap Ilena pendek.
Layar hologram di depannya dengan cepat berubah menjadi kata-kata yang berbeda.
Terimakasih player yang terhormat, nama asisten telah diatur menjadi Cleo. Silakan panggil Cleo setiap anda membutuhkan bantuan apa pun. Sistem akan merespon setiap pertanyaan pemain dengan segera.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” erang Dean sembari menggaruk belakang kepalanya, kebingungan.
“Sepertinya sistem Galatean muncul di dunia nyata,” jawab Ilena sembari bangkit berdiri dan membersihkan serpihan debu yang memenuhi tubuhnya.
Ruang kerjanya sudah berubah menjadi kekacauan yang tak tertolong lagi. Separuh dinding hancur dan reruntuhan betonnya terserak di seluruh lantai. Meja kursi gamingnya remuk tak berbentuk. Beberapa karyawan yang masih bertahan di dalam ruangan tampak kebingungan setelah mengalami hal yang serupa dengan Ilena.
"Apa di depan kalian juga muncul layar pop up Galatean?" tanya Ilena seraya mengedarkan pandangannya.
"Saya ada," jawab salah satu dari mereka.
"Saya juga," sahut yang lainnya.
Semua pegawai tersebut turut mengiyakan pertanyaan Ilena. Itu artinya semua player di kantor mereka juga mendapat notifikasi yang sama.
"Kalian semua, pergilah untuk mengecek keadaan di luar. Aku dan Dean akan mencoba memperbaiki server dengan data cadangan," perintah Ilena kemudian.
Semua pegawai yang tersisa segera meninggalkan ruangan tersebut sesuai dengan yang diminta oleh Ilena. Kini hanya ada dirinya dan Dean yang masih bertahan. Mereka berdua lantas mencoba mencari sumber daya cadangan untuk menyalakan komputer. Sayangnya bagian ruangan daya cadangan yang ada di salah satu sisi dinding sudah separuh hancur.
Ilena hanya bisa mengutuk dalam hati. Di luar sana suara teriakan dan sirine kini mulai menyeruak dan bau terbakar tercium begitu pekat. Ilena lantas berdirindan berjalan menuju sisi bangunan yang runtuh. Asap menguar dari berbagai sisi membuat mata Ilena sedikit pedih.
“Bagaimana bisa kau setenang itu menghadapi situasi tidak masuk akal begini?” sergah Dean turut berdiri dan mengikuti Ilena berjalan ke tepi bangunan yang hancur.
“Aku juga tidak terlalu mengerti situasi ini, Dean. Tapi untuk sementara sepertinya itu jawaban yang paling relevan,” sahut Ilena sembari melongok keluar.
Kekacauan besar terjadi di bawah sana. Ilena melihat orang-orang berteriak ketakutan dikejar sesosok makhluk yang dia kenal betul sebagai salah satu monster ciptaannya dalam game: Skeleton. Bukan hanya satu atau dua melainkan puluhan Skeleton putih dengan aura gelap mengejar orang-orang yang berteriak panik menyelamatkan diri. Beberapa tubuh manusia tampak tergeletak bersimbah darah. Mereka mencoba merangkak di sepanjang jalan namun Skeleton lain menebas mereka dengan brutal, menyisakan erangan putus asa yang menyakitkan.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dean menatap ngeri situasi kota Burca yang serupa medan pembantaian.
“Kita harus membantu mereka,” ucap Ilena melontarkan satu-satunya pikiran yang terlintas dalam benaknya.
“Cleo, bagaimana cara menggunakan senjata?” tanya Ilena kemudian.
Layar hologram kembali muncul menampakkan panduan pemula.
Player yang terhormat,
Untuk menggunakan senjata dan mengaktifkan skill, anda bisa membuka fitur penyimpanan dan meraih senjata yang anda butuhkan. Ucapkan nama skill untuk bisa mengaktifkannya dan melakukan serangan. Skill pasif sudah teraktifasi secara otomatis sehingga anda hanya perlu menyebutkan skill-skill aktif yang bisa digunakan sesuai waktu cast masing-masing.
“Buka penyimpanan,” desah Ilena kemudian.
