SMA Bina Nusantara.
Olin POV....
...****************...
Seperti biasa pagi ini ku awali semua kegiatanku dengan bersiap-siap ke sekolah, umurku baru masuk 17 tahun dan masih kelas 3 SMA.
"Non ayo bangun, nanti di marah sama Papa !!" Teriak Bibi Yatri dari luar kamarku.
"Bentar Bi, lagi beresin buku" jawabku setengah berteriak.
Kembali memastikan bahwa tak ada buku yang tertinggal, hari ini adalah hari Senin dan seperti biasa di sekolah akan ada kegiatan upacara bendera. Setelah memastikan semua perlengkapan sekolahku siap aku pun langsung menyandang tas di punggung kemudian keluar dari kamar.
"Loh bibi kenapa masih disini ?, Gak nunggu di bawah aja ?" Tanyaku pada bi Yatri yang masih berdiri di depan kamar.
"Bibi nungguin non Olin"
"Oh" jawabku singkat.
Satu persatu anak tangga aku turunin bersama bi Yatri, semenjak Papa dan Mama berpisah aku kehilangan banyak kasih sayang. Bukan karena Mama tak peduli padaku. Melainkan Papa tak menyuruh Mama menemui ku.
Papa dan Mama berpisah 5 tahun yang lalu, tepat saat aku kelas 2 SMP. Entah apa yang membuat keduanya bercerai. Dan semenjak hari itu seperti ada yang hilang dalam hidupku. Apalagi setelah berpisah dengan Papa, Mama menikah lagi.
"Pagi kesayangan Papa"
Aku melempar senyum kemudian menjawab "pagi juga Pa"
"Yuk sarapan dulu !! Nanti Papa anterin ke sekolah"
Aku mengangguk, kemudian menarik kursi lalu duduk disana. Bi Yatri langsung mengambilkan nasi goreng sosis kesukaanku.
"Hari ini Papa mau ke Bandung selama 3 hari, jadi pulangnya nanti di jemput sama Pak Tio" ujar Papa.
"Kenapa Olin gak bawa mobil aja sih Pa, biar gak ngerepotin Papa dan Pak Tio" jawabku dan langsung membuat Papa menatap ku dengan tajam.
"Kamu itu belum terlalu lancar bawa mobil, nanti kalau nabrak gimana ? Lagian Papa memperkerjakan Pak Tio itu untuk mengantar jemput kamu"
"Makanya di ajarin Pa biar Olin lancar bawa mobil".
"Caroline..."
Jika Papa sudah memanggilku seperti itu, berarti Papa sudah marah, dan aku tak berani untuk mengatakan apa-apa lagi. Aku diam sembari menikmati nasi goreng yang sebentar lagi akan habis.
Setelah sarapan, aku dan Papa langsung berangkat. Di perjalanan aku hanya terdiam sembari menikmati alunan musik yang sengaja aku putar untuk menghilangkan rasa bosan.
"Jaga diri selama Papa pergi !! Kalau mau kemana-mana minta antar sama pak Tio" pesan Papa setelah mobil berhenti tepat di depan sekolah ku.
"Siap Pa"
Papa mengelus kepalaku dengan lembut, "sana masuk !! Belajar yang pintar"
"Ok" jawabku dengan mengacungkan jempol.
Aku membuka pintu mobil, kemudian langsung berjalan memasuki gerbang yang sebentar lagi akan tertutup.
"Olin"
Aku menoleh lalu kemudian tersenyum saat melihat kedua sahabatku. Bela dan Indri mereka berdua adalah sahabat karibku, mereka berdua yang sering mendengarkan semua keluh kesah ku selama ini.
"Kemaren pas hari minggu kenapa gak jadi dateng ?" Tanya Indri.
"Kan udah gue bilang kalau ada papa di rumah, lo berdua tau kan kalau ada Papa di rumah gue gak bisa kemana-mana" jawabku kemudian.
"Oh ya ya, gue lupa" Indri terkekeh geli dan aku hanya menggelengkan kepala.
"Padahal acaranya seru banget Lin, lo pasti nyesel gak dateng" sahut Bela
" Gue mah udah tau kalau acara bakal seru, tapi mau gimana lagi kalau gue gak bisa dateng"
Kemaren hari minggu sedang ada pertandingan sepak bola antar SMA, gue yang menyukai olaraga begitu kesal karena gak bisa datang kesana.
