NovelToon NovelToon

Pengantin Bayangan

Mama

"Mitha...mama hanya ingin satu hal, menikahlah dengan kakakmu Elang." ujar Maria dengan suara lemah. Paramitha, sang putri terus setia memegang tangannya yang terasa dingin. Demikian pula Abimanyu sang papa yang juga terus berada disisi ranjang yang lain sambil mengelus kepala sang istri tercinta.

"Mau ya nak...mama hanya ingin melihat kalian, puta putri mama bahagia sebelum mama..." Abi lebih dulu meletakkan telunjuknya di bibir sang istri sebelum tangis Mitha pecah sesenggukan seraya memeluk wanita yang paling dia cintai itu erat.

"Mama pasti sembuh." katanya diantara isakan yang membuat tubuhnya terguncang. Maria tersenyum.

"Mama akan tetap berusaha sembuh sayang. Mama akan berusaha ada diantara kalian. Tapi bagaimanapun keadaan mama nantinya, mama hanya ingin kalian menikah dan saling menjaga. Setelah itu mama janji akan fokus berobat." Abi menegakkan tubuhnya. Ada rona bahagia dan harapan besar bersinar dimata pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu. Selama ini Maria istrinya selalu mengelak saat diajak untuk berobat. Padahal tumor getah bening yang dideritanya masih bisa dioperasi. Berkali-kali Abi membujuknya, namun selalu berakhir dengan penolakan karena wanita yang sangat dicintainya itu selalu beralasan takut. Lebih baik mati dari pada dioperasi.

Tapi hari ini, saat Maria kembali masuk rumah sakit karena suhu tubuhnya kembali naik, wanita itu memanggil suami dan anaknya untuk mengungkapkan keinginannya. Dalam hati Mitha bertanya-tanya, apa tidak ada permintaan lain dari sang mama sebagai syarat operasi tanpa harus menikahi Elang?

Elang narendra abimana...nama itu mengingatkannya pada sang kakak yang entah bagaimana rupa aslinya. Dia hanya tau wajah Elang dari foto yang dikirim kerumah tanpa pernah bertatap muka dengannya. Suaranya saja yang bisa dia dengar saat mama papanya menelepon dirumah. Hanya bayang-bayang lupa-lupa ingat yang menggambarkan Elang dibenaknya. Ya, Elang menetap di London sejak lulus SMA dan dia adalah gadis kecil usia 8 tahun yang jarang bertemu atau bercakap-cakap dengannya karena sang kakak selalu berangkat pagi-pagi dan pulang selepas isya karena banyak kegiatan disekolah dan les tambahan.

"Mitha dengarkan papa..menikahlah dengan Elang secepatnya. Lihat kondisi mamamu. Keselamatan mama bergantung pada keputusan kalian." sergah Abi tegas dengan wajah menegang.

"Pa, ma, bukan Mitha tidak mau..tapi mitha dan kak Elang saudara sekandung kan? mana boleh kami menikah pa? pernikahan kami tidak akan sah. Dosa pa." Bela Mitha mencoba menghindari pernikahan gila yang menjadi ide mamanya.

"Dosa tidak berlaku jika dalam keadaan terpaksa Mitha. Jika pernikahan kalian adalah sebuah dosa, maka biarakan papa yang menanggung dosa kalian." Abi mulai geram karena tingkah Mitha. Maria menenangkan suaminya dengan mengelus tangannya.

"Apa tidak ada syarat lain ma? Mitha janji akan melakukannya untuk mama." Namun Maria menggelengkan kepalanya. Wanita paruh baya itu memalingkan wajahnya pada Abi, menghindari bertatapan dengan Mitha yang terus memohon padanya.

"Tidak apa-apa jika Mitha tidak mau pa. Tolong katakan pada dokter, mama mau pulang. Lebih baik dirumah pa." Abi mengangguk menyetujui permintaan istrinya. Lelaki itu sudah lelah berdebat dengan Maria yang selalu berakhir kekalahan baginya. Rasa cinta dan tidak tegalah yang membuatnya begitu.

"Mama jangan! tetaplah disini sampai sembuh." pinta Mitha memohon dengan air mata yang terus bergulir dipipinya.

