Seorang wanita dengan gaun terusan yang pendek berwarna merah muda. Dengan pola bunga yang menghiasi serta rambut digerai dan dijepit sebuah pita merah. Sepasang mata berwarna kecoklatan itu terus menatap pantulan dirinya dari kaca jendela.
“Ini indah?” Wanita cantik itu bertanya pada beberapa orang pria yang sedang bersantai-santai di halaman rumahnya.
“Ya, sangat indah!” seru mereka bersamaan.
Wanita yang sedang kasmaran bernama Sima. Akhir-akhir ini cintanya terus berkembang pada seorang pria yang bernama Adrian. Hari ini pun, ia berdandan cantik tipe imut khusus untuknya.
“Apa kamu mau pacaran terus?” tanya salah seorang pria yang nampak lebih akrab dengan Sima.
Sima dengan tersenyum berkata, “Tidak. Aku sepertinya akan menikah dengannya. Kemarin dia bilang padaku ingin memberiku sesuatu yang spesial.”
Rambut hitam panjang bergelombang itu terlihat berkilau saat terik matahari menyorotnya. Penampilan Sima yang memukau membuat para pria di sana menatapnya lebih lama.
Sima berharap bahwa pacarnya itu akan segera melamar. Dan kini, hari yang ia tunggu, menunggu hadiah spesial tersebut.
Berjalan pergi dari rumahnya yang besar. Tanpa berpamitan pun, mereka semua juga tahu ke mana Sima pergi. Beberapa langkah, ia telah sampai ke pinggir jalan dan berhenti tepat di depan sebuah kafe "Dadi Muncul".
Setelah masuk dengan tas selempang yang tersembunyi, Sima menoleh pada Adrian. Raut wajah Sima semula terang benderang menjadi suram menyeramkan. Melihat Adrian tengah bersama seorang wanita lain.
Hebatnya, mereka terang-terangan di tempat janjian Sima dengannya. Mereka duduk saling berhadapan satu sama lain sambil bermesraan ria. Berpegangan tangan layaknya orang pacaran.
“Adrian!” panggil Sima. Menatap tajam, seraya ia mengeratkan genggaman pada tali tas selempangnya.
“Ah, Sima? Ini ...”
Adrian tak mampu berkata apa-apa. Kemudian wanita yang bersamanya itu pun menoleh dan menatap sinis ke arah Sima.
“Siapa dia? Kamu nggak kenal, 'kan Adrian?” katanya sambil berdiri.
“Eh, ini. Tidak. Tentu saja tidak! Dia bukanlah siapa-siapa!” cetus Adrian yang menusuk hati.
Dengan jelas ia bilang bahwa Sima bukanlah siapa-siapanya. Padahal Adrian adalah pacar Sima. Lantas kenapa berpura-pura begitu? Sudah begitu selingkuh tepat di depan mata.
Sima mulai sadar bahwa selama ini semua cinta itu hanyalah omong kosong belaka. Tak semua bisa dipercaya meskipun sudah berpacaran selama bertahun-tahun.
Pengkhianatan ini takkan Sima lupakan. Ia saat ini hanya diam menahan amarah dengan mengepalkan tangan kirinya sekuat tenaga.
Berjalan cepat menuju ke arah mereka lalu bertanya apa penjelasan yang pasti dari si pacar.
“Hadiah spesial yang kau maksud itu, ini ya?” pikir Sima dengan raut wajah marah namun tutur katanya masihlah sangat lembut.
Mendengar bahwa ada sesuatu di antara Sima dan Adrian, wanita tak tahu diri itu kemudian menarik lengan Adrian dan membuatnya semakin panas.
“Sepertinya kau dijadikan pelampiasan. Eh, bukan. Lebih tepatnya kau yang merebut tunangan orang lain, ya? Dasar tak tahu diri!”
