Kota Y
"Bagaimana? Sudah bisa menghubungi babysitter itu?" seorang wanita berparas cantik bertanya pada suaminya yang baru masuk ke ruang kerja kediaman mereka.
"Tidak, ponselnya tidak aktif." pria itu menggeleng lemah.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi pada mereka saat ini? Tolong lindungi putriku Tuhan." Wanita itu mulai menangis histeris.
"Camila, sayang, kita harus berpikiran positif, mereka pasti baik-baik saja." Ucap Sang Suami berusaha menenangkannya. Namun Camila tak bisa berhenti menangis.
Ibu mana yang tidak histeris saat mengetahui tempat balitanya bersekolah di kepung beberapa perampok yang melarikan diri dari kejaran polisi dan mereka menggunakan anak-anak tidak berdosa itu sebagai tameng.
"Justin, ayo kita kesana. Ayo kita selamatkan Yuka." Pinta Camila lagi.
"Tapi kita tidak bisa melakukannya sayang, jika perampok itu mengetahui putri kita ada disana, maka keadaan akan lebih buruk lagi."
"Astaga Justin!!! Lakukan sesuatu, aku bisa gila!!!" Camila semakin histeris, ia meraung menyalurkan rasa takut yang menguasai dirinya saat ini. Tak lama kemudian Camila jatuh tak sadarkan diri.
Beberapa pelayan dengan sigap membantu Justin mengangkat istrinya dan memindahkan wanita itu ke dalam kamar pribadi mereka.
Sementara itu, suasana mencekam terlihat di Y Kindergarten. Bangunan itu terlihat sepi, namun di bagian luar gerbang dipenuhi dengan polisi bersenjata lengkap. Dan sekitar 10 meter ke arah kiri dan kanan jalan dipasangi pembatas. Disanalah reporter dari berbagai stasiun tv berkerumun menunggu informasi terbaru.
Di gedung olahraga taman kanak-kanak itulah para perampok menyandera anak-anak beserta guru dan babysitter mereka. Lima orang perampok bersenjata versus balita dan wanita, bukanlah lawan yang seimbang.
"Sudah selesai memeriksa?" Tanya seorang perampok pada rekannya.
"Sudah, tapi yang kita cari tidak ada diantara anak-anak ini."
"Psssttt, pelankan suaramu." Tegur perampok yang lainnya. "Tapi benar ini adalah alamat sekolah yang diberikan Kontraktor."
"Benar, kita berlima sudah membacanya berulang kali, bahkan kita sudah bertanya pada kepala sekolahnya."
Mereka saling berpandangan, dan dengan kode menggunakan mata mereka kembali memeriksa anak-anak itu satu per satu. Bahkan mereka memisahkan murid laki-laki dan perempuan. Beberapa menit kemudian mereka kembali saling berpandangan dan menggeleng.
Salah satu diantara mereka memberi kode dengan menggerakkan kepala agar semuanya kembali ke tempat awal, menjauh dari para sandera.
"Kalau begitu, dimana anak itu?"
"Kita telusuri saja sekolah ini. Mungkin ada yang bersembunyi, terpisah saat kita menggiring mereka ke tempat ini." Jawab seseorang yang berperan sebagai pemimpin kelompok.
"Baiklah kalau begitu. Jadi, siapa yang pertama?"
"Tentu saja dirimu, dan ajak seorang lagi." Ucap pemimpin itu tak ingin dibantah.
Pria itu berjalan dan memanggil rekannya menggunakan kode. Pria bernama Dan segera mendekat. "Ada apa, Luk?"
"Ikut aku."
Keduanya keluar sambil mengendap-endap, mereka mewaspadai jika ada polisi yang tiba-tiba menyerang. Setibanya di tempat yang dirasa aman, Dan menepuk bahu rekannya tadi.
"Luk, apa yang kita lakukan di luar sini?"
"Rudi menyuruh kita mencari anak kecil itu."
"Kalau begitu lebih baik kita berpencar, akan lebih cepat menemukannya jika kita berjalan sendiri-sendiri."
Luk berhenti kemudian memikirkan ide Dan. "Sepertinya itu ide yang bagus. Kau ke arah sana dan aku ke arah sini. Satu jam kemudian kita bertemu kembali disini." Ucap Luk sambil menunjuk arah depan dan belakang mereka. Dan mengangguk dan kemudian berjalan ke arah yang ditunjuk Luk.
Dan mulai menyusuri ruangan demi ruangan dengan hati-hati. Setiap rak dan lemari penyimpanan ia periksa. Atau tempat-tempat yang berpotensi sebagai tempat bersembunyi seorang anak kecil.
Hampir setengah jam Dan keluar masuk ruangan, namun ia tak kunjung menemukan anak yang mereka cari.
"Seingatku dulu taman kanak-kanak tempatku sekolah tidak sebesar ini. Mengapa orang-orang kaya sangat suka membangun bangunan besar sedangkan manusia yang menempati bangunan itu hanya sedikit." Gerutunya.
