NovelToon NovelToon

I Love You Zaujati

Perjalanan membawa takdir

Felly berdiri di pinggir jalan, sesekali melirik ponselnya yang sudah kehabisan baterai. Dengan wajah bingung, ia memandangi sekitar, mencoba mencari petunjuk menuju pesantren Al Hikmah. Gadis berusia 18 tahun itu baru saja lulus SMA dan memutuskan untuk menghabiskan waktu beberapa bulan di pesantren sambil memikirkan masa depannya. Saat itu, pikirannya tengah berkecamuk, memikirkan masalah kedua orang tuanya, Lena dan Haris, yang selalu bertengkar di rumah.

"Aku harus keluar dari rumah dulu, aku nggak tahan dengar mereka ribut terus," gumamnya dengan nada frustrasi.

Di sisi lain, Felly memang berniat menemui kakak sepupunya, Alesha, yang tinggal di pesantren bersama suaminya, Gus Rey. Alesha selalu menjadi sosok yang ia kagumi dan percaya, seseorang yang bisa mendengar keluh kesahnya tanpa menghakimi. Tapi Felly tidak tahu jalan menuju pesantren dan merasa tersesat di jalan yang asing ini.

Sementara itu, di kejauhan, rombongan Gus Shaka, Raffa, dan Ustadz Faiz baru saja pulang dari menghadiri pertemuan di luar pesantren. Mereka menaiki mobil dengan santai, sesekali bercanda dan berbicara tentang tanggung jawab mereka di pesantren. Di tengah perjalanan, Raffa, yang duduk di kursi depan, melihat seorang gadis berdiri di pinggir jalan.

"Shaka, itu bukan jalan yang aman untuk berdiri, apalagi untuk seorang perempuan muda. Lihat, dia hampir saja tertabrak!" kata Raffa sambil menunjuk Felly yang tidak memperhatikan mobil yang melaju kencang di depannya.

Gus Shaka segera memperlambat mobilnya, dan tanpa berpikir panjang, Raffa langsung membuka pintu dan berlari keluar untuk menolong gadis itu.

"Hei! Awas!" Raffa berteriak saat mobil lain melaju semakin dekat ke arah Felly. Gadis itu baru menyadari bahaya yang mengancamnya dan menoleh dengan panik. Namun, sebelum sempat melakukan apa-apa, Raffa sudah menariknya ke tepi jalan dengan cepat.

Felly terkejut, jantungnya berdebar kencang. "Maaf! Maaf banget, aku nggak lihat ada mobil," ucapnya gugup, mengatur napas yang tersengal.

"Untung kamu nggak apa-apa," kata Raffa sambil melepaskan pegangan tangannya dari lengan Felly. "Kenapa kamu bisa berdiri di pinggir jalan begini? Ini bahaya."

Felly menundukkan kepalanya, merasa malu. "Aku... aku tersesat. Aku mau ke pesantren Al Hikmah, tapi ponselku mati, dan aku nggak tahu jalan."

Raffa tersenyum tipis, mencoba menenangkan gadis itu. "Kamu mau ke pesantren Al Hikmah? Kebetulan, kami dari sana. Aku bisa antar kamu ke sana kalau kamu mau."

Felly mengangguk dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih banyak... aku benar-benar bingung harus gimana tadi."

Di belakang, Gus Shaka dan Ustadz Faiz turun dari mobil. Mereka melihat situasi itu dengan tenang, meskipun Shaka sempat mengernyitkan dahi melihat Felly yang tampak gelisah. Shaka, dengan sifatnya yang dingin, langsung bertanya, "Kamu siapa dan kenapa berdiri di jalan seperti itu? Tidak ada yang tahu kamu ada di sini?"

Felly menatap Shaka yang terlihat serius. "Aku... Felly. Sepupu Kak Alesha. Aku lagi cari jalan ke pesantren."

Shaka mengangguk pelan, lalu melirik ke arah Raffa yang masih berdiri di samping Felly. "Kalau begitu, kita antar saja dia ke pesantren. Tidak aman berdiri sendirian di jalan seperti ini."

