Semua orang di desa Deast kaget ketika sosok yang begitu dihormati karena kebaikannya, Nenek Dhania, membawa bayi yang ditemukan di tempat pembuangan sampah dan akan diasuh serta dianggap seperti cucunya sendiri. Bayi itu diberi nama Nafisa.
Orang-orang di desa itu menganggap Nafisa anak haram, pasti ibunya atau ayahnya yang membuangnya di tempat pembuangan sampah. Mereka khawatir kelak Nafisa akan merepotkan Dhania dan menjadi durhaka. Wataknya pasti tidak jauh dengan orang tuanya yang diduga punya kelakuan sangat buruk karena tega sampai membuang anak sendiri. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Nafisa tumbuh menjadi anak yang baik hati.
Semua orang menyukai Nafisa bahkan beberapa anak sampai iri dengannya karena orang tuanya selalu membandingkan mereka dengan Nafisa yang rajin. Keluarga yang terdiri dari Nafisa dan nenek nya ini yang sering kekurangan menjadi tidak pernah kekurangan sebab para tetangga selalu bergantian mengirimkan makanan. Nafisa yang sering membantu pekerjaan para tetangganya selalu diberi uang.
Terutama tetangga sebelah keluarga kecil ini persis, Venan yang kaya raya. Bahkan dia dinobatkan sebagai orang terkaya di kota itu. Dia tinggal di desa yang tenang ini semata-mata untuk menjauhi hiruk pikuk kota. Karena dia bertetangga sangat dekat dengan Dhania, maka dia menganggap Dhania seperti ibunya sendiri dan Nafisa dianggap seperti anak sendiri. Dia selalu memberikan anak itu banyak uang dan barang-barang mewah. Dhania justru tidak menyukai nya, dia takut Nafisa akan berubah menjadi anak yang sombong dan gila harta. Oleh karena itu, Venan menjadi memberikannya diam-diam.
Namun sebenarnya Nafisa tidaklah seperti yang mereka pikirkan.
Ketika tidak ada orang yang melihatnya, dia akan bergumam mengenai diri sendiri.
Dia sebenarnya adalah anak yang sangat menggilai permainan online. Dia selalu tidur pukul satu atau dua dini hari hanya untuk menghabiskan waktu bermain game secara diam-diam di ruang tamu karena neneknya jelas sangat membenci hal itu. Bagi neneknya, bermain game tidak lain adalah membuang-buang waktu dan dia sangat membencinya.
Alasan kenapa Nafisa gila pada game bermula dari main ke rumah ayah angkatnya dan melihat anaknya yang bernama Raven bermain. Lalu ketika tidak ada Raven, dia menggantikannya bermain. Di luar dugaan ternyata dia sangat jago. Raven kaget saat pulang gamenya sudah naik ke level yang sangat tinggi.
Lalu Nafisa diam-diam meminta dibelikan game pada ayah angkatnya.Tentu saja langsung dibelikan. Tapi Nafisa memintanya untuk tidak memberitahunya kepada siapapun mengenai permintaannya itu.
Alasan lainnya adalah karena kehidupan Nafisa di sekolah yang sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan di rumahnya.
Di sekolah, Nafisa sering dihina oleh teman-temannya karena wajahnya yang jelek. Di sisi lain, dia adalah murid terbaik karena semua nilanya tinggi tidak ada yang rendah. Hal ini justru semakin membuatnya dibenci. Dia dikatai cucu nenek sihir karena selalu bisa mengerjakan soal tanpa salah sama sekali. Pasti dia menggunakan semacam kekuatan ghaib. Akibatnya, dia depresi dan bosan sekolah. Tapi demi menjaga citra baiknya di hadapan orang-orang, dia harus tetap sekolah. Maka dia beralih pada game untuk melampiaskan kebosanannya.
"Belum ada yang bisa mengalahkanku ternyata, namaku terus berada di urutan pertama," gumamnya sambil memandangi nama 'KING' dalam daftar pemain terbaik. Dia merasa bangga.
Nafisa sering menyebarkan video permainannya ke internet dan mendapat julukan 'raja'. Dia mendapatkan banyak sekali hadiah, uang, dan kritikan. Banyak yang mengaguminya karena permainannya yang luar biasa tapi banyak juga yang mencurigainya karena curang.
