NovelToon NovelToon

Dicintai 3 Pangeran

Part 1

Aurora membuka matanya. Wanita itu tersenyum lebar dan menatap berani ke arah depan di mana terdapat banyak penonton yang sedang menanti dirinya menampilkan tarian balet miliknya.

"Yakin Aurora, kau pasti bisa jangan gugup," ucap Aurora dalam hati.

Aurora menarik napas panjang dan meyakinkan dirinya untuk menampilkan sebuah tarian yang memukau. Wanita itu mulai menggerakkan bagian tubuhnya dengan lincah.

Tarian Balet Aurora begitu sempurna. Selang beberapa waktu kemudian Aurora menghela napas panjang karena merasakan lelah. Dia menatap ke depan dan memberikan hormat sebelum turun dari panggung.

"Aurora. Tarian balet mu sangat keren. Aku rasa hanya kau satu-satunya penari balet di Inggris yang terbaik."

Aurora tertawa mendengar candaan temannya tersebut. Wanita itu menepuk pundak teman satu hobinya Bella lalu menggelengkan kepala.

"Kau barusan bicara apa, Bella? Kau tahu itu terlalu berlebihan, ayolah Bella."

"OMG, kau bilang aku berlebihan? Justru aku mengatakan yang sebenarnya," ucap Bella dan berdecak.

Aurora selalu merendah dan menganggap jika dirinya masih kurang. Padahal Aurora adalah penari balet internasional. Dia menjadi langganan perwakilan Inggris dan sering memenangkan beberapa mendali tingkat internasional.

"Sudahlah Bella. Kau selalu berlebihan memuji ku."

Bella menghela napas dan memandang Aurora dengan tidak percaya. Wanita itu meninggalkan dirinya dan masuk ke ruang ganti.

"Kau bakal ikut acara perpisahan ini sampai akhir?"

Tampak Aurora berpikir sejenak dan mulai memejamkan matanya. Dia berpikir apakah harus mengikuti rangkaian acara sampai akhir.

"Jika tidak membosankan mungkin akan aku ikuti. Entahlah akan aku pikir-pikir dulu."

"Sempat saja kau berpikir di tempat seperti ini," ujar Bella meledek Aurora.

"Kenapa tidak bisa?"

"Terserah kamu. Aku tinggal dulu."

Aurora tertawa, "lagian kenapa kau masih ada di sini. Ingin melihat ku mengganti baju?"

"Apa yang kau katakan, hell. Enak saja." Bella pergi membuat Aurora benar-benar merasa sangat kesepian.

Wanita itu menghela napas panjang dan menatap dirinya di dalam pantulan kaca. Seorang wanita cantik khas wajah Yunani tertangkap di dalam kaca tersebut, itu adalah dirinya sendiri.

"Aku cantik, dan aku tahu itu. Hanya saja aku tetap tidak bisa percaya diri," keluh Aurora dan memejamkan mata. Itulah kelemahan Aurora, padahal dirinya adalah perwujudan manusia sempurna tetapi dia sering merasa tidak percaya diri, mungkin itu adalah kelemahan dari Aurora dibalik semua kelebihan yang dimilikinya.

Aurora pun mengganti bajunya dengan baju perpisahan. Ia tersenyum menatap dirinya di kaca lalu keluar dari dalam kamar.

Aurora memandang ke luar, di mana para penggemar dirinya telah berkumpul. Aurora adalah wanita ramah dan ia senang menghadapi para fans yang sangat heboh menyambut dirinya tersebut.

"Aurora!!" teriak mereka melihat Aurora yang keluar dari ruangannya.

Aurora mengangguk dan tersenyum lebar kepada para fans nya.

"Cantik sekali!!"

"Terimakasih semuanya. I love you so much."

"Boleh minta tanda tangan nya?" tanya mereka satu-satu dan menyerahkan barang-barang dan buku agar Aurora bisa menanda tangani di sana.

"Tentu saja kenapa tidak."

"Kau cantik dan baik sekali Aurora," puji salah satu fansnya.

"Kau terlalu berlebihan memuji ku."

"Aku tidak berlebihan, namun kau memang sangat sempurna." Dengan perasaan tak nyaman Aurora pun mengiyakan mereka. Jujur saja Aurora tidak sesempurna yang mereka pikirkan. Aurora memiliki kelemahan juga sama seperti manusia biasanya.

Aurora pun menyerahkan buku dan kertas mereka. Mereka sangat senang dengan tanggapan Aurora yang sangat ramah. Itulah salah satu hal yang membuat Aurora dicintai para penggemarnya.