Dengan hati-hati, Raffa menuntun Felly masuk ke dalam mobil mereka. Sepanjang perjalanan, Felly lebih banyak diam, merenungi apa yang hampir saja terjadi padanya. Namun, pikirannya segera kembali ke masalah yang lebih besar—keluarganya. Konflik yang tiada henti antara kedua orang tuanya membuatnya tidak betah di rumah. Pertengkaran kecil sering berubah menjadi argumen besar, dan Felly merasa terjebak di tengahnya.

"Sebenarnya ada apa, Felly?" tanya Raffa lembut, merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganggu gadis itu. "Kamu terlihat... sedang memikirkan sesuatu yang berat."

Felly ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Aku cuma bingung... masalah di rumah nggak pernah selesai. Orang tuaku selalu ribut, dan aku nggak tahu harus gimana."

Raffa terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat. "Kadang, ada hal-hal yang memang di luar kendali kita. Tapi ingat, kamu masih punya pilihan untuk fokus pada masa depanmu. Jangan biarkan masalah di rumah menghambat langkahmu."

Felly menatap Raffa sejenak, merasa sedikit lega dengan nasihatnya. "Iya, tapi rasanya sulit banget buat nggak kepikiran..."

"Tentu saja sulit," kata Raffa. "Tapi kamu ada di tempat yang tepat sekarang. Pesantren bisa jadi tempat kamu menemukan kedamaian dan fokus untuk sementara waktu."

Akhirnya, mobil itu sampai di pesantren Al Hikmah.

Saat mereka mendekati pesantren, Felly mulai merasa lebih tenang. Namun, di balik ketenangan itu, ia juga merasa bahwa pertemuan tak terduga ini mungkin adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih aman, seolah-olah takdir telah menuntunnya ke tempat ini untuk sebuah alasan yang belum ia pahami.

Sesampainya di gerbang pesantren, Felly disambut oleh pemandangan yang begitu tenang dan damai, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar yang selama ini menyesakkan pikirannya. Dengan Raffa, Gus Shaka, dan Ustadz Faiz di sisinya, Felly melangkah memasuki lingkungan pesantren, tidak menyadari bahwa di sini, perjalanan hidupnya akan mengalami perubahan yang tidak pernah ia bayangkan.

Beberapa bulan telah berlalu sejak kejadian mendebarkan itu, dan Felly kini sudah kembali ke rumahnya. Keputusannya untuk pulang bukanlah hal yang mudah, tetapi setelah berbicara panjang lebar dengan omnya, Waiz, ia akhirnya setuju. Waiz menasihatinya bahwa menghadapi masalah keluarga adalah bagian dari proses pendewasaan, dan menghindari hanya akan membuat luka semakin dalam.

Meskipun kembali ke rumah, Felly tetap sering memikirkan pesantren Al Hikmah dan orang-orang yang ditemuinya di sana, terutama Raffa. Keberanian dan ketulusan Raffa saat menyelamatkannya tidak hanya meninggalkan kesan mendalam, tetapi juga membentuk ikatan yang mulai berkembang di antara mereka.

Seiring waktu, pertemuan-pertemuan dengan Raffa menjadi semakin sering. Ada saja alasan yang membawa mereka berdua bersama, baik itu undangan keluarga, kegiatan sosial, atau sekadar kebetulan yang tak terduga. Setiap kali mereka bertemu, Felly merasakan hatinya semakin dekat dengan Raffa. Namun, di balik perasaan itu, ada juga rasa cemas yang ia simpan sendiri. Raffa adalah sosok yang matang dan bertanggung jawab, sementara Felly masih sering merasa dirinya terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya yang penuh luka.

Setiap kali Felly merasa ragu, Raffa selalu ada di sana, memberikan dukungan dengan cara yang tenang namun meyakinkan. Ia tidak pernah memaksakan Felly untuk membuka diri, tetapi juga tidak pernah berhenti menunjukkan bahwa ia siap mendengar kapan pun Felly siap berbicara. Kebersamaan mereka memberikan Felly kekuatan baru untuk menghadapi kenyataan, dan perlahan tapi pasti, ia mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, ada kebahagiaan yang menunggunya di depan.

