NovelToon NovelToon

Tawanan Cinta Playboy

Bab 1 Playboy Cap Kadal

Lama sekali datangnya. Katanya jam dua siang sudah sampai. Ini udah jam tiga masih belum juga nongol. Ah ... Sandal kebiasaan telat. Kamu pikir menunggu itu enak? Big no, Sandal. Punya sahabat dan bos, kenapa modelan kayak dia sih? Udah Playboy, senang banget PHP-in orang, gerutu Thalia Rafika Azhari dalam hati.

Seorang gadis cantik yang imut dengan Surai hitam yang panjang, terus saja menggerutu. Dia yang diminta menjemput bosnya sekaligus sahabatnya di bandara, harus menunggu lebih dari satu jam. Karena ternyata Sandiaga Lancanter, seseorang yang sedang dia tunggu, seseorang yang dia cintai dalam diam belum menunjukkan batang hidungnya. Padahal dari jadwal penerbangannya, seharusnya sudah sampai satu jam yang lalu.

Saat Thalia sedang asyik menggerutu, terlihat segerombolan orang yang baru keluar dari terminal kedatangan domestik. Namun, yang membuat gadis itu merasa kaget, saat ada seseorang yang memanggil nama khususnya.

"TALI RAFIA, AKU DATANG ...," teriak Sandi, nama panggilan Sandiaga Lancanter sehari-hari.

Terlihat Sandi menarik kopernya dengan seorang gadis cantik. Gadis itu menggandeng tangan Sandiaga dengan mesra. Melihat semua itu, Thalia hanya bisa menghembuskan napas pelan.

Gadis mana lagi yang dia bawa? Pasti nanti aku yang repot saat si Sandal ingin lepas dari gadis itu, batin Thalia.

"Kenapa baru sampai? Kamu tahu, aku menunggu dari satu jam yang lalu. Besok-besok aku gak mau kalau diminta buat jemput kamu lagi," sewot Thalia saat Sandi sudah ada di depannya.

"Jangan marah dong, Sayang! Aku terpaksa mundur satu jam, karena Airin ingin pulang bersamaku. Rin, kenalin ini sahabat aku yang paling top markotop." Sandi langsung merangkul pundak Thalia. Sudah bukan hal yang aneh bagi Thalia jika Sandi bersikap seperti itu.

"Hai ... Aku Airin. Pacar barunya Sandi."

"Aku Thalia," ucap Thalia datar.

"Ayo sayang-sayangku, kita pulang. Tali, kita antar Airin dulu ya! Baru pulang," ucap Sandi.

"Siap, Bos!" Thalia langsung berlalu pergi menuju ke mobilnya. Sebisa mungkin dia menyembunyikan rasa tidak sukanya saat melihat Sandi dan Airin berjalan bergandengan tangan.

Sadar Thalia! Sandal hanya menganggap kamu sebagai sahabatnya. Tidak mungkin dia memiliki perasaan yang sama sepertimu. Kamu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan gadis-gadis yang pernah dekat dengan Sandi, batin Thalia.

"Tali, biar aku saja yang nyetir. Kamu duduk di sampingku saja," ucap Sandi.

"Aku saja yang duduk samping kamu," potong Airin.

Tanpa bicara lagi, Thalia langsung masuk ke pintu belakang. Dia tidak ingin melihat kemesraan Sandi dan Airin yang duduk di kursi depan. Thalia pun langsung memejamkan matanya. Dia memilih tidur selama perjalanan menuju apartemen.

Apa kamu cemburu Tali? Aku ingin tahu seberapa kuat kamu menyembunyikannya dariku, batin Sandi.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sandi sesekali melihat Thalia lewat kaca mobil. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna melihat kepala Thalia yang bergoyang ke sana ke mari. Rupanya gadis itu benar-benar tertidur pulas.

"Sandi, sejak kapan kalian bersahabat?" tanya Airin.

"Sejak kami duduk di bangku SMP. Aku dan Tali selalu satu kelas hingga SMU bahkan kuliah pun, kami mengambil jurusan yang sama. Makanya selain kami bersahabat, dia juga orang kepercayaan aku dalam mengelola beberapa kafe yang ada di ibu kota," jelas Sandi.

"Oh, sedekat itu ya hubungan kalian. Sampai aku sempat berpikir, kalau kalian memiliki hubungan khusus yang lebih dari sekedar sahabat," ungkap Airin.