"Tapi kamu tenang aja, besok sore final jadi Lo masih ada kesempatan buat datang" ujar Indri lagi.
"Serius ?" Tanyaku antusias.
"Ya serius lah, tapi apa Lo bisa datang ?" Cibir Bela
"Bisa dong, kan Papa gue lagi ke Bandung"
Dan ucapan ku langsung di sambut tepuk tangan meria dari Bela dan Indri, kami bertiga tertawa serempak tak peduli banyak orang yang memperhatikan kami.
......................
Alzan POV....
"Bagaimana Al ? umurmu sudah 26 tahun dan kapan kamu akan memperkenalkan calon istri kepada Abi dan Umi ?"
Aku menatap Abi dengan seksama, tak tau harus menjawab apa, menikah memang sesuatu yang sangat aku impikan. Tapi entah kenapa belum ada yang pas untuk menjadi istriku.
Sudah 2 kali Abi ingin menjodohkan ku dengan anak temannya, tapi aku selalu menolak karena bagiku istri itu harus pilihan ku sendiri bukan pilihan Abi atau pun Umi.
"Di jodohkan tidak mau, dengan alasan takut tidak cocok" Abi menghela napas panjang "lihat kedua kakak mu, mereka berdua menikah karena perjodohan tapi sampai sekarang rumah tangga mereka rukun-rukun saja" lanjut Abi lagi.
"Mungkin Alzan ada kriteria sendiri Bi, jangan di paksa kalau dia tidak mau di jodohkan" sahut Umi yang baru saja datang sembari membawa secangkir teh hangat untuk Abi.
Abi tersenyum ke arah Umi, lalu kembali berucap "Abi hanya ingin sebelum Abi pergi, anak-anak Abi sudah menikah semua"
"Alzan pasti menikah Bi, insya Allah secepatnya" sahutku secepatnya.
Serempak Abi dan Umi menatapku.
"Yuna perempuan yang baik Nak, Abi yakin dia akan menjadi istri yang sholehah untuk kamu" tatapan mata Abi begitu serius
"Lakukan sholat istikharah supaya kamu mendapatkan petunjuk"
"Baik Bi"
Setelah begitu banyak mengobrol aku pamit kekamar, sebelum bersiap untuk pergi mengajar anak-anak pesantren.
Didalam kamar aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, tatapan mataku fokus kelangit-langit kamar, sesekali aku menarik napas panjang saat mengingat permintaan Abi barusan.
"Ya Allah, berikan hamba petunjuk !! Siapa wanita yang pas untuk menjadi istriku"
Saat aku terhanyut dalam lamunan, tiba-tiba ponsel ku berdering. Bergegas aku mengambil benda persegi itu yang ku letakkan di atas meja nakas. Ku geser menu hijau untuk menjawab panggilan dari sahabatku.
"Assalamualaikum Zam" ucapku pada Arzam sahabat sekaligus Asisten pribadiku di Kantor.
"Waalaikumsalam tadz. Maaf mengganggu waktunya sebentar, saya mau bertanya jam berapa hari ini Ustadz ke perusahaan ?"
"Sekitar jam 10:30, karena pagi ini aku mengajar sebentar. Ada apa Zam ? apa ada hal penting ?"
"Tidak ada Tadz, saya hanya ingin bertanya saja"
"Oh begitu"
"Iya Tadz. Kalau begitu saya tutup teleponnya Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Kembali ku letakkan ponselku, lalu bersiap mengenakan pakaian yang rapih. Karena saat ini aku masih mengenakan sarung dan baju koko. Setelah sholat subuh tadi aku di ajak Abi mengobrol dahulu.
"Bismillah Ya Allah" ucapku setelah bersiap dengan pakaian mengajar.
Aku melangkah kan kaki keluar kamar, setiap hari selalu seperti ini, mengajar dan memberikan ilmu kepada anak-anak pesantren membuatku merasa bahagia dan nyaman. Berharap apa yang aku ajarkan bisa membuat mereka semua sukses di kemudian hari.
Alzan POV...
