NovelToon NovelToon

Sahabatku, Maduku

Hari Dag Dig dug

Bukan sekedar paksaan untuk menjalani. Tepatnya sebuah jalan untuk bisa mencapai kepada tahap keikhlasan dan kesabaran yang sempurna.

Di jodohkan, bukan hal yang pernah terbersit di benak gadis bernama Alsya Ainun Zahwa. Tapi karena kepatuhannya kepada sang ayah, Alsya hanya bisa bersabar dengan menerimanya juga ikhlas dalam menjalaninya.

 

Hari ini adalah puncak dari segala kegundahannya. Tubuh Alsya sudah dibalut pakaian yang menjadikannya bak bidadari, namun Tak Bersayap. Alsya mematutkan tubuhnya di depan cermin. Melihat betapa indahnya tubuh gadis yang masih berusia sembilan belas tahun itu ketika dibalut gaun pengantin. Tidak ada wajah polos yang selalu dia lihat ketika bercermin.

Di dalam kamar, Alsya hanya berdiam diri menunggu acara yang sedang dilaksanakan di ruang tamu selesai.

Sayup-sayup telinganya mendengar jelas ayahnya di luar sedang melakukan proses akadnya. Setelah ayahnya selesai, di sambung dengan suara pria yang terdengar tegas juga sepertinya hanya dalam satu tarikan nafas saja. Dan disusul lagi dengan kata "SAH" seakan menggema dan menggetarkan seisi rumah.

Hati Alsya semakin dilanda kegelisahan. Entah apa yang sedang dia rasakan sekarang. Karena dia sendiri tidak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Alsya terkesiap ketika ada yang membuka pintu kamarnya.

 

" Alsya. "

" Umma. "

" Iya, nak. Ayo keluar. Temui suamimu sekarang." Ucap ummanya lalu menggandeng lengan Alsya.

" Tapi, umma. Alsya takut..."

" Takut kenapa?."

Alsya menggeleng. Benar apa yang dikatakan ummanya. Apa yang dia takutkan?.

Di belakang ummanya, kakaknya juga masuk ke dalam kamarnya. "Ayo, Al. Itu suamimu sudah di depan pintu. " Ucap kakaknya yang juga ikut-ikutan menggandeng lengan Alsya.

Alsya mendesah lalu mengangguk. Dengan lengan kanan digandeng oleh ibunya dan lengan kiri digandeng kakaknya, perlahan kaki Alsya melangkah tapi langsung terhenti saat di depan pintu yang masih tertutup rapat.

Alsya menoleh ke arah ibunya. " Umma.." panggilnya lirih.

" Kenapa Al ?."

" Umma. Di luar pasti ramai, kan ?."

" Yah jelas lah, kan ada acara. " Kakaknya yang menyahut.

" Iya, Alsya malu kak."

" Ya Allah, Alsya. Itu kasian Aly nya udah nunggu kamu lama di luar. " Dengus kakaknya kesel.

"Ya udah. Kalian ketemunya di kamar aja, berdua. Biar gak malu. Tapi nanti keluar ya ?." Putus ibunya akhirnya.

" Ihh, umma. Kok di kamar sih ?." Decak Alsya saat ibunya sudah berjalan ke arah pintu.

" Kamu ini, dek. Ribet tau gak ?. Udah ahh. Kakak keluar dulu. " Ucap kakaknya yang juga ikut keluar dari kamar.

" Kenapa jadi keluar semua sih ?." Alsya cemberut dan langsung mendudukkan tubuhnya di tepian tempat tidur.

Baru beberapa detik, pintunya kembali bergerak dan memunculkan seorang pria yang berdiri di ambang nya. Senyuman yang terlukis di wajah pria itu seakan langsung menghipnotis matanya. Bahkan Alsya tanpa sadar sudah kembali berdiri menatap pria itu yang sedang melangkah menghampiri.

 

"Assalamualaikum." Ucap pria itu dengan suara yang sangat lembut. Pria bernama Zuhally Hasbi Lathif, yang beberapa menit lalu menyandang status sebagai suaminya.

"Waalaikumsalam. " Jawab Alsya dengan suara lirih hampir tak terdengar.

 

Aly semakin mendekat dan kini keduanya berdiri saling berhadapan dengan jarak kurang dari setengah meter.

 

" Kamu masih punya wudhu ?." Tanya Aly.

 

Alsya mengangguk. Karena ia memang belum merasa membatalkan wudhunya yang ia ambil sebelum melakukan make up tadi.

 

"Kita sholat dulu."

 

Ucapan yang merupakan sebuah ajakan itu membuat hati Alsya berdesir damai.

Senikmat inikah memiliki seorang imam ahli agama ?. Bathin Alsya.

 

Alsya kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.