Tapi dia tidak pernah mengambil apa yang diberikan orang-orang itu. Terutama uang.
"Nafisa, kamu belum tidur?"
Nafisa kaget setengah mati melihat kemunculan neneknya dari pintu ruang tengah sambil mengucek matanya. Dia refleks menyembunyikan ponselnya ke belakang. Untung saja dia sudah selesai bermain sehingga tidak akan mempengaruhi perhitungan kemenangannya.
"Ya nek ini mau tidur habis belajar," jawab Nafisa.
Dia mendekati neneknya kemudian menuntunnya ke dalam kamar.
Nafisa sangat menyayangi neneknya. Dia akan melakukan apapun demi neneknya tapi mungkin kecuali satu hal, dia tidak bisa berhenti bermain game.
Beberapa Minggu berlalu Nafisa menjalani harinya seperti biasa. Tapi akhir-akhir ini kondisi badannya memburuk mungkin karena sering begadang.
Dia sampai jatuh sakit dan pingsan di tengah jalan sepulang sekolah tapi hanya selama beberapa detik. Dia bersyukur tidak ada yang menolongnya.
Untuk menjaga kesehatannya karena sering begadang, Nafisa mengkonsumsi obat pereda rasa sakit buat badannya yang pegal yang dibelinya dari apotek dan obat pusing karena kepalanya yang sering pusing. Jika neneknya tahu hal ini, dia pasti akan dimarahi besar-besaran.
Kantung matanya sudah terlihat sangat jelas sampai ada banyak yang menghinanya.
Dia semakin gila pada game, selalu begadang bahkan tidak tidur sampai dua atau tiga hari, sering ketiduran di sekolah dan bangun-bangun wajahnya sudah penuh coretan spidol permanen oleh anak-anak lain, mendapat hinaan semakin parah, dan kehidupannya menjadi semakin tidak tentu arah. Meski di rumah dia harus mati-matian bersikap seperti biasanya yaitu menjadi anak yang suka menolong pekerjaan tetangga dan neneknya.
Sampai suatu hari, game favorit Nafisa mendadak hilang tanpa alasan yang jelas.
Nafisa langsung menangis dan galau luar biasa. Dia seperti kehilangan seseorang yang sangat berharga baginya. Dia berkeliling di pusat kota selama berjam-jam hanya demi memastikan game favoritnya yang sudah dianggapnya seperti teman hidupnya itu tidak benar-benar hilang. Tapi kenyataan sangat menamparnya.
Sejak saat itu, Nafisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia tidak lagi mendekati komputernya bahkan menutupnya dan berencana akan mengembalikannya pada Paman Venan. Dia juga menjual ponselnya. Sekarang dia tidak memiliki apapun.
Dia kembali pada kehidupannya sebelum mengenal game. Tidak lagi begadang, merawat tanaman dan diri sendiri lebih baik lagi, membantu neneknya membuat pakaian-pakaian yang indah, membantu para tetangganya. Seharian digunakan untuk bekerja keras melakukan hal-hal positif. Jika di sekolah, dia sedikit malas dan berusaha kuat mental menghadapi hinaan teman-temannya.
Aku tidak akan bermain game lagi. Dia berjanji pada dirinya sendiri. Dia akan menjalani hidupnya untuk membahagiakan orang lain sebisanya dan bersantai menikmati pemandangan sekitar.
"Nafisa kamu mau nggak menikah sama anak tante?" tanya seorang penjual roti sambil mengacak-acak rambut pendek Nafisa.
Nafisa hanya tersenyum dan tersipu. Tiba-tiba dia mendengar suara 'click click click' di depannya. Tapi tidak ada apapun.
Tiba-tiba sebuah layar berwarna biru kehitaman dengan tulisan [SELAMAT ANDA TERPILIH MENJADI PEMAIN TERBAIK] berada di depan perut Nafisa. Kedua mata gadis itu langsung membulat sempurna.
Mungkin karena sangat sedih akibat kehilangan game favoritnya, Nafisa merasa berhalusinasi. Ketika layar itu menghilang, dia kembali tenang meskipun tidak bisa. Tapi dia percaya diri bahwa apa yang dia lihat tadi tidak nyata.
"Kalau begitu pulang dulu ya tante," kata Nafisa ramah.
