NovelToon NovelToon

I Love You, Sis!

Bab 1 -- Hadiah Ulang Tahun

"A Sister." jawab Tristan dengan cepat dan mantap saat kedua orang tuanya bertanya apa yang akan dimintanya sebagai hadiah ulang tahunnya kali ini.

Tristan adalah seorang anak tunggal dari pimpinan Harrison group. Kemampuan berpikir dan membuat keputusannya jauh lebih dewasa dari anak-anak seusianya.

Dan sudah pasti, kelak dia yang akan menjadi pimpinan selanjutnya di Harrison Group.

Sejak kecil, dia bahkan sangat tahu bagaimana susahnya kedua orang tuanya berjuang mendapatkan dirinya. Berbagai macam upaya dan pengorbanan dilakukan oleh Tuan dan Nyonya Harrison. Bagi orang tua Tristan, berhasil mendapatkan seorang anak adalah sebuah keajaiban dari Tuhan.

Tapi, Tristan malah meminta seorang adik di. ulang tahunnya yang kedua belas. Semua akan lebih mudah, andaikata dia meminta sebuah ponsel atau game keluaran terbaru, mainan super canggih bahkan playground terlengkap sekalipun. Semua itu bisa dengan mudah diberikan oleh kedua orang tuanya.

Dia bisa saja meminta hadiah yang lain. Kalau Tristan merasa kesepian, dia bisa saja meminta teman sebaya. Setidaknya, teman lelaki sebaya supaya dia bisa berkomunikasi atau bermain bersama.

Dan juga bukan masalah besar, kalau Tristan menginginkan sebuah pesta termewah dengan teman-teman sebanyak yang dia mau. Kapanpun dia meminta, maka semua akan terlaksana dengan baik dan cepat.

Atau, boleh saja Tristan meminta benda hidup lainnya. Kucing, kuda atau anjing termahal sekalipun adalah hal kecil bagi keluarga Harrison.

Tapi, seorang adik perempuan?

Sebuah permintaan yang tak pernah disangka-sangka oleh kedua orang tuanya.

"Kalian bisa mengadopsinya, lalu memberikannya untukku." kata Tristan lagi saat mendapati kedua orang tuanya hanya diam dan termangu.

"Tapi Nak, mempunyai adik itu besar tanggung jawabnya." Mama Tristan dengan lembut berusaha memberi pengertian.

"Kalian bisa menyewa baby sitter terbaik, mengatur ahli gizi untuknya atau orang-orang terbaik untuk merawatnya. Dan aku, aku akan menjaganya." jawab Tristan lagi, matanya menyorotkan keyakinan.

Disaat kebanyakan orang berpikir menjadi anak konglomerat akan sangat menyenangkan, Tristan justru merasa kesepian. Sebagai pebisnis dengan banyak anak perusahaan, Papanya sibuk mengurus bisnisnya, sedangkan Mamanya sibuk dengan kegiatan pribadi maupun yang mendukung kemajuan perusahaan.

Sementara Tristan? Memang dia dikelilingi dengan orang-orang lulusan terbaik dan bersertifikasi untuk mengurus dan mengatur kegiatannya, termasuk pendidikan dan pergaulannya. Tapi, ada yang kosong dihatinya.

"Bagaimana kalau keluar negeri untuk berlibur?" Mamanya menawarkan sebuah paket liburan mewah ke Disneyland yang biasanya disukai oleh anak-anak seusianya. Tapi, Tristan bergeming.

Bagi Tristan, untuk apa liburan mewah kalau hanya ditemani oleh baby sitter yang sudah merawatnya sejak kecil.

Papa dan Mama Tristan tak mengerti, kalau seorang anak tidak butuh harta melimpah. Yang mereka butuhkan adalah seorang teman dan sebuah quality time. Dan yang lebih penting lagi adalah sebuah cinta dan kehangatan keluarga.

"Atau kamu bisa memilih tour terbaik, kemanapun kamu mau. Tidak harus ke Disneyland. Bagaimana?" kali ini Papa Tristan yang mencoba bernegosiasi.

Dia menunjukkan ponsel pintarnya, dan menunjukkan berbagai destinasi wisata baik didalam maupun luar negeri kepada Tristan.

"Aku sudah cukup besar untuk menggunakan jasa seorang Baby Sitter. Biarlah Suster Anna merawat adikku kelak. Aku tahu bagaimana dia menyayangiku dan sudah pasti dia akan menyayangi adikku juga." Tristan tidak menjawab pertanyaan Papanya, tapi malah menegaskan rencana terhadap adiknya kelak.