"Terimakasih Aurora. Kau memang sangat baik, aku tidak salah menilai dari internet."

"Benarkah? Kau sering membaca tentang diriku?"

"Aku adalah fans mu, tentu saja sering mencari tentang mu Aurora." Aurora tertawa bersama dengan para fansnya.

"Selamat Aurora kau sudah lolos."

"Selamat Aurora."

"Congrats!"

Beragam ucapan selamat pun Aurora terima dari para fansnya.

Aurora meminta maaf kepada mereka karena tidak bisa berlama-lama meladeni mereka. Untungnya para penggemar Aurora sangat paham dengan kondisi Aurora. Para penggemar Aurora yang hadir banyak dari anggota sekolahnya sendiri, namun ada juga yang datang dari luar sekolah demi melihat idola mereka wisuda sekolah.

Aurora menyangka kepergian para penggemarnya tadi tidak akan ada orang yang datang menemui dirinya lagi. Ternyata dugaan Aurora salah besar, seorang pria dengan memakai topi Hoodie dengan pakaian serba hitam dan mengaku fans dirinya itu datang menghampiri Aurora.

"Ada apa?" Orang itu terlihat misterius. Aurora merasa merinding untungnya di sini ramai.

"Boleh aku meminta tanda tangan mu?"

Aurora tidak enak hati untuk menolak orang tersebut. Aurora pun mengangguk dan mengiyakan. Orang itu menyerahkan sebuah kertas dan tinta merah pekat.

Aurora menggariskan tinta tersebut membentuk suatu pola sebuah tanda tangan. Aurora merasa syok saat mengetahui tinta itu terlihat mirip dengan darah.

Dia menatap pria tersebut dan dengan tubuh bergetar namun tetap berusaha terlihat baik-baik saja.

"Ini."

Aurora menyerahkan buku tanda tangan tersebut kepada orang itu lagi. Aurora ingin cepat-cepat pergi karena merasakan hawa yang sangat tidak nyaman.

"Ini hadiah untuk kamu. Selamat wisuda."

Aurora yang sebelumnya hendak pergi pun tertarik dengan hadiah orang tersebut. Padahal banyak kado dari orang lain. Tetapi Aurora lebih tertarik dengan kado yang belum ia ketahui isinya ini.

"Terimakasih."

Aurora buru-buru pergi dari sana. Sang misterius tersebut menatap datar Aurora.

________________

Aurora pulang lebih awal. Dia keluar dari dalam kamar mandi dengan pakaian malam. Wanita itu duduk di sisi ranjang sambil menatap ke arah depan.

Aurora merasakan perutnya yang dari tadi berdemo.

"Sabar," keluh Aurora sambil menyentuh perutnya yang berbunyi.

Aurora keluar dari kamar dan mencari makanan di kulkas. Biasanya sang nenek suka meninggalkan beberapa makanan untuk Aurora sebelum pergi ke butik miliknya.

Wanita itu tersenyum lebar melihat ada roti yang ditinggalkan oleh neneknya. Kemudian Aurora masuk ke dalam kamar sambil mengunyah roti.

"Nenek kenapa belum pulang? Apakah dia tidak menyambut kelulusan ku?" Aurora merasakan sangat sedih akan hal itu.

Namun wanita tersebut sudah pasrah. Dia hanya memiliki nenek seorang dan neneknya tersebut sibuk dengan butiknya.

Dia menarik napas panjang dan kemudian naik ke atas ranjang. Di lantai kamarnya banyak terdapat kado pembiaran dari para fans.

"Rumah ku sebentar lagi akan penuh dengan kado-kado ini."

Aurora mengambil acak kado tersebut. Dia menatap kado itu dan Aurora langsung merasa familiar dengan kado tersebut.

Kado itu adalah milik dari pria misterius tadi. Merasa penasaran Aurora pun membuka kado tersebut dengan perasaan was-was.

Aurora sangat takut bagaimana jika isi kado tersebut adalah kepala? Anggap saja itu berlebihan namun bisa saja, kan?

Aurora memastikan jika kado itu aman. Wanita itu membuka dengan perlahan kado tersebut hingga akhirnya Aurora dapat menghembuskan napas lega melihat isi kado tersebut adalah sebuah novel.

Aurora mengambil novel itu dan menatapnya. Lantas wanita itu langsung menutup mulut saat mengetahui novel tersebut adalah novel yang sudah sangat ia dambakan. Aurora pernah membaca novel tersebut di aplikasi online. Hanya saja tidak lengkap karena dihapus demi kepentingan penerbitan.