Layar hologram kembali berubah, menampakkan puluhan panel berisi berbagai macam barang yang pernah didapat Ilena dalam game. Ilena yang sudah hafal sepenuhnya akan tampilan tersebut segera meraih sebuah busur putih bersinar dengan ornamen bulu angsa yang ada di sudut paling atas.
Detik berikutnya sebuah busur sebesar rentangan tangan Ilena pun mewujud dalam genggamannya. Busur itu benar-benar padat dan meski terlihat berat, tetapi anehnya terasa begitu ringan. Dengan sigap, Ilena segera merentangkan busurnya yang bercahaya keemasan tersebut. Sebuah anak panah berwarna emas turut muncul dari udara kosong, terentang di antara busur dan tangan kanan Ilena.
“Arrows Rain,” ucap Ilena mengaktifkan salah satu skill archernya.
Serta merta anak panah dalam genggamannya berlipat ganda menjadi empat. Skill pasif Hawk Eye membantu bidikan Ilena menjadi begitu jelas dan tepat melihat target yang dia tuju. Dengan satu tarikan napas, gadis itu pun melontarkan keempat anak panah bercahaya keemasan ke arah target yang berada sejauh hampir empat ratus meter dari tempatnya berdiri.
Keempat anak panah tersebut melesat dengan sangat cepat, lantas kembali berlipat ganda menjadi puluhan anak panah lain dalam perjalanannya. Masing-masing anak panah tersebut serupa peluru kendali yang menembus puluhan Skeleton yang berada di area jangkauannya. Dalam satu serangan, para Skeleton yang terkena anak panah Ilena segera terburai hancur lalu berubah menjadi asap gelap dan menghilang bagai debu.
“Woah!” seru Dean terpukau. “Bagaimana kau melakukannya?”
“Bukankah kau juga seorang player tingkat atas, Dean? Lakukan tepat seperti saat kau bermain game. Tubuhmu akan mengikuti dengan mudah,” ucap Ilena sembari merentangkan busurnya kembali.
Dean mengangguk setuju. Dengan sigap pria itu lantas mengeluarkan senjata andalannya, sebuah busur hitam dengan ornamen batu-batu onyx. Dean lantas melakukan gerakan yang sama dengan Ilena dan menembaki para Skeleton yang menggila di bawah sana. Puluhan Skeleton pun berhasil diberantas dengan cepat dan membuat kekacauan di bawah sana sedikit mereda.
Sayangnya, kemenangan tidak bisa diraih dengan semudah itu. Sebuah bola api besar tiba-tiba terlontar ke arah mereka berdua tanpa peringatan. Ilena dan Dean dengan sigap menghindar dan melompat ke dalam ruangan. Bola api tersebut sukses menghanguskan sisa ruang kerja mereka yang sudah tinggal separo dan menghanguskan salah satu sisi dinding beton.
“Apa itu?” seru Dean panik.
“Ini gila,” geram Ilena sembari berdecak marah.
Ia jelas tahu apa yang muncul setelah itu karena detik berikutnya, sekelebat bayangan monster besar terbang melesat di hadapan mereka.
“Skeleton Archaeopteryx,” gumam Ilena kemudian.
“Gila! Bos monster dungeonkenapa muncul di Burca?” seru Dean menanggapi.
Ilena tak lantas menjawab. Ia masih mengawasi sang burung purba yang tinggal tulang belulang beraura gelap itu terbang mengitari kota. Monster itu juga adalah ciptaannya dalam game Galatean. Gadis itu sudah memperkirakan kemunculan monster tersebut karena ia memang satu paket dengan para Skeleton di bawah sana. Dalam permainan rancangannya, mengalahkan bos monster akan otomatis menyelesaikan dungeon. Itu artinya bila ia berhasil mengalahkan si burung purba pemangsa itu, maka semua monster di area tersebut akan otomatis menghilang.
Kabar buruknya, bos monster tersebut tidak mudah dikalahkan. Selain karena kemampuan terbangnya yang begitu cepat, skill pelontar bola api miliknya juga sangat berbahaya. Beruntung ukuran monster itu sebesar tiga kali truk kontainer yang digabung menjadi satu. Dengan tubuh sebesar itu, mudah bagi Ilena untuk membidikkan anak panah ke arah tubuh sang monster.
