...♡♡♡...
...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....
...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...
...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...
...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...
...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....
...HAPPY READING!...
...♡♡♡...
Namaku...
Tidak. Tidak perlu kusebutkan. Anggap saja kalau saat ini aku tidak memiliki identitas. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah seorang gadis muda yang bernasib sangat malang, bahkan sejak aku terlahir ke dunia ini.
Yap, begitulah. Ibuku meninggal pasca mengalami pendarahan sewaktu ia melahirkan aku, dan ayahku, dia meninggal dua tahun yang lalu. Saat ini, aku yang baru berusia delapan belas tahun hanya memiliki seorang paman dengan istrinya yang sangat luar biasa. Yeah, maksudku -- luar biasa kejamnya. Begitu juga dengan pamanku, lelaki empat puluhan yang gila judi itu, karakternya pun tidak jauh berbeda dengan karakter istrinya.
Tetapi mau bagaimana lagi, dua tahun yang lalu, setelah ayahku meninggal, aku diserahkan kepada pamanku sebagai satu-satunya wali untukku. Dan, waw, kemalanganku pun bertambah jadi. Paman dan bibiku menganggapku sebagai beban dalam hidup mereka, hingga pada akhirnya, dengan ide gila bibiku yang matre itu, mereka menjodohkan aku dengan lelaki tua yang berasal dari negara tetangga. Tadinya, kupikir, daripada aku terus tinggal bersama paman dan bibiku yang gila itu, sebaiknya aku menerima perjodohan yang mereka tawarkan. Aku akan dinikahi oleh seorang lelaki kaya raya meski usianya melampaui usia almarhum ayahku. Tapi tak apa, kupikir itu lebih baik. Setidaknya aku bisa hidup dengan bergelimang harta dan bisa terlepas dari kemiskinan, dan, juga dari kejamnya perlakuan bibiku yang selalu memperlakukanku seperti seorang babu.
Tetapi, naif, sungguh naif. Tidak seharusnya aku berpikir demikian. Tidak seharusnya aku berpikir bahwa wajahku yang cantik ini, kulitku yang putih bersih seputih susu ini, dan kemolekan tubuh yang kupunya lengkap dengan lekukan-lekukannya yang sempurna -- adalah keberuntungan yang membuat si jutawan tua itu mau memperistriku. Salah besar. Sungguh kesalahan yang besar. Harusnya aku tidak berpikir demikian.
Bodoh memang! Sialan! Aku terjebak dan masuk perangkap. Ketika aku berada di dalam kapal pesiar untuk dibawa ke Thailand, secara tidak sengaja aku mendengar bibiku berbicara dengan orang asing yang entah siapa orangnya -- intinya aku dibawa ke Thailand bukan sekadar untuk dinikahi, tapi akan dijadikan seorang pelacur. Wanita panggilan penghasil uang bagi semua pihak yang berkepentingan. Dan jika aku menolak perintah, maka aku akan dijadikan tawanan, di mana jika nanti ada keluarga kaya raya yang membutuhkan donor organ tubuh, maka organ tubuhku yang akan mereka jual.
Sadis!
Mereka -- sindikat perdagangan manusia. Aku yakin, pasti sudah banyak gadis yang menjadi korban dari kejahatan mereka.
Sungguh, betapa terkejutnya aku. Sikap manis dari keluarga terpandang dan terhormat itu, sikap manis yang orang-orang itu tunjukkan di hadapanku, ternyata hanya sekadar kepura-puraan saja supaya aku tidak curiga dan supaya mereka bisa membawaku keluar negeri dengan mudah.
Bodoh sekali aku.
Dan sekarang, dalam situasi seperti ini, dalam kepanikan ini, aku tidak mampu berpikir jernih, aku tidak sudi dijadikan seorang wanita panggilan, aku tidak sudi tubuhku dijual dan dijadikan barang dagangan. Aku memang terlahir dan hidup dalam kemalangan, tapi bukan berarti aku akan berdiam diri jika takdir menjatuhkan aku ke dalam lubang penderitaan yang lebih buruk lagi. Aku tidak terlahir untuk menjadi seorang pelacur. Tidak! Aku lebih baik mati daripada mesti hidup dalam kenistaan. Dan, aku -- tanpa jalan di depanku, dan tanpa tahu pilihan yang terbaik bagiku -- diam-diam aku menyepi dan menyelinap keluar dari kapal, dan -- tidak ada pilihan, aku... aku memilih lompat dari kapal.
