NovelToon NovelToon

My Ex Husband, story's Daniel dan Denisa

Halusinasi

Assalamualaikum.

Hai ketemu lagi di kisah Denisa dan Daniel. Ini merupakan cerita kelima romance ku, dan squel dari Flight Attendant, yang belum baca boleh mampir kesana ya, hehehe. Semoga suka ya sama ceritanya.

Jangan Lupa tambahkan ke daftar baca kalian, like dan komen jika suka ceritanya.

Cerita ini hanya fiktif belaka, cuma cerita khayalan, kalau menurut kalian nggak sesuai dengan latar ceritanya, boleh skip aja.

*

*

*

Lima tahun berlalu.

"Dara, kok sarapannya nggak dimakan? Cepat dihabiskan, Mami udah telat. "

"Daraaa ayo bangun sayang, Mami sudah telat."

"Daraaa kok PR-nya nggak dikerjain? Ayo cepat kerjakan sekarang, Mami sudah telat."

"Daraa nggak sayang Mami lagi? Kok makanya nggak dihabisin? nanti kamu sakit, Mami sekarang lagi nggak bisa jagain Dara, Mami harus kerja."

"Dara, jangan main hape terus ya, nanti matanya sakit, nanti dibawah matanya hitam-hitam kayak mata panda, terus keluar darah, mau?"

Inilah warna hidup baru Denisa, setiap hari berjibaku dengan waktu, belum lagi dia harus perang drama dengan putri semata wayangnya, tak mudah memang menjadi single parent.

"Cepat habisin sarapannya Dara, Mami-"

"Sudah telat." Potong Dara ucapan maminya, kata-kata itu sudah ia hapal diluar kepala, "Mami kerja aja, Dara nggak apa-apa dirumah sendirian."

Denisa menghela nafas, Dara tumbuh menjadi anak yang pintar, wajahnya sangat mirip dengan Daniel, mantan suaminya yang merupakan ayah biologis Dara. Putri semata wayangnya yang kini sudah berusia lima tahun dan sudah masuk sekolah taman kanak-kanak.

"Mami ... Dara mau liburan, bukan dititipin terus, makanya Mami menikah lagi, seperti teman-teman Dara yang lain, punya papi jadi Mami nggak perlu kerja terus, Mami punya waktu buat liburan sama Dara." rengek Dara seperti biasa.

Denisa kembali hanya bisa menghela nafas, jika anak lain tidak mau papi baru, tapi berbeda dengan Dara anaknya, semenjak masuk taman kanak-kanak Dara meminta itu, sebab sering melihat temanya diantar jemput oleh ayah mereka, dan sering sekali mereka bercerita setelah pulang sekolah mereka langsung diajak jalan-jalan oleh ayahnya. Tidak seperti dia yang hanya dirumah atau di yayasan penitipan.

Denisa sering merasa bingung menjelaskan itu pada anaknya.

"Dara please, kita jangan bahas itu lagi oke."

Denisa sangat tahu perangai anaknya disaat sudah memasuki liburan sekolah seperti sekarang ini, Dara pasti akan membuat banyak drama, dimana dia akan menuntut Denisa untuk liburan bersama, sedang Denisa sangat sibuk bekerja.

Bagaimana tidak sibuk, Denisa yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun, dan setahun yang lalu dia baru disumpah menjadi Dokter umum, kini Denisa disibukkan bekerja di tiga tempat.

Tak perduli jika dia dikatain maruk atau hanya memikirkan kebutuhan duniawi, mengkesampingkan kebutuhan anaknya, tapi inilah kenyataannya, Denisa tak ingin manja dan berpangku tangan menerima pemberian dari kakaknya lagi.

Hidup memang harus banyak uang kan? Begitulah moto hidup Denisa.

Cukup dulu semua biaya kuliahnya ditanggung Delia kakaknya, kini saatnya dia harus mencukupi semua kebutuhannya sendiri. Apalagi kini Dara sudah bersekolah, sudah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ditambah kini mamanya tak lagi bersamanya, karena Dania adiknya, baru saja melahirkan anak pertamanya, jadi mamanya sekarang berganti sibuk mengurus Dania.