Maka dengan gerakan sigap, gadis itu segera bangkit berdiri dan berlari ke arah atap yang terbuka untuk membidikkan busur panahnya. Sang monster terbang berputar-putar sambil sesekali melontarkan bola-bola api ke sembarang arah. Ilena mengikuti pergerakannya dengan waspada sambil berdiri kokoh dengan busurnya. Setelah yakin akan arah bidikannya, serbuan anak panah keemasan pun segera melesat dan sukses menghantam tubuh bos monster tersebut.
Akan tetapi, serangan Ilena tidak memberi dampak signifikan. Alih-alih sang bos monster itu justru meraung marah dan menukik ke arah tempat Ilena berdiri. Sigap, gadis itu pun melompat keluar dari gedung berlantai 70 tersebut. Kelincahan dan vitalitasnya sudah ditingkatkan melalui sistem, sehingga Ilena dapat dengan mudah menjejak atap gedung di seberang kantornya. Serangan burung purba yang marah itu pun tidak berhasi mengenainya.
“Dean!” Mendadak Ilena teringat pada kawannya yang masih berada dalam bangunan.
“Aku baik-baik saja,” ucap sebuah sosok yang mendarat tepat di sebelahnya.
Ternyata Dean juga berhasil menghindar di waktu yang tepat. Ilena begitu lega melihat pemuda itu baik-baik saja, meski terengah-engah dan tampak kepayahan.
“Syukurlah kau baik-baik saja. Apakah kau sudah terbiasa menggunakan kemampuanmu?” tanya Ilena kemudian.
Dean hanya mengangguk menanggapi. Napasnya masih memburu tapi pemuda itu tampak yakin.
“Baguslah kalau begitu. Kita harus menyerang Skeleton Archaeopteryx itu bersamaan. Dia mungkin tidak akan kalah dalam satu atau dua kali serangan. Namun dengan mempertimbangkan kemampuan kita berdua, kurasa lima kali tembakan bisa menghancurkannya. Kita juga harus bersiap untuk menghadapi serangan bola apinya. Karena itu sebaiknya kita berpencar. Aku akan menyerang dari sisi utara. Kau pergilah ke atap bangunan di sana dan seranglah dari sisi yang lain,” perintah Illena sembari menunjuk bangunan kantor kejaksaan yang berdiri di seberang jalan.
“Baiklah,” ucap Dean paham.
“Berhati-hatilah, Dean,” gumam Ilena sembari menepuk bahu kawannya tersebut.
“Kau juga,” balas Dean dibubuhi anggukan meyakinkan.
Ilena turut mengangguk. Keduanya lantas saling berbalik dan melompat gesit ke arah yang berlawanan. Ilena berlari dengan cepat dirinya kea rah sebuah gedung bertingkat yang lain. Gadis itu lantas memanjat gedung tersebut dengan cepat. Sang burung purba masih berputar-putar sambil melontarkan napas api ke segala arah. Ia jelas terlihat lebih marah dari sebelumnya. Ilena segera mendapatkan pijakan yang kokoh untuknya berdiri sambil bersiap merentangkan panah cahayanya.
Akan tetapi, beberapa saat sebelum Ilena sempat menembakkan anak panahnya, satu tembakan lain sudah lebih dulu dilesatkan oleh Dean dari ujung sana. Burung purba itu kembali meraung marah dan terbang ke arah Dean. Beruntung Ilena sudah mendapatkan tempat berdiri yang strategis untuk melancarkan serangan. Maka dengan seluruh kemampuannya, ia pun merentangkan busur panahnya ke arah Skeleton Archaeopteryx itu.
“Elemental Arow!” seru Ilena kemudian.
Kini anak panahnya tidak lagi berlipat ganda. Alih-alih hanya ada satu anak panah super besar yang bercahaya sangat menyilaukan. Ilena memutuskan untuk menggunakan skill yang berbeda dari sebelumnya. Elemental Arrow menambah tingkat kerusakan serangannya sebanyak lima puluh persen. Skill ini semakin dimaksimalkan dengan skill pasifnya Owl’s Eye yang meningkatkan ketangkasan sebanyak sepuluh persen.