"Terus terang, kami sudah cukup kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Kami bahkan hampir tak punya waktu untukmu, anak kandung kami. Bagaimana bisa kami malah mengambil seorang anak hanya untuk ditelantarkan?" Tuan Harrison menghembuskan napas penuh penyesalan.

Mama Tristan berpindah tempat duduk ke sebelah anak satu-satunya, dia mengelus lembut kepala Tristan yang nampak berpikir.

"Mintalah apapun, asal jangan seorang adik." katanya kemudian.

"Mama dan Papa tak usah khawatir. Tristan hanya memohon supaya kalian memberikannya tempat tinggal, pakaian, makanan dan pendidikan yang terbaik. I'll take the responsibility to love her."

(Saya yang akan bertanggung jawab untuk mencintainya).

Astaga! Tuan dan Nyonya Harrison begitu takjub melihat bagaimana anak mereka tanpa keraguan bernegosiasi untuk mendapatkan keinginannya. Tristan bahkan nampak mengerti apa saja kebutuhan untuk adiknya kelak.

Rasa bangga dan juga kalut meliputi perasaan mereka. Bangga melihat kemampuan negosiasi Tristan yang sudah terlihat mantap diusianya yang masih dua belas tahun. Namun juga kalut, karena memiliki seorang anak lagi tidak pernah ada dalam angan-angan Tuan dan Nyonya Harrison.

"Aku berjanji akan belajar lebih keras dan tak akan mengecewakan kalian. Aku dan adikku tidak akan merepotkan kalian. Begitu aku bekerja, aku yang akan memenuhi semua kebutuhannya." Tristan menutup pembicaraan dengan dengan tatapan yakin memancarkan sorot "jangan tolak permintaanku".

Mama dan Papa Tristan saling berpandangan dan nampak berpikir keras karena memang bukan masalah uang yang membebani pikiran mereka.

Panti Asuhan Kasih

"Aku menyukainya." Tristan mengelus lembut pipi chubby seorang bayi perempuan.

Bayi perempuan lucu dengan mata bulat. Kalau melihat caranya duduk, mungkin usianya kurang lebih enam bulan.

"Kamu yakin sanggup menjaga dan menyayanginya?" tanya Mama Tristan sekali lagi pada Tristan.

"Sure!" jawab Tristan tegas.

"Bagaimana menurutmu Anna?" kali ini Nyonya Harrison bertanya pada Suster Anna.

"Apapun yang membuat Tuan Muda bahagia, saya siap Nyonya." Suster Anna sedikit membungkukkan tubuh, siap menerima perintah.

Biar bagaimanapun, Nyonya Harrison kuatir kalau-kalau permintaan Tristan hanyalah sebuah keinginan sesaat dan tidak dibarengi tanggung jawab. Membesarkan dan merawat seorang anak bukanlah masalah sepele.

Dia masih ingat bagaimana pusingnya menghadapi rengekan Tristan kecil yang terus menanyakan keberadaannya setiap kali dia ada diluar rumah untuk kepentingan tertentu.

Tidak! Nyonya Harrison benar-benar tidak mau mengulang "kerepotan" waktu itu. Terlebih lagi untuk anak yang bukan darah dagingnya.

"Lihatlah, dia berhenti menangjs dan menggenggam tanganku sambil tertawa. Itu artinya dia juga menyukaiku." jawab Tristan. Matanya tak lepas memperhatikan baby girl yang tengah bergumam tak jelas.

"Nak, kamu masih bisa berubah pikiran sebelum Papa menyuruh asistennya mengurus surat-surat adopsi." Nyonya Harrison membujuk dengan rasa putus asa.

Dia menyadari kalau Tristan biasa mendapatkan apapun yang diinginkannya. Selain gigih untuk mendapatkan keinginannya, Tuan Harrison juga selalu mengabulkan apa pun keinginan anak tunggalnya. Boleh dibilang, semua itu kompensasi dari Tuan Harrison yang sering tak punya cukup waktu untuk Tristan.

Saat urusan adopsi sudah selesai, Tristan menyuruh Suster Anna menggendong dan menimang bayi perempuan yang sedari tadi dikaguminya.

"Hei... kamu akan menjadi adik dan temanku mulai saat ini. Jangan kuatir, aku akan menjaga dan menyayangimu seumur hidupku." bisik Tristan di telinga bayi itu.

