NovelToon NovelToon

Si Berandal Menikah??

Si pembalap

Suara deru motor terus bersahutan dengan asap knalpot yang juga tidak mau mengalah, mengepul di udara kala gas di mainkan dengan liar.

Di tempat ini setiap malamnya akan diadakan balapan-balapan tanpa ijin yang terkadang akan terkena patroli dari polisi yang mendapatkan laporan yang di bubarkan dan tidak jarang akan ada yang di gelandang ke kantor polisi jika sudah terjadi kericuhan.

Namun sepertinya malam ini para petugas itu mulai bosan dengan laporan yang kerap kali masuk ke kantor mereka, mereka sudah bosan melakukan tindakan tapi kelompok pemuda yang jumlahnya tidak bisa di bilang sedikit itu tetap juga tidak jera.

Mereka seolah tidak kapok meski sudah berulang kali berurusan dengan petugas, para petugas kini menggeleng gemas seraya menarik napas lelah dengan pemuda yang mereka hadapi setiap malam hingga akhirnya memilih masa bodoh.

Biar saja mereka celaka, bukankah yang akan merasakan itu mereka-mereka sendiri, mungkin begitu yang ada di dalam pikiran sang petugas.

"Wo hoooo," suara teriak kesenangan kala melihat jagoannya melaju di depan, yakin ini adalah kemenangan sekian kalinya yang harus mereka rayakan.

"Yeeeeeee," suara lantang begitu terdengar saat sang juara benar-benar sudah melewati garis finis, kemenangan sudah bukan lagi sebuah impian karena sebentar lagi mereka akan berpesta.

"Gue nggak pernah salah milih lu jadi pebalap andalan gue," menepuk pemuda yang baru saja mematikan mesin motornya.

Si pemuda yang selalu mendapat pujian membuka helm yang menutupi wajah serta sebagian kepalanya, dia adalah Raffan Alawi nama yang terdengar sangat islami meski kelakuannya berbeda jauh dengan namanya.

Meski begitu namanya adalah pemberian dari orang tuanya yang menyisipkan doa agar sang anak menjadi anak Sholeh terlebih lagi Ayahnya adalah seorang guru ngaji, walaupun setelah besar kelakuan serta pergaulannya harus membuat kedua orang tuanya sering mengurut dada karena sesak yang datang tiba-tiba akibat ulah sang anak.

"Benerin motor gue besok," ucap Raffan pada Rio yang memang ahli menangani motor.

Rio adalah seorang mekanik yang akan selalu mereka hadirkan jika akan melakukan balap liar.

"Kenapa lagi?" tanya Rio memperhatikan motor yang sudah tidak di duduki oleh Raffan.

"Tarikannya kurang kenceng," sahut Raffan yang membuat mata Rio serta Gumay yang tadi kesenangan menjadi saling tatap.

"Kurang kenceng?" bingung Rio dan Gumay berbarengan.

Si gila Raffan mengatakan tarikan motornya kurang kenceng, padahal sejak tadi lawannya saja tidak mampu menyaingi laju motornya yang bagaikan hembusan angin tidak terlihat namun terasa.

"Gila!" sontak mereka mengumpat bersamaan.

Sedangkan yang mereka umpat malah dengan ringannya melenggang jauh menghampiri orang yang tadi melawannya di lintasan balap tak berijin dengan kata lain mereka balapan di jalanan umum yang sudah sepi jika sudah tengah malam seperti ini, memangnya siapa orangnya yang akan berani melewati tempat yang terkenal rawan dengan kumpulan pemuda-pemuda liar tak tahu jam malam.

Orang berisitirahat lalu mereka malah melakukan kegiatan ekstrim tak berijin yang bisa saja mencelakakan nyawa mereka.

"Taruhannya sudah gue kasih Gerry," ketus Marco si pemuda yang beberapa hari lalu tak kenal lelah untuk menantang Raffan yang terkenal selalu memenangkan balapan liar.

Sebenarnya ini bukanlah kekalahan pertama Marco melawan Raffan, tapi rasa penasarannya membuat dia tidak menyerah untuk terus mengulang lagi dan lagi tantangannya kepada Raffan, si pemuda tengil anak dari seorang guru ngaji yang cukup terkenal di kota mereka ini.

Tapi nyatanya seorang guru ngaji belum tentu memiliki keturunan yang Sholeh, dan lihatlah buktinya sekarang Raffan Alawi anak satu-satunya dari Ustad Imran malah jadi berandal kota yang kerap kali terlibat balapan dengan penampilan yang terlihat urakan, celana jeans robek di padu dengan kaos serta jaket jeans yang juga bernasib sama dengan celananya, belel di beberapa bagian menjadi tampilan yang cukup membuat mata kedua orang tuanya jengah dan sering memberikan ceramah dadakan meski tak di dengar sekalipun.

