Martha melihat ponsel suaminya dengan rasa yang kuat ingin membukanya. Saat ini suaminya sudah tertidur pulas. Sudah satu Minggu mereka tidak berhubungan secara fisik.
Biasanya suaminya tidak pernah absen berhubungan fisik dalam satu Minggu karena dia tipe pria yang sangat suka dengan urusan yang satu itu.
Martha sudah memakai gaun yang sangat tipis dan transparan, berharap suaminya tergoda untuk menyentuhnya. Namun setelah pulang dari kerja, dia langsung tidur dan terlihat sangat lelah.
Mulai ada rasa kesepian didalam hati Martha karena sikap dingin suaminya. Dalam hatinya mulai ada banyak pertanyaan yang malu untuk dia tanyakan.
Martha menatap wajah suaminya yang sangat dicintainya dengan banyak pertanyaan yang membuat sesak dadanya.
Tiba-tiba dia sudah tidak tahan lagi dan segera meraih ponsel suaminya. Dia mengetahui sandi untuk membuka ponsel itu.
Maka perlahan dia membukanya. Pertama yang dia cari adalah pesan di wa. Dari saja dia akan segera tahu siapa saja orang terakhir yang dia hubungi.
Dengan dada berdebar dan jantung berdetak kencang dia membuka perlahan chatingan terakhir suaminya.
Ada beberapa nama, dan Martha terpaku pada satu nama, nama wanita, karena yang lainya pria.
Martha membuka isi chatingan itu. Dan dada Martha langsung bergemuruh, tanganya bergetar, airmatanya jatuh, hatinya hancur seketika saat dia mengetahui suaminya sering mentransfer uang pada wanita itu.
Namanya Sarita, dia bahkan bertemu dengan wanita itu jam 5 sore. Artinya suaminya pulang kerja langsung menemui wanita itu dan entah apa yang mereka lakukan karena suaminya sampai dirumah jam 9 malam.
Begitu pulang langsung tidur, dan tidak mesra seperti dulu.
Martha menarik percakapan itu kebawah dan terus melihat percakapan sebelumnya. Dan ternyata setiap hari mereka bertemu dan sudah satu Minggu.
Pantas saja, suaminya tidak meminta jatah malam pada dirinya, apakah artinya mereka sudah melakukanya diluar saat suaminya pulang kerja?
Martha lalu keluar dan mencari baju suaminya, dia mencium aroma parfum yang menempel di baju yang terakhir dipakai.
Ternyata baunya wangi parfum wanita, lalu dia melihat ****** ***** suaminya yang basah oleh cairan kental yang membekas seperti noda.
Saat itulah hati Martha tercabik dan tersayat. Dia hanya bisa menangis membayangkan suaminya telah mengkhianatinya dibelakangnya.
Martha melempar celana itu dan kembali duduk diranjang.
Dia mengambil pisau dapur dan akan diarahkan pada jantung suaminya. Tanganya menggenggam pisau itu sangat erat dan ujung pisau yang tajam tepat kearah jantung suaminya.
Tapi wajah kedua anaknya terlintas dibenaknya. Jika dia membunuh suaminya, dia akan masuk penjara. Lalu siapa yang akan mengurus kedua buah hatinya?
Lama pisau itu tertahan ditanganya dengan posisi siap ditancapkan.
Bayangan Tegar, nama anaknya yang pertama dan Luci anaknya yang kedua melintas dihadapanya.
Martha melempar pisau itu ke tembok dan membuat kaget suaminya yang sudah tidur pulas dari tadi.
"Ma...belum tidur? Suara apa itu?" tanya suaminya sambil membuka matanya. Martha segera menaruh ponsel itu dan membalikkan punggungnya.
Dia sedang hancur dan menangis. Dia berusaha menyembunyikan airmatanya dari suaminya.
"Ma...kok belum tidur?" tanya Brigit dengan menatap punggung istrinya.
Brigit meraih tangan istrinya dan menarik tubuhnya. Sekarang istrinya tepat ada diatas tubuh Brigit. Dan bekas mata itu masih basah. Beberapa bulir juga terus mendesak keluar dari sudut matanya tanpa mampu dia hentikan.