"Namamu adalah Crystalin Harrison. Kulit putih, bersih dan bening seperti kaca. Bibir merah dan rambut hitam. Cantik seperti Crystal." kata Tristan sekali lagi.

Bersambung ya....

Bab 2 -- Kedatangan Tristan

Suster Anna heboh.

Tuan muda tiba-tiba saja mempercepat kepulangannya. Urusan bisnisnya diluar kota sudah selesai.

Panik, Suster Anna bolak balik melihat jam di sudut kiri ponselnya. Jarinya tidak berhenti mengetik, mengirimkan pesan beruntun kepada Sang Nona Muda.

"Non, dimana? "

"Tuan Muda sudah perjalanan pulang ke rumah."

"Langsung pulang ya, Non."

"Haduuuh, Non! Jawab, Non!"

"Sus bisa kena marah Tuan Muda."

Dari sekian banyak pesan, tidak ada yang dibalas. Jangankan dibalas, terkirim pun tidak. Pesan-pesan itu semuanya centang satu, membuat Suster Anna semakin panik.

"Hhhh, Nooon! Umur Sus bisa pendek kalau Non Crystal makin bandel begini," keluhnya, memencet nomer supir yang biasa menjemput.

"PAK!" seru Suster Anna keras. "Cepat pulang! Tuan Muda pesan kalau Nona harus sampai rumah saat Tuan Muda datang."

"Haduuuh, Sus! Kaya tidak tahu saja. Non Crystal makin gede, makin nakal. Aku tunggu-tunggu tidak muncul juga," keluh Pak Supri, mengusap keringat di dahinya.

"Aku tidak mau tau, Pak! Tanya satpam. Cari ke dalam sekolah. Tanya teman. Terserah mau apa, yang penting bawa Nona pulang," perintah Suster Anna kalap, mematikan ponsel secara sepihak.

Otaknya bekerja keras, mencari cara untuk menghubungi momongannya itu. Semua akun media sosial dan aplikasi milik Crystal dibuka demi melacak jejak gadis itu.

Jantungnya berdegup kencang saat mendengar laporan dari petugas keamanan kalau Tristan sudah melewati gerbang utama. Dia mondar mandir dengan gugup, sembari otaknya berpikir alasan apa yang harus diutarakan saat ditanya soal Crystal nanti.

Suara rem berdecit semakin membuat hati Suster Anna dicekam ketakutan. Tergopoh-gopoh Suster Anna meraih nampan berisi poci berisi teh herbal dan cangkir, lalu membawanya kearah pintu utama.

BRAK!!

Pintu terbuka, sesosok laki-laki bertubuh tinggi berdiri di ambang pintu. Cahaya matahari siang menjelang sore menyorot di belakangnya. Wajah tampannya tampak semakin berkilau.

"Selamat datang, Tuan Muda. Silahkan istirahat, Tuan. Teh herbalnya sudah siap, Tuan," sambut Suster Anna, berusaha menyembunyikan kepanikannya.

"Terima kasih, Sus," angguk Tristan, tersenyum tipis. Matanya memandang berkeliling, rasanya sudah lama sekali dia pergi. Tak ada yang berubah dengan rumahnya, hanya taman yang sedikit berbeda. Pohon-pohon makin rimbun, dan bunga-bunga mulai mekar.

"Ya Tuhan! Semoga Supri berhasil membawa Nona sebelum Tuan Muda menanyakan adiknya," ucap Suster Anna berulang-ulang dalam hati.

Suster Anna menghembuskan napas lega saat kaki panjang Tristan mulai melangkah menuju keruang tengah tanpa bertanya apa pun.

Suster Anna pun mengekor, masih dengan jantung berdebar keras. Selama Crystal belum sampai rumah, maka hidupnya belum aman.

Suster Anna menunduk dalam-dalam saat menuang teh ke dalam cangkir. "Silahkan, Tuan," ucapnya semakin berdebar-debar. Biasanya setelah ini, Tristan akan meminta laporan kejadian selama dia ada diluar kota.

Orang tua Tristan jarang di rumah, mereka menyerahkan semua tanggung jawab rumah tangga kepada Tristan. Termasuk Crystal.

"Semua aman terkendali, Tuan," tutup Suster Anne setelah menyampaikan laporannya.

Tirta duduk santai, mendengarkan sambil meminum tehnya.

"Lalu, mana Crystal?" tanyanya sambil melirik ke jam tangan mahal yang melingkat di pergelangan tangan. "Jam segini seharusnya dia sudah pulang."