Sebenarnya akhir-akhir ini sedang ramai berita mengenai game baru bernama Aethfire. Nafisa tidak peduli. Anak-anak di sekolahnya selalu membicarakannya setiap hari. Dia sampai menutup telinganya karena tidak ingin mendengarkan. Dia akan menjauhi segalanya yang berkaitan dengan permainan. Tapi karena saking ramainya akhirnya dia sampai mendengarnya juga, bahkan di televisi juga disiarkan. Katanya, game ini akan beroperasi di dunia nyata jadi para pemainnya bakal merasakan sensasi langsung berpedang, menyihir, memanah, dan lain sebagainya. Dia tidak menyukainya dan tidak akan pernah mempedulikannya.
Dia akan hidup seperti biasanya. Sekolah, bekerja membantu nenek dan tetangganya, tidur yang cukup, makan dengan baik, dan menyirami tanaman.
[SELAMAT DATANG DI ERA PARA PEMAIN]
Nafisa berhenti berjalan ketika layar itu muncul lagi di depannya. Kali ini sangat besar dan lebar. Dia juga mendengarkan suara yang sama di kejauhan sana, seperti di pusat kota.
[UNTUK PARA PEMAIN TERBAIK KAMI SUDAH MENYEDIAKAN HADIAH YANG SANGAT SPESIAL.]
[MONSTER LVL 200 TERDETEKSI AKAN MUNCUL DI SEKITAR ANDA!]
Nafisa langsung berlari ke rumahnya sambil sesekali memejamkan matanya. Dia yakin penglihatannya sedang bermasalah. Mungkin karena dia kecanduan game. Sungguh, dia tidak akan bermain lagi jika akibatnya sampai separah ini. Dia ingin bertobat.
[SELAMAT! ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN TIM THE 13 KING DAN MENJADI BOS! TERUSLAH MENGALAHKAN MONSTER UNTUK MENAIKKAN RANGKING TIM ANDA!]
Nafisa tidak habis pikir layar aneh ini terus muncul di hadapannya. Padahal dia sudah masuk rumah dan menutup pintu. Keringatnya mulai keluar banyak. Tiba-tiba dia mendengarkan keramaian di jalan depan rumahnya. Ketika dia mengintip, suasana di sana berubah seratus delapan puluh derajat. Ada kristal besar dan cukup aneh melayang di udara di hadapan banyak orang. Beberapa dari mereka membawa senjata dan tongkat. Dia pasti sedang bermimpi. Pemandangan itu mirip di gamenya di ponsel tapi ini dunia nyata.
Dia jadi teringat soal game baru itu yang kemungkinan besar akan menyebabkan ketakutan dan kecemasan, tapi untuk para pemain justru menjadi sebuah kebahagiaan.
Penglihatannya pasti semakin bermasalah. Nafisa tidak mau mempercayainya.
[MONSTER MUNCUL DALAM LIMA DETIK DI TITIK YANG SUDAH DITENTUKAN!]
BOOOMMMM!!!!!
Nafisa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kristal itu membentuk portal kemudian berubah menjadi monster raksasa berwujud mengerikan.
"APA INI? LEVEL 200? APAKAH ADA PEMAIN TERBAIK DISINI?"
Seorang remaja laki-laki dari sedikit kejauhan dengan jubah panjangnya berjalan santai menuju monster.
Nafisa yakin, apa yang ada di depan rumahnya sekarang adalah halusinasinya. Jadi dia memutuskan tidur siang di kamarnya dan menenangkan diri. Dia berharap setelah bangun nanti, semuanya kembali normal.
Orang-orang mulai ketakutan dan putus asa. Kemunculan Game Aethfire bukannya dianggap sebagai sesuatu yang perlu di apresiasi justru dianggap sebagai bencana besar yang harus dihilangkan sekarang juga. Nafisa setuju. Untung saja banyak yang menentang kemunculan game ini. Dia berharap game ini segera menghilang dan tidak akan kembali lagi.
Setelah bangun tidur, keadaan juga tidak berubah. Kekacauan justru ada di mana-mana, para pemain tampak lebih bersemangat dalam berburu monster. Nafisa mau tidak mau pasrah menerima keadaan ini. Dia menontonnya di televisi bahwa saluran utamanya berada di pusat kota yaitu menara hitam yang baru dibangun itu. Singkirkan dulu mengenai game aethfire, masalah terbesarnya, kenapa dia menjadi pemain terbaik nomor satu di game baru ini?