Ketika akan membuka pintu di depannya, ujung matanya menangkap sekelebat bayangan yang berlari melintasi lorong. Dan memfokuskan pandangannya. Ia maju mendekati ujung gedung tempat ia melihat bayangan tadi. Senjata laras panjang yang ia gunakan mengarah tepat ke depan dengan jari telunjuk tangan kanan berada di pelatuk. Pria ini siap memuntahkan timah panas yang mematikan dari senjatanya.
Dan bergerak selangkah demi selangkah. Tiba di ujung gedung ia dengan cepat memutar tubuh ke arah kiri.
Kosong, tak ada siapapun disana, Dan mengernyit. Ia jelas melihat sesosok bayangan manusia. Perlahan ia menurunkan senjatanya dan menarik napas dalam-dalam sambil sedikit menengadah.
Mata Dan membulat, namun yang sedang dilihatnya itu bergerak lebih cepat dari respon otaknya. Tubuh Dan bergetar saat stun gun itu menyentuh lehernya. Sosok manusia yang dilihat Dan bergantung terbalik seperti kelelawar itu segera turun kemudian menyeret tubuh Dan.
"Satu." Ucap gadis itu. Ia segera melucuti persenjataan Dan, kemudian mengikat kaki, mulut serta tangan pria itu.
Gadis itu bergegas kembali ke tempat persembunyiannya bersama seorang anak kecil yang sempat melihat aksinya tadi.
"Yuka, sembunyi dulu disini. Nanny akan segera kembali."
Yuka tak menjawab, ia hanya terus mengunyah bekal buah yang dibawa sambil menatap babysitternya dengan sorot mata penuh kekaguman.
Di tempat yang berlawanan arah dengan Dan, Luk berjalan kembali ke tempat mereka berpisah. Ternyata arah yang ia tuju tak memiliki banyak ruangan. Hingga ia memutuskan untuk berbalik dan membantu Dan.
"Pasti dia sudah menggerutu karena luasnya area pencarian yang menjadi bagiannya." Gumam Luk.
Begitu tiba di area pencarian Dan, Luk berhenti sesaat dan mengamati sekitarnya. Ia mengernyitkan dahi, karena sama sekali tak melihat ada pergerakan Dan.
Tempat rekannya itu mencari adalah bagian belakang dari kompleks sekolah tersebut. Oleh sebab itu mereka lebih leluasa bergerak karena tak terlihat dari gerbang yang dipenuhi polisi.
"Kemana dia pergi?" Luk bertanya-tanya sambil terus maju dan masuk ke ruangan yang ada di depannya.
"Sepertinya dia sudah mendatangi tempat ini." Luk mengambil kesimpulan setelah melihat kondisi ruangan itu.
Ketika Luk berbalik ia terkejut melihat seorang gadis berseragam babysitter sudah berdiri menghalangi jalannya.
"Sedang apa kau disini? Cepat bergabung dengan yang lain!" perintah Luk sambil menodongkan senjata dan mendekati gadis itu.
Saat posisi Luk sudah dalam jangkauannya, Sang Babysitter mengangkat kaki, menendang senjata Luk dengan kaki kanannya. Kemudian dengan satu gerakan ia memukul ulu hati Luk yang terekspos karena tangannya bergerak ke atas mengikuti senjata yang ditendang gadis itu.
"Uhkkk!!" Luk merasakan nyeri yang luar biasa hingga ia tak sadarkan diri.
"Dua." ucap gadis itu kemudian menyeret tubuh Luk ke tengah ruangan dan melakukan hal yang sama seperti pada Dan.
Ia memeriksa kantong baju Luk dan menemukan secarik kertas berisi alamat sekolah dan foto anak yang ia asuh. Gadis itu tersenyum sinis melihat benda yang sama dengan yang ia temukan di kantong orang pertama.
"Perampok??? Huhhh!!! yang benar saja."
Sementara itu di gedung olahraga, Rudi mulai gelisah karena kedua rekannya tak kunjung kembali. Ia memberi kode pada dua rekannya untuk bergerak menjauh dari sandera.
"Dan juga Luk belum kembali. Kalian susul mereka berdua, biar aku sendiri yang berjaga."
"Baiklah." kedua orang itu mengangguk dan segera melaksanakan perintah Rudi.
Selepas kepergian rekan-rekannya, Rudi mengambil senjatanya dan berjalan mengelilingi sandera. Tatapannya sudah cukup membuat anak-anak dan wanita disana ketakutan. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mendongakkan kepala.
Dua jam berlalu, Rudi mulai gelisah. Ia menatap kedua pintu besar gedung tersebut kemudian berjalan mendekati salah satunya dan mengikatnya dengan simpul yang ia yakini tak akan bisa dilepaskan seorang wanita.
"Jika ada yang berani keluar dari gedung ini, akan ku tembak mati saat itu juga." ancam Rudi setelah selesai mengunci pintu pertama.