Sesuai perkiraannya, tembakan tersebut akhirnya berhasil membuat sang burung purba oleng. Elemen cahaya yang dimiliki Ilena dengan telak mengalahkan atribut kegelapan sang monster. Skeleton Archaeopteryx yang limbung kembali meraung marah dan bersiap terbang ke arah Ilena. Namun, sekali lagi Dean meluncurkan tembakan anak panahnya dan membuat salah satu sayap monster itu berkelotak patah. Ilena pun merentangkan busurnya, bersiap melakukan seragan pamungkasnya.
Sebuah anak panah emas super besar melesat tepat mengenai dada sang monster sebelum ia jatuh menghantam tanah. Monster itu pun meraung keras dan seiring raungannya memudar, tubuh monster itu pun turut menghilang menyisakan asap gelap keunguan.
Ilena menarik napas panjang. Selesai sudah pergulatan mereka melawan monster misterius yang jelas keluar dari game buatannya. Kondisi kota Burca tampak hancur lebur. Banyak orang tergeletak di jalanan tak bergerak. Beberapa lainnya menangis dan berteriak histeris karena sisa-sisa ketakutan mereka. Para polisi dengan sirine meraung-raung pun berdatangan dan segera memeriksa kondisi orang-orang yang terluka. Mereka tampak sibuk memanggil petugas kesehatan untuk segera datang ke lokasi.
Ilena melompat turun dari bangunan sebelas lantai tempatnya berpijak. Dia mendarat dengan mulus seolah gadis itu sudah terlatih melakukannya sejak dulu. Meski begitu ia tahu bahwa kemampuan itu muncul berkat statusnya sebagai player Galatean. Ilena lantas menelusuri jalanan kota dengan lebih dekat dan kemudian menyadari bahwa ada beberapa orang yang juga player sepertinya. Mereka membawa beragam senjata yang berbeda-beda sesuai peran yang mereka pilih dalam game. Ada yang membawa pedang satu tangan, tombak, belati dan sebagainya. Meski tidak sebanyak orang-orang biasa yang menjadi korban, tetapi para player itu juga tidak bisa disebut sedikit. Setidaknya dua tiga dari sepuluh orang yang dilihat Ilena adalah seorang player.
“Ilena kau baik-baik saja?” Dean mendadak muncul menghampiri gadis itu.
Ilena mengangguk pelan, masih tampak prihatin melihat kondisi orang-orang yang terluka.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dean lagi.
“Kita harus mencari tahu penyebab Galatean keluar dari sistem onlinenya.”
Dean mengangguk setuju. Mereka berdua pun bersiap kembali ke arah gedung kantor ketika tiba-tiba sebuah layar hologram kembali muncul diiringi bunyi plop pelan.
Selamat kepada player terhormat.>.
Anda sudah berhasil mengalahkan bos monsterSkeleton Archaeopteryxdan berhak mendapatkan reward misi dungeon berupa “Memory Key” dan 50.000 Moonstone.
Karena level anda sudah mencapai batas maksimal, maka diperlukan Kristal Jiwa Pemanah untuk melalukan breakthrough dan membuka level selanjutnya.
Ilena menekan tombol ‘Terima’ pada layar hologramnya. Sekonyong-konyong sebuah kunci berwarna biru gelap muncul dan melayang-layang di depannya. Ilena meraih kunci tersebut dengan satu tangan lantas mengamatinya dengan seksama.
“Apa yang kau dapat, Ilena? Aku mendapat asesoris dan uang tiga puluh ribu Moonstone. Levelku juga naik menjadi 58,” ujar Dean menunjukkan sebuah liontin skeleton putih kecil
“Aku hanya mendapat kunci ini dan uang lima puluh ribu Moonstone,” jawab Ilena masih mengamati kuncinya.
“Kunci? Untuk apa?”
“Entahlah. Aku akan mencari tahu setelah ini.”
