Daniza memulas senyum menatap sebuah jam tangan mewah yang baru saja dibelinya di sebuah pusat perbelanjaan. Malam ini ia akan memberi kejutan untuk sang suami tercinta yang tengah berulang tahun.
Daniza Amaria adalah seorang wanita yang terlahir dari keluarga kaya raya. Sejak kecil ia sudah termanjakan dengan fasilitas mewah dari keluarganya.
Namun, terlahir dari keluarga ningrat tak menjamin hidupnya sempurna bak putri dalam negeri dongeng. Di antara semua keberuntungan itu, Daniza hanyalah seorang wanita biasa dengan penampilan yang jauh dari kata modern.
Penampilannya yang biasa dan terkesan culun kerap menjadi bahan olok-olok teman-temannya di masa sekolah dulu. Ia bahkan sering mendapat pembully-an yang membuatnya trauma dan enggan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Daniza merasa hidupnya kelabu. Namun, semua itu terpatahkan saat Revan masuk ke dalam hidupnya. Revan Kusuma adalah seorang pria tampan sempurna berusia 28 tahun yang menikahinya sejak enam bulan lalu.
Bagi Daniza, Revan adalah sosok suami yang sempurna. Ia baik hati, perhatian, penyayang dan sangat lembut. Bersama Revan ia mendapatkan kebahagiaan yang selama ini tak pernah didapatkannya.
Pernikahan mereka sebenarnya terjadi karena sebuah perjodohan. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ayah Daniza meminta Revan, yang merupakan asisten pribadinya untuk menikahi Daniza.
Tak ada penolakan dari Revan kala itu. Ia menerima Daniza dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia juga tak pernah mempermasalahkan penampilan Daniza yang culun dan kampungan.
Segala perlakuan istimewa yang ia dapatkan dari Revan membuat Daniza menyerahkan seluruh hatinya tanpa sisa. Revan adalah segalanya baginya. Bahkan saat masa-masa sulit setelah kepergian ayah Daniza, Revan lah yang menjadi penyemangat.
"Semoga Mas Revan suka hadiah ini," ucapnya penuh harap.
Daniza bangkit dari duduknya sambil melirik ke arah jam dinding. Hampir dua jam ia menunggu sang suami di kamar, namun Revan tak kunjung memunculkan diri. Biasanya, suaminya itu sedang berada di ruang kerja pribadinya yang berada di lantai satu.
"Apa aku susul saja, ya?" Daniza bermonolog, lalu meraih kotak yang telah terbungkus cantik. Kemudian segera beranjak keluar dari kamar.
Begitu tiba di lantai bawah, ia segera menuju ruang kerja suaminya. Pintu yang tak tertutup rapat dan lampu yang menyala terang menandai keberadaan suaminya di dalam ruangan itu.
Baru saja akan mendorong daun pintu, namun ia urungkan setelah mendengar suara suaminya yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Panggilan sayang yang disematkan Revan kepada seseorang di seberang sana membuat Daniza bertanya-tanya, sehingga memilih menguping pembicaraan suaminya.
"Iya, Sayang ... aku tahu. Tunggu, aku akan ke sana sekarang. Iya, aku juga cinta sama kamu."
Daniza merasa jantungnya bagai diremas tanpa ampun. Seketika dadanya sesak tak terkira. Hanya dalam hitungan detik bola matanya sudah tergenang cairan bening. Mungkinkah Revan telah mengkhianati dirinya?
Ia tak tahu. Daniza hanya berharap apa yang didengarnya hanya candaan sang suami.
"Iya, aku akan jalan sekarang. Sepertinya Daniza juga sudah tidur."
Ketika Revan memutus panggilan dan beranjak keluar dari ruangan kerja, wanita itu pun segera bersembunyi di balik dinding pembatas ruangan. Beruntung, Revan tak menyadari keberadaannya.
Daniza menatap nanar punggung tegak suaminya yang berjalan keluar rumah. Sama sekali tak pernah terlintas dalam benak bahwa Revan akan mengkhianati dirinya.
"Kenapa kamu setega ini sama aku, Mas?" lirihnya.