Suster Anna mencelos. Pertanyaan yang dari tadi ditakutkan olehnya muncul.

"Oh, Nona! Bisa-bisa Sus sama Pak Supri bisa dipecat sama Tuan Muda," tangisnya dalam hati. Belum terdengar tanda-tanda Crystal tiba di rumah.

"Ada kerja kelompok, Tuan Muda." bohong Suster Anna.

Tristan menatap dalam-dalam Suster yang sudah merawat Crystal dan dirinya sejak kecil. Dia tahu betul kalau Suster Anna baru saja berbohong untuk melindungi Crystal.

Ingin marah, tapi dia tak tega. Mata tajamnya mengamati dengan seksama wajah Suster Anna. Ada guratan-guratan halus yang mulai muncul di wajahnya. Suster Anna sudah tidak semuda seperti saat dia kecil.

"Bukan salah Suster Anna, kalau Crystal mulai bandel sekarang," ucap Tristan dalam hati, berusaha memaklumi.

Biar bagaimanapun, Suster Anna sudah seperti ibu bagi Tristan dan Crystal. Dia yang menyayangi, merawat dan menemani mereka sejak kecil.

Tidak tega melihat Suster Anna, Tristan beranjak dari duduknya.

"Kalau Crystal sudah pulang, bilang. ditunggu sama aku. Ya, Sus?"

"Baik, Tuan Muda," angguk Suster Anna, lega.

Di lantai dua, tempat dimana kamarnya dan kamar Crystal berada, Tristan menghentikan langkah di depan pintu kamar adiknya. Telinganya menangkap suara orang bercakap-cakap.

Refleks, Tristan membuka pintu kamar Crystal. Matanya langsung tertuju pada sosok gadis muda yang sedang berdiri di depan cermin.

Gadis itu berambut merah, memakai pakaian serba ketat dan super mini.

"Siapa kamu?" sergah Tristan, menatap tajam penyusup yang masuk ke kamar adik tercintanya.

Mendadak ruangan terasa hening. Semua mata mengarah kepada Tristan.

Crystal, Si rambut merah dan Suster Anna.

Suster Anna menghampiri gadis tadi. "Siapa yang mengijinkan kamu masuk sini, hah?" tanyanya galak.

Tristan memang baik, tapi dia tidak suka orang melanggar aturan. Selama ini, Tuan Mudanya melarang keras Crystal membawa siapa pun masuk ke kamarnya. Terlebih, orang yang masuk ke kamar Crystal berpenampilan sangat tidak sopan.

"Namaku Angelica," ucap gadis berambut merah tadi. Dia berlengga lenggok, berjalan mendekat kepada Tristan. Cara berjalannya terlalu genit untuk seusia dia.

Suster Anna ternganga, lalu menoleh kepada Crystal.

"Hhh, Non! Dapat kenalan dari mana sih?" ucap Suster Anna jengkel sendiri. Dia memelototi gadis berambut merah tadi.

"PERGI!" bentak Tristan saat tangan Angelica hendak menyentuhnya.

Angelica tersentak, langsung menangis tersedu-sedu seperti orang baru disiksa.

"KAK TRISTAN!"

Tristan menoleh kearah Crystal. Adiknya itu masih memakai seragam dan sepatu, duduk diatas tempat tidur.

"Sejak kapan aku mengijinkan kamu bermain di kamar. Lalu, seragam dan sepatu belum dilepas!" tegur Tristan dingin.

Crystal cemberut. Kedua tangan dilipat didepan dada. Dia tak menyangka kalau Tristan pulang lebih awal. Tahu begini, dia tidak mengajak Angelica ke rumah.

"Temanmu ini terlihat seperti bukan cewek baik-baik," nasehat Tristan.

"Dia baik kok." Crystal bersikeras.

"Lihat saja penampilannya. Pakaian minim, rambut diwarnai mencolok." Tristan bersedekap memandang Crystal, mengabaikan Angelica yang masih menangis.

"Kamu juga sebaiknya, jangan sembarangan memilih teman. Satu lagi, aku tidak suka kamu melanggar aturan," tambah Tristan lagi. Nada suaranya lembut, berusaha memberi pengertian adiknya yang masih SMA.

"NO! Angelica itu temanku! Dia bukan orang sembarangan. Dia temanku!" seru Crystal, memeluk Angelica erat-erat.

"Crystaline!" panggil Tristan penuh penekanan.

"Kak Tristan jahat!"

Crystal menghentakkan kaki ke lantai, lalu membelalakkan mata pada Tristan.