Rudi memutuskan untuk keluar dan mengganjal pintu menggunakan sebilah kayu sehingga orang yang berada di dalam tak bisa membuka pintu tersebut.
Setelah memastikan pintu itu tak bisa di dorong dari dalam, Rudi berbalik hendak mencari rekan-rekannya.
"Lima." ucap gadis yang entah muncul dari mana disertai gerakan yang secepat kilat. Sang Babysitter melayangkan pukulan yang membuat pandangan Rudi menjadi gelap.
......................
Camila tak dapat menahan perasaannya yang membuncah saat melihat Yuka turun dari mobil dan berlari ke arahnya. Wanita itu merentangkan kedua tangannya dan menyambut Yuka yang menghambur dalam pelukannya.
"Yuka, putriku." tangis Camila sambil memeluk Yuka. Justin pun tak kuasa menahan dirinya, ia memeluk istri dan anaknya dengan erat.
Sesaat kemudian Justin mengurai pelukannya dan membalikkan badan menatap Babysitter putri mereka dengan air mata yang masih menggenang.
"Terima kasih sudah melindunginya."
"Saya dibayar untuk itu. Sekarang anda bisa menunggu hasil pemungutan suara pemilihan walikota dengan tenang, Tuan. Tinggal hitungan jam."
"Kau benar."
Camila yang sudah bisa mengendalikan dirinya berdiri dan menghampiri babysitter putrinya kemudian memeluk gadis itu.
"Terima kasih, terima kasih banyak."
"Itu kewajiban saya, Nyonya."
"Nanny." Yuka datang dan memeluk kaki babysitternya.
"Hai sweetheart." gadis cantik itu mengusap kepala Yuka.
"Ma, saat besar nanti aku ingin menjadi kuat dan hebat seperti Nanny."
"Iya sayang, Mama akan mengijinkanmu berlatih bela diri." jawab Camilla disambut sorak kegembiraan Yuka. "Abigail, tinggallah beberapa hari lagi." Pinta Camilla setelah mengalihkan pandangan dari Putrinya.
"Seandainya saya bisa, Nyonya. Tapi terima kasih banyak untuk tawaran anda." Tolak Abigail secara halus.
......................
Kota X, 1 tahun kemudian
Ruang direksi utama The Light House Tower.
Seorang gadis cantik berbaring dengan cara unik di sofa yang terletak di seberang ruang kerja.
"Kepalamu tidak pusing? Sudah 30 menit kau berbaring dengan pose seperti itu Ai." Tegur seorang wanita berusia 46 tahun namun masih terlihat muda.
"Aku bosan kak." Jawab gadis yang dipanggil Ai masih dengan posisi kepala di pinggir sofa dan kakinya yang dibalut celana denim dengan sobekan pada beberapa tempat di bagian depan diletakkan pada sandaran si kursi empuk.
"Jadi aku rasa, otakku memerlukan pasokan oksigen lebih banyak dari biasanya." Imbuhnya lagi sambil menyugar rambutnya yang tidak terlalu panjang itu.
"Terserah kau saja." Ucap Sang wanita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Atau lakukan audit pada bistromu."
"Kak Mikha, tidak ada misi baru?" Abigail memilih untuk tidak menanggapi usulan yang diberikan kakaknya.
"Ada, banyak. Tapi sudah kuberikan pada Tania, ia yang membagi misi."
"Lalu aku?" Gadis itu bangkit dan duduk dengan benar.
"Aku tak ingin mengambil resiko dengan selalu mengirimmu Abigail." Mikha melirik Abigail sejenak, kemudian kembali fokus pada pekerjaannya.
"Tapi sudah satu tahun aku libur dari misi Kak." Rengek gadis itu lagi.
"Kakak tidak ingin dibantah, Ai. Jadi hentikan."
Abigail terdiam, kalau intonasi bicara Kakak perempuannya itu sudah penuh penekanan, lebih baik jangan meneruskan perdebatan. Usia mereka terpaut lebih dari 20 tahun, jadi kadang Abigail lebih merasa memiliki seorang ibu dibanding Kakak.
Orang tuanya sudah meninggal dalam kecelakaan, hanya Mikha dan keluarga di desa yang Abigail miliki.
"Hhhh, aku rindu Bibi Lan. Kalau begitu aku pulang ke desa saja." Ucap Abigail sambil melangkah menuju jendela besar untuk melihat jalanan yang terlihat jauh di bawah.
Ucapan Abigail sukses menghentikan Mikha dari kegiatannya. Ia melepas kacamata dan menghampiri adiknya.
"Kau tidak bisa terlalu sering pulang. Dan juga bukankah kau punya usaha yang harus diperhatikan. Kakak tahu kau sedang bosan, tapi...."
Tok...Tok...Tok...
"Permisi Miss." seorang wanita yang usianya tak jauh dari Mikha muncul di ambang pintu.
"Masuklah Tania." Ucap Mikha sambil berjalan kembali ke tempat duduknya.