"Mama tidak akan sembuh hanya dengan diinfus sayang. Mama capek dan tidak suka aroma ini. Mama ingin dirumah saja." sakit hati Mitha mendengar keputusan sang mama yang menurutnya selalu pasrah pada takdir tanpa mau berusaha. Sekali lagi ditatapnya wajah kedua orang tuanya dalam. Tuhan...ampuni aku jika keputusanku salah. Aku hanya ingin berbakti pada kedua orang tuaku. Ampuni aku ya Allah ...batin Mitha.

" Baiklah jika itu yang mama papa inginkan. Mitha akan menikah dengan kak Elang." putusnya kemudian. Dia tidak mau terjadi sesuatu pada sang mama. Tak tega rasanya melihat tubuh ringkih itu terus menderita. Betapa jahatnya tumor kejam itu mengoyak tubuh mamanya hingga nyaris hanya kulit membungkus tulang.

Maria tersenyum bahagia dan merentangkan tangannya agar Paramitha memeluknya. Mitha yang masih sesenggukan langsung berhambur dalam pelukannya. Pelukan yang sama saat dia masih bocah usia 8 tahun. Mama yang amat sayang dan melindunginya.

"Pa, telepon Elang sekarang. Suruh Elang pulang secepatnya." Abi yang masih terpaku melihat anak istrinya langsung tersadar dan meraih ponselnya. Hanya dalam hitungan detik, sambungan itu terhubung. Abi mulai menceritakan keadaan Maria yang memang selalu dirahasiakan dari Elang atas permintaan Maria. Wanita itu tidak ingin putranya sedih dan terlalu memikirkan dirinya.

Sama seperti Mitha, Elang juga menolak tegas permintaan aneh sang mama yang menurutnya omong kosong.

"Bagaimana bisa aku menikahi anak itu pa? seleraku tidak serendah itu." ketus Elang diseberang sana. Mitha yang mendengarnya menjadi jengah. Sudah lewat bertahun-tahun tapi kakaknya itu selalu menyebutnya dengan 'anak itu' tanpa mau menyebut namanya. Apa salahnya pada Elang hingga sikapnyapun tak mencerminkan sikap seorang kakak padanya?

Abi terus membujuk putra tersayangnya itu dengan suara lembut lain saat dia membujuk dirinya tadi. Papanya terdengar seperti sedang memerintah dari pada meminta kesediaanya. Selalu begitu hingga Mitha sangat hafal sifat papanya. Pria itu begitu bangga pada Elang hingga selalu terlihat memanjakan kakak sulungnya itu.

Memang patut jika Abi sangat bangga pada putranya itu. Sejak lulus SMA dan diterima di Universitas terbaik disana, selalu berita baik yang dia dapatkan walau sang putra tak pernah sekalipun pulang dan menengok mereka di Indonesia. Elang seakan asyik dengan dunianya sendiri. Tapi anehnya, baik papa atau mamanya tidak pernah protes atau memintanya pulang kecuali hari ini, saat Maria sakit parah.

Lama Abi membujuk hingga melakukan video call dengannya. Sontak Mitha terbangun dari pelukan mamanya saat Elang ingin bicara dengan sang mama. Sungguh, saat itu Mitha merasa tersisih.

"Mama bertahanlah, Elang akan segera pulang untuk mama. Elang sayang mama." suara bariton itu terdengar bergetar seiring dengan Maria yang terisak. Dia tau putranya itu tidak akan menolaknya. Elang anak yang sangat santun dan berbakti. Eropa tidak akan pernah merubah putra tersayangnya.

gleekk .....

pulang? Berarti Elang akan pulang dan menikah dengannya?? Ah Ya Tuhan...tak henti-hentinya Mitha melafazkan istighfar dalam hatinya. Dia hanya bisa pasrah pada keputusan orang tua dan kakaknya. Yang dia pikirkan saat ini adalah.......

.....Andra....!! pemuda yang sudah dua tahun ini mengisi hatinya. Pemuda yang dia cintai yang baru tahun depan pulang setelah kuliahnya di Singapura usai.

" Maafkan aku Ndra." batinnya seraya tersenyum kecut.