Meski demikian, ada hal-hal yang masih belum terselesaikan di hati Felly, terutama hubungannya dengan kedua orang tuanya. Setiap kali ia pulang ke rumah, ia harus menghadapi ketegangan yang terus mengintai, membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar sudah siap untuk membuka lembaran baru. Di tengah pergulatan batin itu, Felly menemukan bahwa kehadiran Raffa menjadi satu-satunya tempat di mana ia merasa damai.

Namun, baik Felly maupun Raffa tahu bahwa masa depan mereka masih penuh dengan tanda tanya. Pertemuan mereka yang tak terduga beberapa bulan yang lalu mungkin telah mengubah hidup Felly, tetapi perjalanan untuk menemukan kebahagiaan sejati baru saja dimulai.

pertemuan tidak terduga.

Dua bulan telah berlalu sejak Felly kembali ke rumah, dan hari-harinya diisi dengan rutinitas yang sama. Meskipun ada momen-momen kecil yang membuatnya tersenyum, seperti kenangan akan Raffa dan pertemuan tak terduga yang hampir merenggut nyawanya, Felly merasa kosong. Ia tidak pernah bertemu atau berbicara dengan Raffa lagi, dan perasaan itu mengganjal di hatinya.

Felly terus berjuang menghadapi suasana tegang di rumahnya. Suara tinggi Lena dan Haris, yang sering bertengkar, terus bergema di telinganya, membuatnya merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpastian. Mencoba mengabaikan pertengkaran mereka, Felly mulai lebih sering keluar rumah, mencari cara untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang menumpuk.

Suatu sore, saat berjalan-jalan di taman dekat rumah, Felly melihat sekelompok anak muda bermain bola. Ia teringat akan masa-masa cerianya saat masih di sekolah, di mana tawa dan canda menghiasi hari-harinya. Tiba-tiba, seorang gadis dengan rambut panjang menghampirinya.

"Hey, Felly! Kenapa kamu kelihatan sendirian?" tanya Cita, sahabatnya sejak kecil.

"Oh, Cita! Aku hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri," jawab Felly sambil tersenyum lemah.

"Kalau gitu, ayo bergabung dengan kami! Kita bisa bermain bola atau sekadar nongkrong," ajak Cita.

Felly merasa sedikit bersemangat dan mengikuti Cita menuju lapangan. Namun, saat permainan berlangsung, pikirannya kembali melayang ke Raffa. Ia ingat bagaimana Raffa dengan sigap menyelamatkannya, serta nasihat-nasihatnya yang membuatnya merasa lebih baik.

Sementara itu, Raffa juga merasakan kekosongan. Ia sering teringat pada Felly, tetapi karena mereka tidak saling berkenalan, Raffa merasa tidak pantas untuk menghubunginya. Ia lebih fokus pada pekerjaannya di Achazia Corp dan tanggung jawab sebagai pengusaha muda. Namun, dalam pertemuan-pertemuan dengan teman-temannya, terutama Gus Shaka dan Ustadz Faiz, ia tidak bisa menahan diri untuk membicarakan gadis itu.

“Raffa, kamu sepertinya memikirkan sesuatu. Apa ada yang mengganggu?” tanya Shaka, yang menangkap ekspresi Raffa yang tidak biasa.

“Ah, tidak ada... hanya saja, aku ingin tahu bagaimana kabar gadis yang kutolong itu,” jawab Raffa dengan ragu.

Shaka mengangguk, mengetahui bahwa Raffa adalah sosok yang peka. “Mungkin kamu bisa mencarinya. Kadang, pertemuan yang berarti bisa menjadi awal yang baik.”

Sementara itu, Felly merasakan harapan baru ketika mendengar kabar dari Cita bahwa akan ada acara kumpul-kumpul di rumah salah satu teman mereka. Ini mungkin kesempatan untuk mengalihkan pikirannya dan bertemu dengan orang-orang yang ia kenal.