Setelah menyeka air mata yang sialnya terus mengalir tanpa henti, Daniza beranjak keluar rumah. Mobil milik Revan baru saja melewati gerbang megah rumah mereka.
Daniza segera menyambar kunci mobil miliknya yang berada di atas nakas, lalu segera mengikuti Revan dari jarak aman. Daniza baru beberapa minggu belakang ini bisa menyetir tanpa sepengetahuan Revan. Karena selama ini Revan selalu melarang Daniza menyetir sendiri.
Tak berselang lama, mobil milik Revan memasuki sebuah kawasan pertokoan. Ia berhenti tepat di depan sebuah kafe. Daniza memarkir mobil di sisi jalan. Ia tak ingin jika sampai Revan mengetahui keberadaan dirinya.
Daniza merasakan lemas pada sendi-sendinya ketika berjalan mendekat ke arah kafe. Wanita itu harus kembali dikejutkan dengan penemuannya di sana. Revan tampak menemui seorang wanita yang tak asing bagi Daniza. Apa lagi, keduanya sempat berpelukan mesra saat baru bertemu, layaknya pasangan kekasih.
"Alina?"
Daniza tak sanggup lagi. Wanita cantik yang tengah bersama suaminya ternyata adalah Alina, sepupu Daniza sendiri. Alina bahkan adalah tempat Daniza berkeluh kesah saat sedang menemui masalah. Bahkan, jam tangan mewah yang hendak dihadiahkan Daniza untuk Revan adalah pilihan Alina.
"Aku pikir kamu akan menghabiskan malam ini dengan istri kamu itu," sindir Alina dengan muka tertekuk.
"Tidak, Sayang. Kan aku sudah ada di sini sekarang." Revan menggenggam tangan wanita itu dengan mesra.
"Jadi bagaimana kedepannya? Berapa lama lagi aku harus menunggu?" Pertanyaan menuntut itu membuat Revan menatapnya lekat.
"Tunggu sebentar lagi, Sayang. Kamu kan tahu tidak semudah itu menceraikan Daniza. Aku perlu waktu sedikit lagi untuk menyelesaikan semuanya."
Sepasang mata Daniza terpejam bersamaan dengan cairan bening yang mengalir. Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya bahwa Revan akan mengkhianati dirinya dengan sepupu sekaligus sahabatnya sendiri.
"Aku tidak bisa menunggu lagi, Revan. Aku juga punya perasaan. Hampir setiap malam kamu menghabiskan waktu dengan istri kamu itu. Apa kamu tidak memikirkan perasaan aku?"
"Ya sabar, Alina. Kasih aku waktu dua bulan lagi."
"Kenapa harus dua bulan? Kenapa tidak sekarang saja." Suara yang tiba-tiba memotong pembicaraan itu membuat Revan dan Alina menoleh ke sumber suara.
Kelopak mata Revan melebar menyadari keberadaan istrinya di sana. Ia tiba-tiba terlihat sangat gugup. Berbeda dengan wanita tak tahu malu di sebelahnya yang justru tampak santai dengan senyum sinis.
"Da-Daniza ... kamu sedang apa di sini?" tanya Revan ragu-ragu.
"Seharusnya pertanyaan itu ditujukan untuk kamu, Mas? Sedang apa kamu di sini dengan perempuan itu?" balas Daniza.
Revan terdiam. Tangannya bergerak mengusap tengkuk lehernya yang terasa meremang.
"Sepertinya kamu sudah mendengar semua pembicaraan aku dengan Revan," potong Alina yang masih duduk dengan santai. Ia menarik Revan agar kembali duduk di kursi. "Kamu dengar Daniza, Revan itu tidak mencintai kamu. Dia menikahi kamu karena terpaksa."
Bagai tersambar petir, seluruh tubuh Daniza gemetar hebat. Cairan bening mengalir dengan deras. Semua perhatian pengunjung kafe pun tertuju kepada mereka bertiga.
"Terpaksa?" ulang Daniza dengan tatapan menuntut kepada suaminya.
