Pada sebuah kokpit salah satu maskapai.
"We called for clearance to push of Gate 12B at 20 mins past the hour and then we sat in the alleyway for 30 mins trying to get a taxi clearance as company aircraft was trying to get to our the gate and we were blocking them, another aircraft pushing also and it took us forever to taxi and basically I just took off my minimum fuel to try to get to my destination."
(Kami meminta izin untuk melaju ke gerbang 12B pada jam ini lebih 20 menit dan kemudian kami menunggu di lintasan parkir selama 30 menit mencoba untuk mendapatkan izin melintas sebagai perusahaan penerbangan kami berusaha untuk sampai ke gerbang dan pesawat kami malah memblok lintasan menuju gerbangnya, pesawat lain mencoba mengantri juga dan hal itu membawa kami menunggu lama untuk melintas dan pada dasarnya saya hanya punya bahan bakar minimum untuk mencoba sampai ke tujuan saya.)
"A 113 ok sorry about that, we were super busy at that time and there was no call that ever got through to the frequency. So I tried to reach out to you when I could but if you wanna call the tower, do you want a phone number? A 113,"
(Oke maaf untuk itu. Kami sangat sibuk pada saat itu dan tidak ada panggilan melalui frekuensi ini pada jam itu. Jadi saya mencoba untuk memberi tahu kamu ketika saya bisa mencapainya tetapi jika kamu ingin menghubungi tower, apakah kamu membutuhkan nomor telepon?)
"I presume LAX RAMP freq. shutdown," (Aku kira frekuensi LAX RAMP mati)
"Yeah they’re shut down." (Yea, frekuensinya mati)
"Woah, they didn’t tell us that..ok thanks a lot," (Woah, mereka tidak memberitahu kita masalah itu. Oke terimakasih banyak.)
"You would think they would tell you guys, huh?" (Kamu kira mereka akan memberi tahu kalian, hah?)
"Well you’d think so! But with the 2 people that we have in the back of the airplane, I guess they just really don’t care anymore," (Baiklah kamu kira begitu! Tapi dengan 2 orang yang kita punya di belakang pesawat, aku pikir mereka tidak peduli lagi)
"Yeah they’re shut down until further notice the ramp we’re gonna control it" (Frekuensi mereka mati sampai ada pemberitahuan lebih lanjut, The Ramp akan kita awasi)
"Wow thanks for letting us know," (Terimakasih banyak.)
"Cabin crew arm doors and cross-check," balas co-pilot yang duduk di damping pilot utama.
"Good afternoon ladies and gentlemen this is you captain James Mochtar speaking from the flight deck/ Welcome on board Airbus 380 flight A-113 Destination to Jakarta - Indonesia. Currently we are cruising at 10.000 feet or more less equals to 800 meters. Weather is cloudy up here, out side air temp shows 32 Degrees centigrade. Meanwhile in Jakarta weather is reported also cloudy with visibility of 20.000 KM and temperature on the ground is 36. We expect to arrive at 17.15 Local time, Finally on behalf of 1 hour and the entire crew member, we wish you all pleasant flight. Thank you for flying with us and have a good day," Suara kapten James selaku pilot utama memberikan Passenger Announcement.
Seperti itulah keseharian yang dilakukan oleh James Mochtar. Pilot penerbangan sipil di maskapai Nusantara Air. Sudah bertahun-tahun James mengemudi pesawat komersial seperti ini. Pria bertubuh tinggi itu memiliki jam terbang 110 jam setiap bulannya.
"Sepertinya Anda di fase yang prima, Capt?" puji co-pilot James yang berusia jauh di bawahnya.
"Ah ... sama saja, Yud!" sanggah James seperti kurang setuju jika Yudi menyebutkan hari ini ia tampak lebih bersemangat.
Dalam penerbangan Singapore- Jakarta ini, James dan Yudi menggunakannya moda auto pilot.
Pintu kokpit diketuk, dan masuklah salah satu pramugari cantik yang menawari mereka minum.
"Mau minum apa, Capt? Pak Yud?"
"Aku americano, Yas!"
"Samaan deh, aku juga mau kaya Capt," Yudi menginginkan hal yang sama dengan James sang senior yang selalu di jadikannya panutan.
"Oke ... tunggu, ya?" Si Pramugari keluar dan menyiapkan minuman yang dipesan oleh dua orang yang berada di kokpit.