Hari acara pun tiba, dan Felly berusaha tampil ceria meskipun di dalam hati masih ada rasa gundah. Ia bertemu dengan teman-teman lama dan terlibat dalam obrolan ringan. Namun, di tengah keseruan, pikirannya tak henti-hentinya melayang pada Raffa.

Saat Felly sedang duduk di sudut ruangan, tiba-tiba pintu terbuka, dan sosok yang tak asing muncul di ambang pintu. Raffa, dengan senyum hangat di wajahnya, membuat jantung Felly berdegup kencang. Namun, mereka berdua tidak saling mengenali, dan Felly merasa ragu untuk menyapa.

Raffa pun tidak menyadari kehadiran Felly saat ia menyapa teman-teman yang lain. Felly merasa terjebak dalam momen yang mengharukan namun canggung. Apakah ini saat yang tepat untuk memperkenalkan diri? Apakah Raffa masih ingat padanya?

Ketika malam semakin larut, Felly beranikan diri untuk menghampiri Raffa yang sedang berbincang dengan teman-temannya. Namun, saat Felly melangkah maju, tiba-tiba Raffa menoleh dan matanya bertemu dengan tatapan Felly.

“Felly?” Raffa mengulangi namanya, terkejut namun bahagia melihat gadis yang pernah ia tolong.

Felly terperanjat, dan sebuah senyuman tidak bisa ia tahan. “Kamu ingat aku?”

“Bagaimana bisa aku lupa? Kamu adalah gadis yang pernah hampir tertabrak itu,” jawab Raffa, dengan nada santai yang menyenangkan.

“Kak Raffa, aku tidak menyangka bisa bertemu lagi,” ucap Felly, berusaha menahan rasa gugup yang menggelitik di perutnya.

Raffa tersenyum. “Aku juga tidak menyangka akan bertemu kamu di sini. Bagaimana kabarmu sekarang, Felly?”

Felly mencoba menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya masih berantakan. “Aku baik-baik saja, Kak. Baru saja kembali dari... dari beberapa hal yang membuatku lebih mengenal diriku sendiri.”

Raffa menatapnya dengan perhatian, seolah bisa merasakan beban yang dibawa Felly. “Kamu terlihat lebih cerah daripada sebelumnya. Ada yang membuatmu bahagia?”

Felly menundukkan kepala, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin... bisa dibilang begitu. Aku mencoba mencari jalan terbaik untuk diriku. Dan bertemu dengan Kak Raffa adalah salah satu hal baik yang terjadi belakangan ini.”

Mendengar jawaban Felly, Raffa merasa hangat di dalam hatinya. “Senang mendengar itu. Jika kamu butuh teman untuk berbicara atau sekadar bersenang-senang, jangan ragu untuk menghubungiku. Kita bisa jalan-jalan atau melakukan sesuatu yang menyenangkan.”

Felly merasa jantungnya bergetar mendengar tawaran itu. “Terima kasih, Kak. Itu sangat berarti bagiku.”

Keduanya terdiam sejenak, meresapi momen yang penuh makna ini. Suasana di sekeliling mereka masih ramai dengan tawa dan canda teman-teman lain, tetapi Felly hanya fokus pada Raffa. Ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman dan aman di dekatnya.

“Felly, aku ingat kamu bilang ingin mencoba hal-hal baru. Mungkin kita bisa mulai dengan mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kamu lihat. Apa pendapatmu?” tanya Raffa, memberikan saran dengan nada santai.

Felly merasa sangat bersemangat. “Itu ide yang bagus, Kak! Aku selalu ingin pergi ke tempat-tempat menarik dan belajar lebih banyak tentang dunia di luar sana.”

Raffa tersenyum lebar. “Baiklah, kita atur waktu. Mungkin akhir pekan ini?”

Felly mengangguk dengan antusias. “Pasti! Aku sudah tidak sabar.”