"Iya, Revan hanya mencintai aku. Kamu lihat dong diri kamu dan ngaca! Mana ada laki-laki yang mau sama perempuan seperti kamu. Sudah kampungan, jelek lagi."
Tangan Daniza terkepal marah. Sorot matanya yang tajam menghunus Revan. Suaminya itu bahkan tak membelanya saat Alina mempermalukannya di depan umum.
...*****...
Halo Pembaca Terkasih. 🤗
Selamat datang di karya ke 16 ku di Noveltoon.
Karya ini ditulis untuk mengikuti Lomba Konflik Rumah Tangga yang diadakan Noveltoon.
Pastikan teman-teman tap tanda (❤️) di ujung bab.
Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam kisah ini.
Terima kasih untuk setiap dukungan.
"Lebih baik sekarang kamu pulang dan berdiri di cermin. Lihat diri kamu dan nilai sendiri. Revan itu tidak buta, dia tahu mana perempuan layak dan tidak." Lidah Alina yang tajam bak belati membuat dada Daniza bergemuruh.
Kepercayaan diri akan ketulusan cinta Revan terhadapnya luntur seketika. Dua orang yang selama ini ia anggap tulus terhadapnya malah menikam dari belakang. Amarah, sedih dan kecewa menyatu menjadi satu.
Daniza bergerak maju. Tiga tamparan beruntun ia hadiahkan ke wajah Revan hingga meninggalkan tanda kemerahan. Tak ada yang dilakukan pria itu selain mengusap pipi kanan dan kiri yang terasa kebas.
"Apa-apaan kamu?' protes Alina.
Namun, detik itu juga dua tamparan ikut mendarat di pipi mulusnya. Ia yang tak terima berniat membalas, namun Daniza bergerak lebih cepat dengan menahan tangannya. Ia cengkeram sekuat tenaga hinga membuat Alina meringis.
Daniza Meraih dua gelas jus di meja dan menyiramkan masing-masing ke wajah Revan dan Alina. "Aku kecewa sama kalian berdua. Pengkhianat!" Lalu, tanpa memerdulikan keadaan sekitar yang menegang, Daniza meninggalkan kafe dengan terisak-isak.
Mobil milik Daniza melesat meninggalkan kafe. Sepanjang perjalanan pulang, yang terlintas dalam benaknya hanya kenangan manis bersama Revan selama menikah. Daniza benar-benar berharap kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk.
"Kamu benar-benar tega sama aku, Mas. Semudah ini kamu selingkuh dengan sepupuku sendiri."
Daniza tiba di rumah dengan membawa kepedihan di hati. Pigura besar yang menggantung di dinding ruang tamu seolah menyambut kedatangannya. Tak terasa air mata kembali berderai.
Enam bulan lalu, Revan memberinya kebahagiaan tak terkira dengan mengucapkan ijab kabul atas namanya. Tetapi, malam ini Revan telah menghancurkan segalanya dengan perselingkuhan.
Suara pecahan kaca menggema kala pigura besar ia hempas ke lantai hingga pecahan kaca berhamburan. Membuat tiga asisten rumah tangga berbondong-bondong keluar untuk melihat.
Mereka pun terkejut dengan keadaan majikannya yang terduduk lesu di lantai sambil menangis pilu. Namun, tak satu pun dari mereka yang berani mendekat. Semua hanya saling melempar tatapan penuh tanya.
***
Pagi hari Daniza terbangun dengan tubuh lelah dan mata sembab. Hampir sepanjang malam ia menangis dan tertidur sedang sendirinya saat air mata terasa mengering. Semalam Revan juga tak pulang ke rumah. Daniza yakin suami tak bergunanya itu sedang menghabiskan waktunya dengan Alina.
"Non Daniz mau ke mana?" Sapaan Mbak Iyem menghentikan langkah kaki Daniza. Ia tampak sudah berpakaian rapi dengan shoulder bag tersemat di bahu.
"Saya mau ke kantor sebentar. Ada yang mau diurus."
Mbak Iyem menatap wajah sang majikan dengan iba. Apa lagi wajah Daniza terlihat lesu dan pucat. "Tidak sarapan dulu, Non?"