Dia tidak pernah mendaftar, mendapatkan undangan, kartu pemain, atau semacamnya dari pihak game. Lantas kenapa dia jadi ikut sebagai pemain? Semua alat digitalnya sudah dimatikan. Tidak ada apapun yang bisa menghubungkannya dengan dunia game lagi. Ini pasti ada kesalahan.
“Dunia semakin mengerikan,” kata Dhania sambil membawa segelas air minum. Suaranya persis sekali dengan ringisan seorang nenek tua yang sedang dalam kondisi terdesak.
Nafisa menjadi terdiam. Jika neneknya sudah bilang begitu, maka mau tidak mau dia harus mencari informasi mengenai akibat game ini pada orang-orang sekitar yang bukan pemain. Takutnya neneknya sampai terjadi sesuatu.
“Kamu jangan pernah ikut-ikutan itu Nafisa!” titah Dhania.
“Tentu saja nek, nggak akan pernah,” jawab Nafisa. Pokoknya neneknya tidak boleh sampai tahu bahwa dia sebenarnya malah jadi pemain nomor satu.
Nafisa mendekati neneknya lalu duduk di sampingnya dan mulai menempelkan kristal-kristal pada gaun lengan pendek berwarna merah muda.
Pakaian-pakaian yang dibuat oleh nenek dan cucunya ini sangat cantik. Para tetangganya sampai berebutan membelinya. Nafisa juga menyukainya, dia merasa menjadi seorang putri ketika mengenakannya. Sayangnya, fisiknya tidak mendukungnya terutama wajahnya yang ada beberapa jerawat dan sedikit hitam.
Nafisa sebenarnya sudah meneliti bagaimana cara menjadi cantik. Tapi dia belum punya rencana buat merawat diri secara serius. Dia merasa nyaman dengan dirinya yang sekarang.
Dia kembali memikirkan kejadian beberapa saat lalu ketika sedang membeli roti. Tampaknya si penjual roti tidak melihat layar di depannya. Dia menghela nafas, sepertinya kali ini dia harus mencari informasi sebanyak mungkin.
Lalu ketika dia mulai tidur, terjadi pertarungan para pemain dengan monster level 200 di depan rumahnya dan sepertinya monster tersebut tidak dapat dikalahkan. Suaranya sangat berisik sampai dia harus menutup kedua telinganya dengan bantal.
Selesai menjahit, seperti biasa Nafisa akan menyirami tanaman. Dia sangat menyukai tanamannya dan selalu merawatnya dengan baik.
“Tumbuhlah kalian anak-anakku,” kata Nafisa sambil menyirami tanamannya.
Tiba-tiba layar biru keputihan muncul di hadapannya dan menampilkan deretan teks dari nama-nama yang berbeda. Ini adalah percakapan tim.
The 13 King, sungguh nama yang tidak patut menurutnya. Hanya karena anggotanya berjumlah 13 jadi nama timnya menggunakan angka 13. Mungkin mereka malas memikirkan nama jadi mengambil keputusan ini saja.
Tapi 13 King, dimana KING artinya raja. Padahal yang raja hanya dia seorang. Nafisa yakin seluruh pemain dalam tim ini selain dirinya pasti tidak jago bermain dan cuma bisa menjadi beban.
“Apa yang kupikirkan, aku sudah tobat dan nggak akan sombong lagi,” kata Nafisa di dalam hati.
Persetan mau tim atau pemain lain, dia tidak akan pernah berurusan dengan hal-hal yang berkaitan dengan permainan lagi.
Dulu, ketika masih bermain game, Nafisa tidak pernah mau membuat tim atau bergabung dengan tim. Dia mendapatkan banyak sekali undangan untuk bergabung dengan tim para pemain profesional yang biasa bermain di pusat kota dan ditayangkan di televisi tapi dia selalu menolak. Menurutnya, lebih keren jika menjadi pemain solo. Tapi karena selalu menolak, jadi banyak yang berspekulasi bahwa dia sebenarnya bukan manusia melainkan robot. Tidak mungkin ada pemain yang tidak pernah kalah bahkan menjadi nomor satu dari 0 tanpa kekalahan sama sekali jelas itu sangat sulit dipercaya. Tapi dia melakukannya tanpa masalah.