"Puas?" tanya Raffan dengan senyum dan raut wajah mengejek.

"Belum, beberapa hari lagi kita tanding," jawab Marco menunjukkan ekspresi tak senang.

Kekalahan sekian kalinya bukanlah suatu yang dia inginkan, ini cukup memalukan bukan? dia berkali-kali di kalahkan oleh orang yang sama.

Salahnya karena memilih lawan dan menantang yang sudah sangat terkenal sebagai sang juara di balap liar dan kini dia malah jadi manusia penasaran yang makin ingin menggebu untuk sekali saja memberikan kekalahan bagi Raffan, pemuda berandal tengil di hadapannya.

"Atur saja," ucap Raffan tanpa menunjukkan antusiasme sama sekali, dia hanya mengedikkan bahunya lalu melenggang pergi dengan senyuman yang malah terkesan mencibir.

*****

Perayaan kemenangan

Raffan menghitung uang taruhan yang baru saja di berikan oleh Gerry, tersenyum puas karena jumlahnya sesuai dengan yang sudah di tetapkan.

"Perlu perayaan?" tanya Gumay yang senantiasa mengekor setelah membantu Rio mengecek motor besar yang tadi di pakai oleh Raffan.

"Seperti biasa," sahut Raffan menaikkan kedua alisnya.

Tentu setelah kemenangan dia akan kembali memberikan kesenangan untuk teman-temannya sekedar mentraktir mereka, kebiasaan yang rutin dia lakukan jika memenangkan balapan.

"Wu huuuu,, pesta kita," seru Gumay girang seraya melebarkan tawanya.

Tentu traktiran yang akan menjadi puncak acara mereka malam ini di cafe tempat biasa mereka berkumpul untuk selanjutnya mereka akan kembali ke rumah masing-masing atau mungkin sebagian ada yang akan tidur di basecamp yang senantiasa setia menghadapi kebisingan mereka ketika sudah berkumpul, ada yang bermain gitar bernyanyi juga mengobrol tak tentu arah.

Motor-motor sudah mulai menyala menandakan bahwa mereka akan pergi dari tempat itu, namun Raffan malah merasakan getaran dari dalam saku celananya yang memaksa dia untuk menahan tangan agar tidak menarik gas motor.

"Pak ustad telepon," katanya pada teman-temannya yang menoleh padanya.

Raffan mematikan motornya dan dengan serempak temannya juga mematikan mesin motor agar tidak terdengar riuh, mereka cukup sadar diri bahwa Ayahnya Raffan seorang ustad yang tidak akan senang dengan pergaulan anaknya, bahkan mereka pun kerap kali kena semprot saat datang ke rumah Raffan.

"Assalamualaikum Pak Ustad," suara Raffan menjawab telepon dari pria yang dia panggil Ayah.

"Wa'alaikumsalam," jawab Ustad Imran dengan nada kesal, dia tahu anaknya sedang melakukan apa saat ini.

"Sebentar lagi Raffan pulang," lapor Raffan sudah tahu maksud dari Ayahnya menelepon.

Ini bukan yang pertama kali dan dia menjadi sangat hafal jika sudah mendapat telepon dari Ayah maupun Ibunya, pasti mereka akan memintanya untuk segera pulang.

"Sudah tengah malam lewat Raffan!" bentak sang Ayah pada anaknya yang terkenal sering membuat masalah, anak satu-satunya yang sangat menguji dirinya dan sang istri.

"Oh ayolah Ayah, satu jam lagi. oke?" mulai mengeluarkan bujukannya pada sang Ayah yang meskipun terkenal keras namun nyatanya tetap tidak sanggup menghadapi kebengalan anak semata wayangnya ini.

"Raf."

Tampaknya Rio mulai tak sabar untuk segera merayakan kemenangan mereka terlebih lagi perutnya sudah mulai berdemo minta untuk diisi.

"Oke Pak Ustad, Raffan pergi dulu, Assalamualaikum," ucapnya cepat lalu memutuskan sambungan telepon.

"Raffan! Raffan!" Imran berseru memanggil-manggil anaknya yang dengan kurang ajarnya mematikan telepon darinya.

"Lihat saja, hanya ada dua pilihan untukmu Raffan!" ancam Imran menahan geram.

"Tidak ada pilihan lain lagi Yah, kita memang harus tegas pada Raffan, dia sudah 19 tahun sudah masuk masa dewasa bukankah kita akan sangat berdosa jika tidak mendidik anak laki-laki kita, kelak dia akan menjadi seorang imam bagi keluarganya," tutur Hayati yang sedari tadi berada di samping suaminya.