Usai mengajar aku segera datang ke perusahaan, seperti biasa aku akan berkutat dengan pekerjaan ku bersama Arzam.
"Hari ini kita ada pertemuan di SMA Bina Nusantara, katanya ada yang mau di bahas" jelas Arzam.
Aku mendongak, mengalihkan tatapan mataku sejenak. Kemudian mengangguk tanda setuju.
Sudah 4 tahun perusahaan yang aku jalankan menjadi donatur tetap di SMA negeri itu.
"Jam berapa ?" Tanyaku.
"Habis Dzuhur"
"Siap, nanti selesai sholat kita langsung kesana"
Arzam mengangguk sebagai jawaban, kemudian pamit dari ruangan ku, setelah kepergian Arzam aku pun kembali bekerja, supaya nanti bisa selesai sebelum berangkat ke SMA.
Hingga tak terasa sudah terdengar Adzan Dzuhur berkumandang, bersahutan dari masjid satu ke masjid yang lain. Ku tutup laptop ku kemudian beranjak berdiri bersamaan dengan masuknya Arzam.
"Ayo pak, kita sholat dulu sekaligus makan siang" ajak Arzam.
Jika di kantor Arzam akan memanggilku dengan sebutan Pak, namun jika di luar dia akan memanggilku dengan sebutan Ustadz.
"Apa kamu sudah lapar Zam ?" Tanyaku seraya menatapnya dengan seksama.
"Belum Pak, memangnya kenapa ?"
"Kalau kamu lapar mending makan siang dulu baru sholat, karena melaksanakan sholat saat perut kelaparan akan membuat kita tidak khusuk" jelas ku.
"Insya Allah saya belum terlalu lapar Pak, jadi kita bisa sholat dulu"
"Baiklah kalau begitu" aku menepuk bahu Arzam kemudian kita berdua berlalu dari ruangan tersebut.
Kini aku dan Arzam sudah selesai melaksanakan sholat Dzuhur dan makan siang, selanjutnya kami pergi ke SMA yang tadi Arzam sebutkan.
"Zam" panggilku memecah keheningan.
"Iya Pak" jawab Arzam.
"Menurutmu apa perjodohan itu bagus atau yang terbaik untukku ?"
Arzam terdiam sejenak, ia menatapku melalui kaca kecil yang ada di mobil.
"Saya gak bisa jawab Pak, sebenarnya sih perjodohan jaman sekarang sudah gak tren lagi, tapi saya paham kalau Ustadz yang di jodohkan" lagi-lagi Arzam menatapku di pantulan cermin.
"Memangnya dengan siapa Ustadz akan di jodohkan ?" Tanya Arzam penuh keingin tahuan
"Yuna, kamu kenal kan dengan dia, anaknya Kyai Hairun"
Ceeettttt.
Tiba-tiba saja Arzam menginjak rem secara mendadak, membuatku kaget dan juga bingung.
"Astaghfirullah, ada apa Zam ?" Pekik Ku kaget.
"Astaghfirullah, maafkan saya Pak saya gak sengaja"
"Tidak masalah, asal jangan di ulangi lagi karena ini bahaya. Memangnya tadi ada apa ?"
"Tidak ada Pak, saya gak sengaja menginjak rem"
Keningku mengkerut mendengar jawaban tak masuk akal dari Arzam. Namun karena tak ingin banyak tanya aku hanya mengangguk.
Arzam kembali melajukan mobilnya, hingga tak berapa lama kami berdua sudah tiba di SMA Bina Nusantara.
"Mari Pak" ajak Arzam sesaat setelah aku keluar dari mobil.
Aku dan Arzam berjalan menuju ruangan dimana sering di adakan rapat. Namun tiba-tiba seorang wanita cantik menabrak tubuhku cukup keras.
Aku meringis menahan sakit di dada ku, akibat ulah gadis cantik bertubuh mungil yang saat ini sedang ku tahan tangannya supaya dia tak jatuh.
Astaghfirullah..
Seketika aku tersadar bahwa apa yang telah aku lakukan salah. Aku bersentuhan dengan seorang wanita yang bukan muhrim ku.
"Maaf nona" ucapku segera melepaskan tangannya.
