Gadis itu segera menebar pandangannya di seluruh kafe, mencari hingga matanya menemukan sekelompok gadis yang sedang mengobrol.
Langkahnya yang sempat terhenti segera kembali melangkah menghampiri kumpulan gadis itu, dengan senyum yang merekah ia menyapa.
"Hai semunya... "
"Eh hai juga" sambut mereka segera ricuh berpelukan.
"Ko lama sih Za?" tanya Kiki.
"Iya, biasalah tadi kena lampu merah mulu" jawabnya segera duduk di kursi yang masih kosong.
"Ya udah pesen minum dulu gih" ucap Mayang.
Menurut, Zahira mengangkat tangan untuk menarik perhatian pelayan. Di pesannya sebuah minuman dan makanan kecil pendamping.
"Aku ada sesuatu untuk kalian" ucapnya tiba-tiba setelah sang pelayan pergi.
"Wow apa tuh?" tanya Kiki penasaran.
Dengan senyum penuh arti Zahira mengeluarkan sesuatu dari tasnya, bentuknya seperti buku yang kemudian ia bagaikan satu persatu kepada temannya.
"OMG! kamu mau nikah Za?" teriak Kiki terkejut membaca sebuah undangan di tangannya.
"Yup, aku mau kalian datang ke pernikahan aku"
"Seriusan? jadi Pras benar-benar ngelamar kamu?" tanya Mayang masih tak percaya pada apa yang sedang ia dengar.
Zahira tersenyum, Pras adalah kekasih yang sudah tiga tahun ia pacari semenjak SMU kelas dua.
Rasanya masih baru kemarin ia berkenalan dengan pemuda itu, bertemu di sebuah kafe yang membuat keduanya saling menyukai pada pandangan pertama. Kemudian berujung pada saling bertukar kontak untuk saling berbalas pesan, setidaknya dua minggu kemudian akhirnya Pras pun menyatakan perasaannya.
Hari berlalu begitu saja, Pras adalah pemuda baik yang begitu perhatian padanya. Itulah alasan mengapa saat Pras melamarnya walaupun secara pribadi tapi ia menerimanya.
Walaupun keinginan mereka untuk menikah sempat terhalang oleh restu orangtua Zahira, berkali-kali bundanya berkata.
"Berumah tangga itu bukan hal yang mudah, menjadi istri adalah pekerjaan tersulit yang ada di dunia apalagi jika sudah menjadi ibu. Tugas mu di rumah banyak dan tidak selesai-selesai, apa kamu mampu?"
"Bunda... Pras mau nikahin Za karena cinta, dia pasti akan bahagiakan Za seperti selama ini dia baik sama kita" ujarnya meyakinkan.
"Hhhhhh... kamu tuh kalau di bilangin susah sekali, umur mu tuh baru sembilan belas tahun Za. Apa kamu gak mau kuliah dulu seperti teman mu yang lain? atau kerja gitu?"
"Untuk apa Bun? Pras kan bakal tanggungjawab sama kehidupan Za, semuanya dia yang urus"
"Ya sudah kalau keputusan mu begitu, tapi setelah menikah bunda mau kalian tinggal di rumah ini saja"
"Makasih bunda... Za akan bilang sama Pras dan dia pasti gak bakal keberatan" ujarnya penuh kebahagiaan.
Maka di sinilah ia, membagikan surat undangan kepada teman-teman sekolahnya untuk berbagi kebahagiaan.
"Gak nyangka ternyata di angkatan kita kamu duluan yang nikah, selamat ya Za.. "
"Makasih, jangan lupa buat datang ya.. " balasnya.
Obrolan para gadis itu pun berlanjut, begitu ricuh di penuhi tawa kebahagiaan hingga Zahira memutuskan untuk pulang lebih dulu sebab ia masih harus membagikan surat undangan.
Mereka saling melambaikan tangan mengantar kepergian Zahira hingga ia benar-benar hilang dari pandangan.
"Gak nyangka banget ya Za bakal beneran nikah muda, apa dia gak sayang ya sama masa depannya?" tukas salah satu dari mereka.
"Maksudmu apa?" tanya Kiki.
"Ya kamu tahu sendiri kan Ki, jaman sekarang mana ada yang nikah muda kalau gak ke pepet!" ujar Mayang.