Oh, God!
Sumpah demi apa pun, air laut yang dingin itu menyiksaku. Tubuhku melayang-layang di dalam air. Kemampuan berenangku bahkan tak mampu kuandalkan untuk melawan kuatnya ombak yang membuat tubuhku terombang-ambing tak tentu arah. Rasanya kecil kemungkinan bahwa aku akan selamat dari maut yang ada di depan mata. Dan aku bahkan sudah berpikir bahwa aku akan segera mati. Sesegera hantaman ombak yang datang ke arahku.
Doom!
Pasrah. Hanya itu. Kubiarkan takdir menentukan jalan hidupku. Bahkan, aku pasrah jika akhirnya aku mati dalam pelarian yang bodoh ini.
Tetapi aku tahu, aku tidak perlu takut. Sebab di sana, di atas sana, ibu dan ayahku, mereka sudah menungguku dengan senyuman. Mereka menungguku -- di surga-Nya yang terindah.
Yeah, pada akhirnya setiap manusia pasti akan mati, bukan?
Tidak terkecuali aku, kau, dan kalian semua -- cepat atau lambat -- kita semua akan mati.
Dan mungkin, kini tiba giliranku.
Mungkin....
Tapi aku tidak mati.
Saat kelopak mataku terbuka, terlihat cahaya lampu di langit-langit, di atas tempat aku terbaring. Aku melihat ke bawah, ada slang mencuat dari tanganku. Tidak salah lagi, aku terbaring di ranjang rumah sakit.
Tenggorokanku sangat perih, aku ingin minum. Namun apalah daya, rasanya aku tidak memiliki kekuatan untuk turun dari tempat tidur, bahkan untuk duduk tegak saja aku tidak mampu.
Please, adakah seseorang yang bisa menolongku? Minimal seorang suster, perawat di rumah sakit ini. Aku sangat haus.
Ah, untunglah. Tak lama harapanku pun bersambut. Handle pintu ditarik turun, lalu suara pintu berderek terdengar dan daun pintu pun membuka. Mataku awas -- sedikit waspada, khawatir kalau-kalau yang masuk itu...
Oh, syukurlah. Bukan. Bukan para penjahat itu. Walau aku tidak mengenalnya, tapi aku yakin dia bukanlah orang jahat -- bukan pria jahat. Hati kecilku mengatakan demikian tatkala aku melihat senyum simpatik yang menghiasi wajahnya.
"Hai, Anda sudah sadar," katanya dalam suara berat khas lelaki. Dari perawakannya aku yakin dia berusia tiga puluhan. Dia menghampiri ranjangku dan menyeret kursi ke dekatku. Lalu duduk.
Kusunggingkan senyum sedikit karena otakku berpikir bahwa pria itu adalah penyelamatku. My Hero. Perkiraan yang tidak meleset. "A--" suaraku serak, dan kucoba berdeham.
"Anda butuh minum? Sebentar, biar saya ambilkan."
Oh, terima kasih, Tuhan. Dia sosok pria yang pengertian.
Lelaki asing itu kembali menghampiriku dengan segelas air putih. "Ini, biar saya bantu," katanya.
Sungguh lega. Air putih itu menjalari tenggorokanku dan rasa perih yang membakar tenggorokanku seketika hilang. Aku menghabiskan segelas air tanpa sisa, dan sekilas kulihat lelaki itu menyunggingkan senyum sebelum kembali meletakkan gelasnya.
"Bagaimana perasaan Anda?" tanyanya. Dia kembali ke tempat duduknya. "Merasa lebih baik?"
Aku mengangguk.
"Oh ya, kita belum berkenalan. Saya Jack. Siapa nama Anda?"
Nama?
Aku baru saja hendak membuka mulut untuk menyebutkan namaku. Tapi tidak jadi. Sekonyong-konyong, seluruh peristiwa semalam membanjiri ingatanku. Aku terombang-ambing dihempaskan ombak hingga mencapai bibir pantai dalam keadaan tak berdaya. Kedinginan. Sangat kedinginan hingga rasanya sampai ke tulang-tulangku. Bahkan aku tak mampu bergerak untuk menjauh dari air hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri di bibir pantai, di tengah gelapnya malam.