Rapat divisi perencanaan diadakan di tengah kemelut. Bahkan ruang rapat VIP yang semula bersih dan canggih kini tak ubahnya kapal pecah. Meski begitu, para petinggi perusahaan pun turut hadir dalam pertemuan dadakan tersebut. mereka semua jelas tahu bahwa kekacauan yang terjadi di luar sana benar-benar serupa dengan konsep game Galatean yang tengah mereka kembangkan.
Ilena selaku pimpinan proyek tersebut tak luput dari sorotan. Ia duduk di sembarang kursi yang masih utuh, diikuti oleh lima orang lainnya yang juga berada di sana. Dean tidak turut bersama mereka karena Ilena memerintahkannya untuk membantu proses evakuasi para pegawai lain yang selamat. Gadis itu tidak ingin Dean turut disalahkan dalam rapat tersebut, terutama karena selama ini Dean hanya mengikuti perintahnya. Ilena merasa harus bertanggung jawab atas kejadian ini, meski sebenarnya ia juga tidak tahu penyebab Galatean bisa muncul di dunia nyata.
“Ilena, sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kekacauan ini bisa terjadi?” sergah Javier Lockart, pimpinan tertinggi Alcanet Tech sekaligus saudara kembar Ilena.
“Ini di luar kendaliku Javier. Aku bahkan tidak bisa mengakses sistem Galatean melalui komputer manapun. Semuanya hilang seolah sistem itu memang tidak pernah ada secara daring sebelumnya,” balas Ilena tak kalah putus asa.
“Tapi bagaimana mungkin sistem permainan daring bisa muncul dalam kehidupan nyata? Apa ini masuk akal?” desah Javier sembari memijit keningnya yang berkerut.
“Lebih baik kita memikirkan solusinya daripada hanya berkutat pada penyebab kekacauan ini,” kata Misa, pimpinan divisi kemanan, mencoba menengahi.
“Benar kata Misa. Sebaiknya kita melakukan tindakan penanggulangan setelah bencana ini terjadi,” sambung Orlo, pimpinan divisi pemasaran turut menanggapi.
“Aku melihat banyak player lain di luar sana. Kupikir ada baiknya kita membuat guild untuk mengorganisir mereka agar dapat melindungi para penduduk non-player jika terjadi serangan monster lagi,” usul Ilena kemudian.
“Tapi darimana para monster itu muncul?” tanya Javier.
“Aku melihat ada semacam portal dimensi yang mucul di jalan raya saat aku keluar membeli kopi tadi. Dari sana monster itu muncul,” sahut Bilard dari bagian administrasi. “Mungkin kita bisa mulai mencari tahu dimana lokasi portal-porta lainnya muncul dan mengerahkan para player yang terlatih untuk melawan monster lainnya,” lanjut pria itu sembari membetulkan letak kacamatanya.
“Benar. Kita semua adalah player tingkat atas. Ada baiknya kita juga membuat fasilitas pelatihan bagi para player lain.” Kini giliran Linda sang pimpinan divisi riset yang angkat bicara.
Javier tampak berpikir sejenak sembari menyibakkan rambut peraknya yang sewarna dengan rambut saudara kembarnya. Ilena menatap kakaknya itu dengan seksama. Berbeda dengannya, Javier memang orang yang lebih emosional dan cenderung tidak sabaran. Ia mudah terusik dengan masalah sepele sekalipun. Sementara masalah yang harus mereka hadapi sekarang tergolong masif dan sudah pasti perusahaan yang dipimpin Javier akan menjadi kambing hitam atas bencana ini. Ilena tentu menyadari beban yang harus ditanggung oleh Javier. Karenanya ia tidak bisa menyalahkan kemarahan saudara kembarnya tersebut.
“Baiklah. Sepertinya memang itu satu-satunya cara bagi perusahaan kita untuk bertanggung jawab atas bencana ini. Aku akan menghubungi pihak militer dan pemerintah yang terkait untuk merealisasikan usul kalian,” ucap Javier kemudian dibalas dengan anggukan setuju oleh semua orang.
“Sementara itu, aku ingin kau tetap mencari tahu penyebab kebocoran ini, Ilena,” lanjut Javier sambil menoleh pada adik kembarnya.