Namun walau banyak protes, Dara menurut, dan akhirnya menghabiskan sarapannya.

"Dara nggak sayang Mami?" Pertanyaan keramat yang membuat bocah itu luluh, dan bocah itu menggeleng.

"Dara sayang Mami."

"Kalau sayang Mami, habisin makanya ya sayang, Mami benar-benar sudah telat." Denisa mengusak kepala Dara penuh sayang.

Dara-pun mulai memasukkan roti bakar yang sudah diolesi selai itu kedalam mulutnya, hingga dia menghabiskan dua potong roti yang ada dipiringnya.

"Anak pinter," puji Denisa, "yuk kita siap-siap on the way."

Dan keduanya bersiap, Denisa membawa dua tas, satu tas kerjanya, dan satu lagi tas ransel berisi keperluan Dara, mulai dari mainan hingga makanan ringan, tak lupa baju ganti Dara. Karena setelah tugas dari rumah sakit, bukan langsung pulang, tapi Denisa berlanjut ke klinik.

Tujuan utama Denisa yakni yayasan tempat dia menitipkan Dara, sebuah yayasan terpercaya yang sengaja dibangun di pusat kota, karena banyaknya para orang tua yang mempercayakan anak mereka disini.

Yayasan ini sangat membantu bagi Denisa, karena jika dia meninggalkan Dara dirumah dengan pengasuh, belum tentu terjamin keamanannya. Apalagi jam kerja Denisa yang sangat padat, setelah bekerja di rumah sakit, dia juga mengambil jadwal di klinik milik temannya yang juga bekerja satu rumah sakit dengan Denisa.

Denisa sangat beruntung, pemilik rumah sakit itu memberikan kelonggaran untuknya selama sebulan ini agar tidak memiliki jadwal malam sebelum dia menemukan pengasuh. Iri, sudah pasti ada yang iri padanya, namun itulah keistimewaan yang didapat janda anak satu itu.

Setelah mengantar Dara, Denisa langsung bertolak kerumah sakit, rumah sakit tempat Denisa bekerja merupakan rumah sakit swasta yang cukup terkenal. Citra Medika Healt, rumah sakit elit namun mengedepankan masyarakat kurang mampu.

Hari ini Denisa cukup sibuk, dia bahkan tidak sempat untuk istirahat, dikarenakan dia harus menangani pasien kecelakaan. Jika istirahat, biasanya dia akan ke yayasan tempat dia menitipkan Dara, tapi tidak untuk hari ini.

Dia bahkan sibuk menulis laporan sebelum jam kerjanya habis, yang padahal, jam kerjanya sebenarnya sudah berakhir sepuluh menit yang lalu.

"Dokter Nisa kemaren nggak dateng ke acara pertunangan Dokter Amanda ya?" tanya suster Sisi pada Denisa.

"Saya nggak sempat Sus."

"Calon suaminya, beuhhh ganteng bingits." Ujar suster Sisi menekankan kata 'beuh' sambil memejamkan matanya.

Sisi merupakan perawat baru, usianya tiga tahun dibawah Denisa, bertubuh gempal, namun dia sosok yang mudah membaur, dan cukup gaul, terlihatkan dari cara bicaranya.

"Cocoklah Sus sama dokter Amanda, dokter Amanda cantik, anak orang nomor satu di Citra Medika Healt."

"Benar juga sih, tapi dengar-dengar pertunangan mereka karena perjodohan."

"Sudah biasa 'kan buat orang kaya seperti itu? Lagi pula menurut ku sah-sah aja, perjodohan tidak buruk, selagi yang menjalani merasa senang dan nggak keberatan."

"Dokter Nisa kapan nih nyusul, Dara kan minta papi baru terus Dok, lagian kasihan itu sumur Dokter nggak ada yang jengukin." Candanya.

