NovelToon NovelToon

Maduku, Racunku

Retak

Saat ini rumah tanggaku sedang goyah, bagaikan sebuah kapal yang tengah dihantam ombak yang begitu besar. Entah kapal itu akan karam ataukah akan tetap berlayar dengan hantaman yang begitu dahsyat.

BAB 1

"Mas ingin menikahi Karmila, Dik."

Seuntai kalimat itu meluncur dari mulut Fabian. Pria yang telah menikahiku lebih dari sepuluh tahun di sela makan malam kami.

Selera makanku tiba-tiba hilang. Makanan yang baru saja melewati kerongkonganku pun rasanya begitu sulit kutelan. Aku meraih gelas berisi air putih yang berada di hadapanku lalu lantas meneguknya.

"Lelucon macam apa ini?" Meskipun dadaku bergemuruh hebat, rupanya aku masih bisa terkekeh. Pura-pura geli tepatnya.

"Mas serius!" Pria yang paling tampan di mataku itu menatapku tajam.

Entah mengapa Lyra, putri semata wayang kami yang berada di gendonganku tiba-tiba terbangun dan menangis. Kupikir bayi yang bahkan belum mampu mengangkat kepalanya sendiri itu hanya haus. Aku pun membuka dua kancing paling atas dari kemeja yang kupakai dan mencoba memberikannya air susuku. Satu-satunya sumber kehidupan baginya saat ini. Namun, Lyra menolaknya.

"Kita lanjutkan bicara di kamar. Sepertinya Lyra ingin menyusu sambil rebahan."

Aku beranjak dari tempat dudukku lantas melangkahkan kakiku menuju kamar.

Lima belas menit kemudian Lyra terlelap. Aku berharap mas Fabian segera menyusul kami ke dalam kamar. Namun, entah mengapa dia tak kunjung datang. Setelah mengecilkan suhu AC, aku pun keluar dari dalam kamarku dan menghampiri mas Fabian yang belum beranjak dari ruang makan.

Aku heran, biasanya pria itu hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari sepuluh menit untuk mengosongkan isi piringnya. Namun malam ini dia sepertinya dia tak berselera.

"Kenapa makanannya tidak dimakan, Mas?" tanyaku.

Malam itu aku memasak capcay beserta sambal kacangnya. Makanan itulah yang setiap hari wajib tersaji di meja makan saat makan malam. Setelah lebih dari sepuluh tahun menjadi teman hidupnya, tentu saja aku hafal di luar kepala makanan atau apapun yang disukainya ataupun sebaliknya.

Mas Fabian justru meletakkan sendoknya seolah enggan melanjutkan makan malamnya.

"Apa masakanku terlalu asin, Mas?" 

Aku berpura-pura penasaran meskipun aku tahu bukan hal itu yang membuatnya hilang selera. Aku memasak masakan itu dengan takaran bumbu yang sama setiap hari. Mustahil rasanya jika masakanku keasinan ataupun kemanisan.

"Dik, …" Mas Fabian menatap lekat mataku. Aku bisa melihat kecemasan di 

dalam sorot matanya.

"Ya, Mas." 

Aku berharap mas Fabian mengalihkan topik pembicaraan. Tentang pekerjaannya, misalnya. Atau membahas berita politik yang tengah cukup memanas belakangan ini.

"Mas minta izin untuk menikahi Karmila."

Tebakanku kali ini meleset. Mas Fabian ternyata kembali mengajakku membicarakan wanita bernama Karmila yang bahkan baru malam ini kudengar.

"Siapa Karmila, Mas? Mengapa tiba-tiba Mas ingin menikahinya?" tanyaku penuh selidik.

"Karmila adalah seorang janda."

Aku tercengang mendengar jawaban darinya. Bagaimana mungkin suamiku yang kukenal alim dan penyabar itu tiba-tiba meminta izin menikah lagi dengan seorang janda.

Aku mengedipkan mataku berulang agar buliran bening yang mulai merebak di kedua bola mataku tidak tumpah.

"Mas ingin menikahi janda?" tanyaku dengan suara yang mulai bergetar.

Mas Fabian menganggukkan kepalanya.

Aku terdiam dan menundukkan wajahku. Mengapa mas Fabian setega itu padaku? Aku sadar belum bisa menjadi istri yang sempurna baginya. Namun, wanita mana yang akan mengiyakan saat suaminya meminta izin untuk mendua?

"Insyaallah mas akan bersikap adil pada kalian."

