Ikuti Instagram Author ya : Andropist _1603
Malam itu lagit pedesaan tengah ramai dengan lantunan ayat Allah yang bergema dari sebuah surau kecil. Anak-anak dengan lantang melafalkan setiap kata yang tertera dalam kitab suci. Dipimpin oleh seorang ustadz muda lulusan negeri Mesir yang elok rupa juga elok budi. Tak lama lagi waktu Isya akan tiba, maka kegiatan mengaji itu pun terhenti. Sang ustadz kini bangkit untuk mengumandangkan adzan. Bukan main merdunya, adzan itu berkumandang dengan lembut di langit malam menyeru setiap hamba Allah untuk segera menunaikan ibadah shalat. Sang ustadz juga memimpin ibadah shalat Isya malam ini. Sudah tiga tahun ia mengabdikan dirinya pada surau ini. Padahal ia adalah seorang sarjana dari kampus Mesir yang tersohor itu tetapi ia malah memilih kembali ke kampung halamannya dan mengabdikan dirinya di surau ini. Singkatnya, ia adalah pemuda yang unik namun berhati dan berparas elok.
Selepas shalat Isya, Ustadz itu tak langsung pulang ke rumahnya. Ia melimpir ke sebuah rumah kecil yang letaknya tak jauh dari surau. Di dalam rumah itu muncul seorang wanita paruh baya yang masih mengenakan mukena. Ia tersenyum pada ustadz itu. Ia lalu mempersilahkan ustadz itu untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Assalamualaikum Bu Kiyai.” Ustadz itu memberi salam pada wanita itu.
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk nak Syamir.” Wanita itu mempersilahkan sang ustadz untuk masuk.
“Baik Bu. Saya jadi tidak enak karena telah bertamu malam-malam begini,” Ucap Syamir.
“Loh, endak lah Ndo. Kan Pak Kiyai yang menyuruhmu untuk ke sini malam ini. Sebentar ya, Ibu panggilkan Pak Kiyai dulu.” Ucap Bu Kiyai.
“Enjeh Bu.” Syamir mengangguk.
Saat Syamir terdiam di ruang tamu tiba-tiba keluar seorang gadis cantik yang membawakan nampan berisi minuman dan cemilan khas daerah untuk Syamir. Gadis itu mengenakan pakaian yang begitu tertutup. Ia berjalan mendekati kursi Syamir sambil menundukan pandangannya. Ia dengan malu-malu menaruh air minum itu di meja. Ia pun kembali ke belakang bilik setelah mengantarkan air minum pada Syamir.
“Masya Allah, cantik betul Zulaikha malam ini. Astagfirullah, kau ini kenapa Syamir!” Ucap Syamir dalam hatinya.
Tak lama Pak Kiyai pun datang diikuti oleh Bu Kiyai.
“Assalamualaikum Pak Kiyai.” Syamir bangkit dari duduknya lalu bersalaman pada Pak Kiyai.
“Wa’alaikumsalam. Sehat Nak?” kata Pak Kiyai.
“Alhamdulilah sehat Pak.” Mereka semua pun duduk mengelilingi meja.
“Nak Syamir pasti bertanya-tanya mengapa kami memanggil Nak Syamir malam-malam begini. Bukan apa-apa, hanya saja kami rasa kami perlu segera menyampaikan ini pada Nak Syamir. Ya kan Bu ?” Pak Kiyai menoleh pada Bu Kiyai.
“Enjeh Pak.” Bu Kiyai mengiyakan.
“Jadi begini Nak, sebelumnya saya ingin bertanya pada Nak Syamir apakah Nak Syamir sudah memiliki calon? Emmm, maksud saya... Nak Syamir kan sudah cukup umur, masa belum bercalon, ya kan Bu?” Pak Kiyai kini terlihat kikuk.
“Aduh, eh, enjeh Pak.” Bu Kiyai juga jadi ikut kikuk.
“Kebetulan durung Pak.” Syamir menjawab dengan malu-malu.
“Alhamdulillah, eh, maksud saya.... emmm lho kenapa toh? Masa ganteng kayak gini belum punya calon, hehe. Ah! Kebetulan sekali. Zulaikha juga belum punya calon loh Nak, nah gimana?” Pak Kiyai tersenyum malu pada Syamir.