"Ma....kamu menangis? Ada apa? Kenapa menangis?"
"Tidak papa...aku mau tidur...." kata Martha dan untuk pertama kalinya dia merasa risih disentuh oleh suaminya.
Bayangan chatingan dengan wanita lain terus terbayang diwajahnya. Bahkan akalnya ikut membayangkan saat suaminya mungkin sudah melakukan perselingkuhan dan tidur dengan wanita bernama Sarita.
"Ma...jika ada masalah katakan saja. Jangan dipendam sendirian..." kata Brigit membalikkan tubuh Martha yang memunggunginya.
Tubuh Martha menjadi kaku dan tidak mau bergeming, bahkan saat Brigit menarik ke pelukanya, Martha tetap berusaha untuk bertahan pada posisinya.
Brigit menjadi putus asa. Dia lalu memeluk istrinya dari belakang dan menciumi rambutnya. Tangannya masuk kedalam baju tidur Martha. Menggerayangi seluruh titik sensitif miliknya, namun kali ini Martha enggan untuk melayaninya.
Dadanya malah bertambah sesak teringat pada apa yang mungkin dilakukan Brigit bersama Sarita.
Tangan Martha menahan tangan Brigit dan mengeluarkan dari balik bajunya.
"Sudah mas, aku mau tidur...." kata Martha.
"Tapi...sudah satu Minggu kita tidak berhubungan...aku ingin....ma...." kata Brigit membuat hati Martha berdarah dan hancur.
"Kamu marah ya ma...kenapa?" tanya Brigit masih merayu istrinya.
Kali ini Martha tidak bisa menahan airmatanya dan dia menangis meraung dan membuat Brigit sangat terkejut.
Hua hua hua!
Hiks hiks hiks!
"Kenapa ma?"
"Pah...jujur...aku...aku ingin kamu jawab dengan jujur pah..."
"Ada apa ma? Jangan terlalu kencang nangisnya, ayo kita bicarakan baik-baik, nanti anak-anak dengar." kata Brigit meraih Martha dan ingin memeluknya.
Tapi Martha bersikeras tidak mau dipeluk olehnya sebelum mendapatkan jawaban yang dia inginkan.
"Buka ini mas....siapa dia siapa dia?!" tanya Martha memberikan ponsel suaminya padanya agar dia membuka dan menjelaskan semuanya.
"Kamu membuka ponsel papa ya ma?" tanya Brigit dan tidak dijawab oleh Martha.
"Iya. Aku membukanya karena aku curiga dengan sikapmu pa. Kamu berbeda beberapa Minggu ini. Aku sebagai istrimu bisa merasakan dinginnya sikapmu pa. Lalu aku membukanya, dan meyakinkan diriku jika kecurigaanku itu tidak pernah terbukti. Tapi apa? Kau chatingan dengan wanita lain dan kau sering mengirim uang padanya?"
"Ma....." Kata suaminya tidak jadi membuka ponselnya karena ternyata istrinya sudah tahu semuanya.
"Aku berharap itu hanya prasangkaku saja. Dan aku tetap berharap itu semua tidak pernah terbukti. Tapi kau....kau mengkhianati kepercayaanku pa. Aku tidak menyangka kamu tega melakukan itu. Kita sudah punya Tegar dan Luci. Tapi kenapa kau mengkhianati pernikahan kita pa? Kenapa!?"
Teriakan histeris Martha tidak terkendali. Airmatanya mengalir semakin deras.
Suaminya hanya diam dan menaruh ponsel itu lagi.
"Ma....papa minta maaf. Papa khilaf ma...."
"Kamu tega pa.... kamu tega. Mama bekerja keras setiap hari demi membantumu agar kita berkecukupan. Tapi kau...kau memberikan uangmu pada wanita lain? Kamu sangat menyakitiku pa....hu hu hu..."
Brigit bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Dia telah melukai perasaan istrinya, dan dia telah mengkhianatinya. Dan istrinya sudah mengetahui semuanya.