"Awwwww" pekik gadis mungil itu.
"Sekali lagi maafkan saya nona" ucapku lagi..
Gadis mungil itu berdiri "ini bukan salahmu, ini salahku karena berlari dan tidak lihat-lihat"
Aku mengangguk sembari menatap kearah lain.
"Ya sudah kalau anda tidak apa-apa, saya pamit nona, Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" balas gadis mungil itu cukup pelan
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Olin POV...
Saat di umumkan oleh pihak sekolah kalau jam terakhir kosong karena akan ada rapat. Aku, Bela dan Indri menjadi orang pertama yang berada di kantin. Menghabiskan waktu sembari menikmati gorengan yang sudah dingin karena sudah lama di angkat dari penggorengan.
"Setelah lulus pada mau kemana ?" Tanya Indri
"Eh ya, kita belum pernah bahas ini sebelumnya. Setelah lulus dari sini kita masih tetap bareng atau pisah" sahut Bela begitu antusias.
"Harus ya bahas sekarang ?, Kan kelulusan masih lama" cibirku kearah Bela dan Indri.
"Ya harus dong Olin, memangnya Lo belum ada niat gitu mau daftar di Universitas mana ?"
Ucapan Indri di balas anggukan oleh Bela.
"Belum" jawabku singkat, karena memang aku belum ada niatan untuk daftar dimana, karena walaupun aku sudah memilih belum tentu Papa akan setuju, paling ya aku ngikut kemana Papa akan daftarin aku nanti.
"Huuuu, gak asik tau gak..." Indri menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Iya nih" sahut Bela.
Sebelum aku menjawab ucapan mereka, tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku melihat siapa yang menelfon dan ternyata itu Mama. Segera aku menggeser menu hijau untuk menjawab panggilan dari Mama.
"Mama di depan sekolah mu Nak, sini temui Mama"
Jadi tanpa mengucapkan apa-apa aku langsung berdiri kemudian berlari meninggalkan kantin, tak peduli dengan teriakan Bela dan Indri yang memanggil namaku.
"Olin, woy Lo mau kemana ?"
"Ini gorengan belum di bayar"
"Ya Elah, main tinggal aja.. Woy"
Aku sudah tak peduli lagi, terus berlari menjauh. Karena bertemu dan memeluk Mama adalah impian utamaku, betapa aku merindukan sosok wanita yang sudah melahirkan ku ke dunia ini.
Karena terus berlari dengan kencang, sesekali menoleh ke belakang untuk menjawab pertanyaan dari teman-teman sekelas kenapa aku berlari. Hingga aku tak sengaja menabrak seseorang yang begitu membuatku terpanah.
Dia tampan sekali !!!
"Maaf nona" ucapnya sembari melepaskan tanganku.
Akupun terjatuh, tapi aku tak peduli karena suara lembut nya berhasil membuatku luluh.
"Aawwwww" pekik ku kemudian.
Ah sial kenapa aku bersuara seperti itu, harusnya aku bilang saja kalau aku tidak apa-apa
"Sekali lagi maafkan saya nona"
Suara lembut itu kembali kudengar. Rasanya begitu nyaman mendengarnya. Aku pun berdiri dan menatap wajahnya tapi dia justru menatap kearah lain.
"Ini bukan salahmu, ini salahku karena berlari dan tak melihat-lihat" jelasku kemudian
Dia menganggukan kepalanya "ya sudah kalau anda tidak apa-apa saya mau pergi, Assalamualaikum"
Dia langsung berlalu, sementara aku menatap kepergian nya dengan detak jantung berdegup kencang.
"Siapa nama laki-laki itu ?"
"Dia tampan sekali, semoga kelak dia jadi suamiku"
Karena terlalu asik menatap kepergian laki-laki tampan itu yang sekarang sudah tak terlihat lagi, aku lupa kalau ada Mama yang sedang menunggu ku di luar gerbang.
"Astaga Mama"
Kali ini aku tak berlari melainkan jalan sedikit cepat.
"Mau kemana Neng Olin ?" Seorang satpam yang terkenal dengan keramahannya menyapaku.
"Mau menemui Mama pak di luar, kebetulan lagi jam kosong karena para guru lagi rapat"
"Oh begitu, silahkan !"