“Lisa! Apa yang kamu bicara—”
“Eits, jangan bilang apa-apa. Kau ini tunanganku. Mana mungkin kubiarkan dia merebut dirimu,” sindir si wanita, Lisa menutup mulut Adrian.
Perbincangan di antara mereka menjadi semakin besar. Amarah Sima semakin tak bisa diredam. Namun harus ia tahan selama mungkin, karena sekarang mereka jadi pusat perhatian.
Padahal Sima yang menjadi korban di sini. Menjadikan diri Sima sebagai selingkuhan? Ternyata Adrian sudah punya tunangan, tapi Sima tak pernah tahu ini karena yang ia tahu Adrian selama ini melajang lalu berpacaran dengannya.
Tak hanya para pelanggan di sana, bahkan para pelayan di sana mulai memperhatikan. Salah seorang tengah memanggil manajer kafe.
“Oh, ya. Benar. Maafkan aku Sima, kita tidak ada hubungan lagi. Lagipula apa selama kita pernah berpacaran dengan benar? Aku juga sudah dijodohkan, dan dia, Lisa adalah tunanganku.”
Adrian menjaga muka di depan umum, mengakui hubungan di antara mereka berdua dan melepas kepergian Sima. Adrian kemudian merangkul pinggul wanita itu.
“Apa, ah, begitu? Aku tidak menyangka. Kau menipuku selama ini, Adrian,” ucap Sima, kerutan di dahinya nampak.
“Aku tidak menipu. Barusan kita putus hubungan, bukan?”
Gbrak! Sima menggebrak meja dengan keras, membuat semua orang terkejut lantas melirik ke Sima seorang. Beberapa dari mereka pun mulai mem-video pertengkaran itu.
“Adrian, kamu ini!” pekik Sima, hendak melayangkan tangan namun ditepis olehnya.
Kemudian Lisa menumpahkan jus tepat di kepala Sima. Rambut, wajah, dan gaun yang cantik pun menjadi basah. Cukup sudah, kekesalan Sima membuat kepalan tinju ingin melayang ke wajah mereka.
“Tidak, jangan. Jangan marah di sini atau aku akan menyesal di kemudian hari.” Sima membantin berpikir panjang, berharap takkan ada perkelahian yang sia-sia di sini.
Sima sudah dicap jelek oleh mereka. Bahkan dipikir sudah merebut tunangan orang lain. Semua perilaku Adrian terhadapnya akan ia ingat-ingat mulai saat ini.
“Kalian telah membuat keributan di tempat ini. Jadi, akan lebih baik kalian semua keluar dan menyelesaikan masalah baik-baik,” tutur si pemilik kafe yang barusan menghampiri mereka.
Tanpa disuruh pun, Sima pasti akan keluar. Rasa malu yang ditanggungnya juga tidak bisa ditunjukkan oleh publik, seakan-akan pelakor di sini itu Sima.
Brak!
Langkah Sima yang cepat, membanting pintu kafe dengan keras seraya ia berdecak kesal. Raut wajahnya menjadi tak karuan. Ia kemudian bersembunyi di gang sempit. Dimana semua orang tak ada yang kemari.
Kesunyian melihat lalu lalang di pagi hari, berharap masalah akan hilang keesokan harinya.
Tampak seorang pria tanpa rambut, berpakaian formal dengan setelan jas hitam datang menghampiri Sima dari arah lain.
Sembari menawarkan sebatang rokok ia berkata, “Bos, kami siap menerima perintah sekarang.”
Sima mengambil sebatang itu lalu menyumutnya sendiri. Seraya bersandar ia merasa santai sedikit dengan satu isapan.
“Beri dia pelajaran!” kata Sima dengan suara yang sedikit berbeda. Seraya menyerahkan tas selempang itu padanya.
Tak seperti sebelumnya, ia harus berperilaku imut dengan suara rendah. Hari ini Sima menunjukkan wajah aslinya yang tidak diketahui banyak orang.