Kalimat itu tidak sedikitpun membuatku lega apalagi terhibur. Menurutku hanya nabi saja yang mampu bersikap adil pada istri-istrinya.

"Poligami diperbolehkan dalam agama kita," ujarnya.

Dalil itu rupanya yang menjadi pembenaran keputusannya untuk menikah lagi. Aku tahu mas Fabian cukup paham perihal agama. Sebelum menyelesaikan pendidikannya di universitas Islam, dia pernah mendalami ilmu agama di sebuah pondok pesantren yang cukup terkenal di kota kelahirannya.

Aku sadar, pengetahuanku tentang agama masih terbilang dangkal. Sebelum menikah dengan mas Fabian, aku hanyalah seorang wanita yang bahkan begitu jauh dari Tuhanku. Semenjak kehancuran bisnis kedua orangtuaku, hidupku tak tentu arah. Ayah mengalami stroke dan meninggal beberapa bulan setelahnya. Sementara ibuku pergi entah kemana. Aku juga tak tahu di mana keberadaan kedua kakak kandungku. Kak Darren dan kak Maureen. Mereka meninggalkan rumah tidak lama setelah ayah kami meninggal.

Agama Islam memang tertera di kartu identitasku. Namun, aku nyaris tidak pernah menjalankan apa yang menjadi perintah Nya. Aku bahkan pernah terjerumus ke dalam lembah hitam.

Mas Fabian dikirim Tuhan untuk menuntunku kembali ke jalan kebenaran. Dari cara berpakaianku yang selalu memperlihatkan bagian yang haram dipandang lawan jenisku, kini aku bisa mengenakan hijab dan pakaian syar'i.

"Kenapa kamu diam saja, Dik?" tanya mas Fabian yang sontak membuyarkan lamunanku.

"Aku tahu agama kita tidak melarang seorang laki-laki memiliki lebih dari seorang istri. Tapi aku minta maaf. Sampai kapanpun aku tidak akan mengizinkan Mas menikah lagi," ujarku.

"Kamu harus tahu, Dik. Mas menikahi Karmila bukan semata karena hasrat ataupun nafsu belaka."

"Lantas?"

"Mas…mas telah melakukan kesalahan besar."

"Kesalahan besar apa, Mas?" Aku kembali menatapnya penuh selidik.

"Tiga bulan yang lalu mobil mas menabrak seorang pria hingga tewas. Pria itu adalah suami Karmila," ungkap mas Fabian.

"Innalilahi!" Aku membungkam mulutku dengan salah satu tanganku.

"Sebelum meninggal, pria itu berwasiat agar mas menjaga istrinya."

Alasan itu tidak sedikitpun merubah keputusanku. Tidak akan ada madu dalam pernikahanku.

"Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak mengizinkan Mas menikah!" tegasku.

"Mas sudah berjanji untuk menjalankan wasiat terakhir suami Karmila."

"Jika Mas ingin tetap menikahi Karmila, lebih baik aku mundur," ujarku.

"Mas mencintaimu, Dik. Juga putri kita, Lyra."

"Jika Mas memang mencintaiku, mas tidak akan pernah menikahi wanita lain!" tegasku.

"Kumohon mengertilah."

Aku beranjak dari tempat dudukku berniat meninggalkan meja makan namun tiba-tiba mas Fabian menarik tanganku.

"Mas belum selesai bicara," ucapnya.

"Mas hanya tinggal memilih, Aku dan Lyra atau Karmila." Aku menepis lembut tangan mas Fabian sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar.

Aku masuk ke dalam kamar dan memeluk Lyra yang tertidur pulas. Buliran hangat yang sedari tadi merebak di bola mataku pun akhirnya tumpah.

Tidak berselang lama pintu berderit. Aku memindahkan posisi tidur malaikat kecilku yang tadinya berasa di dekat dinding kamar, ke bagian tengah. Aku sengaja menjadikannya sekat agar mas Fabian tak menyentuhku sedikit pun malam ini. 

"Dik, …" Mas Fabian memanggilku. Entah apa yang mau dibicarakannya lagi. Tapi aku mencoba acuh. Aku membalikkan badanku dan menghadap dinding kamar. Untuk pertama kalinya setelah menikah, kami tidur tanpa ucapan selamat malam ataupun sebuah kecupan lembut di keningku. Kubiarkan buliran hangat itu menetes dan membasahi bantalku.

Hai pembaca setia...Jangan lupa tinggalkan like, komentar, favorit, dan hadiah ya. Sekecil apapun dukungan kalian, akan sangat berarti bagi Author....