Siang itu

Kediaman Abimanyu terlihat sangat sibuk hari ini. Dua asisten rumah tangga dan seorang tukang kebun yang bekerja disana sibuk berlalu lalang merapikan rumah dan kamar dilantain atas tepatnya disamping kamar Mitha sekarang. Semua perabotan diganti dengan furniture baru setelah kemarin papanya mengundang tukang cat untuk mengecat ulang kamar itu secara keseluruhan. Dan Mitha hanya bisa menatap semua kesibukan itu sambil menemani mamanya yang duduk di sofa depan televisi.

Dokter mengabulkan keinginan Maria untuk istirahat dirumah pasca suhu tubuhnya stabil. Mama tersayangnya itu juga menjadwalkan operasinya awal bulan depan, sehari setelah Mitha dan Elang menikah.

"Sini." kata Maria lembut seraya menepuk pahanya. Tanda agar Mitha merebahkan kepalanya disana, dan gadis itu menurut dengan suka rela.

"Bagaimana kuliahmu Mith?" Tanyanya sambil mengelus kepala si bungsu lembut.

"Baik ma."

" Hanya itu? biasanya kamu cerita banyak ke mama." benar, Mitha termasuk anak mama yang mendapat kasih sayang penuh dari orang tuanya. Abi dan Maria sangat menyayangi dan memanjakannya. Tak heran jika diusianya yang ke 20 dia masih sering tidur ditemani sang mama. Tapi itu dulu...sebelum tumor itu menyerang limfosid mamanya dan membuat benjolan besar dibawah dagu. Tak hanya itu, penyakit itu juga menyerang daya tahan tubuh mamanya hingga rentan sakit hanya karena hal-hal kecil.

"ma...."

"hmmmm..."

" Apa Mitha harus menjadi istri kak Elang?" tanya Mitha sangat hati-hati.

"Ya." jawaban singkat. padahal Mitha ingin Maria menjelaskan alasannya. Tapi kelihatannya wanita paruh baya itu memilih diam hingga Mitha tak berani lagi membicarakan masalah pernikahannya.

"Nanti sore Elang pulang." kembali kalimat pendek yang terucap dari bibir mamanya.

''nanti sore?" ulang Mitha terkaget. Dia tak menyangka kakaknya akan pulang secepat itu. Padahal dia berharap Elang masih akan lama ada disana , atau mungkin menunda kepulangannya hingga dia masih punya banyak waktu untuk berpikir dan menikmati masa lajang.Dia yang tak perhatian, atau waktu yang terlalu cepat berlalu?

Perbedaan 10 tahun usia mereka pasti menimbulkan banyak perbedaan. Dia yang baru berusia 20 tahun kenapa harus dinikahkan dengan om-om usia 30an yang note bane adalah kakak kandungnya? Lagian kenapa juga Elang tak juga menikah selama disana? Apa kakaknya itu sebegitu tidak lakunya? atau dia kelainan? hanya membayangkannya saja sudah membuat Mitha bergidik. Kasus LGBT sudah bukan rahasia di Eropa. Apa mungkin Elang juga salah satu pengikutnya?

"Kenapa sekaget itu Mith? dan lagi apa yang sedang kaunpikirkan? Elang itu kakakmu, calon suamimu juga. Iya sih kalian tak pernah bertemu..kau masih berusia 10 tahun saat kakakmu memilih ikut opa di London. Tapi Elang tetap anak mama. Dia juga mendapat didikan yang baik selama disana. Jadi kau tidak usah khawatir, mama papa tidak akan membuatmu salah memilih." hanya anggukan lemah yang menjawab semaunya. Mitha sudah pasrah. Demi orang tuanya dia akan menerima takdirnya, termasuk menyiapkan hatinya jika nanti masyarakat awam menghujatnya karena disangka pelaku incest.

"Ma, ke kamar yuk. Minum obat lalu istirahat. Dokter bilang mama tak boleh terlalu capek." Maria tersenyum lembut, bangkit dibantu sang putri yang menggandeng tangannya ke kamar utama dilantai satu.