Tegas dan berwibawa. Ialah Bos Mafia, organisasi yang bekerja di balik bayangan. Penguasa di balik layar, Blok D. Sima Papuana.
“Kami akan melakukannya, Bos!”
Pria botak memberi salam pada bosnya yang telah pergi dan membuang puntung itu. Aura yang dikeluarkan Sima jelas-jelas berbeda dari sebelumnya.
Namun, setelah beberapa langkah perginya. Sima berhenti lantas menoleh ke arah pria itu lagi dan berkata dengan senyum yang tersungging, “Tidak, jangan beri dia pelajaran. Untuk hari ini cukup beri dia surat cinta dariku.”
Sesaat pria botak itu merasa terkesima. Berpikir bahwa menerima perintah tuk memberikan surat cinta adalah salah satu metode penyiksaan terbaru.
Sima pun melangkah pergi dan melepas pita yang menganggu. Rambut yang digerai tanpa aksesoris terasa lebih bebas dari sebelumnya. Meski sudah ditindas, bukan berarti Sima akan diam saja. Lihat saja nanti!
Sima Papuana. Ialah Bos Mafia, dengan anggota berkelompok yang seringkali disebut bayangan. Lantaran mereka bergerak di balik layar, seolah membayangi publik.
Mereka bukanlah organisasi yang terbilang jahat. Sejujurnya mereka ada karena melindungi semua orang yang berada di Blok D. Karena akhir-akhir ini seringkali terjadi kejahatan liar yang sulit ditangkap oleh aparat. Mereka membantunya namun tidak secara langsung. Setidaknya ini bisa disebutkan karena Bos Sima.
Di sela-sela itu. Keluarga Papuana memiliki banyak bisnis di suatu perusahaan, toko dan salah satu pabrik yang ada. Tak ada yang menyadari bahwa di balik itu terdapat organisasi mafia.
Hari ini Sima pulang ke rumah dengan wajah santai. Melupakan kejadian yang barusan, meski sebenarnya itu tidaklah mudah.
Ekspresi yang kaku, pernyataan tiba-tiba serta gerak-gerik yang dilakukan Adrian tadilah yang membuat Sima kepikiran. Seolah tindakannya itu terpaksa dan tak berniat melepas kepergian Sima.
****
Hadiah spesial darimu sudah aku terima dengan baik dan benar. Sejujurnya aku tak menyangka kau ternyata sudah bertunangan. Andai kau mengatakan hal ini sejak dulu, maka aku tak dipermalukan seperti itu.
Namun, sebagai balasan karena telah menghadiahi sesuatu untukku. Maka aku akan memberimu sesuatu juga. Yang bersifat rahasia🖤
^^^Tertanda manis, Sima Tercinta❣^^^
***
Surat cinta telah sampai ke alamat Adrian. Bukan dari kotak surat apalagi dari surat elektronik. Bawahan Sima langsung yang memberikannya lewat celah jendela.
Ia tak sengaja melihat dua insan sedang asik bercumbu dalam kamar. Tak sengaja melihat, ia buru-buru pergi dan melaporkan hal itu pada Sima sesegera mungkin.
Adrian dan wanita itu, Lisa. Membaca isi surat itu bersama. Melihatnya membuat mereka jijik terutama di bagian akhir yang terdapat gambar hati.
“Wanita ini ...!”
Adrian kesal, ia merobek-robek selembar kertas itu lalu menyebarkannya ke sekeliling. Ia lantas pergi, bertemu dengan Sima secara langsung.
Adrian sudah tahu sejak dulu di mana rumahnya. Maka ia segera ke sana dan menanyakan apa maksud dari surat itu.
Dok! Dok!
“Sima! Keluar kamu!” panggil Adrian tak sabaran.
Sima sudah menunggu lama kedatangan Adrian. Terdengar kesal sekali dari jeritan Adrian di luar sana sembari menggedor-gedor pintu.