Bab 3 -- Bukan Anak Kecil Lagi

Crystal menatap tajam kearah Tristan dengan sorot mata yang menyala-nyala. Dihentakkannya kaki ke lantai sebagai tanda dia memberontak.

Tristan terdiam. Percuma melawan bocah ingusan yang emosinya sedang meletup-letup, tidak akan didengarkan.

"Kakak bawa pesananmu. Semua lengkap. Mission completed, Sayang." Tristan mencoba mengubah taktiknya.

Matanya memancarkan rasa sayang dan dia membuka tangannya lebar-lebar. Biasanya Crystal akan langsung meloncat dan menghambur ke pelukannya.

Crystal menyipitkan mata, gayanya sudah mirip sekali dengan anak badung yang sedang mengambek. "Kakak mau menyogok aku? Aku tidak mau apa - apa! Aku cuma mau Mbak Putri!"

Hah?

Gagal?

Tristan melirik Suster Anna yang berdiri diambang pintu. Dia menghela napas, dan matanya memandang teduh kearah Tristan. Memohonkan maklum untuk anak remaja labil didepan mereka.

"Suster Anna, ambil poster diruang kerjaku. Bakar! Lalu buang semua merchandise-nya." perintah Tristan begitu sampai dipintu, wajahnya tampak acuh tak acuh sambil melangkah cepat meninggalkan kamar Crystal tanpa menoleh sedikit pun.

"Baik, Tuan." jawab Suster Anna patuh. Dia memberi jalan pada Tristan lalu ikut melangkah keluar kamar menuju ke arah ruang kerja sang tuan muda.

Crystal terjengit. "NOO!!! GAK BOLEH! JANGAN DIBAKAR!!!" Crystal melepas pelukannya pada Putri, dan berlari mengejar kakaknya dengan panik.

Kata poster, membuat Crystal teringat kalau pernah memesan merchandise salah satu Kpop idolanya lengkap dengan tanda tangan asli. Semua ORI! Dan, Kakaknya yang hebat itu tak pernah gagal memenuhi keinginannya.

"Got you!!"

Tristan tersenyum penuh kemenangan, langkahnya terasa ringan. Dia tahu bagaimana caranya menaklukkan Crystal.

Keesokan paginya, Tristan sudah turun lengkap dengan setelan jas kerjanya. Lalu dia ke dapur, dan meminta nasi goreng spesial khas Suster Anna plus telor setengah matang.

Tristan mengambil gelas yang tersedia di meja makan dan menuangkan isi teko yang ada di meja makan. Warnanya hijau.

"Apa ini?" tanyanya heran.

"Oh, itu teh hijau punya Nona Crystal. Tuan Muda ingin minum apa?"

"Sejak kapan Crystal minum teh beginian?" Tristan mengerutkan kening sambil meminum teh yang berbau harum.

"Tuan besar membawanya waktu beliau pulang dari China, Tuan." jawab Suster Anna sambil menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan pagi.

Tristan membawa teko dan gelasnya, lalu duduk di kursi bar yang menghadap counter dapur. Dia memperhatikan Suster Anna yang menyiapkan sarapan untuknya dan bekal untuk Crystal.

"Memangnya Papa suka kasih sesuatu ke Crystal, Sus?"

"Tuan Besar suka membawakan oleh-oleh untuk Nona setiap kali pulang."

Tristan manggut-manggut, satu hal yang baru diketahuinya ternyata Papanya lumayan perhatian pada adiknya.

"Kalau Mama, Sus?"

"Nyonya sangat sibuk, Tuan. Harap maklum." jawab Suster Anna klise, tidak ingin memberi kesan jelek pada anak asuhnya.

Tristan tersenyum tipis menanggapi jawaban Suster Anna.

"Lalu, Crystal bagaimana Sus?" tanya Tristan sambil menghabiskan isi gelasnya.

"Bagaimana? Maksudnya Tuan?" Suster Anna tak mengerti arah pertanyaan Tristan.

Tristan berdehem, dia teringat bagaimana pertemuan mereka kemarin setelah hampir setengah tahun tak berjumpa.

"Crystal sudah besar ya Sus?"

Suster Anna tersenyum.

"Namanya dikasih makan, Tuan. Sudah tentu makin besar. Sebentar lagi dia lulus SMA lho, Tuan."

