Elvan Aksa Abiputra, usianya baru saja genap dua puluh dua tahun bulan Februari yang lalu. Laki-laki tampan berperawakan tinggi tegap, pemilik alis mata tebal dan senyum yang menawan itu tengah memarkirkan motor besarnya persis di depan pintu gerbang sebuah rumah besar bercat warna abu-abu.
Rambut hitam tebal bergelombang miliknya yang panjangnya hingga menyentuh bahu, terlepas dari ikatannya ketika El membuka helm full face yang dikenakannya. Sejenak ia merapikan rambutnya, menyisir dengan jari tangannya lalu membiarkannya terurai begitu saja tanpa mengikatnya kembali.
Setelah itu El turun dari motornya dan bergegas berjalan menuju pintu gerbang rumah yang sepertinya terkunci dari dalam. Terlihat dari gembok besar yang terpasang di sana.
“Ish, beneran dikunci. Mana gak ada orang lagi,” gumamnya seraya memeriksa gembok besar di tangannya, lalu menatap ke arah rumah besar di depannya.
Halaman rumah yang luas itu terlihat lengang, tidak tampak mobil-mobil dan kendaraan lainnya yang biasanya berjajar di dalam sana. El celingukan mencari-cari sosok mang Supri, sekuriti rumah yang biasanya berjaga di pos depan. Dilihatnya lampu di pos itu menyala terang dan daun pintunya terbuka lebar.
“Jangan-jangan ketiduran lagi,” ucapnya seraya melirik arloji di pergelangan tangannya yang menunjukkan angka 8. Masih terbilang sore dan belum terlalu malam untuk waktu di kota pada jam-jam seperti sekarang ini.
Tuk tuk ...
El melempar kaca jendela pos sekuriti yang terletak di samping pagar rumah dengan batu kerikil yang diambilnya dari tepi jalan.
Tidak lama kemudian muncul mang Supri dari dalam pos, berjalan keluar dan berhenti tepat di samping kaca jendela. Sejenak matanya memicing menatap pada batu kerikil di bawah kakinya seraya menggaruk rambut kepalanya, tak lama terdengar tarikan napasnya.
Sejurus kemudian kakinya bergerak menyapu keluar batu di dekatnya itu sambil setengah menggerutu, “Kalau nyetir mobil pada ngebut ya begini jadinya, batunya pada terbang sampai ke mari.”
El yang mendengar ucapan mang Supri hanya bisa tersenyum masam saat lemparan batunya dikira batu yang mental terkena ban mobil yang melintas kencang dari arah jalan raya di depan rumah.
“Hoam, Earghh!” Kedua tangan mang Supri kini terentang ke atas dengan mulut menguap lebar, hingga topi yang dikenakannya miring dan nyaris jatuh ke lantai.
“Eh! Ketiduran beneran nih orang!” El yang sedari tadi memperhatikan, menatap gemas pada mang Supri yang kini tengah mengucek matanya dan berkali-kali terlihat menguap lebar.
“Mang Supri, Mang!” panggil El kemudian, namun yang dipanggil sepertinya belum menyadari kehadiran El di sana. El kembali melempar batu kerikil di tangannya dan kali ini tepat mengenai bahu mang Supri.
“Aduh!” seru mang Supri seraya memegang bahunya, lemparan itu tidak keras namun cukup membuat lelaki paruh baya itu terkejut dan langsung menolehkan kepala serta memasang sikap waspada.
Ia melangkah keluar dengan hati-hati, memindai sekelilingnya siap sedia dengan tongkat di tangannya. Seketika wajahnya menunduk saat matanya menangkap siluet tubuh seseorang yang berada di depan pagar rumah tuannya.
“Ish, mang Supri!” seru El lagi, kali ini nada suaranya terdengar lebih keras dari pada sebelumnya.
“Astaga!” Mang Supri tersentak lalu mengangkat wajah cepat, melihat pada El yang melambaikan tangan memanggil namanya. “Tuan muda El?” ucapnya masih setengah tak percaya dengan sosok pria yang berdiri di depannya itu, meski suaranya terdengar akrab di telinganya.
“Iya, Mang. Ini El, dari tadi dipanggilin juga. udah cepetan bukain pintunya,” pinta El pada mang Supri yang berjalan tergopoh-gopoh sambil membetulkan letak topi di kepalanya.
“Ya, sebentar Tuan. Mang buka pagarnya, maaf Mang ketiduran barusan gak tahu kalau Tuan muda yang datang kemari.”