Mereka tidak tahu bahwa Nafisa jenius. Dia bahkan selalu mendapatkan rangking satu dari Tk sampai SMA.
Nafisa cukup tahu diri berasal dari keluarga kurang mampu seharusnya dia lebih punya semangat tinggi dibandingkan anak-anak lain. Ketika anak-anak lain minum banyak susu, dia minum air bening. Ketika anak-anak lain bermain, dia membaca buku. Ketika gadis-gadis lain berdandan, dia membaca buku. Dia hobi membaca sampai kepalanya sering pusing. Pokoknya dia harus memiliki haus ingin tahu yang mengerikan supaya dirinya selalu tergerak untuk belajar dan belajar. Usahanya tidak mengkhianati hasil.
[Alvin: King sudah diangkat jadi leader tapi tetap aja nggak ada satupun monster yang dikalahkan. Dia lagi bercanda apa bagaimana?]
[Gasa: Mungkin dia lelah]
[Erash: Dia kan sudah pensiun]
[Rei: Persiapan berpesta di pusat kota, rencana menuju Kota Aeven]
Nafisa menyipitkan matanya ketika membaca pesan-pesan dari anggota timnya. Dia langsung menggeser layar dan seketika layarnya hilang. Semakin dilihat semakin kesal.
“NGGAK AKAN PERNAH BERMAIN GAME LAGI!” teriak Nafisa di dalam hati.
Entah kenapa, semakin sering orang-orang membicarakannya, semakin kuat tekadnya supaya tidak menyentuh permainan.
Pokoknya dia akan menjalani hidup santai.
Selesai menyirami tanaman, Nafisa memutuskan ke rumah orang tua angkatnya untuk bermain dengan Tsamara. Venan dan istrinya, Rania memiliki dua anak. Pertama, Raven dan kedua, Tsamara. Tsamara masih berusia empat tahun.
Nafisa sangat menyukai Tsamara. Anak itu putih, matanya lebar dan berwarna hitam, bibirnya mungil, intinya dia sangat imut dan cantik. Dibandingkan dirinya, Tsamaralah yang lebih pantas jadi seorang putri. Masih kecil saja cantiknya sampai membuat orang luluh, apalagi jika sudah besar. Saking sukanya dia pada anak ini, dia sampai mengoleksi fotonya. Mulai dari bermain slime, mandi bola, dan masih banyak lagi.
Sepanjang perjalanan ke rumah Tsamara, Nafisa tidak berhenti tersenyum.
Namun senyumnya langsung hilang, kakinya berhenti, dan tubuhnya mendadak kaku seperti batu. Di samping mobil, terlihat anak pertama Venan, Raven sedang bermain pedang. Yang jadi masalah, pedangnya diselimuti sesuatu seperti api hitam kemerahan mirip warna darah. Jelas pemandangan itu susah diterima menggunakan akal sehat. Tapi Nafisa cepat tangkap, dia tahu apa yang sedang dilakukan tetangganya itu.
Nafisa langsung mundur dan bersembunyi di balik tembok sebelum ketahuan Raven. Keringat nya bercucuran. Perasaannya sama seperti pertama kali mendapat layar aneh di depan badannya. Tidak heran jika Raven menjadi pemain game Aethfire, dia kan juga sangat menggilai game.
“Hah? Ada pemain terbaik di sekitar sini? Jaraknya sangat dekat denganku?”
Nafisa yang mendengar kalimat itu keluar dari mulut Raven langsung membulatkan kedua matanya sempurna. Dia langsung berlari kecil ke rumah, berdo’a supaya langkah kakinya tidak menimbulkan suara.
Akhirnya sampai juga. Dia langsung membanting badannya ke kursi. Melelahkan sekali. Padahal cuma menyaksikan Raven bermain pedang tapi rasanya seperti habis lari puluhan kilometer.
Gawat!
Nafisa menggeser tangannya ke depan, seketika layar kebiruan muncul di hadapannya. Jika tidak dihentikan sekarang, maka hidupnya seperti buronan. Dia tidak akan pernah tenang dan akan selalu terlibat masalah.