Ah, Tristan lupa kalau kurang lebih setengah tahun lagi adalah kelulusan Crystal dari SMA. Sebentar lagi pasti ada undangan dari sekolah untuk menghadiri kelulusan. Dan, dia pasti akan hadir di acara graduation adik kesayangannya itu. Tristan tak ingin melewatkan satu pun moment penting dalam hidup Crystal.

Ada perasaan membuncah yang tak bisa dijelaskan setiap kali melihat Crystal memasuki tahap baru dalam kehidupannya. Bangga bercampur bahagia dan haru.

"Sekolahnya gimana Sus? Bagaimana dengan teman-temannya?" Tidak ingin Crystal salah pergaulan, Tristan mencoba mencocokkan cerita Crystal dengan suster pengasuhnya.

"Temannya tidak banyak, Tuan. Tapi, Nona rajin sekolah, tidak pernah bolos. Dia patuh semua perintah Tuan Muda. Les piano dia masuk terus. Belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin juga dia rajin. Akhir-akhir ini Nona suka sekali Bahasa Korea, Tuan. Pokoknya, semua yang Tuan Muda bilang, dia ikuti."

Suster Anna berhenti sejenak sebelum memutuskan melanjutkan ceritanya dalam hati saja. "Tapi akhir-akhir ini mulai bandel, Tuan. Dia sering pulang tidak tepat waktu. Maaf saya kemarin bohong pada Tuan Muda." Suster Anna tersenyum sambil menganggukkan kepala, pertanda laporannya sudah selesai.

Tristan mengangguk puas. Dia tak suka ada orang yang melanggar peraturannya.

Harum telur menggelitik hidung saat Suster Anna memasak makanan favoritnya.Tristan sudah lama tidak mencicipi nasi goreng Suster Anna, dia kangen juga dengan masakan Suster kesayangannya. Meski bisa makan dimana pun yang dia mau, bagi Tristan tak ada yang bisa menandingi masakan Suster Anna, pengasuh yang sudah seperti ibunya sendiri.

"Sebentar, Sus. Saya bangunkan Crystal." Tristan beranjak dari tempat duduknya. Lama tak bertemu membuatnya ingin sarapan bareng Crystal.

"O'ya jangan lupa kerupuk dan bawang gorengnya ya, Sus." kata Tristan sambil berlalu.

"Baik, Tuan."

Di depan pintu kamar Crystal, Tristan mengetuk pintu. Tiga kali. Tapi, tak ada jawaban.

Lamat-lamat terdengar suara teredam dari dalam. Tristan mendekatkan telinganya ke daun pintu berusaha mendengar suara apa yang berasal dari kamar Crystal sepagi ini. Tristan mengernyitkan dahi saat mendengar alunan lagu metal masuk ke dalam indera pendengarannya.

Ya! Suara musik berdentum-dentum terdengar dari dalam sana. Tangan Tristan sudah terangkat lagi, hendak mengetuk pintu. Sesaat dia berpikir, lalu mengurungkan niatnya. Kemudian, tangannya langsung memutar kenop pintu.

"Crystal... "

Suaranya tercekat ditenggorokan bersamaan dengan langkahnya yang mendadak beku. Laki-laki muda nan tampan itu tercengang di tempatnya dengan mata terbelalak dan mulut setengah terbuka melihat apa yang ada dihadapannya.

Crystal berdiri di hadapannya hendak memakai seragam. Yang menjadi perhatiannya adalah adik perempuannya saat ini sedang dalam kondisi polos.

Siluetnya terpatri jelas berkat cahaya matahari yang masuk dari jendela kamar yang terbuka. Lekukan tubuhnya membentuk garis indah yang baru pertama kali dilihat oleh Tristan. Kaki jenjang dan kulit halus. Rambut panjang tergerai di punggung. Sempurna!

Tristan menelan ludah saat pandangannya tanpa sengaja jatuh pada bagian yang sudah tumbuh di dada Crystal. Entah dari mana dan sejak kapan, benda itu tiba-tiba saja muncul di tubuh anak kecil itu. Bentuknya yang sempurna, tidak terlalu besar dan kecil. Semua menempel dengan baik pada tempatnya. Cantik!

Oh, Gosh!

"KAK TRISTAAAAAAAAN!"

BUKK!!!

Sebuah bantal mendarat di wajahnya bersamaan dengan jeritan melengking, menusuk telinga. Menghempaskan Tristan ke realita.

Tristan buru-buru berbalik. "Sorry!!!" serunya spontan. Dia bisa merasakan darah mengalir deras ke wajahnya, jantungnya berdegup keras tak terkontrol.

S-H-I-T!!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!