 

"Menunduk lah sebentar. " Ucap Aly lagi.

Alsya terdiam dengan tatapan bingung mendengar ucapan Aly kali ini tapi tak urung ia tetap menundukkan kepalanya sesuai perintah Aly.

Alsya merasakan hijabnya sedikit tertarik dan sesaat kemudian Aly menjauhkan kembali tangannya dari kepala Alsya. Aly berjalan ke arah meja rias dan meletakkan sesuatu yang dia ambil dari kepala Alsya.

Alsya hanya terdiam memperhatikan tingkah Aly yang tiba-tiba itu. Ternyata Aly baru saja melepas mahkota kecil yang tadi di pakai Alsya.

Aly kembali ke hadapan Alsya. "Maaf, Kamu bisa memakainya lagi, nanti." Ucap Aly meminta maaf atas hal yang baru saja dilakukannya.

 

Keduanya memulai shalat dua rakaat Sunnah Rasul-nya dan di lanjut dengan empat rakaat dua salam sholat Sunnah Dhuha. Setelah selesai, kedua pasang tangan itu menengadah. Alsya mengaminkan serangkaian doa yang di lantunkan dari sepasang bibir suaminya. Aly menutup doanya dan berbalik menghadap Alsya. Tangannya terulur untuk di sambut oleh tangan Alsya.

Alsya menggeser duduknya menjadi lebih maju dan menyambut tangan itu dengan tenang dan disalami penuh khidmat bersamaan hatinya menyenandungkan sholawat pada sang junjungan umat akhir zaman, yang menghukum kan sebuah pernikahan menjadi salah satu dari Sunnahnya.

Karena terlalu khusyu dalam sholat yang terasa begitu nikmat dan mendamaikan. Keduanya tidak menyadari, jika di ambang pintu ada tiga pasang mata yang menyaksikan momen indah tersebut dengan bibir tersenyum lebar. Momen yang sangat romantis.

Bersamaan dengan Alsya yang menyalami tangan Aly, Aly juga menangkupkan telapak tangannya yang bebas di puncak kepala Alsya seraya berdoa. Setelah Alsya selesai, tangan Aly yang tadi di Salami Alsya berpindah memegang dagu Alsya, mendongakkan wajah Alsya lalu mendaratkan kecupannya di kening Alsya.

Alsya memejamkan matanya sambil merasakan kehangatan yang berasal dari keningnya menjalar ke dalam lubuk hatinya yang terdalam. Dan itu benar-benar mendamaikan jiwa dan raganya. Alsya langsung membuka matanya saat kehangatan itu berpindah ke bibirnya. Tentu saja, karena Aly juga mendaratkan kecupannya di bibir Alsya, meski hanya beberapa detik saja.

Wajah itu menuai jarak dengan rona merah yang menghias di wajah masing-masing. Seulas senyum tersungging saling membalas.

Keduanya keluar kamar setelah sebelumnya Aly meminta periasnya untuk membenarkan make up Alsya juga memasangkan kembali mahkota yang tadi tersingkir di kepala Alsya.

 

____________

 

Menyandang status sebagai seorang istri juga santri secara bersamaan membuat Alsya harus kuat-kuat hati menahan rindu yang mendalam terhadap sosok suaminya itu. Setelah tinggal bersama selama lima hari, kini dirinya sudah menahan rindu selama sebulan. Tidak pernah bertemu dengan sosok suaminya itu dalam keadaan berdua seperti yang sering mereka lakukan sebelumnya.

Hari ini Alsya di panggil Ning nya untuk ke rumah ndalem. Persahabatan yang keduanya jalin memang sudah lama, dan hal itu pula yang mengharuskan dirinya sering bolak-balik ke rumah keluarga Kyai nya.

" Assalamualaikum, Ning Imah."

"Waalaikum salam , Al. Akhirnya kamu datang juga. Yuk, kita langsung berangkat aja. " Halimah atau sering disebut Ning Imah karena merupakan putri dari pengasuh pondok itu menggandeng tangan Alsya menuju Pajero yang mesinnya sudah menyala.

" Ehh. Ning Imah. Kita mau kemana, Ning ?." Tanya Alsya penasaran.

"Kita akan jalan-jalan. Kamu temani saya ya ?. Mau kan ?.''

"Saya tidak bisa mengatakan menolaknya, Ning."

Mendengar ucapan Alsya Ning Halimah langsung terkekeh kecil. Iya. Memang benar yang dikatakan Alsya, jika Alsya tidak punya hak untuk menolak ajakan Ning Halimah. Sebab itu akan diperkarakan sebagai bentuk takzim juga tata krama terhadap putri sang pemilik ilmu.

Mereka masuk ke dalam mobil yang sudah dipanaskan tetapi tidak ada supirnya. Alsya melihat sekeliling, tapi tetap tidak ada siapa-siapa selain keduanya saling ini.