Selama ini Mithalah yang mengurus dirinya. Putri bungsunya itu selalu memasak masakan khusus untuknya sesuai petunjuk dokter, menyuapi dan menemaninya. Tak pernah sekalipun gadis itu mengeluh atau berkata kasar padanya. Sungguh Maria beruntung mempunyai anak sepertinya.

"Lho...papa sudah pulang?" tanya mereka bersamaan setelah menjawab salam papa Abimanyu. Baik Maria ataupun Mitha bergantian mencium punnggung tangan pria paruh baya itu.

"iya ma. Kan putra kita akan pulang? papa akan menjemputnya nanti." Abi terlihat sangat bahagia dan bersemangat siang itu. Wajahnya terlihat beberapa tahun lebih muda jika begitu bahagia.

"Mith..nanti ikut papa ya jemput kakakmu." Mitha hanya diam dalam bimbang mendengar ajakan papanya. Dia pasti akan canggung jika berada diantara bapak dan anak itu.

"Apa ..apa tidak sebaiknya Mitha menemani mama saja pa?" Kali ini Maria memegang lengannya sambil menggeleng pelan.

"Kau harus ikut papa ke bandara. Nanti biar mak Ijah yang menemani mama." dan lagi-lagi Mitha hanya bisa mengangguk pasrah. Abi kemudian menggandeng istri tersayangnya ke kamar dan menyuruh Mitha istirahat dikamarnya.

Dalam gamang, Mitha berjalan kearah tangga. Menapakinya satu demi satu hingga melewati calon kamar kakaknya. Rasa penasaran membuatnya membuka sedikit pintu yang tak terkunci itu dan melongok ke dalam. Kamar yang maskulin dengan kombinasi warna biru dan abu-abu yang menawan. Semua perabotan didominasi warna hitam, kontras dengan kamarnya yang mayoritas perabot berwana putih dengan cat pink yang terlihat girly. Berlahan dia kembali menutupnya, berlalu kembali ke kamarnya.

Ponsel berdering tepat saat dia membuka pintu kamar. Kebiasaan Mitha memang meninggalkannya dikamar saat ada dirumah.

"Andra." batinnya. Sesaat hatinya berbunga, jemari lentiknya bergerak cepat menggeser tombol kamera dilayar ponselnya. Disana sosok pria tampan berwajah bak oppa-oppa Korea melambaikan tangan padanya. Pria itu tak henti-hentinya tersenyum padanya.

"Mith, bulan depan aku akan pulang ke Indonesia. Seneng rasanya mau ketemu kamu sweety." Mitha yang semula tersenyum bahagia menjadi muram. Bulan depan? tinggal seminggu lagi. Sedangkan dia akan menikah dengan Elang hanya beberapa hari lagi.

Ingin rasanya Mitha memohon pada Andra untuk membawanya lari dari rumah. Pergi jauh dan hidup bersamanya saja. Meninggalkan rumah yang selama ini melindunginya, juga orang tua yang membesarkannya agar pernikahan ini batal dilaksanakan. Tapi dimana rasa hormat dan baktinya pada orang tua? Dia nyaris sama seperti Malin kundang yang durhaka pada ibunya.

"Sungguh?"

"Ya. Tak masalah jika hanya dua minggu dirumah. Toh semester depan aku juga bisa pulang saat liburan. Semoga skripsiku lekas usai. Saat lulus nanti aku akan pulang dan melamarmu menjadin nyonya Rahardian."

Harusnya saat itu Mitha bahagia dengan perkataan sang kekasih. Menikah dan hidup bersama dengan Andra adalah impiannya. Tapi apalah daya sebuah impian jika sudah dihadapkan pada sebuah drama kolosal kehidupan yang dinamakan kenyataan? non sens!

Masih terngiang ucapan Abimanyu padanya tadi pagi saat sang papa akan meninggalkan rumah.

''Ingatlah perkataan papa Mitha. Orang yang akan menikah dan berjodoh denganmu bisa jadi bukan orang yang kau cintai,nak. Jodoh setiap orang sudah tertulis di lauhul mahfudz. Perbanyaklah istikharah, maka Allah yang maha agung akan memberimu petunjuk tentang siapa jodohmu. Janganlah kecintaanmu pada seseorang membutakan nuranimu. Pikirkan baik-baik perkataan papa. Karena baik kau menerima permintaan mamamu atau tidak, kalian tetap anak-anak kami."