“Gimana opo toh Pak? Maaf saya kurang faham.” Padahal dalam hati Syamir ia kegirangan bukan main saat mendengar ucapan dari Pak Kiyai barusan.
“Begini, saya hendak menjodohkan Nak Syamir dengan anak saya Zulaikha. Gimana? apa Nak Syamir mau?” ucap Pak Kiyai.
“Ya Allah, mimpi apa aku ini semalam? Tak sangka ternyata keinginanku yang terpendam kini jadi nyata.” Kata Syamir dalam hatinya. Ia begitu senang, seakan ia tengah menari-nari diantara padang buga yang indah nan luas.
“Jadi gimana Nak?” Bu Kiyai kini tak sabar untuk mendengar jawaban dari Syamir.
“Enjeh, saya mau Pak, Bu.” Syamir kini tak mampu membendung rasa gembiranya, ia tersenyum lebar pada Bu Kiyai dan Pak Kiyai.
“Alhamdulillah.” Ucap Pak Kiyai dan Bu Kiyai secara bersamaan.
“Kalau begitu saya panggilkan dulu Anak saya ya. Kita juga perlu bertanya padanya. Tolong panggilkan Zulaikha ya Bu.” Ucap Pak Kiyai.
“Baik Pak.”
Zulaikha tengah menguping dari balik bilik kamarnya, kebetulan letak kamarnya berdekatan dengan ruang tamu. Zulaikha tak henti-hentinya tersenyum sambil mendengarkan pembicaraan antara orang tuanya dan Syamir. Zulaikha kaget saat Ibunya tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Hayo! Nguping ya?” Bu Kiyai mengagetkan Zulaikha.
“Astagfirullah! Ibu! Hampir saja jantung Zulaikha copot.” Ucap Zulaikha.
“Bapak nyuruh kamu untuk ke sana, ayo!”
Zulaikha lalu berjalan ke ruang tamu didampingi oleh Ibunya. Ia begitu malu saat duduk berhadapan dengan lelaki yang kini menjadi calonnya itu.
“Nah, sini! duduk Ndo.” Zulaikha lalu duduk di saping kedua orang tuanya.
“Begini toh Ndo. Bapak karo Ibu bermaksud menjodohkan Ndoe karo Syamir. Gimana? Gelem apa orak?” Tanya Pak Kiyai.
Zulaikha lalu mengangguk dengan malu. Pipinya berubah merah padam. Ia menundukan kepalanya semakin dalam. Jantungnya kini berdegup dengan kencang. Andai saja di ruangan ini hanya ada dirinya seorang maka ia akan melompat kegirangan.
“alhamdulillah.” Kembali, Pak Kiyai dan Bu Kiyai berkata bersamaan.
Pertemuan itu pun usai. Syamir akhirnya pulang ke rumahnya. Hatinya kini tengah berbunga-bunga. Akhirnya wanita yang sudah lama ia dambakan itu kini akan menjadi jodonya. Sepanjang jalan Syamir tak henti-hentinya memancarkan senyum bahagia. Saking girangnya, mulutnya tak henti-hentinya melantunkan solawat kepada Baginda Rasulullah SAW.
Rumah Syamir letaknya memang agak jauh dari surau. Bahkan bisa dibilang jika rumahnya adalah yang paling ujung di desa ini. Jadi Syamir berjalan agak jauh menuju rumahnya. Saat melewati jalan Syamir tiba-tiba terperanjat, ia melihat sebuah mobil sedan berwarna putih yang menabrak sebuah pohon beringin. Sudah menjadi naluri Syamir untuk menolong siapapun bahkan seekor semut sekalipun. Ia lalu menghampiri mobil itu. Mobil itu mengeluarkan asap yang cukup tebal. Syamir menengok ke dalam mobil, ada seorang wanita yang terkulai tak berdaya. Tanpa pikir panjang Syamir lalu mencoba membuka pintu mobil sekuat mungkin. Berbagai cara ia lakukan agar pintu mobil bisa terbuka, akhirnya berkat kegigihannya akhirnya pintu mobil itu pun terbuka. Syamir lalu mengeluarkan wanita itu dari dalam mobil. Tak lama setelah wanita itu keluar, mobil itupun meledak. Untung saja Syamir segera mengeluarkan wanita itu, telat sedetik saja, maka entah apa yang akan terjadi pada wanita itu.