"Halo Abigail." sapa Tania pada Abigail.
"Hai Kak." Sahut Abigail tak bersemangat.
"Ada apa?" Tanya Mikha pada Tania perihal kedatangannya.
"Ini ada penawaran baru untuk model kita dan sebuah menu baru." Tania menyerahkan dua buah map pada Mikha.
Abigail yang mendengar itu langsung mendekati Kakaknya dan berdiri di sampingnya. Mikha tahu Abigail sudah tak sabar ingin melihat menu baru, namun ia sengaja membuka map penawaran untuk modelnya terlebih dahulu.
The Light House adalah agency yang menaungi banyak sekali model terkenal bertaraf internasional. Banyak perusahaan besar terutama dari industri entertainment berebut untuk bisa bekerja sama dengan mereka.
"Tawaran menarik, apalagi mereka menyerahkan pemilihan model kepada kita. Serahkan pada Louisa, ia tahu harus berbuat apa."
"Baik Miss."
"Aku rasa aku ingin melihat pemotretan...."
"Kakak!" Abigail mengguncang lengan Mikha, membuat wanita itu dan Tania tertawa kecil. Mereka tahu sedari tadi Abigail sudah bergerak-gerak gelisah.
Mikha membuka map kedua dan membaca rincian yang tertera disana. "Baiklah, menu baru ini untukmu. Selamat menikmati." Mikha menyerahkan map kedua pada Abigail.
Tania tertawa dengan menutup mulut menggunakan satu tangannya saat melihat ekspresi Abigail. "Sepertinya menu ini memang sangat cocok untuk Athena kita."
"Tapi Athena harus menjelma sebagai The Beast jika ingin sukses." Mikha mengamati adiknya dengan senyuman misterius.
"Sejelek apa?" Tanya Abigail sambil menatap Kakaknya.
"Tidak jelek-jelek amat." Mikha mengubah posisi duduknya dengan mata yang terus memindai tubuh Abigail. "Tapi ya jelek."
Abigail mengangkat bahu tanda tak peduli. "Terserah, yang penting menu ini untukku." Ujarnya kemudian lanjut membaca berkas yang tadi diserahkan Mikha.
The Light House bukan saja agency yang menyediakan model bertubuh indah berparas rupawan, tapi juga menyediakan pelindung khusus bagi orang yang memerlukan pengamanan.
Sebagian besar dari model yang berada di TLH merangkap juga sebagai agen, seperti Abigail yang memiliki julukan Athena di kalangan agen. Dan menu baru adalah istilah yang mereka gunakan untuk misi yang baru diajukan oleh calon klien.
"Seperti biasa, aku tidak ingin mengganti namaku." Ujar Abigail sambil meletakkan berkas kembali ke meja Mikha.
"Tapi kali ini hanya outfitmu saja yang diubah, tidak dengan wajah atau bagian tubuh lain. Terlalu beresiko jika tak mengganti nama." Mikha menjelaskan.
"Firasatku berkata semua akan baik-baik saja." Jawab Abigail dengan angkuhnya.
Selama ini ia memang belum pernah gagal. Dan dalam setiap penyamarannya, ia tetap terlihat cantik meski kadang terpaksa berpenampilan layaknya seperti orang gemuk.
Namun tidak untuk misi baru yang ia baca, penyamarannya kali ini akan membuatnya menjadi sasaran empuk gadis-gadis yang merasa diri sempurna karena wajah dan penampilan modis mereka. Sedangkan Abigail, yang selama ini selalu dipuja kaum Adam, tak pernah tahu rasanya menjadi orang yang dihina karena kekurangan pada wajah dan penampilan mereka.
"Dan jika firasatmu salah, ini akan menjadi misi terakhirmu." Ancam Mikha yang yakin adiknya tidak akan tahan dengan penyakit sosial yang selalu ada di perusahaan entertainment yang memuja kecantikan dan ketampanan serta penampilan yang paripurna.
"Deal!!" Abigail tanpa ragu menyodorkan tangannya.
"Kau jadi saksi hari ini Tania." Mikha menyambut uluran tangan Abigail dan menjabatnya kuat. "Deal!!! Plus menikah."
"Hei!!!! Kakak menjebakku??!! Tidak!!! Aku tidak mau." Tolak Abigail mentah-mentah.
"Terlambat, kita sudah berjabat tangan." Mikha menarik tangannya dengan senyum kemenangan.
......................
Abigail turun dari taksi dan memasuki bistro miliknya sendiri. Gadis itu mendapat tatapan sinis dari beberapa perempuan, termasuk pelayan yang ada disana. Namun Abigail tak ambil pusing.
Bistro yang terletak di pinggiran kota ini menawarkan pemandangan yang indah yang bisa dilihat dari jendela. Makanan yang disuguhkan pun tak kalah nikmat dengan restoran ternama di pusat kota.
"Anda mencari siapa, Nona?" Sapa seorang pelayan saat melihat Abigail kebingungan.