Happy reading...🥰🥰🥰

Haruskah aku mengalah?

Keesokan paginya.

Aku dan mas Fabian duduk berhadapan di meja makan. Tak ada suara selain piring dan sendok yang saling beradu. 

"Hari ini mas akan memperkenalkan Karmila padamu, Dik," ucap mas Fabian memecah keheningan.

Kalimat itu tentu saja terdengar begitu menyakitkan bagiku. Setelah obrolan kami semalam dan aku menegaskan jika aku tidak mengizinkannya menikah lagi, rupanya mas Fabian tidak menghiraukan ucapanku. Apakah dia akan tetap menikahi Karmila meski tanpa persetujuanku?

"Mas janji padamu, mas akan bersikap adil pada kalian." Mas Fabian mengulangi ucapannya semalam.

Aku memberanikan diri menatap pria pemilik mata teduh itu.

"Jika Mas ingin tetap menikahi Karmila, lebih baik kita berpisah," ucapku dengan suara bergetar.

"Mas mencintaimu, Dik. Sampai kapanpun mas tidak akan pernah melepaskanmu." Tiba-tiba pria yang telah memberikanku seorang putri itu beranjak dari tempat duduknya. Dia lantas merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya.

Aku dan mas Fabian sudah menikah lebih dari sepuluh tahun. Aku berpikir kehadiran Lyra akan semakin membuat pernikahan kami semakin kuat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dua bulan setelah aku melahirkan malaikat keciku itu, tiba-tiba mas Fabian mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi.

"Mas minta maaf, Dik. Ini mungkin akan melukaimu. Tapi mas harus menjalankan wasiat suami Karmila," ujarnya.

"Aku tidak ingin ada orang ke tiga dalam pernikahan kita," ucapku.

"Jika Mas tetap ingin menikah, aku dan Lyra akan pergi meninggalkan rumah ini," ancamku meskipun aku tak memiliki tempat tinggal lain selain rumah ini.

"Memangnya kamu mau tinggal di mana? Mas tahu kamu tidak memiliki tempat tinggal ataupun keluarga lagi."

"Kami bisa tinggal di manapun. Di jalanan mungkin, atau di bawah kolong jembatan sekalipun." Ada rasa perih saat kalimat itu meluncur dari bibirku.

Mas Fabian mengeratkan pelukannya. Aku tahu, dia mulai menangis.

"Jangan lakukan itu, Dik," ucapnya parau.

"Mas hanya tinggal memilih. Aku dan Lyra atau Karmila!" tegasku.

Tiba-tiba terdengar suara tangisan Lyra dari arah kamarku kami. Aku menepis perlahan tangannya dari tubuhku.

"Lyra bangun," ucapku sembari beranjak dari kursi lalu melangkahkan kakiku menuju kamar. Rupanya mas Fabian menyusulku ke dalam kamar.

"Assalamualaikum, solehah nya ayah," sapanya pada putri kecil kami.

Lyra terkekeh seolah membalas sapaan ayah kandungnya itu. 

"Biar mas yang memandikan Lyra," ucap mas Fabian.

"Sudah jam tujuh lewat. Sebaiknya Mas bersiap berangkat ke kantor," ucapku sembari membopong tubuh mungil itu. 

"Hari ini mas cuti kerja. Bukankah tadi mas sudah mengatakan ingin mengajak Karmila ke rumah ini?" 

"Jadi, Mas akan tetap menikahi wanita itu?" Aku meninggikan volume suaraku dari sebelumnya.

Mas Fabian menganggukkan kepalanya.

"Baiklah. Jika memang itu keputusan Mas. Hari ini juga aku dan Lyra akan meninggalkan rumah ini." Aku membopong tubuh Lyra lalu mengajaknya menuju kamar mandi.

"Berdosa hukumnya seorang suami yang meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya!" 

Lagi-lagi mas Fabian menggunakan dalil untuk membenarkan tindakannya.

"Wanita mana yang rela jika suaminya menikah lagi?" 

Aku menggendong Lyra dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah memandikannya, akupun kembali ke dalam kamar untuk memakaikannya baju.

"Biar mas saja yang memakaikan bajunya." 

Kali ini aku membiarkan saja saat mas Fabian memakaikan baju untuk putri kecil kami. Aku pun bergegas mengambil tas berukuran besar dari dalam lemari dan memindahkan sebagian baju-bajuku dan baju Lyra ke dalam tas tersebut.

"Kamu mau ke mana, Dik?" 