Syamir lalu membaringkan wanita itu di atas tanah yang dingin. Ia bermaksud untuk meninggalkan wanita itu untuk mencari bantuan. Tetapi ini sudah gelap, mana jarak dari tempat ini ke pemukiman warga cukup jauh. Syamir khawatir akan terjadi sesuati jika ia meninggalkan wanita itu sendirian lama di sini. Jalan ini pun jarang dilalui oleh orang apalagi dalam keadaan gelap seperti ini. Akan sulit untuk mencari mobil yang lewat sini. Syamir kini bingung, ia harus berbuat apa terhadap wanita itu. Hatinya terus bilang agar ia menolongnya, tapi Syamir juga takut jika niat baiknya malah akan menjadi fitnah pada dirinya sendiri. Ia terdiam beberapa saat.
Syamir akhirnya membopong wanita itu. Ia memutuskan untuk membawa wanita itu pulang ke rumahnya. Lagi pula jarak dari sini ke rumahnya tidak terlalu jauh. Syamir dengan setengah hati membawa wanita asing itu ikut pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah Syamir lalu membaringkan gadis itu di kursi ruang tamu. Syamir lalu pergi ke dapur untuk mengambil air hangat dan kotak obat.
Syamir tinggal berdua dengan Ibunya di rumah kecil ini. Ayah Syamir sudah meinggalkannya sejak Syamir masih dalam kandungan. Syamir Sudah menjadi seorang anak yatim sejak kecil. Itu membuatnya tumbuh menjadi anak yang mandiri.
Ibu Syamir keluar dari kamarnya, ia langsung syok saat melihat ada seorang wanita yang tengah terbaring di rumahnya. Ibu Syamir lalu mencari Syamir. Dengan wajah yang masih syok ibu Syamir menghampiri Syamir.
“Nak. Jelaskan pada Mbok siapa wanita yang ada di ruang tamu kita itu?” wajah ibu Syamir kini berubah menjadi was-was dan ketakutan. Ia khawatir jika putranya berbuat yang tidak-tidak pada wanita itu.
“Tenang Mbok, dia bukan siapa-siapa. Syamir menemukannya tadi di jalan dekat hutan dengan kondisi kecelakaan. Syamir hanya berniat menolongnya saja Mbok, hanya itu.” Syamir kini membawa baskom berisi air hangat dan kotak P3K nya.
“Tapi dia seorang wanita asing Le. Si Mbo hanya takut jika terjadi apa-apa padamu.”
“Insya Allah enda kok Mbo. Syamir akan segera memulangkannya jika ia sudah sadar. Syamir tak tega jika membiarkannya dengan kondisi seperti ini.”
“Ya Allah, Le-Le. Hatimu itu terbuat dari opo toh? Kamu selalu berempati bahkan ke seekor semut sekalipun. Mudah-mudahan niat baikmu itu dibalas oleh Gusti Allah.”
“Aamiin Mbok.”
“Ya sudah biar Mbok saja yang mengobantinya. Kamu lebih baik istirahat, turu. Esok kan kamu bakal kerja di lahannya Pak Lurah, jadi kamu harus cukup istirahat.”
“enggeh Mbok. Matur suwun.”
“sami-sami.”
Malam itu Syamir pergi tidur, ia membiarkan wanita itu diobati oleh ibunya. Syamir merasa baik-baik saja malam itu. Ia tak akan mengira jika akan terjadi sesuatu keesokan harinya.
Esoknya, di pagi buta Pak Lurah mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Syamir lalu membukakan pintu. Pak Lurah main nyelonong masuk ke rumahnya. Syamir hanya diam tak bisa menghentikannya. Pak Lurah tiba-tiba kaget saat melihat seorang wanita yang tengah terbaring di kursi.
“Astagfirullah! Syam! Ku kira kau seorang yang alim, ternyata...” Pak Lurah syok lalu menutup mulunya dengan lengannya.
“Ini tidak seperti yang anda bayangkan Pak. Saya bisa menjelaskannya.”
“Ndak! Saya tidak akan termakan omongan palsumu. Saya akan memanggil semua warga untuk datang ke sini. Kamu harus diberi hukuman atas apa yang telah kamu lakukan. Berani sekali kamu mencemari desa ini dengan tangan kotormu.”
“Tidak Pak, bukan begitu.” Belum sempat Syamir menjelaskan semuanya Pak lurah malah sudah keluar.