Jumlah novel tersebut sangat terbatas dan Aurora hari ini mendapatkan salah satu dari novel itu. Kebahagiaan terpancar di wajahnya.

"Demi apa? Oh Tuhan aku mendapatkan salah satunya," senang Aurora dan berguling-guling di kasur.

Wanita itu membuka novel tersebut dan mulai membaca sinopsis. Dari sampul saja sudah menarik perhatian Aurora.

"Sangat indah," gumam Aurora. Ia mencium bau novel tersebut yang sangat khas.

Aurora pun mulai membaca dari bab awal. Ia begitu asyik menyimak isi novel itu hingga sampai-sampai Aurora membacanya hingga tengah malam. Wanita itu menguap dan menutup mulutnya.

Aurora tidak peduli dengan rasa kantuknya. Ia terus membaca novel tersebut hingga akhirnya pukul 12 malam tiba.

Aurora yang baru saja sampai membaca di pertengahan dari novel itu, tiba-tiba kepalanya diterjang rasa sakit. Padahal Aurora masih penasaran dengan nasib figuran Aurora di dalam novel itu selanjutnya. Aurora sangat suka menyukai tokoh Aurora Akuela meskipun dia hanya figuran, alasannya karena nama mereka sama.

"Kenapa bisa sakit kepala tiba-tiba?" tanya Aurora dan mengehela napas.

Dengan pening yang mendera, Aurora bangkit untuk mencari obat. Namun naas Aurora terjatuh dan terjerembab di kasur.

"Oh Tuhan, rasa sakit seperti apa ini?" lirih Aurora dan menghela napas panjang. Rasa sakitnya baru pertama kali Aurora rasakan, sangat luar biasa.

Aurora jatuh pingsan karena tidak tahan menahan rasa sakit tersebut.

_________

Aurora kembali membuka matanya. Wanita itu terkejut dan sekaligus merasa aneh ketika membuka mata ada yang berbeda dengan kamarnya.

"Ada apa dengan ku? Apakah aku sudah pindah rumah?" tanya Aurora tidak mengerti.

Aurora membuka mata dengan lebar dan menatap sekitar. Yang ada Aurora malah dibuat semakin keheranan karena semua benda di sini sangat kuno.

"Ini kenapa? Apakah aku sedang berada di dalam museum? Ck, tidak mungkin aku tidur di dalam museum."

Aurora meyakinkan dirinya. Ia keluar dari dalam selimut dan menyibaknya. Wanita itu turun dari ranjang dan mengelilingi kamarnya.

"Ini apa karena aku terlalu berkhayal kembali ke zaman dulu makanya bisa berhalusinasi ada di tempat ini? Oh Tuhan, apakah aku terlalu bodoh? Kenapa bisa-bisanya pernah berharap kembali ke zaman begini."

Aurora berdecak malas dan kemudian memikirkan cara keluar dari sini.

"Tempatnya apek sekali." Banyak debu di kamar ini, lebih tepatnya tempat ini seperti gudang.

"Kapan aku terbangun dari mimpi yang sangat melelahkan ini. Ayolah, sekali-kali aku bermimpi di rumah Aesthetic bukan bermimpi di ruangan sumpek seperti ini, sungguh tidak anggunlay sekali," ujar Aurora yang masih menganggap ini adalah mimpi.

Tiba-tiba terdengar suara pintu reyot dibuka. Aurora langsung bersikap waspada. Wanita itu terkejut melihat tiga pria masuk. Aurora melihat pakaian mereka yang sangat kuno dan ketinggalan zaman.

"Siapa kalian?" tanya Aurora tidak takut sama sekali dan malah menantang.

"Kali ini aku tidak mengeluh dengan mimpi ku lagi Tuhan. Kau memang yang terbaik dan memberikan bumbu-bumbu romansa. Sungguh tampan sekali mereka, siapa namanya yah?" batin Aurora.

Ketiga orang itu sangat dingin. Masing-masing mereka memiliki aura seram. Tatapannya seakan ingin menelan Aurora hidup-hidup.

"Jaga pandangan mu. Kau adalah budak kami. Kau harus menghormati kami. Apakah kau lupa dengan kami?"

Aurora menganggukkan kepalanya saat salah seorang dari mereka memberikan pertanyaan padanya.

"Ada apa dengan mu Aurora Akuela? Apakah kau melupakan kami? Aku Pangeran Agustus, dan dia adalah pangeran Oceanus dan pangeran Sargon," ujar pria yang berwajah bak Dewa.