"Ceraikan aku pa! Kita bercerai saja! Untuk apa hidup bersama tapi aku sudah tidak percaya lagi padamu. Kau juga sudah mengkhianatiku...aku ingin kita bercerai pa!" kata Martha ditengah isak tangisnya.
"Ma...pikirkan anak-anak, jangan berkata sembarangan." Kata Brigit dengan wajah linglung.
Brigit menatap wajah istrinya lalu merengkuhnya kedalam dadanya. Kali ini Martha terisak dan memukul dada suaminya dengan kedua tangannya.
"Kenapa kau mengkhianati ku? Apa kurangnya aku padamu pah? Aku berusaha menjadi istri yang baik dan setia, aku bahkan membantu meringankan bebanmu dengan bekerja, tapi kau membuat hatiku terluka...." kata Martha lalu berjalan dan menjauhi suaminya.
Suaminya diam dan tidak melakukan pembelaan apapun, seakan tahu jika dilayani maka akan terjadi ribut besar.
Martha berjalan dan melihat pisau yang tergeletak dilantai lalu memungutnya. Dia keluar dari kamar dan berjalan kedapur.
Menaruh pisau itu dan menatapnya sekali lagi. Rasa sakit, yang kau berikan, sama seperti rasa saat tertusuk oleh pisau ini.
Tiba-tiba, anaknya memanggil dari kamarnya.
"Mah, mamah...." Martha berlari kekamar anaknya. Anaknya menangis dan memanggil namanya.
"Mah, Lucy mimpi buruk, mama temenin Lucy disini ya..." kata Lucy anaknya yang berusia 7 tahun.
"Iya sayang, mama akan tidur disini, berdoa dulu sebelum tidur, agar tidak mimpi buruk," kata Martha sambil rebahan disamping Lucy.
Lucy tersenyum lucu dan mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Setelah itu menatap wajah ibunya. Senyumnya menjadi hilang seketika saat menatap mata ibunya.
"Mah, apakah mama juga mimpi buruk? Kok mata mama berair? Mamah sama kayak Lucy ya? Menangis saat mimpi buruk?" tanya Lucy polos.
Martha segera tersenyum dan menyembunyikan kesedihan yang saat ini dialaminya.
"Tidak sayang, mama tidak mimpi buruk, tadi saat didapur, mata mama kelilipan," kata Martha mengedipkan matanya berulang kali seakan dia benar-benar kelilipan.
"Ohh mamah jangan kemana-mana ya, Lucy mengantuk..."
"Ya udah, mama usap dahinya ya...biar cepat bobo," kata Martha sambil salah satu tanganya mengusap dahi Lucy hingga putri kecilnya tertidur.
Setelah putrinya tertidur, dia menatap wajah polos tak berdosa itu dengan rasa trenyuh.
Martha menatapnya dan teringat pada masa kecilnya.
Dulu,
Saat dia masih duduk dikelas 2 SD, dia mulai mengerti ada yang berbeda dari dirinya. Dia adalah gadis pemalu dan pendiam. Semua itu tidak terjadi tanpa sebab.
Alasan semua itu terjadi dan membentuk karakternya adalah karena kedua orang tuanya tidak harmonis. Mereka sering bertengkar karena uang dan perbedaan prinsip.
Setiap hari, Martha kecil selalu ketakutan setiap kali mereka meninggikan suaranya dihadapanya.
Dia menarik nafas panjang karena teringat saat harus memilih antara ikut ayah, atau ibunya, ketika mereka memutuskan bercerai.
Sekarang dihadapanya, gadis kecil buah dari pernikahannya juga sedang membuatnya dilema.
Antara bercerai dan bertahan.
Lama dia memikirkan keputusan apa yang akan dia buat besok pagi untuk kesalahan yang sudah dilakukan suaminya.
Tidak terasa dadanya semakin sakit dan sesak. Airmatanya mengalir lagi tanpa dia sadari.
Kesalahan sudah dilakukan. Hanya dia harus memilih untuk memaafkan atau melepaskan.
Semua sudah terjadi didepan matanya. Suaminya juga sudah mengakui jika dia khilaf. Cukupkah pengakuannya dan permintaan maafnya, untuk membuat suaminya tidak akan melakukan kesalahan lagi setelah dia memilih untuk memaafkan.