Syamir kini benar-benar panik, ia bingung harus bagaimana. Ia mencoba membangunkan gadis itu tapi tak bangun-bangun. Dalam hati Syamir terus mengucap istigfar sembari berusaha keras membangunkan gadis itu. Tetapi sudah telat, para warga kini sudah di depan pintu rumahnya.
“Lihatlah semuanya! Lihat apa yang sudah ustadz kalian lakukan!” Pak Lurah menggiring opini warga.
Warga begitu marah dengan apa yang telah mereka saksikan. Syamir yang sudah pasrah kini hanya bisa menjadi bulan-bulanan warga. Ia menitikan air mata, saat itu juga ia teringat akan dosa-dosanya. Dalam hatinya ia terus mengucap istigfar sambil memasrahkan dirinya pada Yang Kuasa. Ia terima segala ketentuan takdir yang sudah digariskan untuknya.
“Kita harus mengawinkannya sekarang!” ucap salah seorang warga.
“Ada apa ini?” Ibu Syamir keluar dari kamarnya.
“anak koe wes macem-macem karo wanita lain.” Ucap Pak Lurah.
“Jangan asal tuduh! Semalam Syamir menolongnya. Wanita itu korban kecelakaan di jalan dekat hutan. Kalian bisa cek mobilnya, mungkin masih ada. Jangan main hakim sendiri.” Jelas Ibu Syamir.
“Ya sudah, kalian cek keberadaan mobil itu.” Pak Lurah memerintahkan kepada beberapa warganya untuk mengecek keberadaan mobil itu.
Amukan warga itu pun berhenti untuk beberapa saat. Suasana berubah menjadi hening dan penuh ketegangan. Beberapa warga kini bisik-bisik. Syamir masih berharap akan kesadaran wanita itu. Jika wanita itu sadar maka ia akan bisa memberikan kesaksian yang sebenarnya pada warga. Tetapi wanita itu tak kunjung sadarkan diri.
Tak lama beberapa warga yang diutus oleh Pak lurah pun kembali. Pak Lurah lalu menghampiri orang-orang itu.
“Bagaimana? Kalian lihat keberadaan mobil yang telah diceritakan oleh Mbok nya Syamir?” Tanya Pak Lurah.
“Tidak Pak. Kami sudah menyisir semua jalan yang ada di hutan tapi kami tidak menemukan apapun.”
Sontak semua warga kaget. Mereka langsung menatap tajam ke arah Syamir.
“Tidak mungkin! Mobil itu ada di pinggir jalan dekat pohon beringin. Demi Allah aku tidak bohong!” Syamir menegaskan kesaksiannya.
“Alah, alasan. Si Mbok, Si Mbok. Kamu percaya begitu saja terhadap anakmu. Padahal ia telah menipumu. Sudah, kita nikahkan mereka sekarang!” ucap Pak Lurah.
Semua warga menjadi histeris. Ibunya begitu syok dengan apa yang terjadi, tak sangka anaknya akan membohonginya. Anak semata wayang yang telah ia besarkan dengan susah payah, begitu pikirnya. Air matanya kini mengalir dengan deras di pipinya. Syamir hendak menghampiri Ibunya, tetapi tidak bisa karena tangannya telah dicekal oleh warga. Tak lama setelah itu wanita itupun bangun. Wajahnya kaget dan heran saat melihat suasana yang ada di sekelilingnya.
“Dia sudah bangun! kalian bisa menanyakan kebenarannya langsung padanya.” Ucap Syamir.
“Kau tak usah takut kami hanya akan bertanya padamu sedikit. Jelaskan darimana kau berasal dan apa yang telah terjadi padamu malam tadi!” Pak Lurah bertanya pada wanita itu.
Wanita itu masih mencoba mengumpukan kesadarannya. Ia lalu mencoba membuka mulutnya perlahan. Ia mulai berbicara,
“Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi baiklah. Perkenalkan namaku Syahira Sadavir, panggil aja Sya or Caca. Did you know my family? Sadavir family? Ah bodo amat. Aku dari Jakarta, aku ke sini karena aku mau ngerayain Birthday Party aku. Semalem aku lagi pulang menuju Villa ku, tapi kalo gak salah aku hampir aja bertabrakan sama mobil. Tapi kok aku bisa sampe ke sini ya? Terus mobil aku di mana sekarang? Aku butuh banget mobilku buat balik ke Jakarta.” wanita itu kini tampak kebingungan.