Aku juga inginnya begitu, batin Sandi.

Setelah melewati beberapa gedung, barisan toko dan ruko serta mall yang terlihat ramai, Sandi segera membelokkan mobilnya pada sebuah perumahan elit. Dia pun langsung menghentikan mobilnya di depan rumah bercat putih dengan pagar yang tinggi.

"Mau mampir dulu gak?" tanya Airin.

"Aku langsung pulang, kasian dia udah tepar gitu." Sandi melihat sekilas ke arah Thalia yang masih betah tidur meskipun mobil sudah berhenti.

"Iya gak apa. Next time main ke rumahku ya!" pinta Airin.

"Pasti dong, Cantik!" Sandi tersenyum hangat pada Airin. "Ayo aku bantu keluarkan koper kamu!"

Sandi langsung ke luar mobil dan menuju bagasi. Setelah dia menyimpan koper Airin di depan pintu gerbang, dia pun bergegas akan masuk kembali lagi ke mobil. Namun Airin segera melongokkan kepalanya di kaca mobil.

"See you ... Thanks ya untuk semuanya," ucap Airin sebelum akhirnya dia keluar mobil.

"You're welcome."

***

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari arah rumah Airin, Sandi pun langsung membelokkan mobilnya ke arah apartemen yang dia tempati. Semenjak perceraian orang tuanya, dia memilih untuk tidak tinggal dengan salah satunya. Dia pun memilih kost di dekat rumah Thalia, sebelum akhirnya membeli apartemen.

"Kebo banget tidurnya. Apa karena jauh dari aku, kamu sampai susah tidur?" gumam Sandi saat akan mengangkat tubuh sahabatnya.

Namun, baru saja dia melongokkan kepalanya ke dalam dengan tangan yang siap mengangkat tubuh Thalia, gadis itu langsung membuka matanya. Dengan jarak wajah yang begitu dekat, Thalia bisa merasakan aroma napas Sandi. Tidak jauh berbeda dengan Thalia, Sandi pun langsung terdiam mematung. Dia menatap lekat iris mata coklat gadis yang ada di depannya.

"Awas Sandal! Jangan melihat aku seperti itu! Aku bukan gadis ...." Thalia tidak melanjutkan ucapannya saat Sandi mengecup singkat bibirnya.

"Jangan bandingkan kamu dengan gadis-gadis itu, kalau tidak ingin aku cium beneran!" Sandi langsung berlalu pergi mengambil kopernya di bagasi.

Dia tidak peduli jika Thalia akan marah-marah padanya. Sudah menjadi hal biasa jika mereka bersitegang ataupun berbeda pendapat. Karena ujungnya mereka akan berdamai seperti tidak pernah terjadi keributan di antara keduanya.

"Dasar Playboy cap kadal! Seenaknya saja main cium-cium aku," sungut Thalia.

Dia terus saja memasang wajah masam sampai masuk ke dalam apartemen Sandi. Meskipun kesal, tak urung gadis itu menyiapkan makanan untuk sahabatnya. Dia memang sengaja memasak sebelum menjemput Sandi. Agar saat Saadi datang, tinggal menghangatkannya.

"Tali, jangan marah dong! Nih aku bawakan oleh-oleh," pinta Sandi seraya memperlihatkan sebuah kotak perhiasan pada Thalia.

"Sandal, kamu kan tahu aku gak terlalu suka pakai perhiasan."

Kamu memang beda dari gadis-gadis itu, Tali. Aku memang sengaja beli buat kamu saat tadi Airin meminta di antar beli oleh-oleh untuk mamanya, batin Sandi.

"Gak apa disimpan saja, buat kenang-kenangan kalau kamu pernah menunggu aku," ucap Sandi cuek.

"Ya udah, makasih Sandal!" Thalia memaksakan bibirnya tersenyum, sehingga Sandi tertawa kecil melihat senyuman kaku dari sahabatnya.

"Gak usah senyum kalau lagi kesal! Jatuhnya jadi jelek. Kelihatan banget kalau senyumnya gak ikhlas," ucap Sandi seraya menjawil hidung Thalia gemas.

Kamu tahu, Sandal. Sikap kamu yang seperti ini, yang membuat aku salah paham dan berharap sama kamu. Aku memang bodoh, sudah tahu dia playboy tapi masih saja terbawa perasaan.

...~Bersambung~...

...Ikuti terus ya kawan kelanjutan kisah Tali Sandal! Jangan lupa dukungannya ya!...