“Tentu saja, Jav. Aku akan berusaha sampai titik darah penghabisan untuk menemukan akar permasalahan ini,” sahut Ilena tegas.
Javier menghela napas pendek seolah tidak puas atas jawaban Ilena. Akan tetapi ia tahu bahwa itu adalah jawaban terbaik yang bisa dikatakan oleh adik kembarnya. Maka Javier tidak berkomentar lagi dan memilih untuk menoleh pada karyawannya yang lain.
“Dan untuk kalian, aku akan member tugas terpisah setelah ini. Kita harus membuat skema penanggulangan darurat termasuk rencana pelatihan di kemudian hari. Aku juga perlu daftar semua player dari setiap server yang sudah aktif sejak uji beta kemarin,” perintah Javier kemudian.
Keempat orang lainnya mengiyakan perintah Javier dengan serentak. Javier mengangguk singkat lantas bangkit berdiri.
“Kita juga perlu membangun ulang gedung kantor ini,” gumam Javier sembari berjalan pergi.
...***...
Ilena sudah kembali ke apartemennya sendiri setelah pertemuan dengan para petinggi perusahaannya. Kakaknya masih sibuk mengurus berbagai birokrasi terkait bencana yang timbul. Ia sendiri memilih pulang dan melihat k,ondisi apartemennya yang juga tak kalah mengenaskan. Meski bangunannya masih utuh, tetapi semua benda di dalam ruangan sudah berserak jatuh ke lantai. Sepertinya karena guncangan kuat saat Skeleton Archaeopteryx meledakkan bangunan-bangunan lain di sekitarnya.
Akan tetapi Ilena tidak terlalu berselera untuk membereskan kekacauan tersebut. Gadis itu memilih untuk merebahkan tubuhnya di salah satu sofa panjang di tengah ruang tamunya. Tubuhnya terasa sangat lelah dan kepalanya juga berat karena terlalu banyak berpikir. Meski begitu Ilena masih penasaran dengan Memory Key yang didapatkan saat mengalahkan bos monster tadi.
Benda itu tidak pernah ada dalam game Galatean buatannya. Ini pertama kalinya Ilena melihat kunci hitam tersebut. Keingintahuannya yang menggelitik membuat Ilena mengabaikan rasa lelah di tubuhnya dan memilih untuk mengeluarkan lagi Memory Key dari fitur penyimpanan sistemnya.
“Cleo, buka penyimpanan,” ucap Ilena pelan.
Layar hologram menanggapi perintah tersebut, lantas kembali memunculkan panel-panel berisi benda-benda yang disimpannya sejak dalam game. Ilena segera meraih kunci biru gelap yang terletak di panel paling atas. Kunci itu pun memadat di genggamannya. Ukurannya cukup besar untuk sebuah kunci. Kurang lebih sekitar tiga puluh sentimeter.
“Cleo, jelaskan tentang Memory Key.”
Sebuah layar hologram kembali muncul dengan keterangan panduan item.
...Memory Key (1/7)...
Kunci yang dapat membuka misteri quest tersembunyi. Masing-masing kunci menyimpan kepingan informasi mengenai rahasia Galatean dan menemukan enam Pasukan Galatea. Kumpulkan ketujuh kunci untuk membangkitkan jiwa Ymir dan menutup portal dimensi.
Cara menggunakan: gunakan skill Pembuka Gerbang Dimensi
Ilena tidak pernah merasa membuat skill Pembuka Gerbang Dimensi. Namun kemudian ia mengingat kembali di jendela status karakternya terdapat atribut ‘Pembuka Gerbang Dimensi’ di bawah namanya. Gadis itu separuh yakin bahwa ia memang sekilas membaca atribut tersebut saat tadi membuka jendela statusnya. Padahal atribut yang seharusnya dimilikinya adalah ‘Game Master’.
“Cleo, buka jendela status karakter,” ucap Ilena yang akhirnya memutuskan untuk sekali lagi memastikan jendela status karakternya.
