NovelToon NovelToon

Wanita Pilihan Ibunya

Bab 1. Menjadi Umpan

Halo Pembaca yang Budiman, semoga suka dengan ceritaku kali ini dan semoga terhibur ...! Happy reading!

Bau anyir darah begitu menyengat tercium oleh Lintani Syahrain di kamar gelap yang dimasukinya. Ia diperintahkan untuk bertahan di sana walaupun aroma tidak sedap itu membuatnya mual.

“Tolong! Keluarkan aku dari sini!” kata gadis itu sambil memukul-mukul daun pintu yang terbuat dari kayu tua, dindingnya pun terbuat dari bahan kayu yang, sama kuat dan kokohnya dengan batu bata.

Ia ingin mengeluarkan isi perutnya, tapi, pintu kamar terkunci dari luar oleh dua pria bertubuh besar yang membawanya ke tempat itu. Alhasil, ia menahan sekuat tenaga agar tidak muntah di sana.

“Kau harus tetap di dalam, sampai ada orang yang datang ke sini!” teriak seseorang dari luar, sebelum akhirnya orang itu pun pergi.

“Tolonglah! Aku mau muntah!” teriaknya lagi, tapi, tidak ada sahutan apa pun dari balik pintu, membuatnya lemas dan tubuhnya melorot ke lantai.

Lintani, demikian gadis itu biasa dipanggil, ia terpaksa melakukan perintah kalau masih ingin selamat dari ancaman yang akan mengeluarkan matanya secara paksa, oleh orang-orang suruhan Luxor.

Semangat Lintani untuk tetap hidup sangat tinggi karena ia ingin menemukan ibunya, demi mendapatkan jawaban, mengapa wanita yang sudah melahirkannya itu menjualnya.

Kehidupannya sangat susah, selama bersama keluarga Lux--yang telah membelinya dari sang ibu. Ia menjalani penderitaan yang tak berkesudahan sampai saat ini. Sudah berulang kali ia berusaha lari tapi, setiap kali itu pula ia tertangkap. Keluarga Lux selalu mengancam tidak akan memberikan alamat di mana ibunya berada jika ia mengulanginya lagi.

“Kemarilah!” kata sebuah suara berat dan serak yang terdengar secara tiba-tiba membuat Lintani terkejut.

Gadis itu segera berdiri, sambil berkata, “siapa kamu?”

Hatinya dipenuhi rasa takut, tubuhnya gemetar dan bulu kuduknya meramang membayangkan suara itu berasal dari makhluk menyeramkan yang siap menerkamnya hidup-hidup.

“Kamu tidak perlu tahu siapa aku!” kata suara itu lagi.

Lintani meraba-raba dinding di sekitarnya sambil berharap menemukan saklar lampu untuk menemukan cahaya hingga ia bisa melihat ruangan serta orang yang berbicara.

Ia sadar bahwa dirinya harus siap mati saat Luxor, ayah angkatnya itu memberi perintah menggantikan Haifa. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan saudara angkatnya hingga terjebak dalam situasi yang mengerikan seperti ini.

“Kemarilah! Jangan sampai aku menyuruhmu dua kali! Pela cur!” kata suara itu lagi.

Gadis berumur dua puluh tahunan itu membeku tak berkutik, saat tiba-tiba sebuah tangan kuat menarik tubuhnya dalam pelukan seorang laki-laki yang ternyata sudah bertelanjang dada.

Lintani tidak peduli dirinya disebut pelacur atau sebutan lain yang lebih buruk, dia sudah pernah mendapatkannya sejak bersama keluarga Lux. Apalagi percuma saja membantah sebuah perintah, bagi orang yang hampir dijemput kematian seperti dirinya.

Pria itu tertawa keras, sambil melucuti pakaian Lintani satu persatu.

“Jadi, kamu pela cur yang disuruh mereka untuk melayaniku sekarang?” kata pria asing yang suara beratnya menggema dalam gelap.

Lintani yakin dalam hatinya jika dari pria itulah aroma darah menyengat berasal, mungkin ia dalam kondisi mabuk berat atau terluka parah dan hampir tiada.

“Tuan, apa Anda terluka?” tanya Lintani terdengar prihatin, sedangkan orang yang ditanya tidak menjawab dan justru sibuk melucuti pakaiannya sendiri.