Denisa terkekeh mendengar ucapan suster Sisi "Bisa aja kamu Sus. Oh ya Sus, Suster Sisi ada kenalan yang bisa buat momong nggak ya? Aku nggak enak kelamaan diistimewain terus. Tahu sendiri cari pengasuh itu harus orang yang benar-benar bisa dipercaya."

Sisi nampak berpikir. "Kalau mama saya mau Dok? Kebetulan mama saya sekarang sudah nggak kerja di tempat loundry lagi."

"Boleh juga Sus, saya juga nyaman kerjanya kalau yang jagain Dara mamanya Suster Sisi."

"Yaudah, nanti saya kabari ya Dok, mama saya siap apa enggak." Suster itu merapikan laporan yang dibuat Denisa

"Sip, makasih Sus, kalau begitu aku duluan ya, hari ini belum sempat lihat Dara."

Denisa berjalan menuju locker tempat penyimpanan tasnya, melepaskan snelli yang setia melekat ditubuhnya, melipat stetoskop dan memasukan dalam tas. Kemudian Denisa berjalan menuju parkiran dengan tangan yang selalu dimasukkan ke dalam saku blazernya.

"Dokter Nisa sudah mau pulang?" Ujar suara dari belakang Denisa.

Denisa berbalik mendengar namanya disebut. "Dokter Amanda."

Amanda merupakan Dokter ahli bedah di Citra Medika Healt, dan dia juga anak tunggal dari pemilik rumah sakit ini. Amanda berusia dua puluh tujuh tahun, selain pintar dan cantik, Amanda juga sangat baik dan humble pada siapapun, sampai memberikan kelonggaran untuk Denisa yang merupakan seorang single parent, agar tak memiliki jaga malam sampai Denisa menemukan pengasuh untuk Dara.

Denisa menghampiri Amanda, keduanya saling berpelukan sejenak, "Maaf Dok kemaren saya tidak bisa datang ke acara pertunangan Dokter. Selamat ya Dok, semoga lancar sampai hari H nanti."

"Tidak apa-apa, makasih ya Nis. Doakan saja semua lancar."

"Amiin, jadi kapan di sahkan nih Dok?"

"Secepatnya, aku juga mau mengenal lebih dekat tunangan ku dulu, soalnya kami kan di jodohkan. Eh tapi jangan cerita-cerita ya Nis, aku malu." Amanda menutup mulutnya, "ketahuan ya aku nggak laku." Mereka berjalan menyusuri koridor rumah sakit menuju lobby.

Hmmm tapi rumornya sudah tersebar seantero rumah sakit, Dok.

"Bukan nggak laku Dok, tapi Dokter Amanda jomblo high quality. Jadi harus dapat pasangan yang high quality juga."

"Hahaha kamu bisa aja sih Nis."

"Dokter Amanda mau pulang?"

"Iya, tapi hari ini aku nggak bawa kendaraan sendiri, tunangan aku mau jemput soalnya."

"Ciee, pantesan dandan cantik banget."

"Eh, emang kelihata banget ya Nis?" Amanda meraba wajahnya, lalu mengeluarkan kaca kecil dari dalam tas.

Denisa terbahak "Ya ampun Dok, saya cuma bercanda loh, Dokter Amanda tuh nggak dandan juga cantik kok."

"Ah kamu bisa aja, Nis." Amanda mendorong bahu Denisa.

Denisa berpamitan pada Amanda menuju parkiran, namun saat akan membuka pintu mobilnya, Denisa mendengar suara yang tak asing menyapa Amanda, namun saat Denisa berbalik Amanda dan laki-laki itu sudah masuk kedalam mobil.

Astaga Denisa, padahal dia tak lagi mengingat mantan suaminya lagi, kenapa tiba-tiba malah jadi seperti mendengar suaranya?

"Halusinasi." Denisa mengendikkan bahunya lalu masuk ke mobilnya.

Pertemuan Pertama

"Mulai hari ini kamu dirumah sama Bu Nani, dia mamanya teman Mami, anggap dia seperti nenek Awan (panggilan neneknya menggunakan nama anak Delina) ya. Kamu jangan nakal." Denisa sedang mengikat rambut Dara.