Cara pertama adalah berhenti menjadi pemain.
Dia memencet banyak tombol dan mencari-carinya di layar. Setelah menemukannya, dia tersenyum bahagia, tapi saat dipencet...
[MAAF, SAAT INI KAMI TIDAK DAPAT MENJALANKAN OPERASI INI. MEMBUTUHKAN WAKTU SEKITAR DUA ATAU TIGA TAHUN UNTUK MENGOPERASIKANNYA. ITUPUN JIKA KAMI MAMPU!]
Hah?
Sangat tidak masuk akal sekali. Dia bisa berhenti menjadi pemain setelah tiga tahun berlalu?
Nafisa tidak menyerah. Akhirnya dia menemukan pilihan lain. Yang satu ini harus berhasil.
[SEMBUNYIKAN IDENTITAS PEMAIN]
Click.
[SELAMAT, IDENTITAS ANDA SEBAGAI PEMAIN NOMOR SATU TELAH DISEMBUNYIKAN. PEMAIN LAIN TIDAK DAPAT MENGETAHUINYA KECUALI ANGGOTA DARI TIM ANDA!}
Nafisa menghela nafas lega. Setidaknya ini lebih baik, dia hanya tinggal keluar dari tim The 13 King dan selesai.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah banyak sekali kekacauan. Dimulai dari jalanan di desanya lalu jalan besar yang biasanya ramai oleh kendaraan justru menjadi sepi karena digunakan untuk pertarungan alias perburuan monster. Para pemain menjadi lebih bersemangat mengalahkan monster sebanyak-banyaknya karena ada tambahan hadiah yaitu permata. Katanya permata ini bisa ditukar dengan barang-barang mahal dan mewah. Meskipun punya impian menjadi orang kaya, Nafisa tetap tidak tertarik pada hal seperti itu. Akhirnya dia memutuskan untuk ke sekolah lewat sawah, pinggir danau, dan rerumputan. Dia menyanyikan lagu kanak-kanak sepanjang melangkah.
Sayangnya ketika dia akan sampai di sekolah, dia melihat beberapa anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolahnya sedang berjongkok, berdiri, dan ada yang merokok. Sebenarnya alasan kenapa dia tidak lagi lewat jalanan sepi ini adalah karena pemandangan di depannya itu.
Nafisa terpaksa harus memanjat dinding. Hari itu adalah pertama kali dia melakukannya dan telat. Memanjat dinding sangat melelahkan, sulit, dan membuat kakinya pegal.
“WOY!”
Nafisa melirik sekilas pada anak yang tampaknya meneriakinya. Dia tidak peduli sama sekali dan menganggap bahwa anak itu bukan berteriak padanya. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke dinding belakang sekolah.
“Semoga aman,” batin Nafisa.
Dia cemas jika identitas pemainnya sampai terbongkar.
Tapi baru saja memegang tembok atas, terdengar suara ledakan dibelakangnya. Dia sampai kaget setengah mati.
BOOOMMMM!
Kedua matanya membulat sempurna saat menengok ke belakang. Seekor monster berbentuk mirip katak dan berwarna hijau kehitaman dengan lidah yang panjang dan aneh, kedua mata melotot dan sangat besar membuatnya langsung jantungan. Sungguh, memandangnya saja dia sudah gemetaran apalagi sampai monster itu mendekatinya. Parahnya, mata monster itu tampak tertuju padanya.
Untuk pertama kalinya, Nafisa ingin pingsan.
Dia melepaskan pegangan padan tembok lalu berlari ke samping dengan jantung berdebar-debar tidak karuan. Lalu dia mendengar suara yang sangat berisik ke tanah. Dia merasa monster menjjijikan itu mengejarnya. Dan...ternyata benar, monster itu sedang berlari mengejarnya.
“NENEK!” teriak Nafisa di dalam hati. Tanpa sadar, air matanya menetes.
CRASSSHHHHHH!
Nafisa berhenti berlari ketika mendengar suara pedang. Ketika dia menoleh ke belakang, pemandangan justru berubah. Bukan lagi monster menjijikan melainkan seorang anak dengan seragam sepertinya sedang menatapnya dingin sambil memegang sebuah pedang berwarna biru kehitaman yang diselimuti asap biru.