Klak ....
Sima akhirnya muncul. Membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Adrian masuk. Hari ini, Sima berpakaian biasa layaknya orang nganggur di rumah.
“Mari masuk?”
“Hei, Sima! Apa-apaan suratmu itu! Bukankah aku sudah bilang, kita sudah putus!” teriak Adrian.
Sudah datang lalu menggedor pintu rumah seenaknya. Bahkan memarahi tuan rumah, sungguh tidak punya etika sama sekali. Entah kenapa Sima beruntung merelakan pria ini pergi ke pelukan wanita lain.
“Hah, apa maksudmu?” tanya Sima menghela napas.
“Surat cinta itu, kau yang menulisnya 'kan? Aku tahu betul itu tulisanmu atau bukan. Tapi kenapa mengirimkan surat cinta di saat kita sudah putus hubungan?” ketusnya.
“Aku cuman mengucapkan perpisahan, Adrian,” ucap Sima merendahkan suaranya.
“Oh, ya, kau benar. Aku mengingatnya. Ingat semua kata-kata yang tertulis di surat itu. Lalu hadiah apa yang ingin kamu berikan padaku?” tanya Adrian dengan penuh curiga namun telapak tangannya menengadah seakan meminta.
Sima tahu betul sifat Adrian yang seperti ini. Segala hal yang telah diberikan pada Sima saat mereka berpacaran kini sedang diminta untuk dikembalikan.
Sima pun merogoh kantong celana di belakang, dan menemukan satu koin berwarna perak seharga 100 rupiah.
“Nih, ambil. Jangan sampai jatuh ya,” ucap Sima sambil menaruh koin itu di tangan Adrian.
“Yang lain nyusul aja. Karena suratnya belum siap,” imbuh Sima lantas tersenyum. Kemudian kembali masuk ke dalam rumah.
Awalnya terdengar jeritan Adrian yang marah-marah pada Sima. Namun lambat laun, suaranya hilang dan mungkin ia sudah pergi. Sima pun bersiap-siap pergi lagi tuk melepas penat ke suatu tempat.
Berpakaian seperti mahasiswa dengan sepatu kets. Beberapa pria yang adalah bawahannya hendak mengikut tapi tidak diperbolehkan karena memang Sima ingin sendiri.
“Ingat, pokoknya jangan ikuti aku. Apalagi kalau kalian ikut aku karena perintah Ayahku. Siap-siap saja rambut atau kelamin kalian hilang esok hari,” ancam Sima dengan suara tegas.
Senja akan tiba sebentar lagi. Namun itulah yang Sima tunggu. Sima sangat menyukai langit berwarna jingga, serta melihat pemandangan saat matahari terbenam. Karena pemandangan itu mengingatkan dirinya akan kehidupan Sima sebagai Bos Mafia.
Kelam.
Duduk di gang yang sempit, sembari menyumut sepuntung yang ia miliki. Menunggu terbenamnya matahari, namun tak lama setelah itu ia bertemu seorang pria.
“Mbak, jangan merokok di sini,” pinta pria itu. Memperingatkan Sima untuk lagi merokok di gang sempit.
Karena terkejut, Sima buru-buru mematikan apinya. Bersikap seolah ia tak melakukan apa-apa. Kemudian berdiri berhadapan dengan pria itu.
“Aku tidak melakukan apa-apa! Aku hanya duduk diam saja,” kata Sima berdalih.
Pria dengan potongan rambut sedikit panjang itu sedikit memiringkan kepalanya. Melihat puntung rokok di bawah dengan api yang masih menyala sedikit.
“Barang bukti sudah ditemukan. Tidak perlu bersusah payah berdalih, Mbak. Haha,” ucap pria tersebut yang tertawa kecil.
“Hah! Hah ...tidak! Tidak, tidak!” pekiknya seraya menginjak barang bukti demi menyembunyikannya.