Olin POV...
...----------------...
"Mama" teriak ku pada wanita paruh baya yang berdiri disamping mobil. Ku percepat langkahku saat Mama merentangkan kedua tangannya.
"Olin kangen banget sama Mama"
"Mama juga nak"
Berulang kali Mama mencium keningku, membuat setetes air mata berhasil lolos di pipik. Namun buru-buru aku menghapusnya tak ingin Mama tau kalau aku habis menangis.
Mama melepaskan pelukannya, dia menatapku sembari tersenyum.
"Anak Mama makin cantik aja"
"Siapa dulu dong Mamanya"..
Aku terkekeh begitupun dengan Mama, kemudian tatapan mataku beralih pada sosok laki-laki yang sudah lama berdiri disamping Mama. Juga seorang anak kecil yang berada dalam gendongan laki-laki paruh baya itu.
Iya itu adalah Papa tiri ku, selama menikah dengan Mama aku tidak pernah suka dengannya, bagiku dia sudah merebut Mama dariku dan Papa..Karena laki-laki itu Mama berubah.
"Sayang salim dulu sama Ayah nak !!" pinta Mama.
Aku hanya menatap laki-laki itu dengan sinis, ia mengulurkan tangannya tapi tak sedikitpun aku membalas.
"Olin"
Aku menoleh kearah Mama, kali ini tatapan mataku berubah. Kesal bercampur marah aku berikan pada Mama.
"Kan Olin udah bilang sama Mama, kalau mau nemuin Olin jangan sama laki-laki ini" ujarku menggebu.
"Yang sopan Olin, dia Ayahmu" bentak Mama.
"Bukan, Aku hanya punya Papa, aku tidak punya Mama"
"Oliin" Kembali Mama membentak, namun ku lihat laki-laki itu merengkuh tubuh Mama, membuatku semakin kesal saja.
"Sudah sayang tidak apa-apa, Mas ngerti kondisi Olin." ucap laki-laki itu. Namun tak sedikitpun aku merasa iba padanya.
"Tapi dia keterlaluan Mas, seperti gak di ajarin tau gak"
"Cukup Ma !!," bentak ku kemudian "Mama bilang aku seperti gak di ajarin, iya memang seperti itu karena Mama dan Papa pisah"
Mama menatapku dengan mata berkaca-kaca, ia ingin meraih tubuhku lagi tapi aku langsung menghindar.
"Maafkan Mama dan Papa sayang, tapi suatu hari nanti Olin pasti ngerti kenapa Mama dan Papa pisah"
"Aku gak mau ngerti apapun, perpisahan Mama dan Papa sudah membuatku sakit"
"Maafkan Mama nak"
Namun kali ini aku tak peduli, sekarang aku memutuskan untuk meninggalkan Mama dan Ayah tiri ku. Kembali memasuki sekolah dengan air mata berderai.
Tak peduli walau Mama masih memanggilku, sejujurnya aku masih merindukan Mama tapi kedatangan Mama bersama laki-laki itu sudah membuatku sakit.
"Loh kok neng Olin nangis ? kan habis ketemu Mamanya"
Ucapan pak Satpam tak ku hiraukan, terus berjalan menuju kantin berharap kedua sahabatku masih ada disana.
Tapi lagi-lagi langkahku berhenti saat melihat laki-laki yang tak sengaja aku tabrak tadi, kali ini aku menatapnya dari jauh.
"Woy"
Seketika aku tersentak kaget, saat kedua sahabatku datang.
"Bikin kaget aja" cibirku.
"Ya lagian fokus amat natap cowok ganteng" seloroh Bela.
"Lo nangis Lin ?" tanya Indri saat bersitatap dengan ku.
"Iya ih, mata Lo bengkak. Lo nangis kenapa ?" Bela pun ikut menatapku.
"Apa sih" Aku buru-buru menatap kearah lain "Gue gak nangis, ini cuman kelilipan"
"Bohong bener sih Lin, udah ketara tuh kalau Lo habis nangis"
"Udah sih pada diam, aku lagi fokus sama cowok itu"
Indri dan Bela kembali mengikuti arah pandang ku, menatap cowok tampan yang belum ku ketahui namanya.