"Lebih baik aku pergi dari rumah ini daripada harus bertemu dengan wanita itu."

"Mas tidak mengizinkanmu pergi."

"Maaf, Mas. Kali ini aku harus membantahmu." 

Aku menutup resleting tas yang kini telah berisi penuh pakaianku dan pakaian Lyra dan bersiap menggendongnya. Namun, aku tersentak kaget saat tanganku bersentuhan dengan tubuhnya. 

"Astaghfirullah! Badan kamu panas sekali, Nak." 

Mas Fabian pun lantas menempelkan tangannya di dahi putri kami.

"Sepertinya Lyra demam. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit," ucapnya.

Tanpa membuang waktu lagi mas Fabian bergegas membopong tubuh Lyra. Kami pun beranjak dari kamar dan menuju mobil milik mas Fabian yang terparkir di halaman rumah kami.

Mobil itu belum genap sebulan menjadi kendaraan pribadi mas Fabian. Semenjak jabatannya di kantor naik dari karyawan biasa menjadi manager pemasaran, entah mengapa gaya hidup suamiku pun seolah berubah.  Dulunya dia tak pernah keberatan jika setiap hari harus mengendarai sepeda motor bekas milikku yang pernah kupakai beberapa tahun untuk bekerja sebelum aku memutuskan resign dari pekerjaanku karena aku hamil setelah penantian panjang kami.

Aku baru saja membuka handle pintu ketika tiba-tiba seseorang muncul di hadapan kami.

"Kalian mau kemana?" tanyanya.

Wanita berusia lebih dari setengah abad itu bernama Kinanti, beliau adalah ibu mertuaku.

"Lyra demam. Kami ingin membawa Lyra ke rumah sakit, Bu," jawabku.

Meskipun hanya menantu, aku merasa ibu mertuaku memperlakukanku begitu baik selayaknya putri kandungnya sendiri. Apalagi semenjak kehadiran Lyra. Kasih sayang beliau seolah bertambah padaku.

"Ibu ikut kalian," ucapnya.

Aku mengangguk setuju.

Jarak dari rumah kami menuju rumah sakit tidak begitu jauh. Lima belas menit kemudian kami pun tiba di sana.

"Tolong putri kami, Dokter. Dia mendadak panas tinggi," ucap mas Fabian. Aku dapat menangkap kekhawatiran di sorot matanya.

"Mari ikut saya."

Dokter itu pun lantas masuk ke dalam sebuah ruangan. Sementara kami mengikuti di belakangnya.

"Bagaimana keadaan putri kami, Dokter?" tanyaku pada dokter sesaat setelah memeriksa Lyra.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Putri Nyonya hanya mengalami demam biasa. Saya sudah memberinya obat penurun panas. Semoga panasnya segera turun," jelasnya.

"Syukurlah," ucapku dan ibu mertuaku bersamaan.

"Apa cucu saya harus dirawat inap, Dokter?" 

"Tidak perlu, Nyonya. Setelah membayar biaya pengobatan, pasien bisa langsung pulang."

Kami pun mengangguk paham.

Setelah membayar biaya berobat, kami pun meninggalkan ruangan tersebut.

Mas Fabian memintaku menggendong Lyra ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

"Pasti wanita itu yang menelponnya," gumamku.

Benar saja. Mas Fabian menjauh beberapa langkah dari kami seolah tak ingin kami mendengar obrolan mereka.

Sesampainya di rumah.

"Hari ini ibu ingin menginap di rumah kalian," ucap ibu.

Tentu saja aku merasa senang. Rasanya mas Fabian tidak akan tidak akan berani mengajak Karmila bertemu dengan ibunya.

"Ibu kangen dengan Lyra," imbuhnya yang kutanggapi dengan senyuman.

Kulihat mas Fabian keluar dari kamar. Dia tampak menelpon seseorang.

"Pasti Karmila," gumamku lagi.

"Mas pergi dulu," ucapnya.

"Sebaiknya kau di rumah saja. Bukankah putrimu sedang kurang sehat?" ucap ibu.

"Ada urusan yang harus segera kuselesaikan, Bu."

Mas Fabian pun lantas meninggalkan rumah.

"Ibu harap hubungan pernikahan kalian semakin erat setelah kehadiran Lyra," ucap ibu mertuaku sesaat setelah mas Fabian berlalu. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan beliau.

Apakah aku harus menceritakan tentang rencana mas Fabian yang ingin menikah lagi? Atau aku harus berpura-pura jika pernikahan kami baik-baik saja?