**
Tanpa diduga sebelumnya, sebuah gumpalan awan tampak di depan. James dan Yudi sontak meningkatkan kewaspadaan. Segera saja, Yudi mengabarkan pada awak kabin agar mereka segera mempersiapkan diri dan para penumpang jika terjadi turbulensi dalam pesawat.
"Apa kita harus menunggu awan itu bergerak, Capt?"
"Bahan bakar? Apa kita bisa menunda beberapa menit saja pendaratan kita?" James balik bertanya.
Pramugari mengabarkan pada para penumpang agar mengencangkan sabuk pengaman mereka agar penumpang lebih aman jika terjadi turbulensi.
Suara riuh menyelimuti kelas ekonomi yang notabenenya diisi oleh puluhan penumpang. Mereka saling waspada dan tampak merapalkan doa' agar diberi keselamatan.
Sedangkan, susana yang tadinya tenang. Kini, berubah juga di kelas bisnis. Seorang lelaki meminta air mineral pada salah seorang pramugari. Deru napasnya tak cukup panjang. Badannya mulai menggigil.
**
"Kita tidak bisa menunggu, katakan pada awak kabin agar menginstruksikan penumpang menghubungkan safe belt." pinta James pada Yudi.
Segera saja, James menghubungi pihak ATC untuk tetap melanjutkan perjalanan mereka menuju Jakarta.
Meski pihak menara kontrol sedikit melarang keputusan kapten James. Namun, James bersikeras ingin menyelesaikan perjalanan ini dengan segera.
"Jarak dua awan, lebih besar sedikit dari badan pesawat. Besar kemungkinan kita melewati dua awan ini hanya sekitar ... " Ucapan Yudi dipotong oleh James dengan seenaknya.
"Singkirkan ketakutan dan kekhawatiran itu, Nak! hadapi!"
"Siap, Capt!'
Yudi lalu menginstruksikan pada semua awak kabin serta penumpang agar lebih waspada lagi karena mereka akan melewati dua buah gumpalan awan. Dan untuk masker oksigen akan otomatis mereka dapatkan begitu tekanan udara di kabin mulai menurun.
Semua orang tampak khawatir, termasuk pria yang baru saja mendapatkan air minumnya dari seorang pramugari. Dan pramugari tersebut segera menuju seat-nya untuk mengenakan sabuk pengaman.
James menarik tombol auto pilot yang menandakan ia akan melepas kendali kemudi otomatis.
"Auto pilot di nonaktifkan, tekanan udara 4500 ft, ketinggian 33.000 km, saya James Mochtar bertanggungjawab penuh jika terjadi insiden yang tidak diinginkan."
**
"Jauh-jauh gue pulang ke Indonesia, masa iya gue mati, sih?" gerutu salah satu penumpang wanita dalam hati.
Niat untuk kembali pulang setelah transit di Changi Airport atas desakan sang mama, membuat Rebecca berdecak kesal. Pasalnya zona nyamannya di negara lain jauh lebih menjanjikan daripada di tanah kelahiran.
James benar-benar membawa seluruh penumpangnya melintasi dua gumpalan awan yang menghambat penerbangan. Keputusan itu diambil dan disetujui oleh pihak menara kontrol. Meski sedikit mendapatkan penentangan dari pihak ATC.
Guncangan dan getaran di kabin karena pesawat bersungguh dengan awan membuat seisi penumpang berteriak histeris. Tak hanya awak kabin saja yang ketakutan, seluruh penumpang merasakan hal yang sama.
Di tengah kegaduhan itu, sebuah kejadian di luar kebiasaan terjadi. Pria yang tadi sempat meminta air minum tampak mengaduh kesakitan. Dengan sembarangan pria berbaju putih itu melepaskan safe belt dan tubunya terhuyung hingga jatuh di lantai kabin.
Kejadian itu sontak membuat penumpang lain panik. Belum selesai mereka melalui masa turbulensi. Namun, mereka harus melihat suatu hal yang mengerikan.
Di tengah kepanikan penumpang kelas bisnis, seorang wanita berdiri seusai melepas sabuk pengamannya dan menghambur ke arah penumpang yang pingsan.
Kegaduhan di kelas bisnis, mau tidak mau membuat pramugari keluar dan memeriksa. "Non, sebaiknya Anda kembali ke tempat Anda!" pinta salah satu pramugari cantik pada Rebecca.
Tetapi, Rebecca sama sekali tidak mengindahkan seruan tersebut karena ia tak bisa melihat seorang lelaki tergolek lemas tak berdaya.
"Aku harus menolong orang ini!"