Tak ada jawaban dari mulut cerewet anaknya membuat Denisa menunduk melihat wajah Dara yang menunduk "Dara kamu dengar Mami ngomong?" ternyata anaknya itu sedang asyik nonton video panda dari gadgetnya. Denisa menarik kasar gadget itu dari tangan Dara.

"Iya Mami."

"Kamu dari tadi Mami kasih tahu diam saja." Denisa mengembalikan gadged pada Dara, "semalam guru kamu telepon Mami, kasih tahu. Katanya kamu pukul teman lelaki, ada apa lagi?"

"Dia ledekin Dara nggak punya Papi," jawab Dara kembali menonton ponselnya sambil mencebikkan bibir.

"Kan nggak harus dipukul sayang." Denisa merapikan rambut Dara yang hari ini dikepang dua, mereka sedang menunggu kedatangan bu Nani mama dari suster Sisi datang.

"Dara ikutin saran Mami, kalau dia senggol Dara harus Dara balas. Dia dorong bahu Dara sampai dua kali."

"Oke, Mami terima alasan kamu, tapi kalau dia nggak pukul duluan, jangan di pukul ya sayang. Cukup diamkan saja."

"Mereka nggak akan berhenti ledekin Dara kalau Dara belum punya papi."

Denisa menggaruk kepalanya, jika sudah membahas pasangan Denisa memilih menghindar, sebab dia tak tahu bisa memberikan papi baru untuk Dara atau tidak.

Tak lama Bu Nani datang bersama suster Sisi, Denisa menunjukkan apa saja yang disukai Dara.

"Sebenarnya Dara bukan anak yang sulit Bu, dia termasuk anak yang cukup aktif, aku harap Bu Nani yang sabar ya hadepin dia."

"Insya Allah nak Denisa, saya akan berusaha mengerti Dara."

"Terima kasih, saya sudah terlambat Bu, saya berangkat sekarang." Denisa merendahkan tubuhnya, sedih harus meninggalkan Dara dengan orang lain, tapi apa boleh buat, keadaan memaksanya harus seperti ini. "Kamu jangan nakal, kalau Mami telepon angkat ya."

"Tapi Mami jangan lupa tinggalkan uang yang banyak, Dara mau jalan-jalan sama Bu Nani." Denisa saling pandang dengan Sisi.

"Memang kamu mau jalan kemana?" Denisa menjawel hidung Dara.

"Mini market, terus kekolam renang, sambil jajan pop mie dan jus ditempat, biar kelihatan seperti anak sultan. Bukan bawa bekal dari rumah yang mienya sudah berbentuk kotak." Tunjuknya video seorang selegram dengan tag line berenang ala anak sultan.

Denisa nampak berpikir, dia memang sudah sangat lama tidak mengajak Dara jalan-jalan walau hanya sekedar berenang.

"Besok aja sama Mami ya, Mami usahakan besok ambil libur, kita jalan sama Bu Nani juga, tapi hari ini nggak papa kalau mau beli es krim."

Dara bersorak senang "Tapi Mami janji besok ambil libur." Denisa mengangguk yakin.

* * *

"Papi ... Papi ... aku benci Papi, Papi nggak sayang aku dan Mami. Papi jahat, Papi tinggalin kita, aku benci Papi."

Daniel tersentak dan langsung terbangun dari tidurnya, dia kembali bermimpi seorang anak kecil yang terus memanggilnya Papi. Peluh membasahi kening Daniel, dia langsung menenggak air putih yang selalu tersedia di nakas samping tempat tidurnya.

Daniel memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa sangat pusing, pandangan tertuju pada jam kecil diatas nakas, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, dia ingat jika dia ada janji untuk mengecek pembangunan rumah sakit diatas kapal bersama wanita yang baru dua hari menjadi tunangannya. Daniel bergegas turun dari tempat tidur, bersiap untuk kerumah sakit tempat tunangannya itu bekerja.