Aurora awalnya tidak paham dan menganggap biasa-biasa saja. Tiba-tiba matanya membulat saat menyadari semua hal yang ia alami ini mirip dengan novel yang tengah dibacanya.

Aurora menutup mulutnya dan menunjuk mereka. Aurora ingin berteriak namun ditahannya. Aurora menyadari satu hal dia sedang berada di dalam novel.

"Oh Tuhan. Ujian mu sungguh sangat menarik. Jika aku adalah Aurora Akuela, berarti aku hanyalah seorang tawanan perang. Sungguh miris nasib mu Aurora."

________

Tbc

JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA

Part 2

Sedari tadi Aurora memikirkan bagaimana nasibnya di dalam sini. Apakah dia akan mati konyol begitu saja? Ataukah dirinya akan menjadi budak selamanya? Aurora mendesis. Demi apapun dia bahkan tidak pernah sama sekali menjadi budak. Aurora membenci hal itu.

Kehidupannya di abad modern adalah anak orang kaya dan penuh dengan bergelimangan harta. Dia sama sekali tidak pernah menyentuh pekerjaan kasar seorang budak.

Dan sekarang apa? Dirinya menjadi budak begitu saja? Tentu pelecehan dan penghinaan akan datang padanya sebentar lagi.

"Andai aku tidak menyukai tokoh Aurora. Kenap aku harus memuja dirinya? Dan sekarang lihatlah aku? Aku menjadi dirinya. Oh God bagaimana lepas dari semua ini," keluh Aurora sambil menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya.

Aurora tahu statusnya yang seorang tawanan perang dan budak ini akan mengancam dirinya. Dia tidak memiliki masa depan cerah, memang itu kan kenyataan nasib seorang budak? Lantas hal apa yang membuat Aurora berangan-angan bisa lepas dari belenggu ini?

Lihatlah ia sekarang dikurung di dalam gudang. Di sini saja dirinya sudah mendapatkan penghinaan besar.

"Jika aku bisa membunuh kalian, akan aku buat kau menjadi pizza. Kenapa aku harus terjebak pada seseorang yang tidak memiliki kekuatan sama sekali. Tidak, tidak. Jika Aurora bisa dihina begitu saja, maka aku akan memaksa jalan cerita baru. Aku tidak boleh sama seperti Aurora Akuela, aku adalah Aurora Metafora. Aku harus bisa mandiri dan mengubah segalanya. Aku pasti bisa," gumam Aurora dan tersenyum mantap.

Wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Ia harus memikirkan cara kabur dari sini dan memulai hidup baru di zaman kuno yang sama sekali tidak Aurora pernah rasakan. Dia dulu memiliki fasilitas lengkap, dan sekarang dirinya harus menjadi seorang wanita mandiri.

Aurora menatap ke arah lubang kecil. Di kamar ini sama sekali tidak memiliki jendela membuat Aurora sangat kesal.

Mata Aurora melotot tatkala melihat beberapa budak wanita dan pria yang bekerja kasar. Aurora meringis melihatnya.

Wanita itu langsung menjauh dan mengamati diri sendiri. Serius? Itu yang akan dikerjakannya nanti? Aurora tidak bisa membayangkan, mungkin umurnya tidak akan panjang.

"Malang sekali nasib mu Aurora Akuela, dan sekarang aku yang harus menggantikan mu. Kenapa kau tega sekali kepadaku, kenapa kau ingin berbagi kesengsaraan kepada diriku yang imut ini, bahkan tidak pantas untuk bekerja kasar seperti itu."

Aurora selalu menyesali dirinya. Ia sangat membenci. Kenapa dia harus terjebak di dalam novel, andai dia tidak membaca novel itu dulu.

"Aku harus keluar dari sini." Aurora menatap dinding semen yang bolong dan retak.

Seketika wajahnya terukir senyuman. Ia tahu apa yang akan Aurora lakukan.

Aurora lantas mencari kayu. Dia menatap kayu ranjang yang hendak roboh itu. Dengan sekuat tenaga Aurora mengambilnya dan memukulkan kayu tersebut ke dinding retak itu.

"Kenapa juga harus hidup di istana jika menjadi rakyat biasa di luar sana lebih enak?"

Aurora tertawa dan mulai membayangkan nasibnya yang akan bebas tersebut. Apalagi melihat dinding itu retak membuat Aurora tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya.

Angan-angan pergi jauh dari sini dan memikirkan cara kembali ke zaman modern terus menghantui Aurora.

Ia melihat tembok itu yang hancur dan membuat lingkaran kecil.

"Masih dapat aku masuki," ujar Aurora dan keluar dari istana melalui lobang tersebut.