Bersambung….

Ditunggu dukungannya ya….

Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰

🙏🙏

Pertemuanku dengan Karmila

"Itu tas siapa, Nduk?" tanyanya saat mendapati tas berukuran cukup besar yang berada di dekat lemari pakaianku.

"Ehm, aku-aku sedang mengumpulkan baju-bajuku yang sudah tak terpakai agar tak membuat sesak lemari," jawabku sedikit panik. Aku tidak mungkin mengatakan jika aku berniat meninggalkan rumah ini.

Kulihat Lyra tertidur pulas di atas ranjang. Aku pun memutuskan keluar dari kamarku untuk mulai membereskan rumah.

"Kamu masak apa, Nduk?" tanya ibu mertuaku saat aku membereskan meja makan yang tadi kutinggalkan begitu saja.

"Opor ayam, Bu."

"Alhamdulillah. Semenjak Fabian naik jabatan kehidupan kalian semakin membaik. Ibu juga senang kalian sekarang punya mobil. Kita tidak akan kepanasan ataupun kehujanan bila bepergian," ujar ibu.

"Alhamdulillah, Bu."

Setelah membersihkan meja makan, aku pun menuju dapur. Meskipun hanya memasak opor ayam, tetap saja ruangan itu terlihat berantakan. 

Aku menghidupkan kran air dan mulai mencuci perabot dapur sekaligus piring bekas sarapan kami pagi tadi.

"Gaji Fabian sudah besar sekarang. Kenapa kamu tidak membayar gaji pembantu saja? Paling tidak dia bisa membantumu mengerjakan pekerjaan rumah ataupun mengurus Lyra." Ibu menarik kursi yang berada di dapur lalu mendudukinya.

"Aku masih sanggup mengurus Lyra dan pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Lagipula ehm…"

"Kenapa, Nduk?"

"Sayang uangnya. Lebih baik kutabung untuk biaya pendidikan Lyra nanti."

Aku membuat alasan yang dirasa masuk akal. Beruntung beliau mengangguk paham.

"Jika Ibu lelah, Ibu bisa beristirahat di kamar tamu. Meski jarang ditempati, aku rajin membersihkannya. Kemarin aku juga baru me loundry bed covernya." 

Aku mematikan kran air lalu mengeringkan tanganku dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel.

"Hari ini ibu berencana mengunjungi makam Amira," ucap ibu.

"Apa tidak sebaiknya menunggu mas Fabian pulang? Aku sebenarnya mau saja menemani Ibu. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Lyra sendirian di rumah."

"Tidak apa, Nduk. Jarak dari rumah ini menuju makam tidak begitu jauh. Ibu hanya perlu menaiki taksi tidak lebih dari sepuluh menit."

Entah mengapa rasa khawatir tiba-tiba menyerang. Meski masih terlihat gesit, tetap saja hati ini tidak tenang membiarkan wanita yang begitu kuhormati itu pergi seorang diri.

Amira adalah satu-satunya adik perempuan mas Fabian. Gadis yang usianya hanya terpaut beberapa bulan dariku itu meninggal dunia dua tahun lalu setelah ditabrak seorang pengendara mobil. Parahnya, pengendara mobil sedan itu justru melarikan diri setelahnya. Namun, Amira masih sempat menyebut delapan angka plat nomor kendaraan itu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya saat dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ibu mertuaku pun mencatat plat nomor tersebut di sepotong kertas lalu menyimpannya di dalam dompetnya hingga kini.

"Ibu tunggu mas Fabian pulang saja. Daripada naik taksi," ucapku.

"Tidak apa, Nduk. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ibu. Ibu sudah terbiasa pergi kemanapun sendirian," ujarnya.

 

Kuakui, ibu mertuaku adalah salah satu wanita hebat. Dari hasil berjualan kue, beliau bisa membiayai sekolah dan kuliah mas Fabian hingga jenjang S1. Bukannya membiarkan beliau tinggal sendirian. Kami sudah berkali-kali mengajak ibu untuk tinggal bersama kami namun beliau selalu menolak dengan alasan tidak akan meninggalkan rumah peninggalan suaminya yang pernah mereka bangun dari nol.

"Hati-hati, Bu," ucapku sesaat setelah meraih tangannya dan menciumnya penuh takdzim. Tidak berselang lama beliau pun meninggalkan rumahku.

Aku baru saja selesai menjemur pakaian dan hendak masuk kembali ke dalam rumah ketika tiba-tiba mobil berwarna putih itu memasuki halaman rumahku. Tentu saja aku hafal betul siapa pemiliknya.