"Ning, kita berangkat dengan siapa?." Tanya Alsya masih mencari keberadaan santri yang akan menjadi supirnya untuk kepergian saat ini.

"Sama kang Aly, dia tidak ada disini ?, Apa mungkin sedang ke toilet dulu ya?." Ucap Ning Halimah yang juga mulai mencari-cari keberadaan Kang Aly, salah satu santri gawai di rumah keluarga kyai atau disebut santri khodam.

"Kang Aly ?." Tanya Alsya sedikit tertegun dan menatap lekat wajah Ning Halimah.

Tidak ada lagi nama dengan panggilan Kang Aly sebagai santri khodam disini selain Zuhaly, suaminya.

Hati Alsya sedikit tidak nyaman mendengar suaminya yang akan menjadi supir perjalanan mereka kali ini. Sebab ia tahu bagaimana Ning nya, Ning Halimah adalah salah satu dari pengagum rahasia suaminya itu. Bahkan, Alsya adalah tempat curhat Ning Halimah saat Ning Halimah mengagumi sosok Kang Aly.

Pintu kemudi dibuka dari luar, sontak keduanya melihat bersamaan ke arah depan.

Penampilan pria didepannya memang sangat mempesona dan menghipnotis mata. Pesona kang Aly memang sudah jangan diragukan lagi. Kang Aly memiliki wajah oriental, dengan perpaduan wajah Indonesia Jawa dan Turki. Jambang tipis di rahangnya menambah kesan ketampanannya, begitupun dengan warna kulit terang yang tidak sama seperti santri laki-laki lainnya. Warna kulit yang dimiliki oleh kang Aly tidak jauh berbeda dengan warna kulit Alsya, istrinya.

Alsya melirik Ning Halimah, dan dugaannya benar, bahwa Ning Halimah sedang mengagumi sosok kang Aly meski hanya dari belakangnya saja.

 

"Punten, Ning. Kita akan pergi kemana?." Tanya kang Aly tanpa menoleh ke belakang sama sekali.

Ning Halimah langsung tersadar dari lamunannya setelah mendengar ucapan kang Aly.

"Kita ke mall, kang." Jawab Ning Halimah.

"Baik, Ning." Jawab kang Aly dan segera melajukan mobilnya keluar dari halaman pesantren dan membaur di jalan raya.

 

________

 

 

 

Sahabat

Selama perjalanan, Alsya yang duduk di samping Ning Halimah hanya sering diam dan setia mendengarkan ocehan Ning Halimah yang mengobrolkan ini-itu. Alsya akan menjawab pertanyaan Ning Halimah jika ditanya dan selebihnya akan terdiam sambil menyimak.

"Al, kamu bawa uang ?." Tanya Ning Halimah.

Alsya tersenyum sedikit kaku, lalu menggeleng. Dirinya tadi tidak sempat membawa uang sebab saat Ning Halimah memanggilnya, ia baru saja selesai menunaikan sholat dhuhur di masjid khusus perempuan.

"Tidak, Ning. Tadi saya belum sempat mengambil."

"Hem, baiklah. Nanti, kalau kamu mau membeli sesuatu, bilang saja padaku."

"Iya, Ning."

 

Aly yang sedang menyetir mobil mendengar semua yang mereka bicarakan. Matanya sesekali melirik kaca kecil di atas yang mengarah ke arah wajah Alsya.

Aly sangat tahu bagaimana kedekatan mereka selama beberapa tahun ini. Mereka juga sering melakukan perjalanan bahkan sampai keluar dari gerbang pesantren..

Dan karena kegiatan itu pula Alsya yang memang selalu menuruti ucapan putri kyainya, menjadi sering bolos pada kegiatan-kegiatan di pondok. Seperti halnya hari ini, Alsya sudah pasti melewatkan lagi kegiatan yang dijadwalkan seusai shalat dhuhur.

Dari awal diamanatkan oleh Abah Kyai, saat menyuruhnya untuk mengantarkan Ning Halimah keluar dari pesantren, Aly sudah menduganya bahwa Ning Halimah pasti tidak akan pergi sendiri dan memerlukan seorang teman. Dan temannya itu sudah pasti adalah Alsya, karena istrinya itu memang sahabat baik Ning Halimah.

Mobil sampai di parkiran mall. Ning Halimah langsung turun disusul Alsya yang juga turun dari mobil. Aly juga langsung membelokkan arah mobilnya saat kedua wanita itu sudah keluar.

"Kang Aly, sebelum Maghrib, kesini lagi ya." Ujar Ning Halimah.

"Iya, Ning."