Aurora menepuk kedua tangannya membersihkan debu. Ia pun mengibaskan gaunnya yang lusuh.

"Lusuh, seperti pakaian tidak layak pakai." Aurora miris dengan dirinya yang hanya memakai pakaian sobek-sobek. "Andai kau hidup di zaman ku Aurora, aku pasti akan menolong mu dan membiayai mu, dan bukan begini caranya kau bertukar tempat dengan ku."

Jika Aurora terus mengeluh jangan salahkan dirinya. Aurora memang sangat kesal dan dia tidak tahu cara melampiaskan kekesalannya ini.

Aurora pun mulai berjalan mengendap-endap. Untung saja retakan itu langsung mengarah ke luar. Sejenak Aurora berpikir, jika dia berkeliaran dengan memakai pakaian lusuh begini pasti akan ketahuan bahwa dia seorang budak dan berencana kabur.

Aurora harus menjadi orang licik dan sedikit kejam demi keselamatannya. Ia melihat ada seorang bangsawan yang sedang kesusahan dan Aurora pun berniat menolongnya hanya semata-mata menginginkan pakaian wanita itu.

"Maafkan untuk kali ini diriku menjadi orang jahat."

Aurora datang kepada wanita itu dan berpura-pura untuk menolong.

"Nona apa ada yang bisa aku bantu? Nona, kau kesulitan membawa barang mu ini? Bisakah aku membantu mu Nona?"

Wanita bangsawan itu tersenyum ramah.

"Kau seorang budak? Memang pantas kau melakukan ini kepada orang yang di atas mu."

Aurora mencibir dalam hati. Bangsawan tidak punya etika, pekiknya kesal kepada orang itu. Memang pantas untuk mendapatkan kejahilan Aurora.

"Ya."

"Nih bawakan barang ku."

Dia langsung melenggang pergi dan Aurora menggeram kesal.

"Kau pikir karena kau hanya seorang bangsawan kau bisa lepas dari trik licik ku?" Aurora terkekeh.

Dia menatap barang wanita itu yang merupakan sebuah buku-buku. Sepertinya bangsawan itu sedang dihukum untuk membawa buku-buku tersebut dan membereskan perpustakaan.

Aurora berjalan lebih cepat dan memukulkan semua buku itu ke arah wanita tadi, hingga sang wanita terjatuh ke tanah tak berdaya.

Dengan kekuatan bela dirinya Aurora lantas memukuli brutal si wanita tersebut.

"Apa yang kau lakukan? Akh... Berani-beraninya kau budak memukul ku. Kau lihat saja besok kau akan dipenggal."

"Aku tidak peduli!"

Aurora membuka paksa baju wanita itu dan sang wanita terpekik ketakutan.

Ia sudah tak berdaya dibuat Aurora dan Aurora lantas memakai baju si wanita dan membuang baju lusuhnya.

"Jika kau tidak ingin berjalan bertelanjang maka kenakan pakaian ku. Lebih baik di sangka budak dari pada berjalan telanjang, bukan?"

"Kau!!!"

"Kenapa?"

Aurora memakai baju tersebut dan menjulurkan lidahnya mengejek.

"Kau lihat saja besok kau akan dipenggal di pengadilan, atau tidak kau akan masuk penjara dan disiksa."

"Oh?"

"Kau? Kau tidak takut?

"Sangat takut. Tapi melihat wajah mu aku menjadi tidak takut. Kau memang pantas diperlakukan seperti ini!"

"Kau menghina ku?"

"Jika kau merasa seperti itu, berarti persangkaan mu benar," ujar Aurora lalu wanita itu pergi begitu saja.

"DASAR BUDAK RENDAHAN!! KAU TIDAK AKAN AKU BIARKAN! AKU MONALISA AKAN MENGUTUK MU!!"

Aurora seketika berhenti berjalan. Ia teringat Monalisa adalah salah satu teman dari prontagonis wanita yang merupakan pemeran utama yaitu Garce.

Aurora berbalik menatap Monalisa. Di dalam novel memang Monalisa diceritakan sangat garang dan juga pemberani. Tapi dia tak menyangka sifat asli Monalisa sangat mengerikan dari pada orangnya, pembenci dan sombong.

"Kau tidak berhak menempati posisi prontagonis," ujar Aurora pelan dan pergi.

___________

Plakkkk

Aurora dicambuk dengan kuat oleh pangeran Agustus. Dua pangeran lainnya hanya memperhatikan saat Aurora mendapatkan hukumannya.