"Eh, i-itu. Saya mencari Tuan Triasaka." Jawab Abigail sambil memperbaiki kacamata yang terlihat aneh di wajahnya.
"Mari, saya antar Nona ke mejanya." Pelayan itu sepertinya tak mempermasalahkan penampilan Abigail.
"Terima kasih." Abigail tersenyum lebar hingga menampilkan deretan gigi yang dilapisi kawat gigi.
"Sa-sama-sama Nona." Ucap pelayan tersebut setelah sempat terkejut melihat senyuman gadis dihadapannya, namun ia berusaha untuk tetap ramah. "Ehmmm!! Mari Nona ikut saya." Imbuhnya setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.
"Permisi Tuan, sepertinya yang anda tunggu sudah tiba." Kata pelayan itu begitu sampai di meja paling ujung.
Seorang pria tampan berkacamata menatap ke arah pelayan tadi, kemudian pandangannya beralih pada gadis yang berada di belakangnya. Bola mata pria itu membulat saat melihat gadis yang berada di belakang si Pelayan. Trias memindai gadis itu secara terang-terangan.
Ya Tuhan, apa ini? Keluhnya dalam hati.
Di hadapannya berdiri seorang gadis dengan penampilan yang menyakiti matanya. Rok semata kaki bermotif bunga-bunga, kemeja yang terlihat kebesaran dengan motif bunga yang lebih kecil. Kacamata besar yang sangat tak cocok dengan wajahnya, rambut pendek nan kusut yang sepertinya bisa merontokkan sisir.
"Selamat siang Tuan Triasaka." Sapa gadis itu sambil tersenyum lebar.
Trias menahan napas saat melihat senyuman itu. Kawat gigi yang menyeramkan.
"Selamat siang." Sahut Trias setelah berhasil menguasai diri. "Silahkan duduk. Dan terima kasih sudah mengantarnya. Ini untukmu." Trias memberikan sejumlah uang namun pelayan tersebut menolak.
"Sama-sama Tuan, sudah tugas saya. Permisi."
Abigail menatap kepergian pelayan tadi dengan senyuman samar.
"Baiklah, Nona Abigail. Benar kan anda Nona Abigail?"
"Benar Tuan, nama saya Abigail. Anda bisa memanggil saya Abigail tanpa embel-embel Nona."
Trias mengangguk-anggukkan kepala. "Baiklah kalau begitu. Aku mendapat rekomendasi dari seorang kenalan. Jadi aku akan menjelaskan pekerjaanmu."
Abigail mengangguk dan memperhatikan dengan seksama.
"Kau akan menjadi asisten pribadi Darren Wang. Ini adalah daftar tugasmu, di dalamnya ada makanan dan minuman yang disukai Darren, dan banyak hal lagi. Silahkan dibaca." Trias menyodorkan sebuah map. "Ada pertanyaan?"
"Kemana asisten yang lama?"
Trias diam, tampak ia sedang berpikir sebelum menjawab pertanyaan Abigail. "Meninggal akibat overdosis obat terlarang."
Abigail mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jika tidak ada prtanyaan lagi, kita akan menemui Darren sekarang."
"Iya Tuan."
Trias berhenti menata tas kerjanya. "Tolong jangan panggil aku dengan sebutan itu."
"Tapi tidak mungkin aku hanya memanggil nama, sangat tidak sopan."
Trias mengangkat bahunya. "Pikirkanlah."
Mereka meninggalkan bistro dan segera menuju Sky City milik Blue Sky Entertainment.
......................
Trias dan Abigail menjadi pusat perhatian saat keluar dari lift khusus orang-orang yang bekerja di gedung tersebut. Bukan Trias yang menjadi penyebabnya, melainkan Abigail. Apalagi gadis itu berjalan sambil menunduk namun sesekali melihat ke kanan dan kirinya. Semakin terlihat aneh bagi mereka yang ada disana.
Mereka berhenti di depan pintu yang bertuliskan Darren Wang. Trias mengetuk sebelum membuka pintu dan mempersilahkan Abigail masuk lebih dulu.
Jauh di dalam ruangan, seorang pemuda tampan sedang memainkan gitarnya.
"Ini Abigail, asistenmu yang baru." Kata Trias saat mereka sudah berdiri tak jauh dari Darren.
Pemuda itu memalingkan wajah dan...
Teennggg......
Satu senar gitar tersebut tiba-tiba putus.
Abigail terkejut dan tanpa sadar ia mundur satu langkah.
"Badut dari mana ini? Aneh, culun, jelek." Darren terang-terangan menghina Abigail. "Cari yang lain, aku tak menyukainya. Aku ingin asisten yang cantik atau tampan seperti kebanyakan pekerja disini. Bukan yang seperti ini! Membuatku muak saja." Gerutu Darren.
Apa? Baru kali ini ada pemuda yang menghinaku seperti ini. Gerutu Abigail dalam hati dengan kedua tangan yang mengepal kuat di sisi tubuhnya. Namun akal sehatnya membuat gadis itu tersadar akan misinya.