"Kamu pikir Za hamil duluan gitu?" tanya Kiki dengan ekspresi penuh tuduhan.
"Ya kalau bukan karena itu terus kenapa coba? semua temen sekelas juga tahu ko gimana gaya pacaran Za sama Pras"
"May! kamu tuh kalau ngomong hati-hati ya, emang mereka suka jalan berdua tapi Za bukan cewek yang seperti itu"
"Udahlah Ki, kamu ngotot banget sih belain Za. Di balik sifat polosnya dia kan kita gak tahu kalau di belakang kayak gimana? justru yang polos yang sering kejeblos!" tukas pula yang lain.
"Bener tuh... hahaha.. " timpal Mayang.
Mereka tertawa geli namun tidak dengan Kiki, sebagai teman yang paling dekat dengan Zahira ia yakin Zahira adalah gadis suci yang tidak akan melakukan tindakan seperti itu.
Setahunya Zahira selalu di lindungi bundanya yang kemana pun harus laporan atau di temani, termasuk saat akan jalan bersama Pras.
Tak tahan akan obrolan itu Kiki pun memilih untuk pulang, ia paling tidak bisa mendengar gosip tentang Za yang tidak mengenakan.
Sampai di rumah baru saja ia akan mengganti pakaian tiba-tiba ketukan di pintu terdengar, begitu ia melihat seseorang tengah mengucapkan salam dari luar.
"Assalamualaikum.. "
"Wa'alaikumsalam" jawabnya pelan sambil membuka pintu.
"Fariz!" panggilnya begitu melihat sosok pemuda yang berdiri tepat di balik pintu.
"Ki, ini ada sedikit oleh-oleh buat keluarga" ujarnya sambil menyerahkan sebuah bingkisan.
"Ya ampun... makasih.., kamu kapan datang? ayo masuk dulu, kita ngobrol dulu"
"Tadi malam" sahutnya.
"Oh gitu, silahkan duduk dulu. Biar aku panggilin ibu, dia pasti senang dengar kamu datang" ujarnya.
Kiki segera melesat ke dapur, memanggil ibunya untuk memberitahu kedatangan Fariz. Seperti apa yang ia sampaikan ibunya begitu senang akan kedatangan pemuda itu, Fariz dan Kiki adalah teman masa kecil yang bahkan hari kelahiran mereka saja hanya beda dua hari.
Sejak kecil sudah bersama dan Fariz sudah dianggap sebagai anak oleh ibu Kiki, itu karena ibu Kiki ingin memiliki seorang putra sementara yang lahir adalah putri dan tidak dapat mengandung lagi karena kista yang ia miliki.
"Ini minumannya" ujar Kiki menaruh segelas teh manis di atas meja.
"Makasih Ki, padahal gak usah kamu bikinin. Biasa juga kamu suruh aku ambil sendiri ke dapur" sahut Fariz.
"Jangan dong, masa tamu gak aku layanin. Apalagi ini tamu jauh" ucapnya.
Mereka tertawa akan gurauan itu, memang semenjak lulus sekolah Fariz memutuskan untuk pergi mesantren di Bandung. Terakhir mereka bertemu adalah tahun lalu dimana Fariz berpamitan untuk pergi, setahun telah berlalu kini Fariz benar-benar berubah menjadi lebih santun layaknya seorang ustad.
"Ini... undangan siapa Ki?" tanyanya menatap sebuah surat undangan di atas meja.
"Oh itu dari Zahira, tadi kami ketemu di kafe dan dia bagiin surat undangan untuk pernikahannya"
"Jadi.. Zahira mau nikah sama pacarnya itu" gumam Fariz.
Ada kesedihan tersirat di mata Fariz, menyiratkan hatinya yang belum ikhlas akan cintanya. Hanya Kiki yang tahu bahwa semasa sekolah dulu Fariz memiliki hati untuk Zahira bahkan sejak sekali satu, sayang pada masa itu Fariz tak berani mengungkapkannya meski telah mendapat dukungan dari Kiki.
Sampai akhirnya saat mereka naik ke kelas dua Pras datang dalam kehidupan Zahira dan menjadi pangeran untuknya, kini cerita lalu itu benar-benar menjadi puing yang tak patut di kenang bagi Fariz.
"Kamu... mau datang ke pesta pernikahannya?" tanya Kiki.