Sebelum menuju rumah sakit, Daniel membelokkan mobilnya di mini market untuk membeli kopi. Saat sedang memilih-milih kopi kepalanya berbenturan dengan anak kecil yang sedang memilih susu.

"Auu," bocah kecil itu mengadu, karena tubuhnya lebih kecil dia terjatuh ke lantai.

"Neng Dara, maaf pak, Neng Dara mungkin tidak sengaja." Bu Nani meminta maaf pada Daniel.

"Oh tidak apa-apa, seharusnya saya yang minta maaf, saya tidak melihatnya tadi" Daniel membantu anak kecil itu berdiri.

"Bu Nani, pantat saya sakit, kepala Om ini juga besar dan keras, jadi kepala ku juga sakit." Dara menunjuk kening dan pantattnya bergantian.

"Om minta maaf, apa sakit sekali?"

"Sebenarnya tidak juga kalau Om mau membayarkan es krim dan susu untuk ku."

Daniel memiringkan kepalanya, apa artinya dia dipalak anak kecil "Oh baiklah, ambil es krim dan susu yang kamu mau."

"Tidak usah Mas, eh Pak, tidak apa-apa." Nani merasa tak enak.

"Tidak apa-apa Bu, namanya juga anak-anak."

"Yes," Dara bersorak senang, "tuh Bu, Om-nya aja bilang nggak apa-apa. Asal Bu Nani nggak ngadu sama mami, kita pasti aman."

Daniel tersenyum mendengar alasan bocah itu, kasihan sekali maminya di bohongi, pikirnya.

Setelah membayarkan jajanan Daniel mengantarkan Dara dan Bu Nani pulang, karena dia merasa bersalah. Nani menolak sebenarnya, dia takut jika laki-laki yang mengantar mereka adalah orang jahat.

"Terima kasih ya Om. Om sering-sering nanti datang kesini, aku kenalin sama mami aku, mami aku cantik, Om pasti suka."

"Aduh," Nani mengadu tak enak, ini baru hari pertamanya kerja menjaga Dara, tapi mereka sudah diantarkan oleh orang asing, jika Denisa tahu, Denisa pasti akan sangat marah. "Maaf atas kelancangan Neng Dara ya Mas," Nani takut jika Daniel sudah bersitri.

"Tidak apa-apa Bu. Kasihan jika kalian harus jalan kaki pulangnya, dari mini market ke sini lumayan jauh jaraknya."

Setelah memastikan Dara dan Nani masuk kerumahnya, Daniel melajukan kembali mobilnya membelah jalanan lengang kota Batam. Dalam perjalanan dia merasa tak asing pada anak yang baru dikenalnya itu, cukup unik, dia berharap bisa bertemu lagi dengan Dara, apalagi saat mengingat perkataan Dara yang ingin mengenalkannya pada ibunya, Daniel menyimpulkan jika ibu dari anak tadi adalah seorang single parent.

*

*

*

Hari ini Denisa menemui Amanda dan mengatakan jika dia sudah mendapatkan pengasuh untuk Dara, agar dia bisa mendapatkan jadwal normal seperti dokter lainnya.

"Syukurlah kalau kamu sudah mendapatkan pengasuh Nisa, aku senang mendengarnya."

"Saya sangat berterima kasih sama Dokter Amanda, sudah diberikan keringanan." Denisa berdiri lalu erjabat tangan dengan Amanda, dia tak bisa berlama-lama meninggalkan IGD takut ada pasien yang membutuhkan bantuannya.

Saat Denisa sudah masuk lift untuk menuju lantai dasar, seorang laki-laki tampan berjas rapih keluar dari lift sebelah. Dia masuk ke ruangan Amanda.

"Hai Mas, kok datang nggak ngabarin?" Amanda berdiri menyambut tunangannya lalu, mencium pipi kiri dan kanan lelaki itu.

"Bukankah hari ini kita di jadwalkan untuk mengecek pembangunan rumah sakit yang dikapal itu?"