Bagaimana tidak Aurora dihukum, dia ketahuan melarikan diri dan didapatkan oleh pangeran Agustus langsung.

Ditambah hukuman ia yang berani-beraninya berbuat semena-mena kepada Monalisa yang merupakan sahabat dari kekasihnya, Grace.

"Kau!! Kau budak rendahan berani sekali kau kabur dari tempat ini. Kau pikir kau siapa? Kau bisa kabur dari sini?"

Aurora menatap Agustus dengan perasaan terluka. Aurora tak bisa membendung air matanya. Wanita itu terus menahan sakit sambil mengigit bibirnya hingga memerah.

Aurora membenci posisinya yang sangat hina tersebut. Di kehidupan modern sama sekali Aurora tak pernah diperlakukan seperti ini.

Ia sangat disanjung apalagi dia adalah seorang penari balet terkenal.

"Ampun," lirih Aurora dengan suara tertahan. Aurora kehabisan tenaga, ia pikir sebentar lagi akan mati.

"Tidak ada ampunan untuk orang yang melanggar aturan. Kau budak pembangkang, tidak berhak untuk mendapatkan kenyamanan. Kau pikir siapa bisa kabur dari kami?" Aurora melirik orang itu. Orang tersebut dapat Aurora duga adalah seorang pangeran, karena pakaiannya yang khas sekali seorang anggota kerjaan, selain itu Aurora ingat Agustus pernah mengatakan jika dia adalah Sargon.

Agustus mendorong tubuh Aurora yang lemah ke lantai hingga Aurora lunglai. Badannya penuh dengan darah, lalu tanpa berperasaan orang-orang itu menyeretnya masuk ke dalam penjara.

"Kau ingat kau hanyalah seorang budak. Jadi jaga perilaku mu."

Aurora menatap orang yang baru saja berbicara. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya penuh dengan darah, wanita itu terlihat sangat hina.

"Kau!! Kau telah mencuri baju ku. Aku minta kau mendapatkan hal yang setimpal seperti aku. Aku ingin kau juga kau ditelanjangi sebagaimana kau menelanjangi aku," teriak Monalisa yang juga hadir di tempat penyiksaan. Monalisa susah payah datang hanya ingin melihat Aurora disiksa. Ia pun sudah merasa puas melihat Aurora tak berdaya.

Mata Aurora membulat. Tangannya terkepal. Apalagi saat ketiga pangeran itu setuju. Aurora menahan napas ketika salah satu penjaga masuk dan memaksanya membuka baju.

"Lepaskan aku."

"Bahkan kau berani membantah saat kau dalam posisi ini?" cibir salah satu pangeran tersebut.

Dia terlihat geram dengan Aurora. Pangeran berwajah datar itu masuk ke dalam penjaranya dan memaksanya membuka bajunya.

Sementara Monalisa tersenyum miring melihat dirinya. Lihatlah, Monalisa akan menjadi salah satu target Aurora.

Pangeran itu menarik baju Aurora hingga Aurora telanjang dada. Untungnya rambut Aurora tebal dan panjang hingga menutupi tubuhnya.

Semua pengawal di sana tertegun.

"Ingat kau jangan pernah main-main dengan Oceanus."

Oh jadi ini Oceanus?

Aurora menatap pria itu dan mengulum senyum. Disangka Oceanus Aurora sedang terpana, nyatanya itu adalah senyum maut yang bakal memperangkap dirinya.

"Kau bisa menghina ku, lantas kenapa aku tidak bisa menghina kalian!!"

Oceanus, Agustus, dan Sargon duduk di salah satu meja yang ada di sana.

"Bagaimana rencana peperangan kita di laut Barat?" tanya Oceanus pada kedua kakaknya.

Aurora tersentak. Ia lupa tengah berada di abad pertengahan dan peperangan adalah hak yang wajar. Aurora tak bisa membayangkan betapa mengerikannya zaman ini.

"Aku ingin pulang ke dunia asal ku."

_________

TBC

JANGAN LUPA UNTUK LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA

Part 3

Aurora menatap ketiga pangeran, Agustus, Oceanus, dan Sargon yang tak pergi dari penjara. Mereka malah menjadikan tempat ini markas untuk menyusun strategi.

Padahal harapan Aurora sangat ingin mereka pergi agar Aurora lebih leluasa di dalam penjara.

Dia merasa tidak aman dan seakan tengah dihantui oleh mereka. Aurora menarik napas panjang dan menatap murka semua orang yang ada di sana.

Kenapa mereka harus berada di sini? Itu terus yang dikesalkan oleh wanita tersebut.