Ustad Imran mengangguk, "maka dari itu kita harus segera memberinya pilihan, kita tidak boleh mengalah terus dengan anak itu, anak satu-satunya bukan berarti kita akan memanjakannya," suara lemas sang Ustad yang memang tidak lagi muda bahkan sudah sering sakit-sakitan.

Beberapa hari yang lalu pun dia baru saja sembuh dari batuk yang terasa sangat mengganggu tenggorokan serta suaranya di tambah sakit kepala yang kadang datang tanpa kenal waktu.

"Berangkaat," suara Gumay mengeras saat Raffan sudah menyalakan kembali motornya.

Rombongan motor itu berjalan beriringan di jalanan malam yang diterangi oleh sinar bulan dan bantuan beberapa lampu jalanan yang cahayanya redup.

Motor mereka berhenti di cafe tempat biasa mereka berkumpul, cafe yang padahal sudah harus tutup sejak 30 menit yang lalu terpaksa harus tetap buka karena sebelumnya Rio sudah menghubungi sang pemilik cafe yang tak lain adalah saudaranya sendiri.

Tentu saja uang yang datang tidak boleh di tolak bukan? hingga cafe itupun rela menunggu rombongan anak muda yang akan memenuhi tempat mereka.

Menyisakan dua orang pegawai yang di janjikan mendapat upah tambahan meski sudah sangat lelah dan ingin tidur tapi nyatanya iming-iming bayaran lebih membuat mereka melupakan sejenak lelah dan kantuk yang menyerang.

Kedua pegawai pria itu gegas bangkit dari keterkantukan ketika mendengar suara-suara motor di luar cafe, menandakan yang mereka tunggu sudah datang, dan itu artinya mereka hanya memerlukan sedikit waktu lagi untuk bisa pulang ke rumah dan beristirahat.

Dan dalam sekejap cafe yang tadinya tentram itu menjadi begitu ramai serta gaduh dengan sorak-sorai dari teman-teman Raffan, dua pegawai pun menggeleng kepala serta mengurut kening bersamaan mulai pening yang sekedipan mata menyerang bertubi-tubi.

"Kayak nggak kenal mereka saja," ejek Raffan pada pegawai yang sudah sangat dia kenal.

Mereka sudah sering datang ke cafe ini tentulah pemandangan rusuh begini sudah bukan lagi hal yang aneh dan pegawai itu juga sudah mengenal mereka semua.

"Malam ini kita pesan semua yang kita inginkan, untuk sekian kalinya Raffan yang akan membayar!" seru Gerry di sambut dengan sorak senang dari teman-temannya.

Raffan menyunggingkan senyum seraya membenarkan letak gelang tali yang dia pakai, hiasan di tubuhnya bukannya di bagian tangan saja melainkan ada satu tindikan di telinga kanannya, nyatanya anak dari seorang Ustad belum tentu menuruti sifat Ayahnya.

Lihatlah penampilan Raffan, berbanding jauh dengan sang Ayah yang kerap memakai Koko serta kain sarung tidak ketinggalan dengan peci berwarna hitamnya.

Anak ini sepertinya tidak akan pernah menduga apa yang akan dia hadapi saat pulang nanti.

******

Seolah Maling

Jam menunjukkan pukul 03.12 saat suara motor masuk ke halaman rumah yang pagarnya masih tertutup, seorang security membukanya sebab tau siapa yang datang pada dini hari seperti ini.

Jelas sangat mengenal dengan suara motor yang sering kali dia bersihkan jika di minta oleh sang empunya, tentunya tanpa membuang tenaganya sia-sia karena dia akan diberikan imbalan atas kerja sampingannya itu.

"Ayah sudah ke masjid belum?" tanya Raffan dari balik helmnya.

Memang karena setiap paginya Ustad Imran akan pergi ke masjid untuk sholat subuh berjamaah dan tak jarang dialah yang akan menjadi imamnya.

"Belum lah den, ini baru jam tiga lewat," sahut sang security memeriksa jam tangannya.

Raffan tak menjawab hanya kini mematikan mesin motor yang suara sering kali membuat Ibunya marah karena dianggap mengganggu pendengaran, terlebih mereka hidup bertetangga dan yang memiliki telinga bukan hanya mereka saja.

Pemuda itu melepaskan helmnya lalu meletakkannya di atas tangki motor dan mendorong motor besarnya itu menuju garasi rumah, mendorong dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara apapun yang mungkin akan membuat Ayah dan Ibunya terbangun dari tidur yang masih beberapa menit lagi.