"Nanti saja, Mbak. Saya buru-buru."
Tanpa menunggu lagi, Daniza segera beranjak keluar dari rumah. Seorang sopir sudah menunggu di depan sana. Rencananya, hari ini Daniza akan menggugat cerai Revan. Namun, sebelumnya ia akan membuat janji dengan pengacaranya di kantor.
Setibanya di kantor, Daniza memasuki ruangan Revan. Ia berencana akan mengambil alih kembali perusahaan ayahnya yang kini dikelola Revan. Daniza memang tidak mengerti apapun tentang bisnis, namun, ia masih memiliki seseorang yang dapat dipercaya untuk mengelola perusahaan itu.
Namun, apa yang ditemukan Daniza di laci meja kerja sang suami membuat amarahnya menembus ubun-ubun. Sebuah copy-an berkas pengalihan seluruh aset perusahaan yang ditandatangani oleh Daniza sendiri.
"Mas Revan ...," lirihnya kecewa.
Ingatan Daniza berputar beberapa hari ke belakang. Malam itu Revan menemuinya di kamar dan memintanya membubuhkan tanda tangan pada beberapa berkas. Daniza yang terlalu mempercayai suaminya itu tanpa ragu menandatangani berkas tersebut.
"Dia menipu aku." Daniza benar-benar tak percaya bahwa suami yang ia cintai dengan sepenuh hati itu tega merampas seluruh hartanya.
Ia meraih ponsel dan mencoba menghubungi Revan, namun hingga beberapa kali mencoba, Revan tak kunjung menjawab. Daniza pun memutuskan untuk mencari sang suami di rumah Alina. Ia yakin Revan berada di sana.
Daniza meninggalkan gedung kantor dengan tergesa-gesa. Baru saja melewati lobi, namun langkahnya seketika terhenti saat merasakan denyutan di kepala disertai mual di perut. Ia kehilangan keseimbangan tubuh, lalu segalanya tampak gelap dalam pandangannya. Daniza tak sadarkan diri lagi.
Beruntung dua petugas keamanan kantor dengan sigap menangkap tubuhnya hingga tak membentur lantai.
***
Daniza membuka mata perlahan. Hal pertama yang hadir dalam pandangannya adalah ruangan asing dengan cat dinding serba putih. Sebuah tirai berwarna hijau yang membentang sebagai pembatas ruangan menandai bahwa ia tengah berada di sebuah rumah sakit.
"Non Daniz sudah bangun?" Sapaan tak asing itu membuat Daniza menoleh. Mbak Iyem duduk di sisinya dengan raut muka khawatir.
"Mbak Iyem ... kenapa saya di sini?" tanya Daniza.
"Non Daniz tadi pingsan. Jadi Mang Amar bawa Non ke rumah sakit. Saya disuruh tunggu di sini. Soalnya, saya sudah hubungi Bapak beberapa kali, tapi tidak dijawab."
"Tidak usah, Mbak Iyem. Saya baik-baik saja."
Daniza tiba-tiba teringat dengan tujuannya tadi yang ingin mencari Revan ke rumah Alina. Ia lantas bangkit dan beranjak turun dari tempat tidur.
"Non Daniz mau ke mana?" tanya Mbak Iyem.
"Saya mau ke rumah Alina, Mbak. Saya ada urusan sama dia."
"Tapi tadi Mbak perawat bilang, kalau Non sadar disuruh periksa dulu. Katanya, ada kemungkinan Non Daniz hamil." Ucapan Mbak Iyem membuat mata Daniza membeliak.
"Hamil?"
****
Halo gengs, sebelum lanjut baca, aku mau ngasih tahu dulu biar kalian gak bertanya-tanya kenapa otor sesat buat cerita begitu-begitu melulu..
Jadi, sebenarnya beberapa bulan ini, aku sedang sangat senang ikut lomba di Noveltoon. kenapa? Dengan ikut lomba, aku jadi dapat ilmu baru, teman-teman baru.