Pembahasan yang dibahas oleh ketiga pangeran itu membuat Aurora bosan. Dia tidak mengerti apa yang tengah mereka bincang kan.

"Kenapa meraka tidak pergi saja? Kenapa mereka harus di sana, aku merasa tidak bebas."

Aurora menaikkan bajunya yang sudah robek tersebut ke tubuhnya. Ia tak diberikan pakaian yang layak, Aurora merasa sangat hina karena dia seperti sampah yang tidak dilirik.

Apalagi bajunya tidak layak untuk dipakai. Aurora hanya bisa menutup tubuhnya dengan kain sobek tersebut dan untungnya Aurora memiliki rambut yang sangat panjang dan bisa menutupi sebagian tubuhnya.

Tapi penjara ini sangat dingin hingga membuat tubuh Aurora menggigil. Aurora menarik napas panjang dan berusaha memeluk tubuhnya.

Sesekali wanita itu melirik ketiga pangeran tersebut yang masih sibuk dengan strategi yang tengah mereka buat.

"Kau tahu apa yang akan kita lakukan ini cukup berbahaya Agustus?" sela Oceanus yang tidak ingin kakaknya itu mengambil jalan menantang.

Agustus melirik adiknya dengan dingin. Kenapa adiknya belum paham juga dengan dirinya? Sementara itu kenapa Oceanus berubah menjadi penakut?

"Kau merasa takut Oceanus?" tanya Sargon yang sama gilanya, tidak ada takut-takut nya dengan strategi yang akan mereka lakukan dan bisa saja membuat perpecahan di dalam keluarga istana.

"Kenapa kau tiba-tiba menjadi pengecut begini Oceanus? Seperti bukan kau," ujar Agustus sambil menatap dingin adiknya.

"Aku tidak takut hanya aku merasa terkejut sebentar. Jika itu yang kalian inginkan aku bersedia untuk melakukan juga," ujar Oceanus. Ia tidak terima dikatai penakut maupun pengecut oleh kedua kakaknya.

"Lantas kenapa kau menyela kami?"

"Sudah aku katakan hanya terkejut."

"Hm," ujar Agustus.

Aurora yang mendengar pembicaraan mereka meringis. Ketiganya sama-sama kaku dan dingin dan anehnya pembicaraan tetap mengalir begitu saja. Dapat Aurora simpulkan orang yang dingin dan kaku memang lebih cocok untuk berbicara sesama mereka.

"Sangat membosankan," lirih Aurora.

Ia bergerak sedikit dan meringis ketika tubuhnya terasa sakit antara pedih dan remuk. Air mata Aurora mengumpul. Ia berusaha tegar ternyata tak bisa.

Aurora memutuskan untuk tidur ketimbang menahan rasa sakit dengan mata terbuka. Wanita itu memejamkan matanya dan memeluk tubuhnya.

Bau darah yang sangat menyengat dan bau busuk yang begitu menguak tak dapat membuat Aurora bisa tertidur dengan nyaman. Wanita itu terdiam dengan napas tertahan.

Aurora tak sanggup begini terus. Ia ingin pergi dari tempat ini dan keluar dari novel terkutuk tersebut. Wanita itu lantas memejamkan mata berharap ketika bangun ia sudah berada di ranjangnya di zaman modern.

"Semoga semua ini cuman mimpi. Jika benar ini mimpi aku tidak akan pernah tidur lagi."

Aurora lantas hanyut dalam tidurnya. Dia tidak tidur nyenyak, sesekali dia tersentak ketika merasa tubuhnya sakit.

"Kapan kita akan melakukan penyerangan?" ujar Oceanus sambil menatap kedua pangeran yang merupakan kakaknya.

"Penyerangan akan dilakukan besok."

"Apa kau masih yakin dengan strategi mu? Bagaimana jika ayah marah pada mu dan kita?"

Sargon menatap Oceanus dengan wajah mengejek. Kenapa tiba-tiba adik sepupunya itu berubah menjadi pengecut.

"Jika kau tidak mau Oceanus, kau cukup memakai pakaian wanita dan menunggu di dalam kamar."

"Kau Sargon!" geram Oceanus dan hendak menebas kepala sepupunya tersebut.

Sargon hanya menarik napas dan menyingkirkan ujung pedang Oceanus. Agustus hanya menghela napas melihat kedua adiknya.

Agustus menatap lurus ke arah penjara dan Aurora terkejut bahwa dia ketahuan mengintip. Wanita itu langsung berpura-pura tak melihat.