Mereka sama-sama tidak bisa melihat dalam kegelapan, tapi, pria itu bisa merasakan ketidakberdayaan wanita dalam kungkungannya yang sama sekali tidak melakukan perlawanan, saat digagahinya.

Dalam kegelapan, pria itu menyeringai, betapa pandainya orang-orang yang sudah menjebaknya, mereka mengumpankan seorang wanita lemah, bahkan masih perawan.

Mungkin hal itu wajar karena ia hampir tiada sehingga mereka memberinya umpan yang manis untuk terakhir kalinya. Bukankah mereka terlalu baik? Dasar bedebah sialan! Umpatnya dalam hati.

Lintani merasakan ketidakberdayaan yang nyata, saat diumpankan untuk menjadi pengganti Haifa. Ia tidak menyangka bila akan diperlakukan seperti binatang.

Ia lebih baik mati dari pada mengalami hal seperti sekarang. jauh lebih buruk dari kematian. Ia hanya mengutuk keluarga lux dalam hati Bagaimana tidak lebih buruk, jika yang harus dia berikan bukanlah nyawa melainkan kehormatan? Kehilangan mahkotanya sama saja memberinya rasa putus asa, malu, serta kehancuran seumur hidup.

Pria itu kini tengah merenggutnya orang asing yang tidak terlihat, bahkan saat sekarat pun bisa melakukan sampai mendapatkan kepuasan. Sebenarnya siapa Dia? Lintani hanya bisa bertanya dalam hati sedangkan raganya seperti boneka, yang diam saat tubuhnya dibalikkan berulang kali dengan berbagai posisi di atas dan di bawah perutnya.

Sekuat tenaga Lintani menahan mual, sementara pria itu mengeluarkan suara aneh dari kerongkongan, yang untuk pertama kali didengarnya.

Malam ini adalah kejadian terburuk setelah dijual ibunya dan menjadi anak angkat keluarga Lux. Selain itu ia adalah pengemis di tempat-tempat keluarga kaya berkumpul, demi meminta derma, dari penghasilan itulah keluarga angkatnya. Oleh karena itu ia sangat membenci Viana Hims yang telah tega menjualnya dan, secara tidak langsung membuatnya diperlakukan seperti gelandangan di jalanan.

Lintani terdiam di sudut kamar saat pria itu selesai lalu, memakai pakaiannya dengan susah payah, setelah berhasil menyingkirkan pria yang tertidur dan tidak bergerak sama sekali di atas tubuhnya.

“Tuan! Apa kau benar-benar sudah mati?” tanya Lintani sambil menyenggol pria itu dengan kaki tapi, pria itu tetap tidak bergerak.

Ketakutan lebih hebat menjalari, seolah merajam tubuhnya dengan duri sedikit demi sedikit, ia bukan hanya bersimbah darah dari area sensitifnya tapi juga darah dari tubuh pria itu melekat di beberapa tempat.

Ia bertanya-tanya, apakah akan dipersalahkan atas kejadian ini, ataukah memang ini tujuan dari Luxor mengutusnya pergi menggantikan Haifa? Biar bagaimanapun juga, Haifa adalah gadis manis yang harus dilindungi oleh ayahnya, walaupun harus mengorbankan seorang gadis lainnya.

Lintani ingin keluar tapi pintunya terkunci sehingga dia hanya meringkuk di sudut kamar, dengan air mata menjadi teman yang sama sekali tidak bisa menolongnya.

Beberapa jam setelah pergumulan mereka, Lintani merasa punya harapan karena mendengar suara-suara di luar pintu. Ia segera beranjak, sambil menghapus sisa air mata yang tidak bisa berhenti mengalir. Namun, karena gelap dan terburu-buru saat berjalan, ia menginjak benda tajam yang menyebabkan kakinya terluka.

Lintani mengambil dan meraba sesuatu di tangannya hingga ia tahu bahwa, benda itulah yang membuat pria asing terluka dan kehilangan nyawa, bahkan melukai kakinya. Kini ia harus berjalan dengan pincang dengan kaki yang berdarah. Penampilannya seperti orang yang baru keluar dari tanah berlumpur.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan masuklah beberapa orang berseragam keamanan lengkap menyergap sambil menodongkan senjata, ke arahnya. Lintani terkejut bukan kepalang, sementara benda tajam itu masih berada di tangannya.