"Oh maaf, aku lupa Mas," Amanda selalu merasa gugup jika sudah berhadapan dengan Daniel, jantungnya pun berdegup begitu cepat, dia sudah jatuh cinta pada Daniel sejak pandangan pertama mereka di jodohkan.

Daniel mengendus wangi parfum yang familiar di indra penciumanya "Apa ada tamu barusan?" tanyanya menyelidik.

"Tamu?" Amanda mendadak lupa, "oh tadi ada Dokter Nisa, Dokter muda yang aku ceritain itu Mas, yang aku kasih keringanan itu, dia tadi kasih tahu kalau sudah dapat pengasuh untuk anaknya, jadi dia minta aku buat kasih jadwal normal seperti dokter lainnya." Daniel mengangguk.

Dokter muda? Daniel mendadak teringat pada satu wanita yang selama lima tahun ini dicarinya, wanita yang dulu pernah menjebaknya hingga mereka harus menikah. Dan karena tak bisa mencintai gadis itu, akhirnya setelah enam bulan pernikahan, sesuai perjanjian mereka akan bercerai. Nyatanya, setelah perceraian itu, dia tak bisa melupakan Denisa.

Hari Untuk Dara

Denisa tersenyum puas melihat jadwalnya yang sekarang sudah teratur, dia akan meluangkan waktu satu hari dalam seminggu untuk Dara. Jika biasanya setiap weekend dia ikut dalam organisasi yang dibuat dokter Ricko dan ayahnya, kini dia hanya bisa ikut pada hari sabtu.

Organisasi yang dibuat dokter Ricko ialah memberikan pengobatan gratis di sebuah desa yang ada di Batam. Jarak desa itu dari tempat tinggal Denisa sekitar dua jam.

Denisa pikir kapan lagi dia bisa membantu sesama jika bukan dari sekarang, memang salahnya telah memiliki anak di usia muda, jadi dia tidak seperti temannya yang lain, saat seusianya sudah banyak mengikuti kegiatan sosial, sedang dia harus membanting tulang demi memenuhi hidupnya dan Dara, nasib janda muda.

Tapi Denisa juga harus memikirkan kebahagiaan Dara, sehari dalam seminggu waktu yang dibutuhkan Dara darinya.

Denisa menoleh pada ranjang, Dara sudah terlelap dengan buku didadanya, Denisa mendorong kursi dan beranjak naik keatas ranjang, mengambil buku dan meletakkan di meja kerja yang berada dikamarnya, kemudian dia menatapi lamat-lamat wajah polos Dara yang tertidur pulas dengan sedikit dengkuran halus terdengar.

Denisa menitikkan air mata, begitu banyak dosa yang telah ia berikan pada Dara, sering memarahi, melarang ini itu dengan alasan demi kebaikan sang putri, ada rasa sesal saat ia melakukan itu, dan berjanji tidak mengulangi lagi.

Denisa merapikan poni yang menutupi wajah Dara, ternyata sudah panjang, dia kurang memperhatikan anaknya sendiri, Denisa mengecup kening anaknya lama. Ia menghapus air matanya, lalu menutup tubuh Dara dengan selimut, kemudian dia beranjak kekamar mandi mensucikan diri sebelum ikut bergabung dengan anaknya.

Esok dia akan memberikan kejutan pada Dara.

Kini dia sendiri tak bisa terejam, dia yang akan memberikan kejutan, tapi rasa bahagia Dara sudah bisa ia bayangkan, anaknya itu pasti akan memujinya besok, dia dan Dara lebih sering bertengkar dari pada memuji satu sama lain.

Ahh, tak ada yang bisa di puji dari seorang ibu pengejar workholic sepertinya. Denisa tersenyum kecil menatapi langit kamarnya, dia rindu keluarganya, rindu cerewet mamanya, rindu bertengkar dengan Delia, dan rindu ceramah sih sok bijak Dania. Sudah berapa tahun mereka tidak bertemu, entah Dara mengingat wajah saudaranya atau tidak? Keinginannya yang ingin melupakan seseorang membuatnya harus menghilang, dan meminta untuk saudaranya untuk tidak sering menemuinya, sesulit itu ia menghapus jejak orang yang tak menginginkan kehadirannya.