"Tapi Tuan, saya datang untuk bekerja, bukan untuk disukai oleh anda." Sahut Abigail dengan tenang dan memaksakan senyuman.
"Apa kau bilang?!" Darren berdiri dan melempar gitarnya. Trias segera mendekati Darren dan memegang lengan pemuda itu.
"Kita membutuhkannya, kendalikan emosimu." Kata Trias.
Darren menghempaskan tangan Trias kemudian membalikkan badan menghadap jendela. Ia menghirup napas dalam-dalam, sedangkan Abigail tersenyum samar.
"Maafkan atas ucapannya yang kasar." Pinta Trias saat sudah berada di depan Abigail.
"Iya Kak, tidak apa-apa."
Trias mengangkat kedua alisnya mendengar sebutan Abigail untuknya. Pemuda itu membalikkan tubuh untuk mengambil beberapa barang Darren dan tersenyum.
"Ayo kita pulang. Kita harus mengajarkan beberapa hal pada Abigail."
Mendengar hal itu Darren segera berbalik dan lebih dulu keluar ruangan.
Sepanjang perjalanan Darren memasang wajah masam. Ia masih tidak terima dengan ucapan Abigail. Namun benar yang dikatakan Trias, mereka membutuhkan Abigail. Darren dan Trias membawa Abigail ke apartemen baru Darren dan mulai mengajari Abigail menyiapkan segala keperluan Darren.
Abigail mengikuti Trias dengan alat tulis di tamgannya. Ia mencatat semua instruksi yang diberikan Trias, sedangkan Darren lebih memilih berdiam diri di dalam kamarnya. Ia berkata pada trias bahwa ia sakit kepala karena terlalu sering melihat Abigail.
Mendengar penuturan Darren, Abigail menggenggam pena ditangannya dengan sekuat tenaga. Ia jadi sadar kenapa Kak Mikha begitu yakin ia tak akan berhasil dengan misi kali ini.
......................
Trias dan Abigail sedang mengerjakan jadwal Darren saat bel berbunyi.
"Biar aku yang membuka pintunya." Kata Trias saat melihat Abigail akan berdiri. Abigail mengangguk dan mengamati ke arah pintu dengan penuh kewaspadaan.
"Masuklah." Trias mempersilahkan tamunya masuk.
"Dimana pria tampanku?" Seorang laki-laki dengan suara dan gerakan gemulai mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Ah mataku!" Serunya tiba-tiba sambil menutup mata dengan kedua tangannya.
"Ada apa?" Trias mendekatinya dengan cemas, termasuk dua orang wanita yang mengikuti laki-laki jadi-jadian itu.
"Mataku tersakiti dengan pemandangan mengerikan itu." Ucapnya sambil menunjuk Abigail yang saat ini sedang berdiri menatapnya takut-takut.
Dua orang asisten yang mengikutinya menarik napas dan memegangi dada mereka. "Mengerikan!" Seru keduanya bersamaan.
"Siapa dia?" pria kurang setengah itu menatap Trias dengan kerutan yang terlihat jelas di dahinya.
"Abigail, asisten baru Darren. Dan Abigail, perkenalkan. Ini adalah Roki, desainer yang mengurus outfit Darren dan kedua wanita itu adalah asistennya." Trias memperkenalkan Roki pada Abigail.
"Roki???? No, bukan Roki. Tapi Rosi, R-o-s-i, ROSI." protes Sang Desainer.
"Terserah kau saja." Trias menuju kamar Darren untuk memanggilnya keluar.
"Heh buruk rupa!!! Ambilkan kami air mineral dingin!!" Perintah salah satu asisten Rosi.
Abigail tak menjawab, namun gadis itu berjalan menuju pantri. Saat melewati mereka, seorang asisten sengaja mendorong Abigail hingga gadis itu terhuyung. Keduanya tertawa kecil melihat Abigail hampir jatuh.
Abigail diam sejenak, giginya bergemeletuk menahan emosi yang mulai naik. Namun ia masih bisa mengendalikan diri dan kembali melangkah menuju pantri. Ia mengambil yang diminta asisten Rosi.
Setelah kembali pada tamunya, ia melihat Darren sudah ada dan berbincang dengan Rosi. Bisa Abigail lihat betapa genitnya kedua Asisten desainer itu. Mereka menatap Darren dengan tatapan lapar dan penuh puja. Setelah meletakkan minuman, Abigail memilih kembali ke pantri.
Tak lama kemudian, seorang asisten berjalan menuju kamar kecil yang ada di dekat pantri. Dengan sedikit menutup pintu wanita itu segera memperbaiki riasannya dan menyemprotkan wewangian. Abigail mengendap untuk mengatur gagang pel yang memang sudah ada disana. Ia pergi dengan cepat sebelum wanita di dalam kamar mandi menyadarinya.