Aku tidak boleh membuka identitasku. Aku sudah melawan maut untuk terlepas dari penjahat-penjahat itu. Kalau aku memberitahukan identitasku, mungkin orang ini akan menghubungi keluargaku. Tidak. Itu tidak boleh terjadi.
"Hei...?"
Pura-pura. Aku harus pura-pura lupa ingatan. "Aku... aku tidak tahu," kataku. "Aku... aku siapa?"
"Apa? Anda tidak ingat nama Anda siapa?"
Aku menggeleng -- dengan sedikit ekspresi takut, bingung, dan pura-pura sakit kepala.
"Kenapa? Ada yang sakit? Sebentar, saya panggilkan dokter."
Ah, payah!
Aku tak pandai berakting dan justru jadi benar-benar bingung aku harus bagaimana sementara lelaki itu memanggilkan dokter dan menjelaskan kepadanya tentang apa yang baru saja terjadi: bahwa aku kesakitan -- kepalaku sakit, dan, aku tidak mengingat siapa aku -- siapa namaku.
Well, di depan dokter, aku kembali bersikap biasa. Untungnya, lelaki itu, lelaki yang bernama Jack itu hanya menunggu di luar sewaktu dokter memeriksa keadaanku.
Seperti yang pernah kulihat dalam sinetron di acara televisi, dokter mengajukan beberapa pertanyaan ke pasiennya yang baru tersadar. Dia bertanya siapa namaku, dan aku hanya menggeleng. Kemudian, dokter itu mencoba memancing ingatanku dengan pertanyaan-pertanyaan lain supaya aku ingat pada sesuatu, salah satunya pada keluargaku.
Justru mereka yang ingin saya lupakan, Dokter....
Merasa tidak ada hasil, sang dokter menyimpulkan bahwa pasiennya ini mengalami amnesia, alias lupa ingatan.
Tetapi...
Tidak seperti yang kaulihat di dalam adegan sinetron, kawan. Sama sekali tidak seperti itu. Di dalam kisah nyata, sang penyelamat tidak sebodoh yang disuguhkan di dalam cerita sinetron.
Jack tidak sebodoh itu hingga aku bisa terus berpura-pura. Aku tidak bisa membodohinya.
Beberapa saat setelah dokter keluar dari ruang rawatku, Jack kembali masuk dengan rasa simpatik yang lebih kentara daripada yang pertama kulihat tadi. "Saya turut prihatin atas kondisi Anda," ujarnya. "Tapi jangan khawatir, saya akan membantu mencari keluarga Anda."
Hah?
"Begini saja, saya akan taruh foto Anda di surat kabar, di media online, dan selebaran-selebaran offline. Dengan begitu, saya yakin...."
Aku menggeleng-geleng. Menolak. "Tidak perlu," kataku. "Biar saya--"
"Lo? Kenapa?" Dia menatapku heran.
Aku masih menggeleng. "Saya... saya tidak mau merepotkan Anda."
"Tidak, kok. Sama sekali tidak merepotkan."
"Tidak usah... Pak, emm... Tuan. Tidak usah."
"Tapi, Nona."
"Tidak perlu."
"It's ok, saya sama sekali tidak merasa direpotkan. Itu satu-satunya jalan--"
"Tidak perlu," kataku panik. "Tolong, jangan. Jangan sebarkan foto saya. Anda tidak tahu kalau keluarga saya jahat. Mereka jahat. Em, maksud saya... maksud saya... maksud saya mana tahu, siapa tahu keluarga saya keluarga penjahat, atau... atau mungkin saya tidak punya keluarga. Mungkin...."
Jack melipat kedua tangan di dada, dia menatapku dengan mata -- yang setajam elang. Bukan melotot, tapi penuh kecurigaan. "Anda tidak lupa ingatan. Hmm?"
Aku menggeleng. Menangis. Entah kenapa -- aku jadi sedikit takut. Tetapi...
Lelaki itu menghampiriku, duduk di hadapanku.