“Lemah!” katanya sebelum anak laki-laki itu meninggalkan Nafisa yang mematung dan sedang menenangkan diri.
Nafisa geram. Lemah katanya? Andaikan dia tidak menyembunyikan identitas pemainnya apakah anak itu akan terkagum-kagum?
Anak-anak yang nongkrong di dekat belakang sekolah tadi berlari ke tempat kejadian sambil membawa senjata masing-masing.
“Hey dimana monsternya?” tanya salah satu dari mereka pada Nafisa.
“Jangan-jangan kau yang mengalahkannya?”
Mendadak semuanya kaget dan pandangannya pada Nafisa berubah menjadi mengamatinya lebih serius.
“Bukan dia lah bodoh tapi aku!”
Seseorang berdiri di atas dinding sambil menyiilangkan kedua lengannya.
“Huh, sombong sekali mentang-mentang kau jadi pemain terbaik nomor 25.”
“Kalian sebaiknya nggak usah berniat menyerang monster level tinggi. Sakit baru tahu rasa.”
Setelah itu, anak yang berdiri di atas dinding pun melompat turun ke dalam sekolah. Terdengar dia tertawa.
Nafisa semakin geram. Meskipun dia diselamatkan oleh anak itu, tapi jelas anak itu tidak punya niatan menyelamatkannya. Tapi dia harus menahan diri demi tekadnya untuk hidup tanpa mencari masalah. Oleh karena itu, meski ingin sekali berbicara dan menyerang pemain terbaik nomor 25 itu, dia mati-matian untuk tidak mengeluarkan suara apapun.
Para anak laki-laki yang nongkrong itu memutuskan untuk kembali ke sekolah.
Nafisa menghela nafas lega. Syukurlah dia menyembunyikan identitas pemainnya. Jika tidak, dia pasti sudah terkenal bahkan sampai ke ujung kota.
Di sisi lain, dia jadi mendapat informasi bahwa monster bisa menyerang mereka yang bukan pemain. Tapi sepertinya mereka yang bukan pemain tidak bisa menyerang balik. Itu artinya para pemain bisa menjadi pahlawan di era ini dengan menyelamatkan mereka yang tidak bisa bertarung.
Nafisa menggerakkan tangannya ke depan dan seketika layar biru muncul di depannya.
Click.
[DAFTAR 100 PEMAIN TERBAIK]
Nomor satu masih dipegang oleh King. Padahal dia belum berburu monster sama sekali tapi kenapa skornya sangat tinggi bahkan ini berlebihan. Seolah-olah dia belum pernah mengalami kekalahan. Ada rumor mengatakan bahwa game Aethfire sebenarnya adalah versi terbaru dari game dark sky. Bagaiamanpun jika hal itu benar, Nafisa tetap tidak bisa menerimanya. Dia merasa bahwa kedua game ini sangat berbeda.
25 [Calixto]
“Jadi namanya Calixto dan dia berasal dari tim Viel.”
“Bukankah ini salah satu tim profesionl?” batin Nafisa.
Level monster yang baru saja dikalahkan adalah 170.
Tapi Calixto mengalahkannya dengan sangat mudah. Cukup satu tebasan.
Nafisa memutuskan untuk tidak masuk ke sekolah terlebih dulu dan mencari informasi lebih banyak mengenai dirinya di game aethfire.
Click.
[NAMA: KING]
[STATUS: RANK S]
[SENJATA UTAMA: SIHIR]
[POTENSI KEMAMPUAN: UNLIMITED]
[MANA: TIDAK TERBATAS]
“Skorku tinggi banget,” keluh Nafisa di dalam hati.
99+ adalah skor yang dimiliki Nafisa.
Skor adalah perhitungan untuk pembasmian monster. Nafisa sama sekali belum pernah berburu monster tapi kenapa skornya sudah setinggi ini? Bahkan game baru pun pemain nomor satu langsung diambil dirinya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan pihak game.
“Biarlah nggak usah ngapa-ngapain supaya skorku turun. Kalau bisa jadi pemain paling buruk di dunia,” batin Nafisa. Ekspresi wajahnya kembali semangat.
Akhirnya kakinya melangkah ke sekolah lewat gerbang depan. Anak-anak tadi sudah pergi sehingga membuatnya semakin senang dan bersemangat.