...Terima kasih....

Bab 2 Jangan marah dulu!

Malam yang mulai larut tidak jadi halangan buat seorang gadis cantik untuk memacu kendaraannya. Thalia yang sudah terbiasa berkendara meskipun hari sudah malam, terus saja menambah kecepatan sepeda motornya, saat berada di jalan yang sepi. Sampai akhirnya, dia membelokkan roda dua itu ketika sudah sampai di sebuah rumah minimalis yang berlantai dua.

Berkali-kali dia menghembuskan napasnya kasar. Tatkala mendengar keributan dari dalam rumahnya. Dia sudah bisa menduga kalau ayah dan ibu tirinya pasti sedang bertengkar. Tidak ingin ikut campur urusan orang tuanya, dia pun berlalu begitu saja melewati ayah dan ibu tirinya.

"Dasar anak tidak tahu sopan dan santun, lewat depan orang tua tidak ada basa-basinya," hardik Eva, ibu tiri Thalia.

Mendengar ucapan ibu tirinya, Thalia pun menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Eva. "Maaf Bu! Aku hanya tidak ingin mengganggu pembicaraan Ibu dan Ayah."

"Dari mana kamu jam segini baru pulang? Sudah lulus kuliah tapi masih belum kerja di perusahaan besar. Untuk apa kamu punya gelar sarjana tapi hanya kerja jadi pelayan kafe," cela Eva. Dia sangat tidak suka melihat Thalia berteman baik dengan Sandi. Karena menurutnya, putrinya lebih cocok dekat Sandi. Namun, pemuda itu seakan tidak pernah melihat ke arah putrinya.

"Jaga bicaramu, Eva! Meskipun hanya bekerja di kafe tapi setidaknya dia memiliki pekerjaan. Tidak menghambur-hamburkan uang terus seperti kamu ataupun putrimu itu," sentak Gerry, ayahnya Thalia.

"Ayah, kenapa perhitungan sekali sama anak dan istri? Aku menghamburkan uang juga untuk menjaga penampilan agar tidak mempermalukan Ayah," sanggah Eva.

"Sudahlah! Aku capek bicara denganmu. Sudah berkali-kali aku bilang, jangan terlalu sering belanja online. Tapi kamu tidak mau mendengarkan. Mending kalau toko kita sedang rame, lah sekarang kondisinya sedang sepi karena sudah banyak minimarket di daerah sini."

"Makanya Ayah terima saja tawaran Tuan Simon. Gak ada ruginya buat kita."

"Maaf Ayah, Ibu, apa boleh aku ke kamar? Aku merasa lelah ingin segera istirahat," tanya Thalia.

"Istirahat saja, Nak. Jangan pedulikan kami!" suruh Gerry.

"Baik, Ayah! Selamat malam," sahut Thalia kemudian berlalu pergi menuju ke kamarnya.

Terkadang Thalia merasa sakit hati dengan ucapan Eva yang bicara seenaknya. Akan tetapi, sebisa mungkin dia memakluminya. Apalagi, Thalia tahu kalau selama ini Eva yang telah mengurusnya. Meskipun perlakuannya sering berat sebelah antara dia dan adik tirinya.

Sabar Thalia, orang sabar disayang Tuhan, batin Thalia.

Perlahan Thalia membuka pintu kamarnya. Bersamaan dengan Tifani, adik tirinya yang keluar dari kamar sebelah. Karena memang, kamar mereka bersebelahan.

"Baru pulang, Kak?" tanya Tifani.

"Iya, Kakak masuk dulu ya!" pamit Thalia seraya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Thalia langsung menuju ke tempat tidur. Dia merebahkan badannya yang lelah. Pandangan menatap lurus ke langit-langit kamar. Hati dan badannya sangat lelah, sehingga tidak butuh waktu lama, Thalia pun masuk ke dunia mimpi.

Dini hari menjelang, Thalia terbangun saat mendengar bunyi ponselnya yang tidak mau berhenti. Dia pun segera mencari di mana ponsel itu dia simpan. Saat sudah menemukannya, dilihatnya sebuah nama yang sedari tadi terus menerus menghubunginya.

"Sandal, ngapain sih pagi-pagi ganggu orang tidur. Masih jam tiga pagi sudah rusuh," gerutu Thalia seraya menggeser tombol hijau di ponselnya.

"Pagi, Sayang!" terlihat di layar ponselnya Sandi tersenyum manis padanya.