"Tenang, Nona. Masa turbulensi belum selesai. Anda bisa jatuh dan cidera."
Becca, tak mendengarkan perintah si pramugari dan tetap mendekati lelaki yang tengah pingsan di lantai kabin.
Rebecca memeriksa tanda organ vital lelaki tersebut. Sontak Rebecca molotot karena pria tersebut mengalami serangan jantung secara mendadak.
Kegaduhan di kokpit mungkin menjadi salah satu penyebab serangan tersebut. Namun, tak menutup kemungkinan alasan lain yang membuat pria itu pingsan.
Pesawat kembali stabil, pramugari serta pramugara lain datang membantu sehingga membuat sebuah kerumunan. Dan hal tersebut mampu memperparah keadaan pasien.
"Apa di sini ada dokter?" tanya salah seorang pramugari pada penumpang.
Rebecca lalu mengulurkan kartu keanggotaannya ketika bekerja sebagai tenaga medis di salah satu rumah sakit di New South Wales.
"Bisakah kalian semua tenang? Jangan sentuh pasien!"
Rebecca mulai membuka kancing kemeja pria tersebut guna melonggarkan pakaian yang ia kenakan. Becca mulai melakukan RJP.
Resusitasi jantung paru merupakan pertolongan medis untuk mengembalikan kemampuan napas dan sirkulasi darah yang terhenti karena kondisi atau situasi tertentu. Tindakan ini perlu dilakukan secara cepat dan tepat sebagai langkah awal menyelamatkan nyawa seseorang.
Selain itu, Rebecca juga meminta petugas kabin agar mengecek barang bawaan pasien.
"Tolong temukan aspirin dalam barang bawaan pasien, jika pasien menderita penyakit jantung, pasti pasien akan membawanya ke manapun."
Pramugari bergerak segesit mungkin guna mencari aspirin.
Namun, keadaan pasien yang terus kehilangan kesadarannya membuat panik seisi kabin. Hanya Rebecca saja lah yang masih tampak tenang dengan terus memberi pertolongan pertama pada pria tersebut.
"Sampai kapan pesawat ini akan landing?" Rebecca mulai memikirkan risiko terburuk jika pasien terus seperti ini tanpa ada kemajuan.
"Saya akan bertanya pada kapten!"
Sembari menunggu jawaban, Rebecca mulai menelisik ke arah penumpang lain. Pandangan matanya menyapu ke setiap sudut kabin guna mendapatkan barang yang ia inginkan.
Pramugara yang sejak tadi bertanya pada kapten di kokpit, kini keluar setelah mendapatkan jawaban secara pasti oleh kapten James.
"Sekitar lima belas menit, Dok!"
Pramugara tersebut tampak ketakutan karena ini merupakan kejadian menghebohkan kali pertama ia bekerja di dunia penerbangan dan harus berurusan dengan nyawa.
"Pastinya berapa? Ini menyangkut nyawa!" Suara Rebecca sedikit berteriak sehingga mampu ke kokpit melalui ke alat komunikasi antar crew.
"Dia dokter beneran?" James memastikan kebenarannya ada Yudi yang berada di sisi kirinya.
"Menurut pramugara tadi, iya! dokter bedah toraks dan kardiovaskula dari New South Wales." sahut Yudi sedikit mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh awak kabin. tadi padanya.
"Katakan padanya jangan banyak bicara, dia kira kita bisa mengemudi seperti need for speed ? Nyawa seluruh penumpang tanggung jawab kita, Yud!"
Yudi kemudian keluar dari kokpit guna memberi pemahaman seperti apa yang telah dijelaskan oleh James padanya. Dan meminta semua orang agar tenang.
Rebecca menyerobot sebuah headphone yang berada di bagasi kabin dekat sebuah remaja lelaki.
"Kakak, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku boleh meminjamnya untuk menolong orang?"
Remaja tadi mengangguk dengan spontan karena bangga barangnya akan digunakan untuk menyelamatkan orang lain.
"Kita akan mendarat pada 15 menit lagi, bolehkah saya tahu apa yang terjadi?" Yudi keluar menemui Rebecca dengan sikap gentleman.
"Pasien mengalami aritmia jantung, dan memerlukan penanganan secepat."
Aritmia adalah gangguan yang terjadi pada irama jantung. Penderita aritmia bisa merasakan irama jantungnya terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur.
Sebenarnya, aritmia normal terjadi pada kondisi jantung yang sehat. Namun, bila terjadi terus menerus atau berulang, aritmia bisa menandakan adanya masalah pada organ jantung.