"Untuk apa? aku kan gak diundang" sahutnya.
"Buat nemenin aku, Zahira juga pasti senang liat kamu" ujarnya.
Fariz tersenyum pahit, keputusannya untuk pergi mondok adalah untuk menghindari penyakit hati yang berasal dari cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Kini setelah menimba ilmu mungkin sudah waktunya melihat apakah ia mampu ikhlas melihat gadis yang ia cintai bahagia dalam pelukan orang lain.
Pernikahan, sebuah upacara sakral dimana dua insan mengambil sumpah di hadapan saksi dan Tuhan. Berjanji untuk saling mengasihi dan menyayangi hingga maut memisahkan, berbagi suka maupun duka dalam sepanjang waktu.
Dan saat kata 'sah' terucap, air mata itu menetes karena haru. Baru kemudian senyum tak pernah pudar di wajahnya, menyambut kedatangan para tamu yang memberi selamat.
Sementara di sisi lain dalam keramaian, sepasang mata sembab tengah berjuang terlihat baik-baik saja.
"Yuk!" ajak Kiki sambil menggandeng tangannya.
Tersenyum pahit Fariz mengangguk, berjalan mengikuti langkah Kiki yang menghampiri sepasang pasutri baru.
Begitu matanya beradu pandang dengan sang mempelai wanita seketika dunia berhenti bergerak, canggung.
"Fariz!" panggil Kiki.
Seketika semuanya kembali normal, rupanya waktu hanya berlalu selama lima detik saja saat ia menatap Zahira dengan penuh rasa.
"Selamat... " ucapnya pelan sambil mengulurkan tangan.
"Terimakasih" sahutnya dengan senyuman penuh.
Rupanya hingga detik ini Zahira benar-benar buta, atau dia yang terlalu berharap padahal selama ini tak ada usaha. Akhirnya Fariz memutuskan untuk pulang padahal pestaasih berlangsung dengan meriahnya, ia cukup tahu diri bahwa kebahagiaan itu tidak termasuk dirinya.
Sesuai dengan permintaan bunda setelah menikah Zahira akan tetap tinggal di rumah, kini Pras lah yang ikut pulang ke rumahnya setelah acara selesai.
Seperti pasangan kebanyakan hari-hari yang mereka lalui begitu penuh kebahagiaan, selalu ada canda yang membuat mereka senantiasa tertawa.
"Besok aku udah berangkat kerja, tolong kamu bangunkan aku nanti pagi ya.. " ujar Pras sambil menarik selimutnya.
"Cepat amat sih kamu kerjanya mas, masa cuti nikah cuma dapat tiga hari aja" keluh Zahira yang masih ingin terus bermanja.
"Mau bagaimana lagi? kan bukan aku pemilik perusahaannya, lagi pula sore kan aku sudah pulang. Kamu yang sabar ya.. " bujuk Pras.
Zahira hanya bisa mendengus kesal, ia tahu walaupun ia menangis itu tidak akan membuat suaminya tetap tinggal di rumah.
Sesuai permintaan Zahira bangun lebih awal untuk membantu bunda menyiapkan sarapan, setelah selesai baru ia membangunkan Pras.
Mereka sarapan bersama sebelum Pras berangkat kerja, dengan penuh cinta Zahira mengantarkan suaminya hingga kedepan pintu dimana Pras akan pergi bekerja menggunakan motornya.
"Aduuuuhhh... pengantin baru, pagi-pagi sudah tebar cinta ya... " teriak seorang tetangga yang lewat depan rumah.
"Bu.. pagi... " sapa Zahira sambil tersenyum ramah.
"Pagi juga nak Zahira, mari... saya mau ke tukang sayur"
"Iya bu.. " sahutnya membiarkan ibu itu pergi.
"Ya udah aku berangkat dulu... " ujar Pras.
"Hati-hati di jalan ya.. " balasnya.
Zahira tetap berada di depan pintu sampai Pras benar-benar pergi dan hilang dalam pandangannya, barulah setelahnya ia kembali masuk.
"Za.. kamu jaga rumah sebentar ya, bunda mau pergi beli sayuran buat nanti makan siang" ujar bundanya yang telah siap dengan tas belanjaan.