Seketika rasa kantuk di wajah mang Supri langsung menghilang. Dengan cepat ia mengambil kunci pagar yang tergantung di tali celana panjangnya, membuka pintu pagar dan menggesernya ke kiri membiarkan El masuk ke dalam. “Silah kan masuk Tuan.”
“Terima kasih, Mang.” El tersenyum ramah, sembari menepuk pelan bahu mang Supri setelah sebelumnya membuang kerikil dari tangannya ke luar pagar.
“Sama-sama Tuan,” balas mang Supri sambil menatap El penuh selidik, yang tengah mengusapkan telapak tangannya di celana jeans yang dipakainya.
“Cuma batu mental di jalan, dari pada masuk ke dalam bikin kotor rumah papa. Jadi Aku pungutin tadi,” ucap El sambil meringis.
“Oh, Mang kira tadi ada yang sengaja lempar batu ke dalam.” Mang Supri mengusap bahunya perlahan, dan El lagi-lagi hanya meringis mendengarnya.
“Lah, motornya kenapa gak sekalian dibawa masuk, Tuan?” tanya mang Supri saat hendak menutup pagar rumah kembali.
“Gak usah, Mang. Biar di luar saja, Aku cuman mampir sebentar kok. Ngomong-ngomong papa ada gak di rumah?” tanya El memastikan keberadaan papanya karena sedari tadi tidak melihat mobilnya berada di halaman rumah.
“Papa Tuan, eh maaf ... Tuan besar ada di dalam rumah bersama nyonya tadi. Mobil tuan besar sudah masuk di dalam garasi,” jawab mang Supri seperti mengerti arah pandangan mata tuan mudanya. “Apa perlu Mang yang bicara sama tuan besar, kalau ada Tuan muda datang?” Mang Supri menawarkan bantuan, ia tahu benar bagaimana ketegangan hubungan antara ayah dan anak itu saat ini.
El menggeleng cepat, “Tidak perlu, Mang. Biar Aku sendiri yang datang menemui papa,” jawab El.
El berdiri sesaat lamanya dengan tangan memegang erat amplop besar berwarna coklat, menatap bangunan megah rumah berlantai tiga di hadapannya itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sudah hampir dua bulan ia pergi dari rumah ini, meninggalkan semua kemudahan dan segala fasilitas hidup yang didapatnya selama ini. Memilih untuk hidup sederhana bersama seorang wanita muda yang bernama Kiara Larasati yang telah dinikahinya dan sudah sah menjadi istrinya sejak tiga bulan yang lalu.
Dengan langkah mantap El berjalan menuju rumah utama, diiringi tatapan iba mang Supri yang terus mengikuti langkahnya hingga menghilang di balik pintu.
“Semoga saja tidak terjadi keributan seperti yang sudah-sudah. Kasihan tuan muda El, selalu saja jadi bahan amukan tuan besar setiap kali pulang ke rumah ini.” Mang Supri menatap ke lantai dua rumah sesaat, sebelum berbalik dan kembali menuju pos sekuriti.
••••••••
Bruaakk ...
Praankk ...
Pyarr ...
Barang-barang di atas meja besar berlapis kaca tebal itu jatuh berhamburan, berserakan di lantai granit rumah yang keras. Tidak terkecuali foto bergambar El dan keluarga besarnya yang sedang tertawa bahagia, bersama menikmati liburan dengan latar belakang keindahan panorama kebun teh di sore hari.
“Papa, hentikan! Papa harus tetap tenang, apa tidak bisa bicara baik-baik dengan anak kita. Jangan marah-marah terus seperti ini, Pa.” Winda tak dapat menahan dirinya lagi, ia menangis. Sedari tadi ia hanya berdiam diri melihat kemarahan Bian pada El putranya.
Bian menggertakkan giginya, rahangnya mengeras, dengan napas yang menderu. Lelaki yang masih terlihat gagah di usianya yang tidak muda lagi itu, kini dipenuhi dengan hawa amarah dan terlihat seolah-olah ingin menelan anaknya hidup-hidup.
Keadaan di dalam ruang kerja Bian yang biasanya rapi dan bersih itu kini sudah seperti kapal pecah. Suara tangis Winda sama sekali tak ada pengaruhnya bagi Bian. Lelaki itu bukannya berhenti, malah semakin bertambah emosi.
Tak cukup sampai di situ saja, Bian kembali meluapkan kemarahannya dengan melempar barang apa saja yang terlihat di depan matanya pada anak laki-laki satu-satunya itu yang kini duduk bersimpuh dan berlutut di hadapannya.