Beberapa menit kemudian, wanita di dalam kamar mandi tersebut keluar. Saat melangkah ia tak memperhatikan jalan dan akhirnya jatuh tersungkur dengan sangat memalukan.
"Ada apa?" Trias dan lainnya bergegas datang setelah mendengar suara kesakitan asisten itu.
"Aduh Zai, kenapa bisa jatuh begitu? Sangat tidak cantik." Seru Rosi.
"Pasti si buruk rupa mengerjaiku." Jawab Zai yang sedang duduk sambil menunjuk gagang alat pel yang ada di dekatnya.
"Jangan sembarang menuduh, dia dari tadi bersama kami." Kata Rosi. Meski ia tak menyukai penampilan Abigail, namun bukan berarti ia aka nasal menuduh. Apalagi pada kenyataannya, tak lama sejak Zai pergi, Abigail memang sudah kembali bersama mereka.
"Dan peralatan pel memang di gantung di dekat pintu, mungkin tadi terjatuh." Trias menjelaskan.
"Tapi...."
"Sudahlah Zai." Rosi berbalik diikuti yang lain.
Sementara itu Zai mencoba berdiri dengan dibantu rekannya. Saat kembali menuju ruang tamu, Abigail diam-diam tersenyum tanpa diketahui yang lain.
Jika aku terhuyung, maka kau harus jatuh, gumam Abigail dalam hati.
......................
Terdengar suara indah dari ruang latihan vokal. Darren sedang berlatih di bawah bimbingan coach yang dipekerjakan Sky High Entertainment. Abigail duduk dengan tenang di kursi yang tersedia disana.
"Baiklah, untuk hari ini cukup." Ujar sang coach.
"Terima kasih banyak." Darren menjabat tangan coach di hadapannya dan tersenyum ramah.
Abigail membereskan barang-barang yang dibawa Darren dengan cekatan.
"Aku ingin istirahat disini dulu. Buatkan aku kopi." Perintah Darren pada Abigail.
"Tuan, anda belum boleh minum kopi. Se....."
"Aku tak ingin dibantah!!!"
"Baik Tuan."
Abigail segera menuju pantri untuk menyeduh kopi tanpa gula, seperti yang tertulis di daftar yang diberikan Trias. Ia menggunakan dispenser yang berada di pantri. Beberapa menit kemudian gadis itu kembali dengan secangkir kopi.
"Rasanya tidak enak!!! Hei culun!! Kau ingin membunuhku?!" Seru Darren setelah menyesap kopinya. "Ganti yang baru!!!"
Abigail terkejut, namun ia memilih untuk diam saja. Dia kembali ke pantri dan menyalakan kompor untuk merebus air.
Setelah siap, ia kembali membawa secangkir kopi dan meletakkannya di meja.
"Kopinya Tuan." Ucapnya pada Darren yang sedang berdiri menatap keluar jendela.
Darren segera berbalik dan meminum kopinya. "Huh!!! Membuat kopi saja kau tak becus?!!!" seru Darren yang terlihat marah. "Buat yang baru!"
Diam-diam Abigail menarik napas menahan kesal. Ia segera berbalik kembali ke pantri. Setibanya di tempat itu ia terdiam memikirkan sesuatu.
"Rasanya aku ingin membunuh seseorang!" gerutunya pelan.
Matanya memindai ruangan itu dan melihat teko listrik untuk memanaskan air. Abigail mendapat ide setelah melihat benda tersebut.
Gadis itu mengambilnya dan memanaskan air menggunakan benda itu. Sementara menunggu, tiba-tiba seseorang masuk. Dari tanda pengenal yang dikenakan, wanita itu adalah kru dibagian studio latihan tersebut.
"Aku tak menyangka penampilanmu ternyata lebih jelek dari yang diceritakan orang-orang." Ucap wanita yang baru masuk sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Dimana Tuan Triasaka memungutmu? Penampilan sampah seperti ini seharusnya bekerja sebagai pemungut sampah." Imbuhnya lagi. "Darren Wang sungguh sial memiliki pekerja jelek sepertimu. Menjijikkan!!!"
"Anda terlalu fokus menghina saya sampai tidak merasakan ada nyamuk hinggap di pipi anda." Abigail menanggapi kalimat pedas tadi dengan santai.
"Nyamuk? Mana?" Wanita tersebut panik.
"Biar aku yang menepuknya." Dan tanpa menunggu persetujuan, Abigail memukul nyamuk yang hinggap itu.
"Akkhhhh!!!" Wanita tersebut terhuyung sambil memegang pipinya yang terasa terbakar. "Kau!!!"
"Aku mendapatkan nyamuk itu!" Seru Abigail girang sambil menunjukkan nyamuk yang sudah tak berbentuk di telapak tangannya.
Wanita itu mendengus kemudian berbalik meninggalkan Abigail seorang diri.
"Terima kasih sudah membantuku menyalurkan energi negatif." Abigail menatap nyamuk yang ada di telapaknya. Kemudian Ia berbalik dan menyiapkan kopi untuk Darren.