Yudi kembali seperti kambing cengo karena tak bisa mengambil keputusan. Pria muda yang belum banyak memiliki jam terbang tersebut harus meminta pendapat kapten Jamesnya.
"Capt, kondisinya benar-benar parah!"
"Aku akan menghubungi menara kontrol untuk menyiapkan petugas medis begitu kita tiba. Untuk dokter wanita itu, suruh dia jangan gegabah!"
Rebecca sendiri masih maju mundur akan mengaliri jantung korban dengan gelombang elektromagnetik. Karena Rebecca tidak bisa memastikan berapa Joule kombinasi headphone dan charger miliknya.
"Atau aku coba metode lain, seperti membuat sayatan di dinding jantung?"
Prosedur seperti ini disebut dengan istilah Maze Procedure. Prosedur maze adalah pembedahan yang dilakukan untuk mengatasi fibrilasi atrium, yakni gangguan irama jantung (aritmia) yang ditandai dengan denyut jantung cepat dan tidak teratur.
Memang memiliki risiko pendarahan, tetapi Rebecca bisa memutus masalah hanya dengan satu tembakan. Jika menggunakan gelombang elektromagnetik yang tidak sesuai dengan alat kejut fibrilator.
"Aku akan membedahnya di sini! bisa siapkan alat yang tajam dan alkohol?" Pertanyaan dari Rebecca sontak mengagetkan seluruh awak kabin dan juga penumpang lain.
Pasalnya operasi yang mereka tahu selama ini, hanya dilakukan di ruang operasi. Dan bukan di dalam pesawat.
Pramugari melaporkan hal tersebut pada James, dan membuat dahi duda satu orang putri itu berkerut.
"Apa? Apa dia gila? Ini pesawat! bukan meja operasi,"
"Tapi, Capt! keadaannya memburuk. Dan jantungnya semakin melemah. Kita ada kotak P3K dan alat yang tajam. Dokter bilang itu saja bisa."
"Tidak, aku tidak mengizinkan!" jawab James benar-benar murka karena merasa jika tindakan dokter wanita itu gila.
Pada prosedur maze, dokter akan membuat pola jaringan parut pada atrium jantung dengan energi panas atau dingin. Jaringan parut juga dapat dibuat dengan menciptakan sayatan pada dinding jantung.
Karena jaringan parut tidak bisa menyalurkan arus listrik, prosedur maze dapat menghentikan impuls listrik jantung yang menyebabkan fibrilasi atrium.
Operasi yang memakan waktu 2-3 jam itu bisa dimulai oleh Rebecca dalam keadaan di pesawat dan bisa dilanjutkan tanpa jeda setalah landing.
Lima belas menit seperti yang dikatakan oleh James pesawat berhasil landing di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dan Rebecca dengan dibantu awak kabin mengeksekusi pasien dengan diagnosa aritmia jantung. Tak ada keraguan sama di benak Rebecca, kedua tangannya telah terampil mengatasi hal seperti ini.
Tak sedikit penumpang yang tadinya meragukan kehebatan Rebecca kini mulai berdecak kagum pada wanita muda tersebut. Bahkan Yudi pun mengapresiasi kinerja dokter bedah toraks dan kardiovaskula tersebut.
Begitu roda pesawat benar-benar berhenti, pintu belakang dibuka dan segerombolan petugas medis berlarian masuk guna membantu Rebecca.
Mereka mengangkat tubuh pasien ke atas brankar dorong serta dipasangi Infus. Lalu Rebecca sendiri? Apakah wanita itu akan menyerahkan pasiennya begitu saja? Tentu tidak.
Rebecca masih berkonsentrasi membuat sebuah sayatan di dinding jantung pria tersebut dengan ikut naik ke brankar pasien.
"Barang-barang dokter tadi bagaimana?" tanya salah satu pramugara yang sejak tadi membantu Becca.
"Kita simpan saja, nanti pasti dokter itu akan menghubungi kru darat," jawab salah seorang di antara pramugari yang juga ikut andil bagian dalam aksi penyelamatan tersebut.
"Flight kita hari ini benar-benar dramatis, Capt!" Yudi sampai menyeka dahinya yang dipenuhi keringat.
"Ah biasa saja," jawab James sekenanya lalu keluar dari kokpit menuju office Nusantara Air di Bandara ini.
James sedikitpun tidak memedulikan apa saja di sekitarnya. Meski ada peristiwa aneh sekalipun, James tak ingin ambil pusing jika tidak mengenai dunai penerbangan ataupun tentang buah hatinya Alicia.