“Mbak ini nggak pandai berbohong, ya. Tapi terserah saja, yang terpenting jangan terlalu dipendam ya.”
Pria itu nampak familiar. Sima seperti pernah melihatnya di suatu tempat namun entah di mana.
“Tunggu, tadi bilang apa?” tanya Sima sambil menarik tubuhnya mundur.
“Oh, maafkan aku. Aku adalah salah satu karyawan di tempat kafe, sebagai pelayan yang menerima pesanan. Kafe Dadi Muncul. Mbak pernah ke sana tapi berakhir buruk tadi pagi.”
Pria itu ternyata adalah salah satu pelayan di kafe Dadi Muncul. Pantas saja tak terasa asing, pria inilah yang pada saat itu ada di dekatnya.
“Eh, ternyata kau. Aku tidak begitu ingat tapi aku rasa memang ada satu pelayan yang ada di belakang pacarku,” kata Sima yang tersentak kaget.
“Mbak ingat rupanya. Kalau begitu aku pergi, ya.”
“Tunggu!” Sima menahannya lagi. “Bukankah aku di sana dianggap sebagai pelakor?” pikir Sima.
“Iya. Semua orang menganggapnya begitu. Tapi tidak untukku. Aku pikir Mbak-lah yang kena tipu, jadi jangan terlalu dipendam dalam-dalam. Apalagi kalau sampai merokok begitu 'kan nggak bikin sehat,” pikirnya.
Sontak membuat Sima terkejut. Tak mengira bahwa ada orang lain yang berpikir bahwa Sima bukanlah pelakor, yang merebut tunangan orang lain. Sedikit merasa haru namun tatapannya menurun sendu.
“Aku tertipu olehnya. Pria itu memang memberikan segala yang aku mau meski tidak seberapa pun aku benar-benar berterima kasih. Tapi itulah yang kudapat,” kata Sima menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Mbak, aku percaya kalau semua wanita dan pria pasti akan melakukan kesalahan paling tidak sekali atau dua kali. Mulai hari ini, lupakanlah dia dan mulailah hidup baru,” ucap pria itu dengan semangat membara.
Pria ini sangat polos. Namun setiap kata yang dilontarkan benar-benar membuat Sima bahagia dan rasa penat telah hilang sepenuhnya.
Sima menyeringai tipis dan bergumam, “Aku pun sudah memberinya selamat serta mengucapkan perpisahan. Terima kasih, ya.”
Hadiah balasan telah sampai ke alamat rumah Adrian. Berupa surat pemecatan dari pekerjaannya sebagai karyawan perusahaan.
Matahari mulai terbenam dengan menunjukkan warna kejinggaan yang sempurna. Sungguh sangat indah. Begitu pula dengan hati Sima saat ini.
Ia duduk di halaman rumah. Pria botak, atau panggil saja namanya Gura. Sedang duduk di sebelah Sima, seraya menyerahkan beberapa lembar kertas.
“Bos, ini tentang inves–”
“Jangan berikan aku pekerjaan yang memusingkan kepala.” Sima memotong ucapan Gura.
“Ah, baik. Ini tentang Faksi Pertama, mereka sepertinya masih saja mengajak bertengkar dengan kita. Akhir-akhir kelakuannya makin bertambah,” jelas Gura.
“Oh, begitu. Nanti biar aku urus. Ngomong-ngomong aku ingin kau menyelidiki seseorang.”
“Siapa itu, bos?!” tanya Gura dengan semangat dan mata berbinar-binar.
“Aku tidak tahu namanya siapa. Tapi dia salah satu pelayan yang bekerja di kafe Dadi Muncul. Tempat yang kemarin aku kunjungi, pokoknya ciri-ciri dia itu pria rambut hitam yang agak panjang dan polos,” kata Sima memberikan petunjuk.
“Target baru?” pikir Gura.