Jadi untuk karya Daniz ini, aku ikut di lomba "KONFLIK RUMAH TANGGA" dan temanya terbagi dua. Yaitu tema "Pelakor" dan "Suami Tak Berguna"
Untuk kali ini, aku pilih sub tema "Suami Tak Berguna"
Jadi Revan ini adalah sosok suami tak berguna. Wkwkwk
Terima kasih untuk teman-teman yang selalu mendukung aku selama ini. maafkan kalau terdapat kekurangan dari alur cerita atau penulisan.
Salam sayang selalu 🤗🤗🤗
****
Daniza belum mampu mengucapkan sepatah kata pun setelah mendapatkan hasil pemeriksaan dari laboratorium. Benar dugaan dokter sebelumnya, bahwa kini Daniza tengah mengandung dan sudah memasuki minggu ke tujuh.
Jika saja Revan tak berselingkuh dengan Alina, tentu saja kehamilan Daniza ini akan menjadi berita paling membahagiakan baginya.
"Aku harus bagaimana sekarang?" Daniza menyeka air mata yang membanjiri pipi.
Wanita itu mulai ragu dengan nasibnya di masa mendatang. Kini, ia tak memiliki apa-apa lagi. Seluruh harta peninggalan orang tuanya sudah jatuh ke tangan Revan, dan mungkin tidak lama lagi Revan akan menceraikan dirinya dan memilih menikahi Alina.
Meraih tas miliknya yang berada di atas nakas, Daniza mengeluarkan ponsel. Ia masih berharap dalam hati bahwa Revan hanya sedang khilaf dan akan segera tersadar dengan kesalahannya.
"Mungkin kalau tahu aku hamil, Mas Revan akan berubah."
Ia meletakkan tespek dengan dua garis merah di pangkuannya dan mengambil gambar dengan kamera ponsel. Lalu, ia kirim ke nomor sang suami dengan harapan besar bahwa Revan akan luluh.
Namun, apa yang diharapkan Daniza tak sesuai kenyataan. Jangankan membalas pesannya, membuka saja tidak.
.
.
.
Sementara itu di tempat lain ....
Mata Alina berkilat marah ketika membuka ponsel milik Revan dan menemukan pesan bergambar yang baru saja dikirim Daniza.
Wanita itu melirik kekasihnya yang sedang duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Ia bangkit dan menatap marah laki-laki itu dengan menyodorkan ponsel.
"Apa-apaan ini?" pekik Alina tak terima.
Kening Revan berkerut tipis melihat ekspresi kesal yang tergambar jelas di wajah Alina. Pria itu lantas meraih ponsel miliknya. Apa yang ia dapati pada layar ponsel benar-benar membuatnya terkejut.
"Jadi kamu terlalu menikmati malam-malam kebersamaan kamu dengan Daniza sampai dia hamil? Iya kan?"
Revan tak tahu harus menjawab apa. Selama menikah, ia memang tak dapat menahan h@srat saat berdekatan dengan Daniza. Istrinya itu mampu membangkitkan sesuatu yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh Alina.
"Kenapa kamu diam, ayo jawab!" bentak Alina.
Revan menarik napas dalam-dalam demi mengembalikan akal sehatnya yang sempat menghilang. Ia pun tak tahu harus berbuat apa sekarang.
"Maaf, Al. Aku benar-benar tidak tahu kalau Daniza bisa sampai hamil."
Bola mata wanita itu mulai berkaca-kaca. "Dia hamil anak kamu sekarang. Apa kamu akan meninggalkan aku dan memilih dia?"
"Ya tidak begitu juga, Al."
"Kalau begitu minta Daniza menggugurkan kandungannya!" pekik Alina dengan kemarahan berapi-api. Dada bidang Revan pun tak luput dari pukulan bertubi-tubi.
Revan menarik Alina ke pelukannya. Sesekali ia mengusap rambut demi menenangkan wanita itu.
"Tenang dulu makanya!"
Bukannya mereda, amarah Alina malah semakin meluap-luap. "Aku tidak akan bisa tenang! Aku mau kamu suruh Daniza menggugurkan kandungannya!"
Revan menganggukkan kepala.
"Baiklah, aku akan bicara dengan Daniza nanti," jawabnya pasrah.