Kesuraman dulu telah berlalu, kini saatnya dia menyambut masa depan yang lebih baik bersama Dara Danuarta, walau Denisa membenci laki-laki itu, tapi tak ada alasan untuknya untuk tidak menyematkan nama ayah biologis dibelakang nama Dara.

Benci saat tahu Daniel pernah akan melecehkan kakaknya karena kesalahannya, Denisa yang waktu itu tak sengaja mencuri dengar obrolan Abian saat menelepon seseorang ketika Delia dan Abian mengunjunginya di ulang tahun Dara yang genap berusia dua tahun.

Lelah memikirkan jalan hidupnya yang cukup sulit, tanpa sadar terpejam kini dia terpejam dengan sendirinya.

Pukul enam pagi, Denisa membangunkan Dara.

"Sayang, Daraaa ayo bangun Mami sudah kesiangan, kamu Mami titipkan lagi dipenitipan."

Bocah cantik warisan ayah dan ibunya itu mengerjapkan mata, matanya menyipit saat terang cahaya lampu menyoroti bola mata coklatnya.

"Mi, memang kemana Bu Nani, kok Dara dipenitipan lagi?" tanyanya dengan suara serak khas anak kecil bangun tidur, dia langsung menegakkan tubuhnya saat menyadari kesalahannya "Mami pecat Bi Nani?" tuduhnya langsung takut-takut jika maminya tahu dia pernah minta es krim pada orang asing.

"Tadaaa," Denisa merentangkan tangan menunjukkan sebuah sepeda berwarna biru gambar kartun kesayangan Dara, "mulai sekarang Mami ambil libur di hari minggu, nggak ada lagi kegiatan sosial, Mami mau menghabiskan waktu bersama princess Mami yang paling cantik sedunia."

Mata yang sepenuhnya terbuka itu kini melebar "Mami ini beneran?"

"Iya donk sayang," Denisa mengulurkan tangan untuk Dara memeluknya. Dan bocah kecil itu lompat dari tempat tidur, langsung masuk kedalam pelukan sang mami.

"Dara happy?" Dara mengangguk, "Mami tunggu kamu mandi dan pakai baju olahraga yang sudah Mami siapkan."

"Thank you Mami, i love you," ciumnya seluruh wajah Denisa, mata Denisa dibuat berkaca-kaca atas tingkah anaknya, memang jarang sekali dia membawa Dara hanya sekedar bersepeda bersama.

* * *

Sudah satu jam mereka berkeliling sebuah taman didekat komplek perumahan mereka, Denisa sendiri sudah sangat merasakan pegal di betisnya tapi tidak dengan Dara, dia masih begitu bersemangat, dia bak sebuah ponsel yang baru diisi daya.

Walau sudah merasa sangat lelah, Denisa masih sabar menemani anaknya itu, dia sadar, selain tidak memiliki waktu yang banyak bersama Dara, Denisa juga menyadari jika dia kurang berolahraga.

Matahari semakin naik, mereka pun makan siang bersama disebuah warung makan pindang yang cukup terkenal, keduanya menyantap makanan seraya berbagi cerita, bercanda dan melakukan banyak hal seperti layaknya teman, mulai hari ini, Denisa berjanji akan selalu membuat putrinya itu tertawa. Kemudian dia melakukan panggilan video pada nenek Awan, memberitahu jika mereka sangat bahagia.

Sehabis dari makan siang mereka kini mereka menuju pelabuhan yang menghubungkan ke suatu negara tetangga.

Sengaja Denisa tidak membawa kendaraan sendiri, dia ingin menikmati waktu bersamanya dengan Dara, saat berada didalam taksi, gadis kecil itu terlelap dipangkuanya sebab kelelahan.

Hingga ponsel Denisa berdering, panggilan dari dokter Ricko.