Akhirnya Martha tertidur dan bangun di pagi hari.
Dia bangun lalu menyiapkan sarapan dan baju ganti untuk suaminya.
Dia sudah memikirkan langkah apa yang akan dia ambil setelah semalaman memikirkanya.
Brigit keluar dari kamar dan sudah siap untuk sarapan. Dia berjalan kedapur dan melihat Martha sedang mengambil piring.
Brigit berjalan mendekatinya dan memeluknya dari belakang, seolah menyiratkan dia tidak mau kehilangan istrinya.
Martha memejamkan matanya dan menarik nafas berat. Dia diam, membiarkan Brigit memeluknya beberapa menit tanpa saling berbicara.
"Apakah sarapannya sudah matang?" tanya Brigit berbisik ditelinga Martha.
"Ehm, sudah pah, ayo sarapan, anak-anak juga sudah siap," kata Martha lalu Brigit membalikkan badannya dan mereka berdiri saling berhadapan.
Brigit memegang pinggang Martha dan menariknya kedalam pelukannya. Lalu dia mencium kening istrinya.
Setelah itu, mereka berjalan ke meja makan. Dua anaknya sudah duduk disana dengan tas sekolah disamping mereka.
"Mah, pah, hari ini Tegar ada piket pagi, bisa berangkat pagian?" tanya Tegar menatap papanya.
"Ya, papa akan mengantarmu baru pergi bekerja," kata Brigit yang bekerja sebagai staf disalah satu perusahaan impor daging dengan gaji umr.
"Lucy biar mama yang antar, kamu berangkat setelah papa dan kakakmu ya..."
"Iya mah," jawab Lucy lalu memegang tangan kedua orang tuanya dan berkata dengan kepolosannya
"Mah, kemarin teman Lucy orang tuanya tidak tinggal bersama lagi. Mereka katanya putus, mama sama papa jangan putus ya...Lucy tidak mau berpisah dari papa juga mama..." kata Lucy dengan nada dan intonasi keluguannya.
Brigit menatap Martha dan menggenggam tangan istrinya.
"Tidak, kita akan tetap bersama selamanya..."jawab Martha dan diiringi anggukan oleh Brigit.
Martha lalu tersenyum dan mengambilkan nasi serta lauk untuk suami serta anaknya.
Mereka makan dan suasana sarapan terasa berbeda dari biasanya bagi Martha serta Brigit. Mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing.
Brigit mengantarkan Tegar ke sekolah, dan disana dia bertemu dengan wanita yang bernama Sarita. Brigit sangat terkejut begitu pula Sarita.
Sarita dengan cepat berjalan kearah Brigit yang akan menyalakan motornya.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Brigit pada Sarita.
"Anakku sekolah disini mas," kata Sarita.
"Apa?" Brigit sangat terkejut dan tidak pernah menduganya jika anaknya Tegar ternyata satu kelas dengan anak perempuannya Sarita.
"Aku ikut mas, aku sekarang bekerja dibutik dekat dengan kantormu,"
"Apa?" Brigit lagi-lagi terkejut karena selama ini dia tidak pernah bertanya dimana tempat tinggal Sarita dan dimana dia bekerja.
"Iya mas, aku dan mas Johan baru saja bercerai, aku hamil mas, dan ini adalah anakmu," kata Sarita dan membuat langit seakan runtuh menimpa kepala Brigit pagi itu.
Dunia seperti berhenti berputar dan dia merasa dadanya sesak karena shock mendengar pengakuan Sarita.
Sarita hanya menatap Brigit dan berharap dia bertanggung jawab pada apa yang sudah dia lakukan bersama.
Sarita menunggu jawaban dari Brigit untuk memperistrinya.
"Gimana mas, kapan kita akan menikah?" tanya Sarita menuntut pertanggungjawaban Brigit.
Brigit mengajak Sarita naik keatas motor. Sebelum naik ke motor, Brigit menoleh kekiri dan ke kanan.
Dia memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Namun Tegar, sempat menoleh dan melihat ibu dari temannya, membonceng ayahnya.