Aku mengangguk. "Saya sengaja melompat dari kapal untuk menyelamatkan diri dari orang-orang jahat," akuku. Aku terisak, tersedu-sedu. "Paman dan bibi saya menjual saya ke luar negeri untuk dijadikan pelacur. Kalau mereka menemukan keberadaan saya...." Aku menggeleng-geleng. "Tolong, jangan beritahu siapa pun. Saya tidak ingin dijual. Saya tidak ingin dijadikan pelacur. Tolong, please?"
Entah bagaimana, kurasakan kedua tangan kokoh Jack memeluk tubuhku. Begitu erat. "Tenanglah," katanya, dalam suara lembut dan penuh kepedulian. "Saya tidak akan memberitahukan siapa pun. Saya janji."
"Sungguh?"
Dia melepaskan pelukan, lalu mengangguk.
"Terima kasih... Tuan. Terima kasih Anda mau merahasiakan keberadaan saya. Terutama... terima kasih karena Anda sudah menolong saya. Anda menyelamatkan saya dan membawa saya ke rumah sakit. Terima kasih."
Lagi. Dia mengangguk -- namun kali ini tanpa kata. Dan suasana di antara kami mendadak hening, plus, canggung.
"Emm...," gumamku memecah keheningan.
"Maaf...."
"Em? Maksudnya maaf untuk apa?"
"Emm... tadi... saya lancang... memeluk."
"Oh, itu... tidak masalah. Saya... saya rasa itu hal yang wajar. Karena saya... maksud saya kondisinya... ini...."
Dia tersenyum, sedikit, dan agak-agaknya -- dia merasa malu, lalu kembali duduk di kursi.
"Omong-omong," kataku, "saya tidak punya uang untuk--"
"Jangan khawatir. Biar saya yang menanggung semua biaya rawat Anda."
"Oh, Anda baik sekali, Tuan. Sekali lagi terima kasih. Saya tidak tahu bagaimana... maksud saya, apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan Anda?"
Hmm... Jack sedikit tertegun. "Tidak perlu," katanya. "Tidak ada yang perlu--"
"Tidak apa-apa, Tuan, katakan saja. Atau mungkin... beritahu saja saya di mana alamat Anda. Nanti, kalau saya punya uang, saya akan membayar semua biaya yang sudah Anda keluarkan untuk perawatan saya. Begitu saja."
Tetapi dia tetap menolak. Sungguh, dia seorang pria yang baik. "Tidak perlu memikirkan hal itu. Yang terpenting sekarang kondisi Anda membaik, oke?"
Yeah, aku mengangguk.
"Nah, sekarang bisa beritahu saya siapa nama Anda?"
Aku menggeleng. "Kalau tidak keberatan... saya ingin tetap merahasiakannya, please?"
"Baiklah. Tidak masalah. Tapi sekarang, saya bingung harus memanggil Anda siapa. Jadi... bagaimana enaknya? Tidak mungkin, kan, kalau saya terus menyebut Anda tanpa nama? Tidak enak juga didengar, ya kan, Nona?"
Bingung. Aku menggeleng. Aku tidak memiliki jawaban.
"Bagaimana kalau... Rose? Nona Rose. Boleh saya memanggil Anda dengan nama itu?"
Kenapa Rose?
Otakku otomatis menyambungkan nama itu dengan film Titanic. Kisah cinta dua insan yang berakhir dengan dramatis, kisah cinta antara Jack dan Rose. Tapi kisah cinta mereka abadi, tak akan pernah lekang oleh waktu. Tentu saja aku tahu bagaimana hits-nya film itu. Tetapi kenapa Jack ingin memanggilku Rose? Apakah karena aku secantik Rose? Atau karena aku selamat dari laut? Atau... karena namanya Jack? Jack dan Rose? Apa dia...?
Ah, terlalu dini -- bahkan terlalu percaya diri jika aku menganggap hal ini tentang rasa. Aku bahkan baru bertemu pria itu kurang dari tiga puluh menit yang lalu.
"Oke, saya suka nama itu. Tapi... kalau saya boleh tahu, kenapa?" tanyaku. "Maksud saya... mungkin ada alasannya?"
Jack tersenyum, dan aku mulai menyadari bahwa dia memiliki tipe senyuman yang memikat. "Karena namaku Jack. Dan aku menyelamatkanmu yang terdampar di pinggir laut."
Aku mengangguk. "Well, Titanic? Tapi kan kapalku tidak karam. Aku sengaja melompat ke laut."