Bersambung

❤️jangan lupakan like dan komentarnya ❤️🙏

Bab 2. Dia Ayahku

Dia Ayahku

Lintani duduk di kursi mobil tahanan polisi dengan tangan terikat dengan besi ringan berbentuk bulat yang biasa dipakai polisi untuk menahan penjahat. Ia dijaga dua orang bertubuh kekar yang berdiri di luar. Keadaan masih sedikit gelap, saat ia melihat pria itu dibawa dengan tandu dan dimasukkan dalam mobil jenazah.

Harapannya ingin melihat sosok pria yang sudah merenggut keperawanannya, sia-sia. Ia pria kuat yang kini telah tiada. Bagaimana tidak kuat jika dalam keadaan sekarat saja, ia mampu melakukan persetubuhan itu beberapa kali pada Lintani, dan apa yang dilakukan pria asing sangat menyakitkan dan berbekas begitu dalam.

Gadis itu menitikkan air mata untuk kepergiannya karena tidak berdaya. Seandainya tidak tertekan oleh keluarga Lux, mungkin ia akan menghancurkan jenazah pria itu sekarang juga.

Lintani terus menatap kepergian mobil jenazah yang berjalan menjauh dari balik kaca jendela, saat itu pula ia melihat Luxor dan Rauja—istrinya, dalam hati Lintani bertanya-tanya, untuk apa mereka ada di sana? Apakah mereka ingin menolongnya, atau hanya memastikan jika dirinya benar-benar tertangkap?

“Pak! Tolong keluarkan saya!” kata Lintani sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil, dia di sekap di dalamnya setelah seorang polisi memberikan banyak sekali pertanyaan padanya.

“Pak! Tolonglah!” sekali lagi dia meminta agar para penjaga itu memberinya kesempatan untuk bertanya pada ayah angkatnya, kenapa ia dipersalahkan atas perbuatan yang tidak dilakukannya.

Polisi yang menanyainya tadi, selalu bertanya tentang belati kecil yang ada di tangannya, karena itu adalah bukti yang nyata jika Lintani pelakunya.

“Pelaku, apa?” tanya Lintani saat polisi menyebut dirinya sebagai satu-satunya tersangka.

“Pelaku pembunuhan!”

“Bukan aku! Pisau ini bukan punyaku!” Tiba-tiba dia menyesal, sudah mengambil benda itu dari kakinya dan melemparkannya begitu saja.

Ia lalu membiarkan darah terus keluar dari kakinya dan berharap jika darahnya habis, akan membuatnya tiada. Senang rasanya bisa bertengkar dengan pria asing itu di negeri akhirat sana.

“Demi Tuhan aku tidak melakukannya!” Elak Lintani tegas bahkan dengan berurai air mata.

“Kamu tidak bisa mengelak, sidik jarimu jelas ada di sana!”

Seketika Lintani diam, ia tidak bisa membantah bukti itu, meski sekeras apa pun ia mencoba membela diri, tidak akan ada yang percaya. Tubuhnya bersimbah darah, pakaian acak-acakan, tangan dan kakinya berdarah, membuktikan jika dia melakukan perlawanan sebelum akhirnya berhasil melenyapkan si orang asing. Itu bukti yang nyata, kan?

Bahkan orang awam pun bisa menilai dengan tepat saat melihatnya demikian. Mereka tidak akan percaya dengan apa pun yang ia katakan termasuk jika ia sebenarnya dipaksa.

Bukankah manusia selalu lebih mudah menilai apa yang mereka lihat dan rasakan, dari pada menelaah lebih dalam, saat menilai sikap dan perbuatan orang lainnya.

Lintani terus memohon pada penjaga agar diberi kesempatan untuk menemui ayah dan ibu angkatnya. Mereka secara kebetulan atau sengaja ada di tempat kejadian perkara. Seingatnya, lokasi rumah kecil dari kayu itu, sangat jauh letaknya dari jalan Raya, apalagi dari rumah mereka.

Gadis itu melihat sekeliling tempat persembunyian para bandit, terletak di dataran tinggi, dan hanya ada satu jalan setapak yang jarang di lewati orang. Hal ini membuatnya heran, bagaimana Lux dan istrinya bisa berada di tempat seperti ini?

‘Apa mereka semua terlibat?’ pikir Lintani.