Setelah berbincang lebih lanjut, Raffa beranjak untuk menyapa teman-temannya yang lain. Felly berdiri di sana, merasa bersemangat dan berenergi. Hari ini telah membawa angin segar dalam hidupnya, dan harapan baru mulai tumbuh dalam hatinya.

Namun, di dalam dirinya masih ada kekhawatiran. Bagaimana jika ini semua hanya sementara? Apa yang akan terjadi setelah mereka menghabiskan waktu bersama? Felly tahu bahwa hidupnya masih dikelilingi oleh tantangan, tetapi saat ini, ia merasa siap untuk menghadapi semuanya.

Ketika malam semakin larut, Felly merasa bahwa kehadiran Raffa membawa cahaya baru. Ia ingin menikmati setiap momen, mengingat bahwa kebahagiaan bisa ditemukan di tempat yang tidak terduga.

Setelah berpamitan, Felly pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Dia ingin menceritakan semua ini kepada Cita, sahabatnya yang selalu ada di sampingnya. Dalam perjalanan pulang, ia tidak bisa berhenti tersenyum, merasakan bahwa sesuatu yang baik akan segera terjadi dalam hidupnya.

Sesampainya di rumah, Felly langsung menemui Cita yang sedang duduk di ruang tamu, menyendiri dan tampak serius.

“Cita! Aku baru saja bertemu Kak Raffa!” seru Felly, tidak sabar untuk berbagi kabar gembira.

Cita menoleh, terkejut dengan antusiasme Felly. “Serius? Bagaimana? Ceritakan semuanya!”

Felly duduk di sampingnya dan mulai menceritakan semua yang terjadi, dari pertemuan yang tidak terduga hingga rencana mereka untuk jalan-jalan bersama. Cita mendengarkan dengan penuh perhatian, senyum lebar tak pernah lepas dari wajahnya.

“Wah, Felly! Itu luar biasa! Kak Raffa sepertinya orang yang baik,” ujar Cita.

“Ya, dia sangat baik dan perhatian. Aku merasa nyaman bersamanya,” balas Felly, merasakan semangat baru dalam dirinya.

“Kalau gitu, kamu harus manfaatkan kesempatan ini! Siapa tahu ini bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih,” tambah Cita, dengan nada optimis.

Felly mengangguk, tetapi di dalam hati, ia juga merasa cemas. Apakah Raffa benar-benar bisa menjadi jawaban dari semua permasalahan dalam hidupnya? Atau apakah semua ini hanya akan berakhir seperti cerita-cerita sebelumnya yang menyakitkan?

Namun, Felly memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu terlalu jauh. Ia ingin menikmati momen ini, belajar untuk terbuka dan percaya bahwa ada kemungkinan baru di depan sana. Dengan harapan itu, Felly siap menjalani hari-hari ke depannya dengan semangat baru.

Taman Kenangan

Hari-hari setelah pertemuan dengan Raffa membawa angin segar dalam hidup Felly, tetapi bayang-bayang masa lalu masih membayangi pikirannya. Perpisahan kedua orang tuanya terus menghantuinya, mengingatkan pada betapa rapuhnya kebahagiaan yang pernah ia rasakan. Hari itu, Felly memutuskan untuk pergi ke taman, tempat yang selalu memberinya ketenangan, meskipun saat ini segala sesuatunya terasa kelam.

Di taman itu, pepohonan berjejer rapi, dan bunga-bunga berwarna cerah bertebaran di sekelilingnya. Namun, semua itu tidak mampu mengalihkan pikirannya dari kesedihan yang melanda. Felly duduk di bangku kayu yang sedikit lapuk, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang, seolah ingin menyerap kebahagiaan mereka. Tapi semua itu terasa jauh darinya.

Dia merasa terasing, seolah dunia ini tidak lagi memiliki tempat untuknya. Dengan pelan, Felly mengangkat lengan bajunya, memperhatikan bekas luka di pergelangan tangannya. Ketika hatinya terlalu sakit, ia terkadang melakukan hal bodoh seperti ini, menciptakan rasa sakit fisik sebagai pengalihan dari rasa sakit emosional yang lebih dalam.