"Eh biar Za aja bun"
"Kamu... mau belanja?" tanya bundanya kaget sebab selama ini putrinya itu tidak mau belanja ke tukang sayur yang banyak ibu-ibu bergosip.
"Iya bun, sekarang kan Za udah nikah jadi Za harus belajar belanja"
"Yakin?" tanya bundanya sekali lagi.
Dengan tegas Zahira menganggukkan kepalanya yang membuat bunda akhirnya memberikan tas belanjaan itu. Dengan penuh semangat Za pun pergi, namun belum sempat ia sampai di tukang sayur itu sebuah gosip tentangnya terdengar hingga membuatnya bersembunyi untuk mendengarkan.
"Namanya juga pengantin baru ya, suami berangkat kerja udah dandan cantik cuma buat nganter sampai depan pintu" ujar seorang ibu yang tadi sempat menegurnya.
"Tunggu tiga tahun aja deh bu.. bentar lagi juga sudah dasteran kayak kita" timpal seorang ibu lain yang membuat sekumpulan ibu itu tertawa.
"Saya jadi ingat lho ucapan ibu waktu itu, ternyata benar ya Zahira sudah nikah bakal tetap tinggal sama orangtuanya"
"Nah benar kan apa yang saya bilang?" jawabnya merasa bangga.
"Iya loh" sambung yang lain setuju.
"Kan saya bilang Zahira itu anak semata wayang, jadi walaupun udah nikah dia gak mungkin lepas dari ketek ibunya" celetuk ibu itu yang membuat telinga Zahira panas mendengarnya.
"Iya sih bu, keliatan kalau Zahira itu anak yang manja. Dari kecil dia sudah seperti itu, nanti juga kalau punya anak pasti yang ngasuh neneknya."
Mereka mengangguk setuju atas pernyataan itu yang membuat Zahira terpancing emosinya.
"Eh ngomongin anak jangan-jangan Zahira sudah itu duluan, dia kan baru lulus kemarin"
"Bener juga, namanya anak jaman sekarang kan ya.. " sahut seorang ibu yang segera mengerti apa maksudnya.
Gosip tentang dirinya semakin memanas seperti tungku, begitu juga dengan telinga dan hatinya yang mendengar itu semua. Tak mampu menahannya lagi ia memutuskan untuk pulang membawa kekesalan, terus mengurung diri di kamar walaupun bundanya berteriak memanggil.
Zahira melewatkan makan siang dan baru keluar kamar menjelang sore, saat Pras pulang bekerja.
Melihat mata sembab istrinya tentu membuat Pras heran, segera ia pun membawa Zahira masuk kamar untuk di ajak bicara.
"Kamu kenapa? sakit?" tanyanya lembut.
"Gak mas"
"Terus kenapa?" tanya Pras lagi.
Dengan terbata-bata sebab air matanya kembali terurai Zahira pun menceritakan apa yang tadi pagi ia dengar, betapa hatinya seketika hancur karena berbagai gunjingan tersebut.
Pras hanya bisa menyabarkan, menenangkan hati Zahira agar tak perlu memikirkan ucapan orang tentangnya.
Untuk saat ini Zahira luluh, hatinya membaik berkat bujukan sang suami. Tapi itu tak bertahan lama, ia kembali mendengar gosip tentangnya dari para tetangga yang tak mengenakan.
Dan kini semua gunjingan itu semakin mengganggu hingga membuatnya tak betah, pada akhirnya ia pun mengambil keputusan yang harus di mengerti oleh bundanya.
"Apa? ngontrak?" ujar bundanya kaget.
"Iya bun, Za kan udah nikah. Malu bun sama tetangga, mau sampai kapan Za hidup tergantung sama bunda?"
"Tapi buat apa kamu ngontrak? itu cuma buang-buang uang doang, lebih baik kamu tinggal di sini biar uang kamu bisa di gunakan pada kebutuhan yang lain"
"Bunda... Za gak pernah ngebantah perintah bunda apa pun, kali ini saja tolong ijinin Za buat hidup mandiri. Lagi pula Za kan gak sendirian, ada Pras sebagai suami yang tanggungjawab" bujuknya.
Sebagai orangtua cukup sulit bagi bundanya melepaskan Za begitu saja, tapi apa yang di inginkan Zahira bukanlah sebuah dosa.