Lintani tidak bisa mengelak dari pikiran buruk saat ia mengikuti perintah dari dua orang pria, yang menjemputnya di tempat kerja. Ia bekerja menjadi pengemis di Mall tempat para sosialita berkumpul malam itu. Ia sudah terkenal menjadi gadis miskin yang rela melakukan apa saja demi uang dari para sosialita.

Semakin banyak uang yang ia dapatkan, semakin senang keluarga Lux kepadanya dan ia akan mendapatkan jatah makan.

“Kamu harus menggantikan posisi Haifa malam ini!” kata Luxor saat meneleponnya.

“Menggantikan sebagai apa, Tuan Lux?” Dia tidak tahu maksud ayah angkatnya untuk menggantikan Haifa, apakah menjadi bintang terkenal seperti Haifa saat ini?

“Ikuti saja dua orang itu dan jangan banyak bertanya!”

Lintani masih ingin bertanya, tapi, telepon genggamnya mati begitu saja.

“Halo! Tuan Lux! Menggantikan apa maksud Anda?” tanya Lintani heran. Tapi tidak ada jawaban.

Ponsel yang dia miliki adalah telepon genggam model lama yang sudah tidak laku lagi jika dijual di pasaran, benda itu sering mati dan layarnya sudah retak. Semua gara-gara Haifa pernah membantingnya

Beberapa hari yang lalu gadis itu marah padanya, hanya karena cemburu. Ada pemuda anak dari salah seorang sosialita, yang tiba-tiba mendekati Lintani saat gadis itu melakukan aksi mengemisnya, pria tampan itu menanyakan siapa namanya.

Dia heran, bagaimana Haifa bisa tahu kejadian yang melibatkan perasaannya saat itu, apakah mereka selalu mengawasinya walaupun sedang meminta-minta?

Oleh sebab itu, sekarang Lintani selalu berdandan lebih jelek dan Rauja melarang dirinya sendiri jatuh cinta pada siapa pun, demi menjaga hati Haifa. Setidak-tidaknya dia menjaga dirinya sendiri agar tidak mati, juga demi sekolahnya agar tidak berhenti.

Ia butuh ijazah demi masa depannya agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan mandiri, ia harus mengumpulkan uang banyak sebagai modal jika ingin mencari Viana—ibunya. Selain itu ia ingin membebaskan diri dari keluarga Lux agar tidak ditindas lagi.

Seperti malam itu, Lintani merasa begitu tertindas saat kedua pria kekar menjemput dan mengancamnya untuk bertahan dalam kamar gelap. Sebab kalau tidak, mereka akan membunuh dan menjual jantungnya. Ia tidak ingin mati dalam keadaan penasaran karena tidak bisa menyelesaikan kuliah dan mencari ibunya.

Namun, nyatanya kini ia harus dipenjara, yang artinya tidak akan pernah menyelesaikan kuliahnya atau menggapai cita-cita, tidak akan ada yang mau memperkerjakan seorang narapidana? Tiba-tiba ia menghapus sebuah catatan dalam hati, tentang tekad untuk mencari Viana, mungkin wanita itu memang sengaja membuang anaknya.

“Kamu tidak punya hak untuk meminta apa pun di sini!” kata penjaga itu saat Lintani tengah memohon lagi.

“Apa Anda lihat, pria yang berdiri dekat pohon itu?” Lintani bertanya, sambil menunjuk ke satu arah dengan tangan yang terikat di mana Luxor berada tak jauh dari mereka.

“Pak! Bisakah Anda memintanya ke mari? Dia Ayahku, aku yakin dia tahu sesuatu, karena aku tidak melakukan pembunuhan!” kata Lintani lagi sambil berusaha membuka pintu tapi, tidak berhasil, pada saat itu ia sangat ketakutan.

Ini untuk pertama kalinya ia memanggil Luxor dengan sebutan ayah, sebab biasanya, pria itu akan mengizinkan memanggil ayah saat acara sekolah saja, di mana gadis itu menjadi juara di kelasnya.

“Kamu bisa mengoceh sesukamu, nanti, di pengadilan! Di sini tidak ada yang punya hak bicara kecuali penyidik perkara!” sahut penjaga dengan kasar.

“Tapi, Pak, kumohon!” kata Lintani sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

“Diam! Kau pembunuh!”

Lintani diam sejenak, lalu, dia bertanya ....