"Tapi kamu secantik Rose, si bintang film itu, ya kan?"
"Oh, terima kasih atas pujiannya. Sungguh, aku tersanjung."
"Bukan, aku tidak memuji. Itu faktanya. Kamu memang cantik."
Oalaaah... aku tersenyum. Bukan hanya pada pujiannya, tapi juga pada cara bicaranya yang mendadak menggunakan kata aku-kamu. Terdengar lebih akrab. Aku pun kembali mengangguk dan berterimakasih. Sungguh aku tahu kalau aku cantik. Hanya saja, sayangnya kecantikan itu tak lantas membuatku menjadi seorang gadis yang beruntung.
"Sudahlah, kamu tidak perlu berterimakasih terus. Santai saja."
Lalu hening lagi. Nampaknya kami berdua sama-sama bukan tipe orang yang pandai bercengkerama dengan orang asing.
"Emm... mungkin kamu butuh istirahat. Sebaiknya saya menunggu di luar saja."
Eh? Kok?
Tapi, meski tidak enak hati membiarkannya keluar dari ruang rawatku, aku juga merasa tidak enak untuk menahannya, mungkin dia akan lebih nyaman jika menunggu di luar, pikirku. Aku mengangguk. Namun lagi-lagi takdir berkata lain. Sudah saatnya jam makan siang, seorang petugas rumah sakit mengetuk pintu ruang rawatku, kemudian ia masuk dengan membawa nampan makanan untukku. "Ini makan siangnya, ya, Nona. Jangan lupa obatnya diminum. Permisi...."
Aku mengangguk seraya berterimakasih, lalu berusaha untuk duduk lebih tegak. Tetapi ternyata tubuhku masih belum pulih sepenuhnya. Aku masih lemah. Sebab itu, dengan sigapnya Jack membantuku, dia menegakkan bagian kepala ranjangku lebih tinggi dan menaruh bantal di belakangku.
"Biar saya bantu. Emm... maksud saya, kamu tidak keberatan kalau saya suapi? Saya khawatir kepalamu masih pusing."
Oh, baik sekali dia. Aku tidak mengatakan apa pun, sebagai gantinya, aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kubiarkan dia menyuapiku. Dan satu-satunya bagian yang tidak kusukai adalah: suasana kembali hening selama dia menyuapiku. Maksudku, tidak selama itu juga, namun cukup lama. Dan aku tidak tahan dengan keheningan itu. Kalau bukan dia, kurasa sebaiknya aku yang mulai bicara.
Bicarakan apa saja, yang penting jangan hening seperti ini. Aku pun berdeham. "Omong-omong, bagaimana ceritanya saat Anda menemukan saya tadi? Kalau boleh, bisa tolong ceritakan, please?"
"Tidak bagaimana-bagaimana, kok. Saya hanya sedang lari pagi, lalu saya melihat ada orang yang terdampar di pinggir pantai. Saya kira putri duyung. Sewaktu saya hampiri, eh, ternyata itu bidadari yang turun ke bumi."
Eit dah!
"Dasar gombal!" Aku tersipu.
"Tapi nyatanya kamu memang secantik bidadari."
"Ya Tuhan...." Dia membuatku tertawa, begitu juga dengannya, meski ia mencoba menahan diri.
Well, suasana sudah sedikit santai. Ternyata, kalau diajak bicara duluan, kepribadian Jack yang ramah dan humoris itu mulai terlihat. Dia bertanya berapa usiaku, pun sebaliknya, aku juga bertanya berapa usianya. Katanya dia berusia 30 tahun.
"Tidak heran, sih. Kamu jelas terlihat masih muda. Tapi sepertinya, pembawaanmu sudah dewasa," kata Jack. "Dan saya menilai itu dari caramu bicara."
Sesungguhnya aku sedikit tertawa di dalam hati. Sebab, Jack itu pribadi yang mudah terbawa arus dalam obrolan, sekaligus bisa kembali cepat terbenteng dalam kekakuan. Bicara aku-kamu dan saya-kamu-nya tidak konsisten, cepat berganti tergantung topik obrolan. Tapi, yeah, aku mamaklumi hal itu.
"Saya sudah tamat SMA setengah tahun yang lalu, dan setiap hari, saya berinteraksi dengan orang-orang dewasa. Bukan dengan remaja-remaja yang seumuran dengan saya. Mungkin karena itu pembawaan saya jadi seperti ini."