"Jangan bilang Lo suka sama Ustadz Alzan ?" ucap Bela membuatku langsung menoleh.
"Siapa ?, Ustadz ?" tanyaku.
"Iya, dia tuh Ustadz Alzan"
Astaga kenapa seperti ini ?...
"Kok Lo kenal Bel ?" tanya Indri mewakili aku.
"Ya kenal lah, kan rumahku dekat sama pesantren milik Abinya. Aku sering nganterin adik aku kalau mau belajar ngaji sama Ustadz Alzan" jelas Bela
"Kapan adik Lo belajar ngaji lagi Bel ?" tanyaku
"Besok sore, lah memangnya kenapa ?"
"Lo yang anter ?"
"Gak tau sih, kalau Ibu ada kerjaan ya gue yang anter"
"Besok sore lo aja yang anter, gue pengen ikut"
"Apa ?" pekik Indri dan Bela kaget.
"Lo jangan main-main deh, entar dimarah sama Papa Lo gimana" Bela menakuti ku
"Gak bakal, kan Papa gue lagi ke Bandung"
"Lah memangnya lo mau ngapain ikut segala ?"
"Mau ketemu Ustadz Alzan lah" jawabku terkekeh.
"Lin Lo sama dia banyak perbedaan, mending Lo jangan suka sama dia, entar Lo sakit hati" ujar Bela.
Tapi ucapan Bela tak aku hiraukan, karena saat ini laki-laki tampan yang baru ku ketahui namanya itu sedang berjalan mendekat.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Malam harinya...
Jika Papa tidak ada di rumah, itu menjadi kebebasan untukku, karena aku tak perlu belajar dan belajar.
Aku bisa menonton televisi tanpa ada yang mengganggu, atau bermain game di ponsel tanpa takut di marah sama Papa.
Tapi terkhusus malam ini aku sedang tidak ingin menonton televisi untuk mencari drakor kesukaanku, atau bermain game yang baru saja aku download di hp ku beberapa hari yang lalu.
Karena malam ini aku ingin membayangkan laki-laki tampan yang sudah membuatku tergila-gila.
*Astaga...
Ternyata cinta datang secepat ini*.
Tubuhku berguling ke kiri dan kekanan, senyum di wajahku terus mengembang.
"Dia punya medsos (Medis Sosial) gak ya ?"
Buru-buru aku mengambil ponselku, mencari akun Medsos sang Ustadz tampan.
'*Ustadz Alzan'
'Alzan'
'Foto Ustadz Alzan*'
Dan dari semua kata yang aku ketik dan aku cari, tak ada satupun fotonya.
"Masa zaman sekarang gak punya Medsos ?" gumamku tak percaya.
"Coba tanya Bela deh"
Langsung saja ku buka aplikasi kontak untuk mencari nomor Bela, setelah mendapatkan nya aku langsung menghubungi nomor tersebut.
"Halo Bel, selamat malam" sapaku dengan semangat.
"Malam Lin, ada apa ?"
"Mau nanya nih, Lo tau gak akun Medsos ustadz Alzan ?"
"Gak tau Lin, Ustadz Alzan keknya gak punya akun medsos, lah memang buat apaan ?"
"Gue pengen ambil fotonya Bel, buat di pajang di ponsel"
"Astaga Olin, lo benar-benar jatuh cinta sama Ustadz Alzan"
Aku tertawa mendengar ucapan Bela, gak ada salahnya kan kalau aku suka sama pria itu. Aku juga heran kenapa perasaan ini datang begitu saja.
"Dia terlalu dewasa buat kamu Lin. Jadi mending kamu jangan suka sama dia"
Tapi ucapan Bela tak aku hiraukan. Memangnya kenapa kalau aku menyukai Ustadz Alzan. Tidak ada yang salahkan ?.
Bukankah setiap manusia berhak merasakan cinta dan sayang..
"Liiin"
Bela kembali memanggil, membuatku tersadar seketika.
"Iya Bel"
"Besok sore jadi ikut gak nganterin adek aku ngaji, sekalian kita ke tempat lomba futsal sama-sama"
"Jadi dong, besok gue kerumah lo setelah pulang sekolah" ucapku sebelum mengakhiri sambungan telepon
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!