“Bukan, dasar bodoh. Aku hanya penasaran siapa dia. Karena kepolosannya benar-benar bikin gemas,” kata Sima dengan wajah yang sedikit merah.
“Ternyata betulan target baru. Baiklah, bos. Aku akan segera menyelidikinya sampai ke akar-akar. Dijamin, aku takkan mengecewakan dirimu,” kata Gura sambil mengacungkan jempol dan tersenyum lebar.
***
Malam pun tiba, Sima merasakan sesuatu hari ini. Terasa gelisah di hati, dan omongan Gura yang membuatnya khawatir itu.
Sima pergi dari rumah diam-diam. Ia berjalan seperti biasanya sambil melirik-lirik ke sekitar. Memastikan tak ada orang yang membuntuti.
Suasana di malam hari diramaikan oleh banyak kendaraan lalu lalang di jalan raya. Dan ketika itu, seseorang yang memakai masker membuat Sima tersentak.
Sesaat berhenti berjalan, diam dan memandang punggung pria itu. Sekilas melihat tato ikan di lengannya. Sima kemudian membuntuti.
Faksi Pertama, kelompok preman dengan tato ikan yang suka berbuat rusuh di Blok D. Tak ada habisnya mereka melakukan tindak kejahatan yang membuat korban tak bisa bicara pada pihak yang berwajib.
Inilah yang membuat Sima resah. Beruntung wajah Sima tak mudah dikenali apalagi hari sudah malam.
Tap ...tap ...
Melangkah pelan sembari mengikat rambutnya. Sima berwaspada akan sekitar dan kemudian mendapati pria itu bertemu dengan 3 orang lainnya.
Mereka memasuki gang terpencil di samping kafe Dadi Muncul yang tutup lebih awal. Firasat Sima semakin tidak enak, ada sesuatu buruk telah terjadi lagi.
“Kau anggap aku ini apa? Penjahat? Silahkan laporkan kalau kau bisa, pria culun!”
“Lihat ini, wajahnya sudah babak belur. Aku ingin tahu apakah dia akan melaporkan ini atau tidak?”
“Foto dia, dan kirim pada bos besar. Bilang padanya bahwa Blok D terancam preman seperti kita.”
“Ambil uangnya lalu kita pergi!”
Suara pukulan atau gebukan pun semakin terdengar di area gang. Kemudian disusul rintihan seorang pria. Sima mempercepat langkah dan menghajar mereka semua dalam sekali pukulan beruntun.
Tidak hanya 3-4 orang saja. Ternyata muncul lagi beberapa orang yang siap menghajar Sima. Mereka menganggap perempuan itu memang kuat kalau menyerang secara dadakan. Lalu bagaimana kalau dihadapkan secara langsung?
Sekitar 2-3 orang, satu dari salah mereka mengajukan diri seraya tersenyum mengejek dan mengeratkan tinjunya.
“Nona? Wanita yang sungguh kuat, tapi tak seharusnya kau kemari, bukan? Lagipula untuk apa ke sini, oh ...” Pria itu lantas melirik ke arah pria yang tersungkur di tanah.
“Jangan bilang menyelamatkan pacarmu?” pikirnya.
Sima tak berbicara sepatah kata. Ia tetap diam sambil menahan amarah namun kepalan itu sudah siap untuk meninju mereka. Sima berjalan ke arah mereka dengan santai seraya ia mengambil topi yang tergeletak.
Sima mengenakan topi agar wajahnya tidak diketahui oleh mereka. Lantas melesat cepat dan meninju di bagian ulu hati preman tersebut.
Buakk!
Saking cepat, preman tak bisa mengelak. Ia ambruk dan terus mengerang kesakitan. Merasa sesak setelah kena tinju seorang wanita, hendak membalas serangan namun apa daya tubuhnya tak merespon.
Sima tersenyum tipis. Tatapan itu sekilas nampak bercahaya kebiruan. Lalu melanjutkan serangan demi serangan pada dua orang yang tersisa.