“Sabar Pa, sabar. Bukan seperti ini caranya menyelesaikan masalah. Ingat sakit jantung Papa, kalau kumat lagi bagaimana?!” Winda menahan lengan Bian, berusaha menenangkan suaminya itu.
“Anak ini memang ingin melihatku cepat mati! Biar dia bisa dengan mudah membawa masuk perempuan si al an itu ke dalam rumah ini.” Dengan wajah memerah, Bian menatap murka pada El.
“Papa, Kiara bukan wanita seperti itu.” El menatap sendu wajah papanya, ia menggeleng tidak percaya mendengar ucapan papanya pada Kiara.
“Jangan mimpi Kamu, ya. Selama Aku masih hidup, tidak akan Aku biarkan hal itu terjadi. Tidak akan, camkan itu!” ucap Bian lantang. Napasnya kian memburu, turun naik tidak teratur dengan tangan mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya.
“Pa, tolong beri El kesempatan untuk bicara dan menjelaskan maksud kedatangannya kali ini. Biar bagaimana pun juga, El putra kita satu-satunya. Dan Mama tidak mau kehilangan El lagi.” Winda semakin terisak.
“Satu langkah saja kakimu bergerak keluar meninggalkan rumah ini, jangan pernah berharap dapat memanggilku Papa lagi!”
“Pa!” Winda menggelengkan kepalanya, tangannya mengguncang lengan Bian. “Jangan bicara seperti itu pada anak kita, Pa.”
El merapatkan bibirnya. Matanya mengerjap lalu menggeleng perlahan. Kepalanya berdenyut menahan nyeri, merasakan pelipisnya yang berdarah akibat terkena lemparan benda dari tangan papanya.
“Pa, Ma. El datang kemari hanya ingin meminta doa restu Papa dan Mama atas pernikahan El dan Kiara,” ucap El seraya berusaha bangkit dan berdiri. “Kami berdua tidak minta yang lainnya,” imbuhnya lagi, menatap nanar pada Bian. Tak dihiraukannya lagi darah segar yang mulai menetes di pipinya .
“Restu katamu?” Bian menepis tangan Winda di lengannya, lalu berjalan mendekati El. Sorot matanya tajam menatap lurus tepat pada manik mata El yang terlihat menganggukkan kepalanya.
“Setelah semua yang Kamu lakukan pada kami, membuat malu keluarga ini dengan menikah diam-diam tanpa persetujuan dari kami. Setelah itu dengan mudahnya Kamu datang dan meminta restu pada kami. Kamu anggap apa kami di sini, hah!”
“Pa, sudah Pa. Lihat kening El berdarah,” ucap Winda panik, ia berusaha menarik lengan El agar menjauh dari Papanya. Namun tangan kuat Bian menghalangi gerakannya.
“Pa, El mencintai Kiara. Kami berdua sudah menikah dan tinggal bersama. Kedatangan El kemari hanya ingin meminta restu Papa dan Mama, dan mau menerima Kiara sebagai istri El dan menantu di keluarga ini. Kami tidak menginginkan harta atau lainnya,” jelas El mencoba melunakkan hati papanya.
“Cih, cinta katamu? Omong kosong!” Bian mendengkus, ia berjalan mengitari tubuh anaknya lalu dengan gerakan tak terduga Bian merampas amplop coklat yang sedari tadi ada dalam genggaman tangan El.
“Pa, jangan Pa. Itu bukti pernikahan El dan Kiara,” cegah El berusaha mempertahankan amplop miliknya, namun gerakan Bian lebih cepat dan ia berhasil menepis tangan El yang ingin meraih amplop dari tangannya kembali.
“Katakan terus terang, Kamu sedang butuh uang kan. Kamu sudah tidak sanggup hidup serba kekurangan, dan perempuan itu yang menyuruhmu untuk datang ke rumah ini dan meminta uang pada kami.”
Dengan tidak sabar Bian membuka amplop coklat di tangannya itu, mengeluarkan isi di dalamnya. Selembar kertas dan sebuah buku kecil berwarna merah. Tanpa rasa bersalah sedikit pun Bian merobeknya menjadi serpihan kecil lalu meletakkannya dengan satu kali sentakan di dada El, membuat lelaki muda itu mundur selangkah ke belakang dengan mata terbelalak.
“Tinggalkan perempuan itu, sampai kapan pun Papa tidak akan pernah merestui hubunganmu dengannya. Perempuan itu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kita. Beri dia uang yang banyak seperti keinginannya selama ini. Papa yakin dia hanya ingin mengincar harta keluarga kita saja,” ucap Bian dengan nada suara penuh penekanan.