"Apaan sih, Sandal? Pagi-pagi udah gangguin orang saja. Lihat masih jam tiga pagi!"

"Hehehe ... Sengaja aku bangunin biar kamu gak telat bangun. Apa kamu lupa, pagi ini kita akan berangkat ke puncak? Aku jemput kamu jam enam pagi, harus sudah siap dan cantik. Kita akan mampir dulu ke lokasi syuting Camelia."

"Apa?! Demi gadis itu kamu tega mengganggu waktu tidurku? Jahara kamu jadi sahabat aku!" pekik Thalia kesal.

"Eits ... Jangan marah dulu! Nanti aku kasih bonus tambahan oke! Katanya kamu ingin lanjut S2, lumayan loh buat tambah tabungan," rayu Sandi.

"Iya, iya! Aku tutup ya, aku mau siap-siap dulu!"

Klik

Thalia langsung menutup ponselnya. Dia pun melanjutkan tidurnya. Masa bodoh dengan apa yang Sandi katakan, yang penting saat jam enam pagi, dia sudah siap untuk berangkat ke puncak.

Sementara Sandi tersenyum senang karena berhasil mengerjai sahabatnya. Semalam dia tidak bisa tidur karena banyak hal yang harus dia pikirkan. Makanya dia sengaja mengubungi Thalia agar hatinya bisa tenang.

Hanya dengan menatap wajah gadis itu, ataupun mendengar suara cerewetnya, semua hal yang mengganggu pikirannya seolah-olah sirna.

"Sudahlah! Aku tidur satu jam dulu!" gumam Sandi.

Hatinya sudah mulai tenang. Pikirannya sudah bisa diajak kompromi. Dia pun langsung terpejam saat kepalanya menempel pada bantal.

Pagi harinya, lagi-lagi Thalia dibuat kesal oleh Sandi. Pemuda tampan yang mengajaknya berangkat jam enam pagi, ternyata masih tertidur lelap. Thalia terpaksa menyusul Sandi ke apartemennya karena saat jam sudah menunjukkan angka tujuh, sahabatnya itu belum menampakkan batang hidungnya.

"Ya ampun Sandal bangun! Lihat sudah siang! Katanya mau ke puncak, lihat pembangunan kafe di sana." Thalia terus menggoyang-goyangkan tubuh Sandi hingga akhirnya pemuda tampan itu membuka matanya.

"Tali, banguninnya yang benar dong! Masa seperti itu," protes Sandi.

"Memang harus seperti apa? Ayo cepat bangun! Lihat, sudah jam tujuh lewat!"

"Harusnya seperti ini." Sandi langsung menarik tangan Thalia hingga gadis itu jatuh di atas tubuh kekar sahabatnya.

"Sandal apa-apaan sih?" Thalia langsung bangun dari tubuh sahabatnya. Dia tidak ingin kalau Sandi sampai tahu jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Jantung tolong kondisikan! Jangan sampai dia besar kepala karena tahu jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, batin Thalia.

"Cepat mandi, aku siapkan sarapan dulu." Thalia langsung berlalu pergi meninggalkan Sandi menuju ke dapur.

Setibanya di dapur, gadis itu langsung mencengkeram dadanya. Jantung masih berdetak kencang. Dia pun mengambil napas dalam-dalam untuk menetralkan perasaannya.

Sementara Sandi hanya tersenyum samar. Dia pun langsung bergegas menuju ke kamar mandi. Setelah semua urusan kamar mandi selesai, Sandi segera berpakaian dan merapikan penampilannya.

Pemuda tampan itu berjalan begitu gagahnya menghampiri Thalia yang sedang menyiapkan sarapan untuknya. Tanpa suara, dia mencuri ciuman pipi sahabatnya. "Makasih, Tali!" ucapnya.

"Makasih buat apa? Apa kamu begitu senang membuat aku kesusahan? Pagi-pagi bangunin aku, suruh bersiap pagi-pagi, katanya mau ke lokasi syuting Camelia tapi setelah aku menunggu satu jam lebih, ternyata kamu masih asyik-asyikan tidur," cerocos Thalia sewot.

"Tali jangan marah! Nanti gak laku loh," cetus Sandi.

"Apa?? Kamu nyumpahin aku gak laku? Sungguh terlalu kamu, Sandal!"

...~Bersambung~...

...Dukung terus Author ya kawan! Klik like, comment, vote, rate, gift, dan favorite....