Ilena Lockart (Archer)
-Pembuka Gerbang Dimensi-
*Lv. 99
Strenght : 20
Agility : 121
Vitality : 45
Inteligent : 20
Dexterity : 187
Luck : 100*
Layar hologram yang muncul di hadapan Ilena memastikan bahwa dugaannya terbukti. Ia memang memiliki atribut baru bernama ‘Pembuka Gerbang Dimensi’. Atribut yang sama sekali tidak pernah dia buat dalam sistem Galatean.
“Sampai dimana kau akan terus berkembang, Cleo?” gumam Ilena lebih pada dirinya sendiri.
Akan tetapi layar hologram tetap muncul sebagai tanggapan atas kata-kata Ilena tersebut.
Player yang terhormat,
Sistem Galatean Open World series sama persis dengan sistem uji beta yang ada sebelumnya, kecuali untuk ketujuh pemain inti yang terlibat dalam pembukaan portal dimensi. Silakan menyelesaikan quest Memory Key untuk memecahkan misteri selanjutnya.
Dahi Ilena berkerut membaca penjelasan tersebut. Jika keterangan itu benar, artinya Ilena memang merupakan salah satu penyebab bocornya sistem Galatean ke dunia nyata. Akan tetapi ia sama sekali tidak punya petunjuk bagaimana dan sejauh apa keterlibatannya dalam kasus ini. Gadis itu hanya bisa mendesah putus asa sambil kembali menatap kunci besar yang digenggamnya. Satu-satunya cara untuk memahami hal tersebut adalah dengan melakukan quest yang diperintahkan oleh sistem.
“Pembuaka Gerbang Dimensi,” ucap Ilena menyebutkan skill yang dibutuhkan.
Layar hologram lain muncul di hadapan gadis itu dengan tampilan yang jauh berbeda dengan bayangannya. Hologram tersebut tidak menampilkan kata-kata atau panel berisi benda-benda dalam game. Alih-alih sebuah lubang kunci besar tampak melayang-layang tepat di depan Ilena, menunggu dibuka.
Ilena menautkan kedua alisnya karena penasaran. Bahkan dari segi desain dan warna, gambaran lubang kunci tersebut terlalu jauh berbeda dengan tema tampilan Galatean buatannya. Dalam Galatean yang asli, sebagian besar templatenya didominasi dengan warna hijau terang dan cokelat. Namun, lubang kunci ini berwarna biru gelap nyaris kehitaman, senada dengan warna kunci yang dibawa oleh Ilena.
Gadis itu menatap hologram tersebut selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk mencocokkan dengan kunci yang dia bawa. Mata abu-abunya menatap dengan seksama sembari menelaah segala kemungkinan yang bisa terjadi kalau kunci tersebut dimasukkan. Bisa jadi ini adalah jebakan yang mengakibatkan terbukanya portal dimensi yang lain. Ilena tidak ingin membuat kesalahan baru.
Akan tetapi sepertinya sistem itu tidak mengijinkan Ilena berpikir terlalu lama karena beberapa saat kemudian, di atas hologram lubang kunci tersebut kini muncul angka hitung mundur. Waktu yang diberikan hanya sepuluh detik. Ilena dipaksa untuk berpikir cepat dan mengesampingkan segala resiko yang sekiranya bisa dia tanggung. Bisa jadi lubang kunci tersebut hanya akan muncul satu kali setiap waktunya. Ilena tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk menemukan jawaban tentang penyebab munculnya Galatean di dunia nyata. Javier sudah sangat marah gara-gara ini.
Maka di detik-detik terakhir, gadis itu pun kemudian mengangkat kunci di genggamannya dan mengarahkannya masuk tepat di lubang kunci hologram. Bunyi klik pelan segera terdengar, diikuti cahaya berwara biru terang yang muncul tiba-tiba. Ilena menyipitkan mata karena terkejut oleh kemunculan cahaya itu. Sekonyong-konyong suara dengung melengking kembali terdengar di kedua telingannya. Rasa pening luar biasa juga menghantam kepala Ilena membuat gadis itu meringkuk hingga menyentuh lutut.