“Awas!” Tetapi, tiba-tiba pria yang sebelumnya tersungkur ke tanah itu bergerak dan menundukkan kepala Sima secepat mungkin.
Buak!
Bagian kepalanya terkena pentungan. Tidak ada yang mengira bahwa preman tadi masih sanggup berdiri dan berniat memukul kepala Sima dari belakang.
Berkat pria ini, Sima tidak terpukul namun sebagai gantinya, kepala dia sendiri yang jadi korbannya.
“Ugh, rasanya sakit sekali ...”
Darah terus mengalir keluar. Sima nampak kaget dengan barusan yang terjadi. Dua orang tadi pun sudah melarikan diri. Tersisa seorang pemukul yang masih berani mengangkat senjata.
“Tunggu, jangan sakiti wanita! Wanita ini tidak ada hubungannya.”
Lagi-lagi ia dibuat terkejut. Pria ini masih sanggup berdiri setelah apa yang terjadi pada kepalanya itu. Ia bisa mati dengan pendarahan hebat.
Dalam benak, Sima bertanya-tanya, kenapa orang lemah ini masih saja memasang badan untuk seorang wanita yang bahkan tidak dikenalinya? Begitu gigih ia melawan pemukul sedangkan ia tak bersenjata sama sekali.
Entah bodoh atau mungkin sedang jaga harga diri.
“Jangan ikut campur kau, pria culun!” teriak si preman seraya melayangkan pemukul itu.
Dengan sigap, Sima menarik kerah baju pria bodoh itu lalu menahan pemukulnya yang nyaris mengenai wajah Sima. Sesaat ia mendekat dan menaruh secarik kertas terlipat di kantong kemeja preman itu.
Lalu Sima mengakhiri dengan memukul wajahnya. Dan seketika preman tumbang dengan wajah memar.
Situasi pun hening. Gang yang sempit. Diapit oleh toko dan kafe, suara mereka tidak pernah terdengar oleh orang lain. Seolah berada di ruangan kedap suara.
Sima mendesah lelah. Lalu mengembalikan topi itu padanya dan berjalan pergi.
“Te-terima kasih!” ucap pria itu dengan tergagap.
Setelah dipikir-pikir Sima merasa suara ini cukup familiar didengarnya. Kalau tidak salah, pria dengan wajah polos, yang bekerja sebagai pelayan di kafe Dadi Muncul.
Kalau benar maka itu gawat. Buru-buru Sima melangkah lebih cepat namun pria itu mengikutinya dan terus berterima kasih.
“Terima kasih, terima kasih. Kau wanita yang kuat. Entah kenapa aku jadi malu sendiri, padahal sudah bersikap sok melindungi tapi pada akhirnya kau dapat menghajar mereka,” tuturnya memuji sambil tersenyum lebar.
Cahaya lampu yang ada di pinggir jalan pun menyorot wajah si pria. Sima sempat menoleh ke belakang dan memastikan bahwa itu benar-benar pelayan yang sebelum ini ia temui.
“Oh, Mbak ini ...”
“Gawat dia mulai sadar. Aku harus cepat-cepat pergi.”
Sima lekas pergi secepatnya. Beruntung pria itu tak lagi mengejar, sepertinya ia tengah berpikir bahwa sosok Sima mungkin sudah ia kenal.
“Hm, entah kenapa aku merasa pernah melihat wajahnya. Apa aku pernah melihatnya?” pikir pria itu dengan bergumam.
Lantas berbalik badan dan sekali lagi ia bergumam, “Yah ...mungkin saja salah satu pelanggan.”
Sedangkan saat itu Sima yang berwas-was pada sekitarnya. Mempercepat langkah dan terus berharap agar pria itu tak mengenali Sima. Tapi di sisi lain, terutama di lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa senang kalau pria itu memujinya keren. Serta berdecak kagum karena pria itu juga berniat melindunginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!