...Terima kasih....

Bab 3 Bertemu Idola

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Sandi begitu berburu-buru karena Camelia sedari tadi terus menghubunginya. Artis ibu kota seperti tidak sabaran menunggu pacar yang baru dekat dengannya sebulan yang lalu.

Setibanya di lokasi syuting, Sandi begitu saja meninggalkan Thalia di mobil. Dia secepat mungkin untuk menemui Camelia.

Kalau gak butuh buat endorse kafe, males banget harus bela-belain datang ke sini. Serasa jadi pesuruh," sungut Sandi dalam hati.

Wajah tampan dengan senyum yang mempesona mampu menutupi isi hati pemuda itu. Dia menghampiri Camelia yang sedang break syuting dengan tersenyum manis pada gadis cantik itu.

"Kenapa lama sekali? Kamu kan janji akan datang pagi-pagi." Camelia langsung mencecar Sandi.

"Sorry, Cantik! Kamu tahu sendiri jalanan ibu kota setiap hari selalu macet. Aku sudah usahakan berangkat pagi tapi ternyata terjebak macet. Ya mau gimana lagi, akhirnya aku datang telat," elak Sandi.

"Alasan saja kamu. Lalu rencananya gimana sekarang? Aku sudah mulai syuting," tanya Camelia melihat ke arah laki-laki yang mampu menggetarkan hatinya.

"Tidak apa, kamu syuting saja dulu. Nanti aku kembali kalau kamu selesai. Background langit senja juga tidak buruk untuk mengambil gambar," ucap Sandi.

"Baiklah, kamu atur saja. Aku selalu siap jika gak lagi syuting."

"Sayangku memang yang ter-the best," puji Sandi seraya mencium tangan gadis itu.

Sementara Thalia yang merasa bosan di dalam mobil menunggu Sandi yang sedang bercengkerama dengan kekasihnya, Dia pun berjalan-jalan sendiri di area syuting. Matanya yang terus berkelana melihat semua orang yang ada di sana, membuat Thalia tidak menyadari ada kabel yang menghalangi langkah kakinya.

Tubuh mungilnya menjadi oleng dan hampir terjatuh. Untung saja ada sebuah tangan kekar yang menariknya. Membuat Thalia tidak harus mempermalukan dirinya di tengah-tengah lokasi syuting.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya seseorang yang memiliki suara bass.

Thalia langsung mendongak, dia ingin tahu siapa orang yang telah menolongnya. Namun, saat dia tahu siapa orang itu, mulutnya langsung menganga, matanya melotot tidak percaya kalau laki-laki yang sudah menolongnya adalah artis idolanya.

"Jojo Frizt, benarkan kamu idolaku?" tangan Thalia terulur ingin memegang pipi laki-laki yang jadi idolanya itu.

Namun secepat mungkin Jojo menahan tangan Thalia, "Jangan asal memegang pipi orang! Aku tidak suka!"

"Maaf! Bolehkan kalau aku meminta tanda tanganmu? Aku fans berat kamu," tanya Thalia.

"Baiklah! Tapi setelah ini jangan menggangguku!"

"Terima kasih Idola," ucap Thalia dengan wajah yang berbinar. Dia langsung mengeluarkan spidol yang ada di dalam tasnya. Tanpa mengeluarkan kertas, Thalia langsung memberikan spidol itu pada Jojo.

"Tulis di mana?" tanya Jojo bingung.

"Di sini saja," tunjuk Thalia pada dadanya.

Jojo sempat mengeryitkan keningnya dengan apa yang dilakukan oleh gadis itu. Namun, tak urung dia pun mengabulkan keinginan Thalia. Tanpa merasa sungkan, Jojo pun memberi tanda tangannya di dada atas Thalia.

"Makasih, Jojo!" ujar Thalia setelah Jojo memberikan spidol kepadanya.

Sementara Sandi yang melihat semua itu, hatinya langsung bergejolak. Dia merasa tidak suka melihat Thalia dekat dengan laki-laki lain. Setelah pamit pada Camelia, Sandi langsung menarik tangan Thalia yang sedang asyik berbincang dengan Jojo.

"Kasar banget sih, Sandal!" gerutu Thalia.

"Gak usah protes! Ayo cepat kerja! Kita ke sini bukan untuk bersenang-senang ataupun menggoda lelaki, tapi untuk kerja kerja dan kerja," ketus Sandi.