Tidak ada yang Tegar pikirkan selain, mungkin ayahnya memberikan tumpangan pada ibu dari temannya itu.
Sampai dibawah pohon motor itu berhenti. Jauh dari gedung sekolah maupun kantor Brigit.
Masih ada waktu 15 menit sebelum jam masuk kantor. Brigit ingin berbicara 4 mata untuk masalah yang sangat serius ini.
Brigit turun lalu diikuti dengan Sarita. Ada penjual es kelapa muda yang baru akan buka. Maka mereka duduk dikursi itu.
"Mas,aku hamil mas," kata Sarita sambil menatap tajam pada mata Brigit.
"Sarita,kenapa kau sampai hamil? Harusnya kau lebih hati-hati. Sekarang bagaimana?" kata Brigit.
"Kok malah bagaimana. Gimana sih mas? Aku hamil, ya kita harus menikah," kata Sarita.
"Aku belum siap Sarita."
"Jangan bilang begitu mas. Karena hubungan kita, aku diceraikan suamiku. Sekarang aku hamil anakmu, masa kamu tidak mau bertanggung jawab?" Sarita mulai meninggikan suaranya.
"Aku masih punya Martha. Dia kemarin marah karena tahu kalau kita punya hubungan. Jika sampai tahu kau hamil, dia akan marah besar," terang Brigit membayangkan kemarahan Martha padanya jika sampai tahu hal ini.
"Itu sudah resiko mas. Kita harus menghadapinya. Mati temui mbak Martha dan katakan jika aku hamil." Kata Sarita.
"Tidak bisa begitu Sarita, kau membuatku bingung sekarang," kata Brigit panik.
"Mas, kita melakukan semuanya secara sadar, kamu mencintaiku kan mas?" tanya Sarita.
"Tapi aku tidak menyangka kau sampai hamil. Harusnya kau minum pil atau apa yang membuatmu tidak hamil."
"Mas, jangan hanya menyalahkan aku saja. Sudahlah mas. Jangan saling menyalahkan. Kita akui kesalahan kita didepan astrimu mas. Lalu kita menikah,"
"Tidak semudah itu Sarita. Istriku akan menolaknya. Kau pikir dia akan membiarkan aku menikah lagi? Untuk mencukupi kebutuhan dirinya saja aku masih kurang. Apalagi menanggung biaya dua istri. Uang dari mana Sarita?" Kata Brigit memegang kepalanya.
Karena suaranya yang tinggi, penjual es kelapa sampai menikah lalu mengalihkan pandanganya lagi dan pura-pura sibuk.
"Masalah biaya, tidak usah kau pikirkan Mas. Aku akan bekerja. Tapi aku ingin menjadi istrimu mas. Aku mencintai kamu. Aku akan membiayai hidupku sendiri. Tapi, nikahi aku mas," kata Sarita membuat Brigit terbelalak.
Wanita ini menuntut dinikahi tanpa menuntut nafkah. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Gimana mas? Bisa kita menikah?" tanya Sarita membuat beban masalah nafkah dibagi Brigit agak longgar.
"Akan aku pikirkan. Aku harus bicara dulu sama Martha.
"Jangan lama-lama mas. perutku semakin membesar," kata Sarita.
"Ya, sekarang aku harus ke kantor. kamu sebaiknya aku antar sampai gerbang itu. Tidak enak jika ada yang lihat,"
"Iya mas," kata Sarita lalu naik keatas motor. Tanganya memegang erat perut serta pinggangnya Brigit.
Bahkan tangan nakalnya turun kebawah dan sengaja menyenggol milik Brigit.
Wanita ini, benar-benar membuatku kelimpungan, gumam Brigit.
Sarita turun digerbang seratus meter dari kantor Brigit.
"Aku turun sini mas," kata Sarita.
"Hati-hati," kata Brigit.
"Mas, pulangnya nanti Bareng ya, aku kangen," kata Sarita.
Brigit menatap Sarita sambil berfikir.
"Iya, kau tunggu ditempat biasa. Nanti aku akan kesana,"
"Iya mas," Sarita lalu berjalan kaki ke tempat kerjaannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!