“Kamu ada di rumah pemuda ini. Dia katanya menyelamatkanmu semalam. Tapi kami tidak percaya, kami takut jika dia melukan hal yang macam-macam padamu.” Jelas Pak Lurah.
“Apa? Aku benar-benar tak ingat.”
“Ah, sudahlah. Mungkin dia telah bersekongkol dengan Syamir untuk menutupi perbuatan busuk mereka. Sudahlah, kawinkan saja mereka sekarang Pak Lurah!” desak salah seorang warga.
“Ya, kami setuju. Kawinkan saja mereka sekarang!” serentak semua waga angkat biacara.
“NO! I don’t understand what are you talking about guys. Apa ? kawin? Gak bisa! Aku aja gak kenal dia siapa, kalian jangan asal tuduh dong.” Ucap wanita itu.
“Alah jangan banyak cingcong deh!” warga semakin murka.
“Tolong jangan Pak. Apa yang dia katakan memang benar, saya berani bersumpah dengan Al-Quran atas kesaksian saya.” Bantah Syamir.
“Alah, jangan banyak bicara kamu. Sudah, mari kita kawinkan mereka sekarang. Kita juga telah mendapatkan identitasnya.” Tegas Pak Lurah.
Akhirnya, mau tak mau Syamir pun dinikahkan dengan wanita yang bernama Syahira itu. Syamir tak pernah menduga jika niat baiknya akan berakhir seperti ini. Bagaimana nasib perjodohannya dengan Zulaikha, wanita yang begitu ia kagumi sejak lama. Bagaimana perasaan Ibunya sekarang? Pasti sangat hancur. Syamir tak kuasa melihat wajah ibunya saat ini. Wanita itu juga tengah menangis tersedu-sedu saat ini. Padahal tak pernah sekalipun Syamir menyentuh seorang wanita, tapi kini ia harus menanggung hukuman yang sama sekali bukan karena kesalahannya.
Setelah nikah paksa itu selesai Syamir lalu diusir oleh warga dari desa nya. Ia bingung, harus kemana ia sekarang. Syamir ditemani oleh wanita itu kini meninggalkan desa. Ibu Syamir menangis tersedu-sedu melihat kepergian putranya, entah kapan ia akan bisa bertemu dengan putranya lagi. Syamir menangis, ia tak kuasa atas segala yang telah menimpanya. Ia tertunduk sambil menitikan air mata.
Saat Syamir tiba di gerbang desa ia berpapasan dengan Zulaikha. Nampaknya Zulaikha baru saja selesai berbelanja dari pasar. Ia menenteng keranjang belanjaan yang penuh dengan sayur mayur. Zulaikha kaget saat melihat Syamir berjalan bersama seorang wanita sambil digiring oleh warga. Saking kagetnya keranjang belanjaannya sampai terjatuh.
“Syamir?” ucap Zulaikha.
“Hey Zulaikha! Bilang pada Pak Kiyai agar tidak menjodohkan Syamir dengan kau lagi. Lihatlah, ia telah berbuat yang tidak-tidak dengan wanita lain.” Ucap Pak Lurah.
“Astagfirullah. Tidak! Tidak mungkin. Syamir tidak akan berbuat hal demikian. Aku sudah mengenalnya sejak kecil. Tidak mungkin ia berani berbuat seperti itu.” Zulaikha tidak percaya dengan ucapan Pak Lurah. Ia bahkan hendak mendekati Syamir agar Syamir mau berkata yang sebenarnya dan membela diri di hadapan warga.
Tetapi Syamir hanya tertunduk diam, ia tak bergeming. Zulaikha menggelengkan kepalanya. Ia masih tak percaya atas apa yang baru saja ia saksikan.
“Percuma kau membelanya. Ia sudah kami nikahkan dengan wanita itu. Ia juga telah kami usir dari desa ini. Jadi biarkan ia pergi sekarang degan wanita luar itu. Biarkan mereka pergi dengan membawa dosa mereka.” Ucap Pak Lurah.
“Tidak! Tidak mungkin.” Zulaikha hendak mengentikan Syamir, tetapi warga menahannya. Syamir digiring oleh waga untuk keluar. Zulaikha pun menangis sambil terus melawan cengkraman dari para warga.