****
Malam harinya ....
Daniza duduk bersandar di ranjang dengan tatapan kosong. Sejak pulang dari rumah sakit, ia memilih mengurung diri di kamar. Bahkan makanan yang dibawa Mbak Iyem untuknya sama sekali belum disentuh.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, disusul dengan kemunculan Revan dari sana. Daniza pun segera bangkit dari duduknya dan mendekati sang suami.
"Mas ... ada yang mau aku bicarakan dengan kamu." Dalam rasa kecewa yang teramat atas pengkhianatan Revan, Daniza masih berusaha untuk bersikap lembut terhadap suaminya. Tentunya, dengan harapan bahwa Revan dapat berubah.
"Apa yang mau kamu bicarakan?"
Hati Daniza mencelos menyadari dinginnya sikap dan tatapan Revan. Sangat jauh dari Revan yang selama ini dikenalnya. Biasanya, saat pulang ke rumah Revan akan memeluk dan mencium keningnya. Namun, sekarang terasa sangat berbeda.
Apakah semua itu hanya topeng?
"Aku hamil, Mas," lirih Daniza dengan mata berkaca-kaca.
Revan mendengkus kasar. Dengan gerakan cepat ia menarik lengan Daniza dan melesakkan ke tubuhnya. Lalu, menatap wanita itu dengan sorot mata tak bersahabat.
"Aku mau kamu mengugurkan kandungan kamu."
Daniza hampir tak percaya mendengar permintaan tak masuk akal suaminya itu. "Kamu sadar, Mas. Ini anak kamus sendiri. Kamu ayah macam apa yang mau membunuh anaknya sendiri?"
"Aku tidak peduli!" Revan mendorong tubuh Daniza dengan kasar, hingga terhempas ke ranjang. "Pokoknya kamu harus menggugurkan janin dalam kandungan itu. Ngerti kamu!"
Setelah mengucapkan kalimat yang teramat menyakitkan itu, Revan melangkah keluar. Disusul dengan suara debuman pintu. Tinggallah Daniza seorang diri meratapi nasib.
Niatnya untuk membujuk Revan dengan kehamilan sama sekali tak membuahkan hasil.
.
.
.
Sejak mengetahui Daniza mengandung anaknya, Revan semakin tak terkendali. Ia jarang pulang ke rumah. Jika pulang pun, ia hanya memperlakukan Daniza dengan kasar dan pergi setelahnya.
Daniza tak tahu harus berbuat apa sekarang. Terlebih, Alina berhasil menghasut Revan untuk memblokir kartu kreditnya.
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Daniza tersadar dari lamunan.
"Masuk!" ucapnya.
Pintu pun terbuka, disusul dengan kemunculan Mbak Iyem.
"Non Daniz, di bawah ada Pak Revan. Sama ...." Ucapan wanita itu terpotong. Kepalanya tertunduk. Daniza menatapnya dengan kerutan di kening.
"Sama siapa, Mbok?"
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Daniza pun menyibak selimut dan bangkit. Meraih jubah piyama miliknya dan bergegas turun ke lantai bawah.
Seketika, kelopak mata Daniza melebar. Tangannya terkepal kuat. Tubuhnya gemetar hebat. Betapa tidak, Revan melewati ruang tengah dengan merangkul Alina. Sebuah koper berukuran besar berada di tangannya.
"Daniz, mulai sekarang Alina akan tinggal.di rumah ini," ucap Revan tanpa rasa berdosa.
Daniza belum sanggup menjawab saking terkejutnya. Ingin sekali ia hadiahkan tamparan ke wajah Revan dan Alina.
"Kamu sudah gila, Mas? Aku tidak mau serumah dengan perempuan ular seperti dia!" Daniza menunjuk Alina dengan kemarahan meluap-luap.
Alina terkekeh mendengar ucapan Daniza. Ia merangkul lengan Revan dengan mesra. Tanpa memerdulikan kecemburuan yang tergambar jelas di wajah Daniza.
"Kita memang tidak akan serumah, Daniz. Karena kamu yang akan keluar dari rumah ini," ucap Alina memandang remeh Daniza.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!