“Apa Anda tahu, siapa pria yang telah kubunuh?”

“Nah, akhirnya kamu mengakui dengan mulutmu sendiri, kalau kamu benar-benar pelakunya, kan?”

“Tapi, aku tidak ....”

Bersambung

Bab 3. Janji Setulus Hati

Janji setulus hati

“Tutup mulutmu! Katakan semua alasanmu di pengadilan nanti!” kata penjaga itu lagi dengan kekasaran yang sama.

“Tapi, Pak! Saya benar-benar tidak bersalah, bahkan saya ditiru pria itu!”

Penjaga itu tertawa terbahak-bahak, lalu, berkata lagi.

“Kamu pikir aku percaya kalau orang mati bisa berdiri?”

Setelah pria itu selesai bicara, seorang temannya memberi isyarat agar dia masuk dan mengemudikan mobil menuju penjara. Semua masalah di tempat itu sudah selesai, hanya menunggu penyelidikan selanjutnya.

Saat mobil yang ditumpanginya melintasi Luxor dan Rauja, Lintani menoleh dan ingin sekali berteriak, tapi, demi melihat seringaian licik yang ia lihat di bibir suami istri itu, ia pun mengurungkan niatnya. Ia sadar sudah masuk ke dalam perangkap keluarga itu demi Haifa.

Lintani tidak mungkin mengatakan di pengadilan jika Haifa yang seharusnya ada di posisinya saat ini.

Haifalah pelaku yang sebenarnya, gadis polos, cantik, lemah lembut dan terkenal di dunia hiburan itu adalah seorang pelaku pelenyapan dan mengumpankan orang lain untuk menggantikannya. Siapa yang percaya?

Lintani memejamkan mata, membayangkan kehidupannya di penjara, dan merelakan mimpi serta keinginannya untuk menyelesaikan pendidikan dan mencari ibunya. Ia bukan putus asa, tapi ia tidak berani bermimpi lagi setelah semua yang terjadi malam ini.

Tidak ada yang bisa dia salahkan selain dirinya sendiri, nasib membawanya ke dalam sebuah perahu karam yang berada di tengah laut tanpa nakhoda, dia sendiri menjadi penumpangnya. Sementara orang tua yang seharusnya bertanggung jawab, pergi entah ke mana. Membiarkan anak perempuan itu dalam naungan badai derita ciptaan keluarga Lux, menjadi pemuas napsu orang asing yang tidak di kenal bahkan dinilai mati ditangannya.

*****

Penjara adalah rumah bagi Lintani bersama ribuan Nara pidana wanita lainnya yang dituduh bersalah. Ia harus menghabiskan waktu selama delapan tahun di balik jeruji besi demi menebus semua perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.

Saat ini, Lintani tengah terdiam di kasur tipis tempat tidurnya, sambil memikirkan nasibnya yang sudah melalui beberapa bulan menjalani hukum penjara, dalam keadaan hamil dan waktu melahirkan bayinya sudah dekat.

Lintani divonis bersalah dengan segala bukti yang ada, dan harus menjalani masa tahanan selama lima belas tahun dalam penjara. Akan tetapi, pertimbangan dari jawaban jujur darinya, serta seorang pengacara, membuat gadis itu menjalani masa tahanan separuhnya saja.

Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah samping tempat tidurnya, “Hai pemalas! Ini tugasmu mencuci pakaian kami!” kata seorang wanita bertubuh gemuk, sambil melemparkan setumpuk pakaian kotor, pada Eliat.

Eliat adalah seorang wanita paruh baya yang tidur di sisi Lintani, dan bersikap lembut serta baik pada Lintani, tapi ia juga selalu tampak lemah selama mereka berada di penjara.

Elliat adalah satu-satunya teman bagi gadis itu. Begitu juga dengan Lintani, mereka seperti menemukan seorang saudara sejak hadirnya gadis itu sebagai penghuni sell tahanan, di mana keduanya berada. Ini nasib baik yang ditakdirkan Tuhan kepada Eliat di saat dia semakin merasa lemah dan kesepian.

“Biar aku saja!” kata Lintani mengajukan diri untuk menggantikan tugas yang dipaksakan oleh para narapidana lain padanya.

“Bagus, kalian memang seperti ibu dan anak saja!” teriak wanita gemuk disusul tawa oleh wanita lainnya.