Air mata Syamir mengalir semakin deras, ia tak tahan menyaksikan wanita pujaanya kini menangis menyaksikan dirinya pergi. Hantinya semakin pedih saat menyadari bahwa ia juga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia kini meninggalkan desa tercintanya tapi bukan untuk merantau seperti dulu. Ia kini benar-benar meninggalkan desanya untuk selama-lamanya. Entah akan kemana Syamir sekarang.
Sudah cukup jauh Syamir berjalan meninggalkan desanya. Terik matahari membuat perjalanan mereka terasa kian berat. Syamir menengok ke belakang untuk mengecek apakah wanita itu masih mengikutinya. Ternyata wanita itu masih mengikutinya, sembari menagis sesegukan.
“It’s your fault! Kalo kamu gak nolongin aku semalam maka semuanya ngak bakal kaya gini. Now look, aku jadi gak bisa pulang ke Jakarta.” Wanita itu menyapu air mata yang jatuh ke pipinya.
“istighfar Mba. Jika saya gak nolong Mba semalam maka Mba akan terjebak dalam mobil yang hampir meledak itu. Lagian kita gak boleh menyalahkan apa yang sudah terjadi. Mungkin ini sudah menjadi qada dan qadarnya Allah, kita harus menerimanya dengan ikhlas.” Jawab Syamir.
“Nerima kamu bilang? Kamu ngerti gak sih? Sekarang masa depan kita hancur! Kamu udah diusir dari desamu dan aku sekarang terpaksa terikat status perkawinan sama kamu. Gimana perasaan pacar aku kalo dia tahu soal hal ini? arrrghh!” wanita itu marah-marah pada Syamir.
“Maaf jika saya yang menyebabkan segala kesulitan Mba, saya juga bersalah dalam hal ini. Sekarang saya akan menerima hukumannya, saya akan tanggung jawab. Saya akan antarkan Mba pulang ke Jakarta setelah itu saya akan menceraikan Mba. Saya mengerti jika Mba tidak menginginkan pernikahan ini terjadi, begitupun saya. Jadi saya akan lepaskan Mba jika Mba sudah bersama keluarga Mba kembali. Saya harap keluarga Mba dapat memahami dan menerimanya.” Ucap Syamir.
“Gak usah bawa aku ke Jakarta. Aku juga punya Villa kok deket sini. Kamu anterin aja aku pulang ke sana habis itu kita selesaikan semua ini. Oh ya, one more thing. Kamu gak usah panggil aku dengan sebutan Mba, lagian aku masih muda. Just call me Sya okay?” jelas wanita itu.
“Baik Sya, kamu juga panggil saya Syam saja ya. Semua warga desa memanggil saya seperti itu. Kalau begitu mari kita lanjutkan perjalanan kita.” Ajak Syamir.
“Jalan kaki lagi? Engga-engga! I’m tired. Emang gaada transportasi umum atau apa kek? Masa kita harus jalan terus sampai ke Villa? Besok sore kali baru nyampe.”
“Habis mau bagaimana lagi? Di sini gak ada angkutan umum. Warga desa biasanya pake sepeda atau kendaraan pribadi kalau mau keluar desa. Kalau Sya mau tidak capek maka kita tunggu mobil yang lewat, itu pun bisa lama sekali. Takutnya malah keburu gelap, apalagi kita dikelilingi oleh hutan, takut ada binatang buas.”
“Iiih, you just make me scary now. Tapi aku benar-benar udah capek. Istirahat dulu ya?” rengek Syahira.
“Ya sudah. Lagian sebentar lagi sudah mau dzuhur, kita sekalian shalat saja ya.”
“Shalat? Astaga, udah lama banget aku gak shalat. Kamu aja deh, lagian semalem aku abis mabuk, pasti gak diterima kan shalatnya?”
“Astagfirullah. Sya, tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan shalat. Bahkan ketika kamu habis mabuk sekalipun kamu tetap wajib shalat. Ya, mungkin kamu tidak akan medapatkan pahala shalat selama 40 hari karena perbuatan mabukmu tetapi itu tidak menggugurkan kewajiban shalatmu. Kamu tetap harus shalat Sya.”