Ilena mengerang keras karena kesakitan. Kepalanya seperti dihantap palu dengan sangat keras dan membuat gadis itu terus menggeliat hingga jatuh dari sofa. Serta merta pandangannya memburam dan berubah gelap. Ia merasakan sensasi tersedot yang membuatnya mual. Ilena terus mencoba bertahan dari rasa sakitnya. Namun sensasi tersebut berlangsung selama beberapa saat hingga akhirnya dengungan di telinganya perlahan mereda.
“Ilena, kau baik-baik saja?” tiba-tiba suara seorang pria terdengar memanggil namanya.
Ilena juga merasakan tepukan pelan di bahunya. Gadis itu lantas mendongak dan mendapati seorang pria berbadan tegap dengan rambut hitam cepak berlutut di sebelahnya. Mata cokelat pria itu tampak cemas menatap Ilena yang kini tengah berlutut di atas rerumputan.
“Aku baik-baik saja, Hector.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Ilena tanpa bisa ia kendalikan.
Gadis itu lantas bangkit berdiri sembari menepuk-nepuk lututnya yang dipenuhi tanah dan debu. Ia kini tidak lagi berada di ruang tamu apartemennya, namun di sebuat tempat asing yang entah kenapa terasa sangat familiar. Tempat itu dipenuhi hamparan rumput rendah dengan tumbuhan pakis dan jamur raksasa menjulang setinggi lima hingga sepuluh meter. Beberapa benda terbang tampak berseliweran di udara. Bentuknya seperti piring pipih seukuran orang dewasa yang melesat ke segala arah dengan kecepatan di luar nalar.
Benda-benda tersebut mengeluarkan tembakan-tembakan cahaya yang mengarah pada pertempuran di bawahnya. Makhluk-makhluk besar berkulit hijau dengan taring besar memenuhi medan pertempuran tersebut. Mereka bergelut melawan para manusia bersenjatakan busur panah dan pedang besar. Akan tetapi pasukan manusia itu jelas tampak terdesak karena jumlah mereka yang tidak sepadan dengan monster yang dilawannya.
“Kau terjatuh dari ketinggian dua puluh meter, Illy. Dan scarabmu meledak karena serangan para Orc. Setidaknya dua atau tiga tulangmu mungkin patah. Kita mundur dulu untuk melihat kondisimu,” bujuk pria itu sembari berusaha merengkuh Ilena.
“Sudah kubilang aku baik-baik saja, Hector. Kita harus menahan serangan monster ini selama mungkin agar orang-orang bisa selamat,” sergah Ilena yang sekali lagi mengeluarkan kata-kata tanpa bisa dia cegah.
“Tapi…”
“Kita pejuang terakhir Galatea, Hector. Aku akan tetap berada di sini hingga semua orang pergi. Setelah itu aku akan menyegel monster-monster sialan itu dengan tanganku sendiri. Planet kita sudah hancur.”
Mendadak Ilena merasa hatinya begitu sakit. Rasa sedih, marah, dan penyesalan menyerangnya bertubi-tubi. Ia tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh di pipinya. Pria di hadapannya tampak sama resahnya dengan Ilena. Wajahnya yang muram menatap Ilena dengan sisa-sisa keyakinan yang nyaris pudar. Pria itu lantas menggenggam jemari Ilena dan mengangguk singkat.
“Baik, Komandan. Aku akan berjuang bersamamu,” ucap pria itu lalu mengangkat pedang besarnya ke udara.
Ilena pun turut mengangkat busur putihnya yang berornamen bulu angsa. Itu adalah busur yang sama seperti yang dia gunakan dalam game. Saat hendak merentangkan busur tersebut, mendadak pandangan Ilena kembali memudar dan berubah gelap. Rasa sesak menyesapi paru-parunya dan membuat gadis tersebut menarik napas panjang.
Detik berikutnya, Ilena berhasil membuka mata dan mendapati dirinya sudah kembali tersungkur di ruang tamu apartemen. Ia begitu terengah-engah dan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Jantungnya masih berdetak cepat karena perasaan marah dan sedih yang dia rasakan tadi.
“Apa yang terjadi?” gumamnya kemudian.
Mendadak ia menyadari bahwa kini di hadapannya sudah menggantung sebuah layar hologram berwarna biru gelap.
Quest Memory Key 1:
Temukan Hector Gianni.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!