"Kenapa kamu melakukan ini?" sebuah suara tegas mengejutkan Felly.

Felly menoleh dan melihat Raffa berdiri di depannya, wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara khawatir dan marah. “Kak Raffa…,” Felly tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

Raffa maju selangkah, melipat tangannya di dada. “Apa kamu tidak mengerti betapa bodohnya ini? Mengapa kamu harus melukai dirimu sendiri?”

Felly merasakan aliran panas di wajahnya. Dia merasa malu dan marah, tetapi juga sangat lemah. “Kak, itu… itu bukan urusanmu,” ucapnya, berusaha menyembunyikan pergelangan tangannya di balik lengan baju.

“Jelas ini urusanku! Karena kamu sahabatku,” balas Raffa dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. Dia duduk di samping Felly, berusaha memahami keadaan gadis di sampingnya.

Felly menunduk, merasa tidak berdaya. “Aku hanya… merasa sangat sakit. Aku tidak tahu harus bagaimana. Kehidupan ini terasa sangat berat,” kata Felly dengan suara bergetar.

Raffa memandang Felly dalam diam. “Kamu tidak perlu melalui semua ini sendirian. Aku ada di sini, dan aku ingin membantumu. Tapi kamu harus mau terbuka. Kenapa kamu merasa seperti ini?”

Felly merasa terombang-ambing antara keinginan untuk menceritakan segalanya dan ketakutan akan penilaian. “Aku… aku hanya merasa terjebak. Orang tuaku… mereka bercerai. Dan semua orang di sekitar tidak berhenti membicarakan itu. Aku merasa seolah aku tidak punya tempat di dunia ini,” ucapnya sambil menahan tangis.

Raffa menepuk bahunya. “Felly, kamu harus ingat bahwa ini bukan salahmu. Kadang orang dewasa membuat keputusan yang sulit dan tidak selalu bisa kita mengerti. Kamu tidak bisa membiarkan perpisahan mereka menghancurkan hidupmu.”

Felly menggelengkan kepala. “Tetapi semuanya terasa sangat nyata bagiku. Seakan aku yang harus menanggung semua beban ini.”

Raffa mendesah, mencari cara untuk membantu Felly merasa lebih baik. “Kamu harus mencari cara untuk menyampaikan perasaanmu. Cobalah berbicara dengan mereka. Kadang kita bisa menemukan penjelasan di balik keputusan yang mereka buat.”

“Aku sudah mencoba, Kak. Tapi mereka selalu terlalu sibuk dengan masalah mereka sendiri,” jawab Felly, suaranya hampir berbisik.

Raffa merasakan betapa sakitnya hati Felly. Dia ingin sekali menggenggam tangan gadis itu dan meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu kata-kata tidak selalu cukup untuk menyembuhkan luka.

“Bagaimana kalau kita lakukan sesuatu yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatianmu? Kita bisa pergi ke tempat yang kamu suka,” saran Raffa, berusaha memberikan alternatif.

Felly mengangkat kepalanya, matanya berbinar. “Seperti apa?”

“Kita bisa pergi ke kafe yang terkenal di dekat sini. Aku dengar mereka punya kue enak dan banyak pilihan minuman. Atau kita bisa pergi ke bioskop, menonton film yang kamu inginkan,” ujar Raffa.

Felly merasa tergerak oleh tawaran itu. Dia memang ingin keluar dari kesedihannya, meskipun masih ada rasa ragu. “Tapi… bagaimana kalau orang lain melihat kita?” tanyanya, khawatir.

“Siapa peduli? Kita hanya berdua, dan ini adalah waktu kita. Tidak ada yang bisa mengatur bagaimana kita menghabiskan waktu,” jawab Raffa dengan tegas.

Setelah berpikir sejenak, Felly akhirnya mengangguk. “Baiklah, Kak. Aku mau mencoba.”

Raffa tersenyum lebar, seolah beban yang dia rasakan sedikit berkurang. “Ayo kita pergi. Dan tidak ada lagi melukai dirimu sendiri, ya?”