“Emm, tapi aku udah lama gak shalat jadi udah lupa bacaanya. Lagian aku gak bawa mukena, jangankan mukena baju ganti aja aku gak bawa. Kan aku gak tahu kalau akan terjadi hal seperti ini.”
“Syam bawa mukena dan baju ganti buat Sya di kantong ini, ya sebetulnya ini punya si Mbok. Sya pakai ya. Untuk bacaan shalat nanti Syam yang bimbing.”
“arrghh, okay. But aku gak mau pake baju ibumu. Norak!”
“Tapi baju Sya kotor, Sya harus shalat dengan pakaian bersih untuk menyempurnakan shalat Sya.”
“okay Mr. Ustadz, whatever!”
Syamir dan Syahira lalu berhenti di sebuah gubuk kecil di pinggir jalan yang sudah lama tertinggal. Syam lalu mencari mata air di sekitar tempat itu untuk wudhu. Untungnya di bahu jalan itu terdapat parit yang mengalirkan air jernih. Syam lalu mengajak Syahira untuk mengambil air wudhu. Syahira yang lupa tata cara wudhu lalu di bimbing oleh Syamir untuk wudhu degan benar.
“Mudah kan Sya?”
“Mudah menurutmu. Tapi air ini benar-benar aman kan? Aku Cuma takut aja gak steril.”
“Insya Allah air parit ini bersih. Air ini berasal dari kaki gunung yang dialirkan ke desa. Air ini bersih karena berasal dari mata air di gunung langsung dan tak tercemari oleh limbah apapun.”
“oh, baguslah.”
Syamir lalu memimpin Syahira shalat dzuhur. Dengan lantunan bacaan yang merdu dan suara yang sedikit ditinggikan Syamir membimbing bacaan shalat Syahira. Syahira mengikuti setiap bacaan dan gerakan shalat Syamir dengan tertib. Selesai shalat Syamir lalu membaca doa dan diaminkan oleh Syahira. Bisa dibilang itu adalah kali pertama Syamir dan Syahira shalat sebagai pasangan suami istri. Syamir lalu mengulurkan tangannya, Syahira terlihat kebingungan.
“What?” Syahira tampak heran.
“Selepas shalat, Sya harus mencium tangan Syam. Ini sebagai bentuk hormat Sya kepada Syam. Syam kan sekarang suami Sya.” Jelas Syamir sembari masih mengulurkan tangannya.
“Harus banget gitu?” Syahira tampaknya sedikit enggan.
“Iya Sya.”
Syahira pun pada akhirnya menuruti perintah Syamir. Mereka pun mengemasi kembali barang mereka setelah selesai shalat.
“Sya, kamu lebih cantik jika menggunakan pakaian itu.” Syamir dengan spontan memuji penampilan Syahira.
“Cantik apaan? Baju apa sih ini? kuno banget.”
“Itu gamis Sya. Kamu lebih cocok menggunakan pakaian seperti itu daripada pakaianmu yang sebelumnya.”
“I know kalo ini gamis. Cuman modelnya gak banget deh. Kamu buta atau gimana sih? Masa pakaian jadul kaya gini dibilang lebih bagus dari pada gaunku?”
“Gamis itu rapih dan lebih tertutup dibanding baju gaunmu yang sebelumnya. Karena sekarang saya suamimu saya punya kewajiban untuk mengingatkanmu pasal auratmu Sya.”
“Eh, inget ya! Aku terpaksa menikah denganmu. Lagi pula kita akan berpisah sebentar lagi, jadi gak usah sok-sok an mau ngatur hidup aku. Atur aja hidup kamu sendiri.”
“Astagfirullah, istigfar Sya.”
“Ah, udahlah. Aku malas berdebat dengan kamu. Kita mau lanjutin perjalanannya atau enggak sih? Malah banyak omong.”
Syamir hanya bisa mengelus dada, Syahira wanita yang ada di hadapannya ini sangatlah berbeda jauh dari Zulaikha. Tetapi sudah nasib Syamir untuk bersama dengan Syahira saat ini. Bagaimana dengan Zulaikha? apakah ia akan meninggalkan dan melupakan Syamir setelah apa yang sudah terjadi pada Syamir? Syamir hanya bisa bersabar dan mencoba mengikhlaskan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Syamir dan Syahira lalu melanjutkan perjalanan mereka. Hari sudah mulai sore, tapi Villa itu masih jauh. Belum lagi seharian ini mereka belum makan ataupun minum. Syahira kini mulai terlihat lemas. Jalannya semakin memelan.