"Halo Dok," jawab Denisa panggilan itu.

"Hai Nisa, kalian sedang dimana?"

"Kami lagi dijalan menuju Harbour Bay Dok, apa ada sesuatu yang penting Dok?"

"Oh tidak Nisa, tidak ada apa-apa, maaf mengganggu waktu liburan kalian, selamat bersenang-senang ya, salam untuk si cantik Dara." Dokter Ricko itu mematikan panggilannya seketika, Denisa mengendikkan bahu, mungkin dokter Ricko hanya menyapa, tidak ada sesuatu yang begitu penting atau mendesak, jika tidak dia pasti sudah memintanya datang seperti sebelum-sebelumnya

Hingga tibalah mereka pada sebuah pelabuhan yang sangat bersih dan indah, gedung-gedung tinggi menyambut kedatangan mereka.

Denisa menggendong Dara yang masih terpejam, namun tak lama ia mengerjap membuka matanya.

"Mi, kita sudah sampai?"

"Yes, kita akan melihat kapal besar."

"Aku mau turun," dia langsung meloncat dan berlari kegirangan.

"Jangan lari-lari, Dara."

"Iya Mi," sahutnya masih berlari membuat Denisa ikut berlari mengejar langkah kecil Dara.

Gadis itu benar-benar bak burung keluar dari sangkarnya, lima tahun diusianya baru kali ini dia bisa melihat pelabuhan yang suka diceritakan temannya.

"Yeayyy, Mi foto aku. Nanti Dara akan tunjuk teman Dara kalau Dara sudah liat kapal besar macam mereka."

Denisa mengulas senyum, ia tak tahu seperti apa Dara disekolahnya, sampai sangat sering Dara menceritakan perihal temannya, Denisa juga tak tahu apakah Dara mengalami pembulyan atau semacamnya? Tapi Denisa selalu mengajarkan, jika ada yang berani menyentuhnya maka Dara tak boleh menangis, dia harus membalasnya, ya memang ajaran kurang baik, tapi itu pilih terbaik.

Setelah puas berkeliling pelabuhan, kini mereka duduk disebuah Cafe yang menyajikan pemandangan Marina Bay Sand yang sangat indah sambil memakan es kirim.

"Mi, boleh Dara kesana?"

"Boleh, kita akan kesana berdua."

"Bertiga sama papi seperti teman-teman Dara yang lain."

Denisa tak lagi menanggapi perkataan Dara. Dia menatap jauh didepanya, sambil menyendok es krim miliknya.

"Lupakan Mi jika Mami tidak suka bicara Dara." Denisa menoleh pada anaknya, belum sempat Denisa membuka mulutnya, ia dikejutkan oleh seseorang yang ikut duduk bersama mereka.

"Dokter Ricko?" terkejut karena dikiranya dokter Ricko masih praktek.

"Boleh saya ikut bergabung?" Izinnya dan Denisa mengangguk.

"Dokter kok bisa ada disisi?"

"Tadi kebetulan lewat, jadi aku mampir ingat jika kamu dan Dara sedang disini?" Bohongnya, padahal dia tak bisa konsentrasi bekerja sebab wajah cantik yang biasa ia lihat tidak ada. "Hai cantik, kamu semakin besar saja, lama Om tidak ketemu kamu." menjawel pipi putih kemerahan Dara sebab sinar matahari.

"Aku bikin kangen ya Om?" ceplos bocah itu polos.

Denisa dan Ricko tertawa, kedatangan dokter Ricko membuat Denisa sedikit tidak merasa kesepian.

"Dok, saya titip Dara sebentar, saya mau ketoilet," Denisa beralih menatap Dara "Mami ke toilet sebentar ya sayang, kamu sama dokter Ricko, jangan kemana-mana, oke," usak Denisa rambut anaknya, dan Dara mengangguk.

Tak lama Denisa kembali, kini yang bersama anaknya bukanlah hanya dokter Ricko melainkan ada Amanda dan seorang laki-laki yang dari gestur tubuhnya seperti ia kenali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!