Seusai menjahit dada pasien, Rebecca bisa bernapas lega dan mengikhlaskan pria itu dibawa menggunakan ambulans ke rumah sakit terdekat untuk menjalani perawatan lanjutan. Dan untuk masalah operasi dadakannya tadi, Rebecca telah menandatangi perjanjian dan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Rebecca berjalan gontai masuk ke dalam counter Nusantara Air guna menanyakan bagasi serta barang bawaannya karena Becca telah melewatkan kurang lebih satu jam lamanya dari waktu landing.
"Di mana aku bisa mendapatkan barangku?" tanya Rebecca dengan wajah kelelahan seusai melakukan operasi dadakan.
Pakaian dokter wanita itu kini tak karuan, noda darah mengotori baju atasnya. Hingga tanpa ragu lagi, Rebecca melepas outer yang ia kenakan dan menyisakan dalaman berupa tank top tanpa lengan.
Kru darat maskapai tersebut telah menerima pemberitahuan sebelumnya sehingga dengan mudah mampu melayani apa yang dikehendaki oleh Rebecca dengan segera. Selain itu, Rebecca juga mendapatkan apresiasi dari pihak maskapai tersebut.
Sebelum Rebecca pergi dengan barangnya, seorang wanita bertubuh semampai menghampiri dokter cantik tersebut. "Maaf, Anda bisa menggunakan jaket ini!"
Rebecca menatap wanita muda itu dengan tatapan menyelidiki, sorot matanya jatuh pada benda berwarna hitam yang diulurkan oleh wanita cantik itu.
"Apa ini?" tanya Rebecca dengan suara nyaris tak tertahan.
"Capt menitipkan ini untuk Anda," balas pegawai itu dengan sedikit berbisik.
"Tapi, aku tak bisa menerima ini."
"Aku akan mendapat masalah jika Anda tidak menerimanya."
Rebecca terpaksa menerima dan langsung mengenakannya sesuai apa yang diminta oleh petugas maskapai tersebut.
Begitu Rebecca keluar dari counter maskapai, dokter wanita itu menjadi bulan-bulanan gosip yang menyebutkan jika Rebecca merupakan wanita spesial Capt mereka.
Becca melirik arloji yang melingkar indah di tangannya, "Ah sudah terlambat sekali! pasti mama telah meninggalkan aku,"
Rupanya tidak, begitu Rebecca keluar dari pintu arrival, seorang wanita paruh baya melambangkan tangan ke arahnya.
Tepat ketika berada di depan sang mama, Rebecca sedikit bergidik ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan oleh wanita tua itu padanya.
"Ya Tuhan, Becca! apa yang terjadi?" Mamanya menjerit mendapati tank top sang putri telah tembus oleh darah pasien. Rebecca lupa mengancingkan jaket pinjaman dari pegawai maskapai.
"Ah, Mama! ini hanya hal kecil. Tadi Becca membantu orang yang terluka."
Namun, penjelasan Rebecca tak melegakan kekhawatiran sang mama. Hingga membuat mamanya lebih protektif terhadap sang putri. Mama Becca membawanya pulang dengan ribuan kata-kata cerewetnya.
**
"Alicia ... papa pulang!" seru seorang pria gagah masuk ke dalam kamar sang putri semata wayangnya.
Kepergian sang mama untuk selamanya membuat James menjadi seorang ayah tunggal. Selain Alicia dan pesawat, tak ada lagi yang penting dalam hidup James Mochtar.
"Hore ... Papa bawain Cia boneka Barbie!" Gadis berumur lima tahun itu langsung berhamburan di pelukan sang papa dengan girangnya.
"Kamu suka, Sayang?"
"Sure, Papa. Ini seri terbaru dan beberapa temanku belum memilikinya."
Di luar kamar, seorang wanita tua tersenyum melihat kebersamaan antara ayah dan putrinya tersebut. "Sudah lima tahun ini, mereka selalu tampak manis!" ucapnya guna menyenangkan kata hatinya.
"Oma, ayo ke sini! Temani Cia maen boneka, Oma!" Sang cucu kesayangan mengajaknya ikut bergabung dengan kebersamaan tersebut.
"Oke, Deh!" Ibu James datang ke kamar sang cucu dengan wajah penuh haru.
Hal kecil seperti ini, mampu membahagiakan James. Tak perlu kemewahan atau harta benda. Karena harta paling berharga di mata James adalah tawa sang putri yakni Alicia.
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!