“Pa!” seru El dengan suara bergetar, tangannya serta-merta mendekap potongan kecil kertas dan buku agar tetap berada di dadanya.
Sudut matanya perih, menatap tak percaya pada apa yang dilakukan Bian barusan padanya. “Harus dengan cara apa lagi El bisa meyakinkan Papa kalau Kiara bukanlah wanita seperti yang Papa tuduhkan selama ini.”
••••••••
Bian mendengkus kesal mendengar jawaban El. Ia sama sekali tidak percaya putranya yang selama ini selalu bersikap manis, penurut, kini berubah menjadi sosok laki-laki yang selalu menentang ucapannya setelah mengenal Kiara.
Bian tidak habis pikir, El yang terbiasa hidup senang, semua serba ada, bahkan rela meninggalkan semua kemudahan yang sudah didapatnya selama ini demi bisa hidup bersama dengan Kiara.
Jelas-jelas ia menentang hubungan keduanya, status sosial di antara mereka sangat jauh berbeda. Keluarga El berasal dari kalangan atas, orang terpandang, pengusaha sukses yang memiliki banyak usaha di mana-mana.
Sementara Kiara, perempuan pilihan El hanya lah gadis yatim piatu miskin dengan tingkat pendidikan rendah dan penampilan yang sangat sederhana. Hanya akan membuat malu keluarganya saja dan menurutnya sangat tidak layak masuk dan menjadi bagian dari keluarga besar Abiputra.
“Turuti ucapan Papa, atau Kau akan menyesal dan terima akibatnya!” ucap Bian tepat di telinga El.
Bian sangat kecewa dengan pilihan El, putranya itu sepertinya sudah termakan bujuk rayu perempuan bernama Kiara yang berpura-pura mendekati dirinya hanya untuk mendapatkan harta keluarganya saja dengan alasan yang sangat memuakkan mengatas namakan cinta.
Dengan langkah lebar Bian berlalu keluar ruangan meninggalkan El yang masih termangu di tempatnya berdiri saat itu.
“El.” Sentuhan halus tangan Winda di bahunya, menyadarkan El. Dirasakannya bahunya dipeluk dengan lembut dari belakang.
Perlahan tangan El terkulai lemah di kedua sisi tubuhnya, membiarkan potongan buku dan kertas di dadanya jatuh berhamburan ke lantai. El memutar tubuhnya, mendongak menatap wajah lembut mamanya.
“Keningmu berdarah, tunggu di sini biar Mama obati lukamu.” Winda menyibak helai rambut yang menutupi kening putranya, El meringis saat jemari tangan Winda menyentuh lukanya membuat wanita itu menghela napas dalam. “Tetap di sini,” imbuhnya lagi lalu beranjak pergi.
“Mama.”
Winda yang berjalan keluar hendak mengambil kotak obat, menghentikan langkahnya ketika mendengar El memanggilnya. Ia pun menoleh, menatap wajah putranya yang balas menatapnya dengan sorot mata terluka yang begitu kentara.
“Apa yang harus El lakukan, Ma. Apa El harus menyerah, mengorbankan cinta kami berdua dan menuruti semua keinginan papa?”
Winda menarik napas, “Biarkan Mama obati lukamu dulu, setelah itu mari kita bicara.” Winda berbalik kembali dan melangkah keluar ruangan.
El terduduk lemas di lantai kamar bertumpu pada kedua lututnya. Dengan jemari yang bergetar dikumpulkannya lembar demi lembar sobekan kertas dan buku merah miliknya.
“Aargh!” serunya tertahan, saat serpihan kaca di lantai menggores ujung jari dan telapak tangannya.
Pandangannya mengabur tersaput genang air mata, saat sudut matanya menatap potongan kertas bergambar foto Kiara yang sedang tersenyum padanya.
“Maaf sayang, maafkan abang. Tidak bisa menjaganya dengan baik,” bisiknya dengan suara parau seraya mengusap lembut foto Kiara dengan ujung jarinya yang terluka.
“El, bangunlah sayang. Biar Mama obati lukamu,” ucap Winda berjongkok di dekatnya.
El mendongak, dilihatnya Winda datang dengan membawa kotak obat di tangannya.
“Sudah malam, sepertinya El harus pulang sekarang. Kasihan Kiara, dia pasti cemas menunggu El di rumah sendirian.”
El memalingkan wajahnya lagi, menundukkan kepala mengambil potongan kertas terakhir dan memasukkannya kembali ke dalam amplop.