Semua orang dalam sel penjara, memiliki tugasnya masing-masing, tapi sering kali mereka yang merasa lebih kuat, berbuat sesuka hati pada nara pidana yang lemah walaupun, kedudukan mereka sama.

Kedua wanita itu, Lintani dan Eliat, begitu akrab melewati hari-hari di penjara bagaikan ibu dan anak, yang memiliki ketergantungan satu sama lain.

Setelah kepergian para wanita kasar itu, Lintani dan Eliat mencuci semua pakaian bersama sambil bercakap-cakap. Ini seperti kebiasaan mereka setiap hari.

“Sudahlah, Lin. Kamu juga tengah hamil, kasian bayimu kalau Ibunya terlalu lelah.”

“Bibi, apa kau dulu kelelahan bekerja demi bayimu juga?”

“Tidak. Saat aku hamil justru aku bekerja keras agar bayiku kelak hidup sejahtera!”

Eliat sering bercerita tentang kehidupan pribadi di masa lalu bersama putranya, Lintani mendengarnya dengan sabar walaupun, wanita itu sepertinya tidak pernah bosan bercerita.

“Kau tahu, aku ingin kau menikah dengan anakku kalau kau sudah bebas nanti, dia sudah sukses sekarang dan akan mengeluarkan aku secepatnya.”

“Bibi, tidak perlu seperti itu, aku perempuan kotor yang akan memiliki anak. Lebih baik putramu dinikahkan dengan wanita baik-baik, bukan aku.”

“Apa katamu, Lin? Kamulah yang terbaik untuk anakku!”

“Bibi, ayo kita bereskan pekerjaan dan tidurlah setelah ini selesai.” Lintani berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi Eliat tetap melanjutkan argumennya.

“Lin, jangan lagi menganggap dirimu kotor, yang kotor adalah wanita yang seharusnya berada di posisimu.”

Begitulah pembicaraan yang sama itu selalu diulang sepanjang waktu, Lintani tidak pernah mengatakan bosan pada Eliat, justru ia sangat bersyukur karena ada orang yang begitu percaya padanya.

“Lin, seandainya bisa kamu menemui anakku saat dia menjenguk, aku akan memperkenalkanmu padanya.”

“Baiklah kalau memang bisa, aku akan menunggunya.” Lintani berkata sambil tersenyum menutupi kekecewaannya sendiri sebab ia tahu jika sipir penjara tidak akan pernah mengizinkannya.

“Tentu, dia bilang waktunya sudah dekat dan dia akan membebaskan aku tidak lama lagi.”

Tidak lama lagi yang disebut Eliat adalah waktu tak berbatas yang dia sendiri tidak tahu, kapan.

“Benarkah? Aku ikut senang mendengarnya, Bibi,” sahut Lintani menenangkan wanita di sampingnya.

“Tentu kau harus senang, anakku sangat tampan, kau pasti menyukainya!”

Lintani tersenyum mendengarnya sambil mengangguk.

“Lin, kamu tahu apa yang pernah dia alami sembilan bulan yang lalu?”

“Bibi, aku tidak tau apa-apa, tapi, aku berharap putramu mengalami yang hal baik, apa aku benar, Bi?”

“Bukan! Dia dijebak dan hampir mati, untunglah dia punya rencana lebih baik, dari jebakan itu justru dia menjadi seperti saat ini. Aku tidak sabar ingin mempertemukan anakku denganmu.”

"Apa dia lolos dari jebakan?"

"Ya. Kau benar, dia lolos dari jebakan."

Lintani tiba-tiba mengingat kembali saat kejadian di mana ia melihat Lux dan Rauja, mereka memiliki rencana licik memanfaatkannya demi Haifa. Mendengar kata jebakan, dirinya pun telah dijebak hingga kehilangan harga diri sebagai wanita.

Gadis itu tidak menyangka jika perbuatan pria itu membuatnya hamil. Ia terpaksa melahirkan bayi dan akan membesarkan anak di dalam penjara.

Sungguh tak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya. Apalagi ia tak mungkin meminta orang asing untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, lagi pula pria itu sudah berada dalam neraka.

“Ayo, BI. Kita tidur lagi. Semua pekerjaan kita sudah selesai!” kata Lintani.

“Baiklah, tapi untuk saat ini, jawablah pertanyaanku, Lin?”

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!