"Ini kopinya Tuan." Ia kembali menyuguhkan kopi pada Darren.
Pemuda itu menatapnya sejenak dan meminum kopinya. "Lumayan." ia meletakkan kopi di meja dan berdiri. "Ayo, Trias sudah menunggu di mobil."
"Tapi Tuan, kopinya...."
"Biar saja, sudah cukup dengan minum air mineral." Jawab Darren dengan santainya.
Abigail menekan salivanya dengan kasar, ia menatap nanar pada kopi yang sudah ia buat.
Karena tak ada pilihan lain, ia mengambil tas peralatan Darren dan menggenggamnya sekuat tenaga. Abigail berusaha keras meredakan amarah yang menggelegak atas tindakan Darren yang semena-mena.
Ai sabar, Ai sabar, Ai sabar. Abigail berusaha menenangkan diri.
"Kau baik-baik saja?" Trias bertanya saat menemani Abigail meletakkan tas peralatan di bagasi.
"Iya Kak." Jawab Abigail disertai senyuman tipis.
"Darren mengerjaimu lagi?"
"Tidak Kak." Abigail setelah terdiam beberapa saat.
Tria mengangguk terlihat memaklumi . "Begitu ya. Baiklah, ayo kita pergi dari sini."
Abigail duduk di depan bersama Trias yang bertugas menyetir. Saat masuk ke mobil terlihat Darren sedang sibuk dengan ipad miliknya.
Dalam perjalanan pulang menuju apartemen, beberapa kali Abigail melirik ke spion. Ia tersenyum samar melihat seorang pemotor yang menguntit mereka sejak awal. Abigail memilih untuk mengesksekusi begitu mereka tiba di apartemen. Abigail memejamkan matanya, ia ingin meredakan emosi yang masih ia rasakan.
Ponsel Darren berbunyi, pemuda itu menatap layar dengan kening berkerut. Saat panggilan akan berakhir, barulah ia menggeser ikon hijau untuk mengangkat telepon yang masuk.
"Ada apa Rosalin?"
"......."
"Baguslah."
"....."
"Aku hanya lelah."
"....."
"Baiklah. Bye."
Darren menatap kosong ke luar jendela, ia menyandarkan punggungnya berusaha mencari kenyamanan. Pemuda itu terlihat sangat lelah.
Trias melirik Abigail, sepertinya dia sudah tidur, pikir Trias.
"Kenapa kau sangat dingin pada Rosalin? Aku pikir kau ingin memberinya kesempatan lagi." Trias menatap Darren dari kaca spion. Tanpa ia ketahui, Abigail sedang menajamkan pendengarannya.
"Entahlah, aku merasa ada yang tidak beres."
"Maksudmu?"
"Aku diliputi rasa cemas dan was-was saat berbicara dengannya. Perasaanku mengatakan ada yang tidak beres dengannya, lebih baik aku menjauhinya."
"Mungkin kau masih kecewa atas perkataannya."
"Sudahlah Trias, aku tak ingin membahasnya lagi." Darren menghembuskan napas dengan kasar. " Sepertinya si jelek tertidur. Bangunkan dia agar bisa segera pulang."
"Aku akan mengantarnya setelah mengantarmu naik."
"Cihh! Kau terlalu baik pada gadis culun seperti itu."
Trias hanya tersenyum, ia tak ingin menanggapi ucapan Darren.
Tak lama kemudian mobil berhenti di basement gedung apartemen tempat tinggal Darren. Kedua pemuda itu keluar tanpa membangunkan Abigail. Tanpa diketahui kedua pemuda itu, Abigail sebenarnya hanya berpura-pura tidur.
Abigail menegakkan badannya dan melihat ada pergerakan mencurigakan. Kemudian ia melihat sebuah bayangan berkelebat diantara mobil yang terparkir. Gadis itu keluar dari mobil dengan cepat tanpa membuat suara. Kemudian mengendap ke bagian belakang menuju tempat ia melihat bayangan itu.
Abigail menelungkup di lantai dan melihat ke bagian kolong mobil. Ia tersenyum melihat sepasang kaki tak jauh darinya.
Gadis itu bergerak cepat tanpa diketahui si penguntit. Sesaat kemudian ia sudah berada di belakang pria yang mengikuti mereka. Dengan satu pukulan yang mendarat di pangkal leher, pria tersebut tumbang tak sadarkan diri.
Abigail segera memeriksa penguntit itu dan bisa bernapas lega karena pelaku belum sempat mengirim info alamat mereka saat ini pada atasannya.
Abigail mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Hai Kak, tolong kirim orang untuk membereskan orang di basement gedung apartemen C. Aku akan meletakkan dia di sudut dekat pintu darurat."
Abigail menyimpan ponsel rahasianya itu dan menyeret pria yang berhasil ia lumpuhkan tadi. Kemudian ia bergegas kembali ke dalam mobil untuk menunggu Trias.
......................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!