Winda mengesah gusar, ia berdiri dan melangkah menuju sofa panjang yang ada di sudut ruangan lalu menepukkan tangannya memberi isyarat pada El untuk duduk di sampingnya.
“Sepertinya Kamu lebih mencemaskan keadaan wanita itu ketimbang kami orang tua kandungmu sendiri,” ucap Winda.
El bangkit perlahan, berjalan mendekati Winda lalu duduk di sampingnya. Winda menghela napas melihat luka di wajah putranya. El memejamkan matanya saat Winda mulai membersihkan lukanya dan menempelkan plester di keningnya.
“Luka ini pasti akan meninggalkan bekas di wajahmu,” ujar Winda menyibak rambut yang menutupi kening El.
“Hanya luka kecil tidak berarti apa-apa buat El,” jawab El masih dengan mata terpejam.
“Bagaimana kehidupan kalian berdua di luar sana. Apa setiap hari akan terasa mudah ketika harus melewati semuanya bersama dengan wanita itu?”
El membuka matanya, menatap jauh di kedalaman mata mamanya. “Kiara namanya, Ma. Kiara istri El sekarang, menantu perempuan Mama.”
El menyentuh tangan Winda, hingga wanita itu menyadari ada luka lain di tubuh anak lelakinya itu.
“Kenapa Kamu tidak hati-hati, bagaimana kalau terluka seperti ini lagi. Siapa yang akan merawat lukamu kalau Mama tidak berada di sampingmu?” cetus Winda gusar dan langsung meraih tangan El. Tanpa terasa air mata yang sedari tadi coba ditahannya lagi kini mengalir deras di pipinya.
“Maafkan El sudah buat Mama menangis seperti ini,” ucap El terharu melihat perhatian dan kekhawatiran mamanya yang terlihat jelas di wajahnya.
“Sekarang Mama tidak perlu khawatir lagi, ada Kiara yang akan selalu merawat luka El.”
Winda semakin terisak, dan El memeluknya erat. “Maafkan El, Ma.”
Sampai saat ini hanya Winda seorang dari pihak keluarganya yang terus membelanya dari amukan Bian papanya dan juga kecaman dari keluarga besarnya. Meski wanita berhati lembut itu masih belum bisa sepenuhnya menerima pernikahannya dengan Kiara.
“Ck! Bagaimana bisa Kamu melindungi istrimu kalau terus saja terluka seperti ini,” ucap Winda masih dengan mata yang digenangi air mata, dengan cekatan mengobati luka di tangan El. Memeriksanya dengan teliti jika ada serpihan kaca yang tertinggal di dalam sebelum membalutnya dengan perban.
“Terima kasih, Ma.” El menggerakkan tangannya yang sudah dibalut perban. Perlahan tangannya terulur menghapus sudut mata mamanya yang berair dengan ujung jarinya.
“El pamit pulang dulu,” ucapnya lalu meraih tangan Winda, mencium punggung tangannya sebelum berakhir dengan mencium kedua pipinya.
“El, tidak bisakah Kamu tetap tinggal di rumah ini saja. Hem?” pinta Winda menahan lengan El untuk tidak pergi.
El tersenyum menggeleng, ia sudah memutuskan keluar dari rumah kedua orang tuanya itu dan memilih tetap bersama Kiara istrinya.
“Mama baik-baik di sini, jaga kesehatan.” El melepas genggaman tangan Winda di lengannya, lalu melangkah keluar ruangan.
“Elvan!” teriak Winda berlari mengejar El, namun cekalan kuat tangan Bian di lengannya menahan langkahnya.
Rupanya sejak tadi Bian duduk di luar dan semua yang dilakukan Winda pada El di dalam ruang kerjanya tidak luput dari pengamatannya.
“Biarkan anak itu pergi,” ucapnya pada Winda. “Dan Kamu!” tunjuknya kemudian pada El. “Jangan pernah coba untuk menginjakkan kakimu lagi di rumah ini!”
“Tapi Pa, El anak kita satu-satunya. Mama gak mau kehilangan El lagi,” balas Winda disela tangisnya.
El menguatkan hatinya saat mendengar tangisan mamanya, untuk sesaat lamanya ia hanya berdiri terdiam.
“Saat ini dan seterusnya dia bukan anak kita lagi!”
“Pa!”
“Cukup, Ma!” teriak Bian murka. “Cepat keluar dari rumah ini sekarang juga!”
El mengepalkan tangannya kuat, hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Tak dihiraukannya lagi telapak tangannya yang kembali berdarah. Dengan langkah cepat El melangkah keluar rumah tanpa menoleh ke belakang lagi.
••••••••
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!