Anggrek

Suasana bandara yang ramai tak menyurutkan jari jemari seorang gadis cantik berambut kecoklatan untuk terus membalas chat beberapa teman kerjanya. Dia yang semula tidak enak hati karena tidak masuk kerja secara tiba-tiba hari itu menjadi lebih tenang saat membalas chat mereka yang bekerja satu shift dengannya.

"Mitha...sini." panggil seorang pria paruh baya yang serta merta merangkul bahunya dan mengajak mendekati pintu keluar.

Abimanyu sang papa masih mengedarkan pandangannya, meneliti satu persatu penumpang yang baru turun dari pesawat hingga tatapannya tertumbuk pada seorang pria bertubuh tinggi dalam balutan jaket biru tua.

"Elang." panggilnya membuat pria muda yang tadinya akan belok ke arah kanan menjadi berjalan lurus mendekati mereka. Pemuda bernama Elang itu menyeret koper besarnya dengan langkah panjang lalu memeluk sang papa erat.

"Bagaimana kabar papa?" tanyanya lembut. Abimanyu menepuk bahu putranya bangga. Sang anak malah berpostur melebihi dia sekarang.

"Papa baik. Hmmm...ini adikmu. Paramitha." Elang menatap Mitha yang jadi salah tingkah dan mengulurkan tangan kanannya dengan sedikit gemetar. Takut tak mendapat respon yang baik dari sang kakak yang terasa sangat asing dimatanya.

"Ha...hai kak..."

Sama seperti dugaanya, Elang tak menanggapi uluran tangan itu dan memilih memeluk pundak sang papa agar segera menuju pintu keluar tempat pak Jaya sopir keluarga mereka menunggu. Tiba-tiba hati Mitha menciut. Ya Tuhan, jangankan saling bersalaman, menjawab sapaannya saja tidak. Apa ini pria yang dipilih orang tuanya untuk menjadi pendampingnya? dingin..sama seperti saat dia masih belia dulu. Elang bahkan tak pernah mengacuhkannya. Tentu saja Elang bukan kriteria kakak yang baik saat itu, sama saat sekarang...dia bukan kriteria suami terbaik baginya seperti perkataan papa mamanya.

Jika sekarang Mitha cukup tau alasan Elang acuh padanya, bagaimana dengan yang dulu? sedangkan baik dulu ataupun sekarang dia merasa tak pernah berbuat salah pada kakaknya itu. Jangankan berbuat salah, mendekat saja dia tak pernah.

Siapapun pasti akan bersikap sama seperti yang Elang lakukan jika mereka berada diposisinya saat ini. Mana ada anak pria yang sudah matang dan mapan pula, mau dijodohkan dengan adik kandungnya sendiri? Ayolah ..ini bukan jaman para Fir'aun yang diharuskan menikahi saudarinya sendiri untuk mempertahankan darah keturunan. Jika kebiasaan itu terus lestari, berapa banyak bayi seperti fir'aun Tutankhamun yang menderita kelaianan genetik atau keturunan ratu Victoria yang menjadi carier penyakit hemofilia dan menurunkannya pada anak cucunya. Intinya pernikahan sedarah tidak boleh terjadi karena akan lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.

Mitha kembali tidak mengerti pada jalan pikiran kedua orang tuanya. Mereka adalah orang-orang terpelajar yang tentu tau apa akibat pernikahan sedarah yang mereka rencanakan. Tidakkah mereka takut jika nanti akan berimbas pada cucu-cucu mereka?

"Jalan pak." perintah Abi pada sang sopir saat mereka sudah masuk ke dalam mobil. Mitha berinisiatif duduk di depan menemani pak Jaya karena tak ingin kembali bersikap canggung saat ada diantara papa dan kakak dinginnya itu.

Sepanjang jalan pulang, Elang dan Abi tak henti-hentinya berbincang dan menunjukkan tempat-tempat baru pada putra tersayangnya itu. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk Elang meninggalkan Jakarta. Selama kurun waktu itu, sudah banyak bangunan baru yang mengubah wajah sang ibu kota hingga dia sedikit lupa. Tak satupun mereka melibatkan Mitha dalam percakapan mereka. Anak bapak itu terasa seperti sesama teman pria yang sedang kongkow menghabiskan waktu dan menikmati dunianya sendiri.