Agustus menatap tubuh prihatin wanita itu. Aurora memang sangat cantik, bahkan dalam keadaan buruk seperti itu pesona yang dimiliki oleh wanita itu tak dapat ditolak.

"Kalian membutuhkan jala.ng?" tanya Agustus tiba-tiba di tengah konflik Sargon dan Oceanus.

Seketika Oceanus dan Sargon terdiam. Mereka melihat Agustus serempak dan mengikuti arah pandang laki-laki tersebut.

Oceanus tersenyum miring melihat Aurora yang dipenjara.

"Kenapa tidak kita jadikan dia budak kita?"

"Budak?" gumam Sargon.

"Kau benar Oceanus. Sangat sayang jika dia menjadi budak di luar sana tanpa pengawasan kita. Dia cantik tentunya hanya cocok menjadi budak kita."

"Aku setuju untuk itu."

Aurora merasakan tubuhnya merinding mendengar ucapan ketiga pangeran tersebut. Bodohnya Aurora dia tidak membaca novel itu sampai habis. Dia hanya membaca setengah di saat akhirnya Agustus mendapatkan Garce, sementara dia terhenti membaca saat Aurora Akuela berhasil di tangkap dan jadi tawanan perang.

Ia sangat berharga karena wajahnya yang cantik hingga Agustus menginginkan dia menjadi tawanan perang mereka. Aurora masuk ke dalam novel itu pada saat di tengah-tengah cerita dan apa yang ia jalani sekarang adalah bagian novel yang tidak dia baca, jadi Aurora tidak tahu bagaimana nasib Aurora Akuela ke depannya.

Karena ketidak tahuannya ini, Aurora memutuskan untuk membuat cerita dengan versinya sendiri.

"Aku tidak akan membiarkan diri ku ditindas oleh mereka."

______________

Aurora sudah keluar dari penjara beberapa hari lalu. Ia pun turun ke lapangan untuk dijadikan budak. Aurora sangat benci dengan prajurit yang sangat semena-mena.

"Kenapa aku harus takut? Aku sudah pernah merasakan sakitnya dicambuk, itu tidak akan membuatku takut tetapi malah membuatku yakin untuk mengulangi itu lagi dan menjadi kebiasaan ku."

Aurora tidak akan tinggal diam. Ia memikirkan cara licik lain untuk menjebak atasannya tersebut. Tangan wanita itu terkepal sempurna saat ia melihat teman-teman budaknya ditendang dan dicambuk jika tidak becus.

"Sangat tidak berperikemanusiaan. Apakah mereka ingin diajari olehku caranya menjadi manusia?" tanya Aurora pelan hampir tidak terdengar.

Wanita itu diam-diam keluar dari pekerjaannya tanpa diketahui. Aurora membuat jebakan. Di mana dia membuat tali transparan dan dibentangkan di tengah jalan lalu saat prajurit tersebut berjalan di sana Aurora menegangkan tali tersebut hingga ia terjatuh dan menyentuh batu yang Aurora sudah susun di sana.

Aurora tertawa gelak melihat si tua gendut itu keningnya penuh dengan darah.

Sontak para prajurit mencari orang jahil yang sudah menjebak rekannya. Ia melihat Aurora yang tengah tertawa.

Lantas mereka semua memerintahkan untuk mengejar Aurora.

"Kejar budak rendahan itu."

Aurora terkejut saat mereka berniat mengajarnya, lantas Aurora pun berlari kencang dan berusaha menghindari kejaran mereka.

Aurora juga dikejar menggunakan kuda. Jika begitu Aurora yakin dia tidak akan bisa selamat.

"Kali ini mungkin aku akan dipenggal." Aurora terus dikejar dan wanita itu merasa dia sebentar lagi malaikat maut datang menjemput dirinya. "Habislah kau Aurora Akuela."

Kelakuan Aurora kali ini terdengar sampai ke telinga ketiga pangeran yang kebetulan berada di area sana.

Agustus mengepalkan tangannya marah. Dia menatap Oceanus.

"Apa yang harus kita lakukan kepadanya?"

"Mungkin dia ingin kembali merasakan siksaan yang lebih menyakitkan," sahut Sargon datar.

Agustus menatap prajurit yang melapor.

"Tangkap dia hidup-hidup dan pukuli dengan besi panas."

Memang itu hukuman yang pantas untuk budak yang membangkang. Bagi mereka yang hidup di zaman tersebut adalah hal yang wajar, akan tetapi tidak untuk Aurora yang masih tabu degan kebiasaan di zaman ini.

_______________

Tbc

JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SETELAH MEMBACA

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!