Jika di lihat dari berbagai sudut keinginan Zahira adalah keputusan yang tepat, sebagai seseorang yang telah menginjak dewasa sudah sepatutnya ia berdiri di atas kakinya sendiri.
"Ya sudah kalau begitu, ibu akan bantu kamu cari rumah kontrakan yang bagus" ujar bundanya menyerah.
"Makasih bun.. " ucap Zahira sambil memeluk bundanya.
Rumah itu hanya memiliki dua kamar, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Sederhana dan kecil namun bagi pasangan yang baru saja menikah rumah itu sudah cukup luas untuk di tinggali berdua, Zahira bisa menyusun perabotan sesuka hatinya agar rumah itu bisa nyaman mereka tempati.
Dari pertama pindah ke rumah baru itu tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, saat sadar rupanya mereka sudah dua bulan tinggal di sana.
"Mas.... " panggil Zahira mesra dari arah dapur.
"Iya.. " sahut Pras sambil berjalan menghampiri.
"Aku masakin soto kesukaan kamu, kamu makan ya"
"Wah... keliatannya enak" ujar Pras melihat mangkuk yang di sodorkan Zahira.
Mereka pun duduk di meja makan, dengan telaten Zahira menyiapkan peralatan makan dan air minum untuk sang suami. Tergiur akan penampakannya yang elok Pras segera mengambil sendok dan mencicipi masakan istrinya tersebut.
"Gimana?" tanya Zahira penasaran.
"Um... enak sayang.. " sahutnya.
"Beneran?" tanyanya lagi antusias.
Pras mengangguk sambil tersenyum, membuat wajah Zahira memerah akan pujian itu.
"Mana sini, aku juga mau makan di suapin kamu" ucap Zahira tiba-tiba yang melenyapkan senyum Pras.
"Apa?" tanyanya seolah telinganya tersumbat.
"Aku mau makan juga mas, aku pengen di suapin sama kamu" ulang Zahira kini dengan suara yang lebih keras.
Sejenak Pras terdiam, tentu itu mengundang rasa heran Zahira.
"Kenapa mas? ko kamu melamun?"
"Ah tidak" jawabnya cepat.
"Kamu gak mau nyuapin aku?" tukas Zahira dengan kesal.
"Enggak gitu dek"
"Terus kenapa?"
"Enggak kenapa-kenapa, kamu kan masakin buat mas jadi masa kamu ikut makan juga" jawabnya beralasan.
"Ko gitu sih, tapi aku juga mau makan bareng sama kamu"
"Mening jangan ya dek.. " bujuk Pras yang justru membuat Zahira semakin penasaran.
Dengan wajah berkerut ia segera mengambil sendok dan mencoba masakannya tersebut.
HOOOOEEEEEKKK...
Makanan itu baru sampai ke mulutnya namun lidah Zahira sudah menolaknya, alhasil makanan itu keluar dengan sendirinya.
"Pait mas... " erangnya setelah menghabiskan satu gelas air minum.
Pras hanya tersenyum, tak ada kata yang bisa ia ucapkan.
"Ko pait ya.. jangan-jangan aku salah masukin lengkoas bukan jahe, kayaknya kebanyakan juga lengkoasnya" gumamnya.
Ia menatap Pras dengan perasaan kecewa namun Pras membalasnya dengan senyuman, bahkan dengan lembut ia berkata.
"Enggak apa-apa dek, namanya juga kamu kan masih belajar masak. Mas pasti makan ko masakan kamu sampai habis"
"Tapi mas... kan rasanya gak enak.. "
"Enak ko, cuma tinggal di kasih sambal aja" sahutnya.
Hati Zahira kembali membaik, dalam genggaman tangannya ada sebuah kepalan tangan yang begitu kokoh menjaga perasaannya.
"Makasih ya mas.. kamu emang suami yang paling baik" ujarnya.
Memang tak ada yang lebih membahagiakan dari mendapatkan suami yang pengertian, tetap mencintai kekurangan seperti sumpah yang telah di ikrar dalam pernikahan.
Tapi setiap dunia adalah tempat ujian bagi hamba-Nya, tidak ada satu detik pun kecuali waktu untuk memperbaiki diri.
Begitu pula dalam rumah tangga, Zahira memulainya dengan kebahagiaan namun bumbu pedas melengkapi cita rasanya.