Raffan memarkirkan motornya lalu memilih masuk melalui pintu samping yang memang jarang sekali di kunci.

Jalan mengendap-endap layaknya pencuri di rumah orang tuanya sendiri sebab was-was akan terpergok dna di paksa harus mendengarkan ceramah di pagi buta sedangkan dia sangat ingin bertemu dengan tempat tidurnya serta memeluk guling sekaligus memejamkan mata dengan damai setelah begadang dengan teman-temannya.

Tangannya menahan meja pajangan kecil di dekat sofa yang tidak sengaja di senggol, napasnya tertahan seraya gerakan tubuh yang terhenti.

Harus bergerak sehati-hati mungkin untuk tidak membangunkan orang tuanya, kembali melanjutkan langkah melewati kamar orang tuanya yang masih tertutup rapat menuju tangga dan hendak menjejakkan kakinya di sana.

"Ehhhm!"

Suara deheman sontak membuatnya mematung dengan tubuh yang membungkuk dengan kedua mata yang melebar, Raffan kenal betul siapa pemilik deheman di belakang tubuhnya.

"Hadduh, marabahaya di depan mata," keluh Raffan membayangkan akan seperti apa kemarahan Ayahnya dan akan sepanjang apa ceramahnya pagi ini.

"Duduk kamu!" pinta Imran dan penuh ketegasan juga tak luput dari emosi yang masih berusaha untuk dia redam.

Hayati yang baru keluar dari dalam kamar menggeleng gemas melihat anaknya yang lagi-lagi untuk sekian kali ulahnya membuat suaminya kesal.

"Duduk!" bentak Imran pada sang anak yang tidak bergerak di tempatnya untuk mengikuti perintahnya.

"Masuk rumah tidak mengucap salam malah mindik-mindik seperti maling," cecar Imran menduduki sofa di ruang keluarga.

"Assalamu'alaikum," suara Raffan begitu pelan nyaris seperti bisikan.

"Wa'alaikumsalam," meski masih kesal namun Imran dan Hayati menjawab salam yang terlambat dari anak mereka.

Hayati menyalakan lampu hingga ruangan yang tadinya remang menjadi terang benderang membuat Raffan mengerjapkan mata menyesuaikan pandangan matanya akibat sinar lampu yang langsung menyilaukan pandangannya.

"Tampaknya keseringan pulang pagi membuat kamu jadi tuli Raffan," ketus Imran padahal sejak tadi dia sudah meminta anaknya itu untuk duduk namun sejak tadi juga pemuda itu masih saja berdiri.

Raffan menggaruk kepalanya lalu melirik pada Ibunya yang tidak bersuara, dia cukup tau karena Ibunya itu tidak akan mau membelanya karena Raffan pun sadar tingkahnya memang seenaknya saja, bukan seorang penurut bahkan lebih sering kabur saat orang tuanya itu mengajaknya membaca ayat suci Al-Quran, yah meskipun dia juga masih ingat akan kewajibannya sebagai seorang muslim dengan sholat lima waktu yang kadang tidak tepat waktu, sering terlambat apalagi jika waktunya sholat subuh.

"Lihat penampilanmu itu, astagfirullah," Ustad Imran melihat penampilan Raffan yang sedang berjalan menuju sofa.

Raffan berhenti sejenak lalu meneliti dirinya sendiri, "kan Raffan emang kayak gini Ayah," sahut Raffan lalu dengan cuek menghempaskan tubuhnya ke atas sofa diiringi dengan decakan dari mulut Ayahnya.

Mata Sang Ayah terasa begitu tajam dan menusuk menguliti tidak terima dengan jawaban enteng dari anaknya.

Hayati duduk di samping suaminya seraya mengurut kening, matanya juga terasa seperti kelilipan melihat anaknya yang semakin hari semakin menjadi saja, dua mata Hayati terpaku pada telinga kanan anaknya memicingkan mata guna memperjelas apa yang matanya lihat, rasa penasaran makin menjadi hingga menggodanya untuk bangkit dan mendekati anaknya.

"Kamu pakai anting?!" berseru kaget dengan wajah yang sangat dekat dengan telinga sang anak, dan jelas suaranya yang kencang membuat Raffan berjengkit menjauh sambil menutupi telinganya yang terasa berdengung akibat seruan Ibunya yang melengking.

Dan pertanyaan itu sukses membuat Raffan terhenyak, dia lupa melepas antingnya saat pulang tadi, dia menunduk tak berani menatap pada Ayahnya yang dia yakin benar akan segera menyemburnya dengan segala Omelan.

\*\*\*\*\*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!