Begitu memasuki gerbang sekolah, ada banyak sekali anak-anak sibuk membicarakan mengenai Game Aethfire. Mereka menantikan monster yang akan muncul di lapangan sekolah ketika istirahat dan kabarnya monsternya sangat kuat dan memiliki beberapa serangan khusus.
Nafisa memutar bola matanya malas dan mempercepat langkah kakinya menuju kelas. Tapi di kelas keadaannya lebih parah lagi.
Hampir semuanya memegang senjata dan mengayunkan ke depan. Terlihat sedang berlatih atau mencoba senjata. Mereka tertawa dan tampak bersenang-senang. Nafisa sungguh tidak habis pikir padahal ini bencana besar, game ini seharusnya dihilangkan karena resikonya kemungkinan besar berbahaya tapi kenapa malah mereka menikmatinya?
Ada yang memegang tongkat, merapalkan mantra, menghunuskan pedang dan tombak, dan masih banyak lagi.
“Hey, bagaimana kalau aku menembak Nafisa?” tanya seorang gadis sambil mengerahkan sniper pinknya pada Nafisa.
Nafisa terkejut, menundukkan kepalanya, lalu berjalan cepat ke tempat duduknya. Tiba-tiba semua anak menertawakannya.
“Heh Nafisa, kamu nggak mungkin main game ini kan?”
Nafisa tidak menjawab justru mengeluarkan buku cerita fantasi yang sedang dibacanya selama beberapa hari ini. Dia berharap bisa menyelesaikannya hari ini juga.
“Jika sekolah sudah jadi begini, rasanya mau berhenti,” batin Nafisa yang tidak bisa fokus karena keberisikan anak-anak lain.
“Aku berharap guru mau menasehati mereka,” batinnya lagi.
Tidak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Semua anak berhenti bermain. Layar-layar biru di depan mereka menghilang.
Nafisa jadi mempelajari sesuatu. Jika pesan dari game tersebut bukan untuk pribadi, maka layar biru bisa terlihat oleh pemain lain. Kali ini dia harus berhati-hati.
“Selamat pagi anak-anakku? Semuanya bermain Game Aethfire ya?” tanya BU Raina selaku guru kimia.
“IYA BU!” teriak semuanya kecuali Nafisa.
“Ada yang nggak bu, Nafisa!” tunjuk seorang gadis yang selalu membuli Nafisa.
Nafisa biasa saja sebab apa yang akan dikatakan gadis itu akan menjadi keuntungannya. Semua anak akan menganggapnya bukan pemain dan dia tidak akan terlibat masalah.
“Eeh benarkah? Tanya Bu Rania.
Bu rania tampak aneh. Dia mengusap ke depan dan seketika layar biru muncul yang membuat Nafisa duduk tegak dan membulatkan kedua mata-matanya lebar-lebar.
“Semua anak di sini jadi pemain, termasuk Nafisa. Tapi kok...kamu nggak ada informasinya ya Nafisa?” tanya Bu Rania.
Semua anak menoleh pada Nafisa. Di sisi lain, badan gadis itu mulai gemetaran. Yang lebih dia tidak bisa percaya bukan tentang game ini melainkan Bu Rania yang juga bermain game Aethfire dan memiliki data pemain di kelas ini. Jangan-jangan pusatlah yang menyuruhnya untuk mengawasi para pemain? Mungkin karena game ini cukup berbahaya dan para pemain berpotensi menyebabkan kerusakan jadi mereka perlu diawasi?
Nafisa mulai paham dan menenangkan diri.
“Nggak mungkin dia pemain bu, kami saja nggak melihat tanda-tanda bahwa dia pemain!” seru seseorang.
Nafisa menyembunyikan senyumannya dan berkata di dalam hati, "Iya, ayo terus buat penjelasan begitu!”
“Iya bu, nggak mungkin itu pasti kesalahan!” sahut yang lain.
“Mungkin kali ya soalnya ibu juga nggak melihat dia pemain!” jawab Bu Rania.
“Sistem permainan ini dibuat oleh manusia kan bu? Jadi bisa saja ada kesalahan. Kenyataannya aku bukan pemain sama sekali,” jawab Nafisa santai.
“Terus kenapa kamu nggak ikut jadi pemain?”
Nafisa diam sejenak. “Bosan.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!