“Sya, kita istirahat sebentar ya. Nampaknya Sya kelelahan.” Syamir lalu mengajak Syahira untuk duduk di sebuah batu besar.
“Minum dulu Sya.” Syamir lalu mengeluarkan botol minumnya yang tinggal terisi setengah.
“Sya, kaki kamu kenapa?” Syamir kaget saat melihat kaki Syahira yang memar.
“Ini gara-gara heels yang aku pake. Nyesel deh aku pake heels kalo ujung-ujungnya bakal kayak gini.” Syahira lalu melepaskan heelsnya.
“Ya sudah, pakai sendal Syam saja ya. Nih!” Syamir lalu melepaskan sendalnya dan memberikannya pada Syahira. Syahira lalu menerimanya.
“Gak papa nih? Terus kamu pake apa dong?”
“Alah, saya sudah terbiasa jalan tanpa sendal kok.”
Syahira menatap Syamir untuk beberapa saat, dalam hati Syahira ia merasa terharu atas perbuatan Syamir. Jarang sekali ada pria yang seperti itu.
Saat di jalan Syamir tak sengaja menginjak sebuah pecahan kaca. Telapak kakinya mengeluarkan darah yang lumayan banyak. Syamir lalu menghentikan langkahnya. Ia meringis kesakitan saat mengeluarkan pecahan kaca itu dari kakinya. Syahira nampak tak tega melihat Syamir yang terluka. Ia lalu mengeluarkan salah satu baju dari dalam tas dan merobeknya. Kain robekan baju itu lalu digunakan untuk melilitkan kaki Syamir yang terluka. Syahira tampak lihai dalam membalut luka Syamir.
“Kamu bisa kehilangan banyak darah jika dibiarkan terus begini. Wait, karena ini di hutan harusnya ada tanaman liar yang bisa mengobati lukamu. Aku akan mencarinya. Kamu tunggu di sini ya.” Syahira lalu mencari tanaman herbal yang tumbuh liar di sekitar tempatnya kini. Ia akhirnya menemukannya, ia lalu memetik daunnya beberapa lembar.
Syahira lalu melumatkan daun itu dan mengoleskannya pada luka Syamir. Akhirnya pendarahan di luka Syamir pun berhenti.
“Terima kasih Sya. Kau tampak ahli dalam mengobati.” Ucap Syamir.
“No problem, lagi pula kamu sudah meminjamkan sendalmu untukku. Jadi anggap saja ini sebagai balas budi.”
Syamir lalu tertawa saat mendengar jawaban dari Syahira.
Mereka lalu melanjutkan perjalanannya lagi. Akhirnya setelah jalan kaki yang cukup jauh mereka pun berhasil keluar dari hutan. Mulai nampak beberapa rumah yang berada di pinggir jalan. Syamir lalu memutuskan untuk berhenti di salah satu warung di pinggir jalan untuk membeli beberapa makanan. Untungnya saat pergi si Mbok telah mengemasi barang-barang yang Syamir perlukan dan beberapa lembar uang saku. Setidaknya cukup untuk beberapa hari ke depan.
“Ini, makanlah.” Syamir menyodorkan sebungkus roti pada Syahira.
“Thanks.”
Mereka pun mengisi perut mereka yang telah kosong sejak pagi tadi.
“Biasanya akan ada ojek yang lewat sini. Kita tunggu saja di sini ya. Pasti sebentar lagi datang.”
Tak lama ojek pun datang. Ternyata warung itu juga adalah pangkalan bagi beberapa ojek di sekitar sini. Syamir dan Syahira lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan menaiki ojek. Jarak dari warung itu ke Villa milik Syahira tidak terlalu jauh jadi sebelum matahari terbenam mereka telah tiba di sana. Syahira begitu gembira saat sampai di Villanya. Akhirnya ia bisa kembali ke kehidupan semulanya setelah ia tersesat jauh ke desa terpencil itu. Tetapi Syamir merasa sebaliknya, kini ia akan berpisah dengan Syahira di sini. Entah kenapa Syamir merasa berat hati saat harus berpisah dengan Syahira. Pernikahan mereka hanya bertahan sehari. Syamir harus menalak Syahira segera. Syamir juga bingung kemana ia akan pergi setelah ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!