Sejak hari itu ia kehilangan nafsu makannya, wajahnya pucat menandakan ada sesuatu yang tak beres pada tubuhnya.
"Kita ke rumah sakit yuk dek, badan kamu sudah lemah sekali karena beberapa hari tak masuk makan" ujar Pras khawatir akan kesehatan istrinya.
"Gak usah mas, paling aku hanya masuk angin saja"
"Belum tentu kalau belum di periksa, pokoknya kita ke dokter sekarang" tegas Pras.
Ia segera membalut Zahira dengan jaket tebal sebelum pergi, memastikan tubuhnya tak kedinginan selama perjalanan.
Saat sampai Zahira segera di tangani oleh sang dokter, hanya beberapa pemeriksaan kecil dan beberapa pertanyaan yang di jawab oleh Zahira.
"Jadi gimana dok? istri saya enggak kenapa-kenapa kan dok?" tanya Pras tak sabar.
"Oh tidak, istri bapak baik-baik saja ko" sahut dokter itu santai.
"Kalau begitu sebenarnya dia sakit apa?"
"Istri Bapa sedang hamil, saat ini usia kandungannya di perkirakan menginjak dua bulan. Pada semester awal memang umum terjadi mual, pusing, atau sakit pinggang. Mulai saat ini ibu harus banyak istirahat dan minum resep obat yang saya berikan secara rutin"
"Jadi saya hamil dok?" tanya Zahira lagi tak percaya.
"Iya bu, selamat ya atas kehamilannya"
"Terimakasih dok" sahutnya senang.
Zahira tak bisa berhenti tersenyum hingga haru membuat matanya berair, namun saat ia menatap Pras wajah suaminya itu begitu datar hingga tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya.
Bahkan setelah mereka sampai di rumah Lras masih bungkam tanpa memperlihatkan kebahagiaan yang harusnya menghiasi wajahnya.
"Kamu kenapa mas? ko wajah mu kecut begitu?" tanyanya.
"Aku akan antar kamu pulang ke rumah orangtuamu"
"Apa? ta-tapi kenapa mas?" tanya Zahira panik sebab ia tak mengerti mengapa Pras tiba-tiba berubah kejam padanya.
"Kenapa? jelas-jelas kamu sudah buat aku kecewa tapi kamu malah tanya kenapa?" teriak Pras yang membuat Zahira seketika ketakutan.
"Aku gak ngerti maksud kamu apa... apa kamu gak senang atas kehamilan ku?"
"Tentu saja! karena bayi yang sedang kamu kandung itu bukan anak aku!" teriak Pras lebih murka lagi.
Bagai petir yang menyambar hatinya, seketika gosong dan berlubang besar. Zahira tak mengerti mengapa Pras bisa berpikir demikian, yang kelas ucapannya itu telah melukai hatinya.
"Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu? ini anak mu mas.. " ucapnya pelan dengan getir akibat banjir air mata.
"Kamu yakin hah? kita baru nikah satu bulan Za dan kamu sudah hamil selama dua bulan, itu artinya kamu sudah selingkuh sebelum nikah sama aku"
"Tidak mas! tidak pernah ada satu orang laki-laki pun yang menyentuhku kecuali kamu, aku berani bersumpah bahwa anak yang sedang aku kandung adalah buah hati kita" ratap Zahira.
"Mana buktinya? sudah jelas aku baru menyentuh mu setelah kita nikah, tapi buktinya kamu sudah hamil dua bulan" ujar Pras bersikukuh pada pendapatnya.
"Tapi aku berani bersumpah mas cuma kamu satu-satunya pria yang ada dalam hidup aku"
"Arrrggghhh sudahlah, aku capek! aku mau tidur!"
BRAK
Suara pintu yang di banting itu menggema di seluruh ruangan, mengalahkan isak tangis Zahira yang masih bersimpuh di bawah kursi. Semalaman ia meratapi cobaan yang datang begitu cepat dalam rumah tangganya, hingga ia terlelap di sana.
Di atas lantai yang dingin tanpa alas atau selimut, hingga pagi menjelang dimana matanya terbuka dengan sembab. Yang ia dapati Pras telah menghilang, tanpa memberitahunya kemana ia pergi.
Menghela nafas panjang, Zahira hanya bisa terdiam untuk pada akhirnya kembali menangis lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!