"Baru selesai nyuci, Mbak?" 

Aku membalikkan badanku. Kulihat seorang wanita berusia beberapa tahun lebih tua di atasku. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun cukup padat berisi. Rambutnya pirang, yang kuyakini bukan warna asli melainkan hasil dari cat rambut. Pakaiannya cukup tertutup, meskipun dia tidak berhijab sepertiku.

"Apa dia wanita bernama Karmila itu?" tanyaku dalam hati.

"Ini Karmila, yang semalam mas ceritakan padamu," ucap mas Fabian sebelum aku bertanya.

"Boleh kita bicara di dalam, Mbak ehm, …"

"Azzura."

"Biar enak aku panggil Mbak Zura aja ya. Dan Mbak Zura bisa panggil aku Mila."

Kubalas ucapannya dengan senyum kecut di bibir.

Sebagai seorang tuan rumah yang baik, aku pun mempersilahkannya masuk ke dalam ruang tamu.

"Ibu di mana, Dik?" tanya mas Fabian.

"Ke makam," jawabku datar. 

Wanita bernama Karmila itu terlihat tengah mengedarkan pandangannya dan mengamati ruang tamu.

"Aku kok gak melihat foto pernikahan kalian di ruangan ini ya?" tanyanya.

Ruang tamu berukuran 6x6 ini mungkin tidak seperti ruang tamu di rumah pada umumnya. Aku hanya menempelkan hiasan kaligrafi berlafadzkan dua kalimat syahadat di salah satu sisi sementara sisi lainnya kubiarkan kosong.

"Foto pernikahan kami ada di album foto. Kami sengaja tidak mencetaknya dalam ukuran besar," jawabku.

"Oh ya, di mana Lyra?" tanyanya lagi.

"Lyra tidur setelah minum obat penurun demam."

"Dia pasti cantik seperti Mbak Zura," ujarnya yang kuyakini hanya sebuah basa-basi.

Sekali lagi kubalas ucapannya dengan senyum kecut di bibir.

"Ehm, Dik. Mas dan Mila akan menikah hari Senin depan," ucap mas Fabian yang sontak membuatku terkesiap.

Rupanya sekuat apapun aku menentang, tak sedikit pun akan merubah keputusannya untuk memberikanku madu.

"Harus berapa kali kukatakan, aku keberatan jika Mas menikah lagi." Aku berdiri lalu menatap mata mas Fabian, tajam dan tegas.

"Agama kita saja memperbolehkan suaminya melakukan poligami lho, Mbak." Mila menimpali.

"Mungkin wanita lain bisa berlapang dada jika dimadu. Tapi tidak denganku. Aku adalah wanita yang memegang teguh kesetiaan. Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup," ujarku.

"Jadi, Mbak Zura mau menuntut cerai dari mas Fabian? Memangnya setelah bercerai Mbak mau mau tinggal di mana? Terus, bagaimana dengan Lyra?" 

Aku terdiam dan menundukkan kepalaku. Jujur, aku tidak memiliki keluarga ataupun tempat tinggal lain di kota ini. Tapi, aku pun tidak akan ridho jika mas Fabian menikah lagi apalagi jika aku harus hidup satu atap dengan maduku.

"Mila, …"

"Ya, Mbak."

"Sebagai sesama wanita kamu pasti paham bagaimana perasaanku. Tak ada satupun wanita di dunia ini yang mengijinkan jika suaminya ingin menikah lagi."

"Mbak Zura pasti sudah tahu alasan mas Fabian ingin menikahiku. Mas Fabian ingin menjalankan wasiat dari almarhum suamiku," ucap Mila.

"Almarhum suamimu hanya berpesan agar mas Fabian menjagamu. Bukan berarti dia harus menikahimu. Lagipula kamu masih muda. Kenapa kamu mau saja dijadikan istri ke dua?" 

"Mbak Zura ingin tahu alasannya?"

Aku menganggukkan kepalaku.

"Aku jatuh cinta pada mas Fabian. Dia pria yang baik, soleh, mapan pula. Jadi tidak ada alasan untuk menolak amanat almarhum suamiku," ungkap Mila.

"Bagaimana dengan ibu, Mas? Ibu pasti tidak akan mengizinkan mas menikah lagi."

"Siapa yang ingin menikah lagi?" tanya ibu yang tiba-tiba muncul di ruang tamu.

Bersambung….

Ditunggu dukungannya ya….

Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰

🙏🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!