Kurasa.
"Oke. Jadi, setelah tamat SMA, apa kegiatanmu?"
Hmm... pertanyaan itu mencubit hatiku. Aku menggeleng. "Tidak ada," kataku. "Hanya berjibaku dengan segala urusan rumah." Seperti seorang babu. Menyedihkan!
"Sayang sebenarnya. Kamu masih muda. Harusnya...." Dia berhenti, seolah sedang menyadari sesuatu, dan sepertinya memang itu yang terjadi. "Maaf, saya lupa. Saya tidak bermaksud...."
Tidak apa-apa. Sudah biasa. Sangat sudah biasa. Begitu pula dengan rasa sakitnya, sudah biasa kurasakan. "Saya berharap dengan keadaan saya yang sudah terbebas ini, saya bisa... oh, andainya saja bisa. Saya juga lupa kalau saya harus terus bersembunyi. Sial, nasib yang malang."
"Hei, sudahlah. Lupakan dan jangan bersedih."
"Yeah. Memang harus seperti itu, kan? Karena hidup mesti terus berlanjut."
"Em. Jadi bagaimana? Kira-kira, setelah ini, apa rencanamu?"
Rencana? Belum ada. Belum tahu. Dan belum terpikirkan. Aku hanya bisa menggeleng dan berkata, "Hanya harus terus bertahan hidup. Mungkin mencari pekerjaan, apa pun itu yang penting bisa menghasilkan uang dengan cara yang baik."
"Bagus. Semangat, ya, Nona Rose." Senyum memikat Jack kembali membelah wajah. Tampan sekali.
Tapi... seketika itu juga aku menyadari kekeliruanku. Mencari pekerjaan sebagai apa? Pekerjaan yang baik pula. Bagaimana bisa sementara aku sendiri tidak memiliki identitas? Aku bahkan seperti warga negara yang illegal. Aku tidak memiliki KTP, sementara kartu pelajarku sudah tidak berlaku lagi. Tetapi aku tidak bisa mengatakan hal itu kepada Tuan Penyelamat di depanku ini. Bagaimana mungkin aku bisa dengan sengaja membebaninya -- meminta tolong lebih banyak kepadanya? Aku bukan pribadi yang suka merepotkan orang lain.
"Omong-omong, ini memalukan, seharusnya saya bertanya sedari tadi, saya sekarang berada di mana, ya?"
Di rumah sakit.
Euw...! Sifat humoris yang sedikit menyebalkan! Jack menjawab seperti itu sambil cengengesan. "Nenek-nenek keriput juga tahu kelles kalau ini di rumah sakit. Maksud saya ini di mana? Di kota apa?"
"Jangan ngegas, Nona. Santai...."
Hmm... dasar...! Tapi dia tampan, dan -- sedikit lucu. Jadi... tak apalah. Tidak masalah dia terus melucu seperti itu. Orang tampan mah bebas, ya kan?
"Sekarang kita berada--"
Suara ponselnya menyela.
"Sori, sebentar," katanya. "Ada telepon masuk." Jack menaruh piring makananku ke atas nampan, lalu ia mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Kurasa itu telepon penting, sebab Jack langsung menerima panggilan telepon itu dan keluar dari ruang rawatku.
Ya sudahlah, kulanjutkan makanku sendiri, dan setelah itu aku mesti minum obat.
Selang beberapa menit kemudian, Jack kembali ke ruang rawatku dengan wajah mendadak senduh. "Maaf," katanya. "Saya harus pergi sekarang. Tapi saya akan usahakan untuk kembali secepatnya. Nanti saya minta perawat untuk mengurus Anda. Tidak apa-apa, kan?"
"Oh, oke. Tidak apa-apa. Saya--"
"Tolong jangan ke mana-mana. Saya akan segera kembali."
"Em, baiklah. Saya tidak akan ke mana-mana. Jangan khawatir."
Tetapi tidak mungkin, entah kenapa aku melihat kerisauan di wajah tampannya. Sehingga, setelah dia keluar dari ruang rawatku...
Pintu itu kembali terbuka, Jack berdiri di ambang pintu.
"Ada apa? Apa ada sesuatu yang tertinggal?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!