Idih, nih bocah kesurupan apa? Bukannya dia sendiri yang mengajak ke sini? Kenapa sekarang dia yang malah marah-marah? Sepertinya harus dijampi-jampi biar setannya hilang, batin Thalia.

Saat keduanya sudah sama-sama duduk di dalam mobil, Thalia segera melaksanakan keinginannya untuk menjampi-jampi sahabatnya. Dengan memegang kepala Sandi, dia pun mulai merapalkan jampi-jampi yang diingatnya.

"Wus ... wus ... Jangan ganggu jangan iseng. Kita ke sini tidak punya niat jahat. Sandal pulang Sandal," panggil Thalia dengan mengusap wajah Sandi berkali-kali. Tentu saja hal itu membuat Sandi heran dengan apa yang dilakukan sahabatnya.

"Hey hentikan! Apa yang kamu lakukan Tali?" Sandi langsung memegang tangan Thalia. Dengan sorot mata yang mengintimidasi, dia menatap dalam sahabatnya.

"Aku hanya ingin menyadarkan kamu agar tidak usah marah-marah terus."

"Kamu pikir, aku kerasukan setan?" tanya Sandi.

"Iya, lihat mata kamu melotot seperti itu sangat mengerikan. Aku seperti tidak mengenal sahabatku sendiri."

Tidak ingin berdebat lagi, Sandi langsung menyalakan mesin mobil. Dia menghela napas berkali-kali untuk menetralkan perasaannya. Sungguh, dia sangat tidak suka melihat Thalia bersama dengan lelaki manapun. Baginya, Thalia hanya miliknya. Meskipun status mereka hanya sebagai seorang sahabat.

Melihat Sandi yang fokus dengan jalanan yang berkelok-kelok, Thalia memilih diam dan berpura-pura tidur. Itu cara ampun yang selalu dia lakukan saat tidak ingin berdebat dengan Sandi ataupun melihat pemuda itu bersama dengan gadis lain.

Saat mobil sudah sampai di tempat tujuan, keduanya pun turun tanpa bersuara sedikit pun. Sandi masih kesal dengan apa yang dilihatnya. Sementara Thalia tidak ingin mencari masalah yang membuat laki-laki itu akan marah-marah lagi.

Sandi terus berkeliling kafe yang belum rampung dibangun. Dia dengan teliti mengecek tiap detail desain interior kafe barunya. Setelah memastikan semuanya seperti yang dia inginkan, dia pun langsung menemui pekerja di sana.

"Mas, kira-kira kalau minggu depan sudah bisa dipakai tidak?" tanya Sandi.

"Saya usahakan bisa, Mas. Ini tinggal finishing saja," jawab penanggung jawab pembangunan kafe.

"Sip, aku ke sana dulu," tunjuk Sandi pada Thalia yang sedang duduk di bangku panjang. Gadis itu sedang menikmati pemandangan di pinggir jurang.

Tanpa bicara lagi, Sandi langsung merebahkan badannya dan menjadikan paha Thalia sebagai bantalnya. Dia langsung memejamkan matanya. Menghindari cahaya sinar matahari yang menyilaukan.

"Udah selesai belum?" tanya Thalia.

"Udah. Kamu catat apa saja yang dibutuhkan untuk lounching Minggu depan. Nanti sore pemotretan Camelia. Dia bersedia menjadi endorse," terang Sandi.

"Oke, aku akan siapkan segala sesuatunya."

"Tali, ada hubungan apa kamu sama Jojo?" tanya Sandi dengan mata yang masih terpejam.

"Tidak ada! Selain fans dengan idolanya. Tapi kalau dia bersedia jadi suamiku, aku tidak keberatan. Pasti banyak gadis yang akan iri sama aku. Wartawan pun pasti mencari tahu tentang aku. Sepertinya akan menyenangkan jika nanti jadi istrinya," cerocos Thalia.

"Aku tidak mengijinkan!" tukas Sandi.

"Emang ngaruh persetujuan kamu? Sudahlah! Aku mau cari minum dulu. Kamu mau ikut atau tunggu di sini saja?"

"Aku ikut!" Sandi langsung bangun dari tidurnya. Dia tidak ingin kecolongan lagi. Membiarkan Thalia bisa bebas bercengkerama dengan laki-laki lain selain dirinya.

...~Bersambung~...

...Dukung terus Author ya kawan! Klik like, comment, vote, rate, gift dan favorite....

...Terima kasih....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!