"Ehm..pa, bisa kita berhenti sebentar di depan? ada sesuatu yang mau Mitha beli." Sela Mitha dengan wajah berbinar. Beberapa meter didepan mereka terlhat penjual bunga warna warni yang menarik mata.

"Baiklah. Tapi jangan lama-lama Mith. Kasihan kakakmu. Dia pasti sangat capek." ingat Abi pada Mitha karena tau pasti kebisaan putrinya juga istri tersayangnya saat bertandang ke toko bunga. Ibu dan anak itu akan lupa waktu karenanya. Segera Mitha melingkarkan telunjuk dan jempolnya membentuk kode oke sebelum turun dari mobil dan setengah berlari kesana. Abi hanya menggelengkan kepalanya, sedang Elang hanya menatap tajam kepergian sang adik dengan raut aneh.

"Adikmu memang begitu Lang."

"hmmmm." hanya itu yang keluar dari tenggorokan Elang. Selebihnya dia melihat kedepan, arah dimana Mitha sibuk memilih deretan anggrek cantik berwarna ungu yang berjajar rapi disana.

"Dia masih seperti yang dulu." gumamnya pelan, namun masih bisa di dengar sang papa.

"Dia tidak berubah Lang. Hanya wajah dan badannya saja yang berbeda. Tapi kau harus mengakui jika adikmu adalah gadis yang cantik. Mamamu tak salah pilih." sekilas Elang melihat wajah papanya yang juga memperhatikan Mitha dari kaca depan dengan senyum lebar.

"Tapi Elang tidak bisa mencintainya pa."

"Kan belum dicoba? nanti juga terbiasa. Tidak sulit mencintai Mitha Lang. Dia gadis yang baik dan tumbuh sesuai didikan mamamu. Selain cantik, dia juga rajin dan penurut. Boleh dibilang, Mitha tipe menantu idaman kami."

"Terserah kalian." hanya jawaban itu yang keluar dari bibir Elang. Setelahnya, pria blasreran Inggris itu memilih diam dan mengalihkan pandangannya pada tempat lain. Jengah dengan pembicaraan mengenai Mitha, calon menantu dan pernikahan.

Mitha masuk sambil menenteng sebuah anggrek ditangannya. Wajahnya sangat riang dengan senyum berseri.

"Buat mama lagi?" tanya Abi saat anak gadisnya sudah masuk sempurna ke dalam mobil. Abi tau pasti jika anggrek adalah bunga kesayangan istrinya karena varian bunga itu terpajang rapi ditaman rumah mereka. Mithalah yang merawatnya pasca Maria sakit.

Mitha hanya mengangguk.

"Mama pasti suka. Ini varian baru pa." ujarnya bersemangat seraya mengelus bunga itu penuh kelembutan.

"Buang-buang uang saja." sergah Elang dingin. Abi maupun Mitha terkejut melihat reaksinya yang terkesan berlebihan. Bukankah Mitha hanya membeli sebuah anggrek di kios pinggir jalan dan bukannya barang mahal di mall?

"Ini tidak mahal kak. Lagian mama suka." bela Mitha tak terima.

"Tetap saja kau membuang uang untuk sampah. Dasar anak manja. Taunya hanya menghabiskan uang orang tua."

"Elang!!!" bentak sang papa tidak suka. Sepertinya memang Elang sangat berlebihan.

"Sudahlah pa, maaf kalau Mitha membuat kakak marah. Lain kali Mitha tidak akan beli beginian lagi." Perasaan Abi menghangat. Mitha benar-benar sangat dewasa di usianya yang sekarang. Putri cantiknya itu selalu saja tak segan mengalah entah itu diposisi dia benar atau salah. Diapun juga tak enggan minta maaf duluan. Sikap yang sangat berbanding terbalik dengan Elang. Padahal baru semalam putrinya itu bilang tidak mau menikah dengan Elang, tapi justru sekarang dia bersikap lebih dewasa dari Elang.

"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!