Felly mengangguk lagi, kali ini dengan lebih tegas. “Aku berjanji.”

Mereka berjalan menuju kafe dengan langkah yang lebih ringan. Di dalam, suasana hangat dan ramah menyambut mereka. Felly memilih tempat di dekat jendela, sehingga mereka bisa menikmati pemandangan taman yang indah.

Saat menunggu pesanan, Felly tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Kak Raffa, bagaimana denganmu? Apakah kamu pernah merasa kehilangan?”

Raffa terdiam sejenak. Pertanyaannya mengingatkan pada banyak hal yang sudah dilalui. “Tentu saja. Aku juga pernah kehilangan, baik itu teman atau orang yang dekat dengan kita. Tapi aku belajar bahwa hidup harus terus berjalan. Kita harus menemukan cara untuk merayakan kenangan mereka dan melanjutkan hidup.”

Felly merenung, merasakan ketegasan dalam kata-kata Raffa. “Bagaimana kamu bisa begitu kuat?”

Raffa tersenyum lembut. “Aku berusaha untuk tidak menyimpan semua beban itu sendirian. Dukungan dari teman dan keluarga sangat berarti. Dan terkadang, kita harus belajar untuk menerima kenyataan dan beradaptasi.”

Kata-kata Raffa membuat Felly merasa lebih baik. Meskipun perjalanan mereka masih panjang, dia merasa ada harapan baru yang bisa membawanya melewati masa-masa sulit.

Ketika makanan mereka tiba, Felly merasa lapar dan bahagia. Mereka mengobrol tentang banyak hal, dari hobi hingga rencana masa depan. Raffa berusaha mengalihkan perhatian Felly dari kesedihan yang menghantuinya, dan berhasil membuat Felly tersenyum dan tertawa.

Beberapa jam berlalu sebelum mereka selesai dan beranjak dari kafe. Felly merasa jauh lebih baik, dan rasa sakit di hatinya berangsur memudar. Raffa telah membantunya melihat sisi lain dari hidupnya, dan dia mulai merasa bisa beranjak dari bayang-bayang masa lalu.

“Terima kasih, Kak Raffa. Kamu benar-benar membuat hariku lebih baik,” ucap Felly tulus.

“Tidak perlu berterima kasih. Ini adalah hal yang seharusnya aku lakukan sebagai temanmu,” jawab Raffa dengan senyum hangat.

Mereka berjalan kembali ke taman di mana mereka pertama kali bertemu, menikmati sisa-sisa hari yang masih terang. Felly merasa lebih tenang saat melihat bunga-bunga bermekaran di sekitar mereka.

“Taman ini selalu punya cara untuk membuatku merasa lebih baik,” kata Felly sambil menghirup aroma segar dari bunga yang sedang mekar.

“Lihatlah sekelilingmu. Alam ini indah, dan terkadang kita hanya perlu mengingat untuk melihat keindahan itu, bukan hanya yang terjadi di dalam hati kita,” ujar Raffa.

Felly tersenyum, menyadari bahwa mungkin ada kebenaran dalam kata-kata Raffa. Meskipun hidupnya tidak sempurna, ada keindahan dan harapan yang bisa ditemukan jika dia bersedia mencarinya.

Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai menghiasi langit. Felly merasa lebih kuat dan siap untuk menghadapi tantangan berikutnya. Dalam hati, dia tahu bahwa dengan dukungan Raffa, dia bisa menemukan jalannya kembali menuju kebahagiaan.

Saat mereka berpisah, Felly berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih terbuka dan berusaha lebih keras untuk menemukan kebahagiaan dalam setiap momen, tidak peduli seberapa kecilnya. Raffa telah menjadi cahaya yang menerangi jalannya, dan dia bertekad untuk menghargai setiap kesempatan yang ada di depannya.

Hari itu menjadi titik balik bagi Felly, dan meskipun jalan di depan masih panjang, dia tidak lagi merasa sendiri. Dia memiliki teman yang siap mendukungnya, dan itu memberinya harapan baru untuk masa depan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!