"Terima kasih, kang. Assalamualaikum." Ujar Ning Halimah kemudian melangkah masuk ke dalam mall dengan tangan menggandeng tangan Alsya.

"Waalaikum salam."

 

Kedua wanita itu memasuki beberapa toko yang menyediakan berbagai macam jenis produk khusus perempuan. Memilih sesuatu yang sesuai dengan keinginan, lalu berakhir pada satu toko khusus make up.

"Al, dari tadi kamu belum beli apa-apa ya?. "

"Iya, Ning."

"Kalau begitu sekarang kamu mau beli apa?."

"Tidak ahh, Ning. Terima kasih, silahkan Ning Halimah saja yang beli. "

"Ahh, Alsya, kamu gak seru deh. Ayo, nggak papa Al, nanti dihitung sekalian denganku."

"Terima kasih, Ning. Tapi, saya memang tidak mau beli make up." Jawab Alsya yang masih terus menolak dengan halus.

"Ya sudah, kamu mau beli apa ?, Pakaian, kerudung, apa sandal untuk dipakai di asrama?." Tawar Ning Halimah dengan antusias dan Alsya menjawab dengan gelengan kepala.

"Alsya, ayolah, masa dari tadi aku terus yang belanja?. Kamu nggak pengen apa-apa begitu?!."  Tanya Ning Halimah lagi dengan nada merajuk.

Alsya tersenyum. Ning Halimah memang selalu baik terhadap dirinya. Setiap kali keluar bersama, tak jarang Ning Halimah juga memberikan sesuatu yang menurutnya sedikit berlebihan. Tapi dirinya juga tidak bisa membuat Ning sakit hati karena kecewa sebab penolakannya.

"Baiklah, Ning, saya beli cuci muka saja." Putus Alsya akhirnya dan mengambil face wash dengan merk yang sering dipakainya lalu memasukkannya ke dalam troli yang mereka bawa.

"Oh, oke, sama apa lagi ?. Hmm minimal kamu harus membeli tiga macam jenis." Ucap Ning Halimah seolah sebuah ancaman.

"Iya, tapi, Ning, saya tidak..." Ucapan Alsya terhenti dan mengambang di udara.

"Kamu ini kaya sama siapa saja, Al. Kalau begitu biar aku saja yang pilihkan untukmu. Tidak ada protes, pokoknya kamu harus nurut. "Ucap Ning Halimah benar-benar mengancam.

 

Alsya akhirnya mengangguk pasrah.

 

"Al, biasanya kamu memakai produk apa ?." Tanya Ning Halimah yang sudah sangat sibuk memperhatikan beberapa macam jenis make up.

"Sama seperti cuci muka saya, Ning."

Ning Halimah melihat cuci muka Alsya yang sudah dimasukkan ke dalam troli belanjaan. "Oh, iya." Ujar Ning Halimah lalu melangkah ke arah produk yang bermerek sama seperti cuci muka Alsya.

Ning Halimah mengambil lipstik, bedak, pelembab, krim malam, krim siang juga pembersih make up, dan semua itu adalah produk dengan merek yang sering dipakai Alsya.

"Maaf, Ning, itu banyak sekali ?." Ujar Alsya kaget dengan yang diambil Ning Halimah untuk dirinya.

Ning Halimah mendelik. "Ingat, Al, kamu tidak diperbolehkan protes." Ucap Ning Halimah.

Alsya menghembuskan nafasnya perlahan lalu menatap wajah Ning Halimah. "Tapi, Ning, saya tidak biasa memakai itu semua. Apalagi di pondok peraturannya melarang memakainya, Ning." Ucap Alsya sendu. Ia takut nanti jika ia memakai semua pemberian Ning Halimah yang ada malah akan mendapatkan sanksi di pondok.

"Tenang saja. Tidak akan ada yang berani melarangmu, aku sudah mengatakan pada pengurus keamanan pondok, kalau kamu harus dibedakan karena kamu adalah sahabatku." Ujar Ning Halimah santai sekali.

"Tapi, Ning..."

"Alsya, kalau kamu ngomong lagi, nanti sekalian aku tambahin maskara, eyeliner, foundation, liptint dan.."

"Iya, Ning, iya. Saya akan ngomong lagi, sudah cukup itu aja, Ning." Ucap Alsya akhirnya.

 

Ning nya itu memang suka sekali mengancam.

 

Ning Halimah terkekeh kecil. "Nah, nurut, kan?." Ucapnya.

"Karena Ning Halimah memaksa, tentu saja aku menurut, Ning." Ujar Alsya lemah.

 

Ning Halimah mengubah kekehannya menjadi tertawa. Alsya memang selalu menuruti apapun ucapannya. Yah. Tentu saja apa yang diucapkan Ning Halimah masih dalam tahap kewajaran.

 

"Lagian, dari tadi nolak terus."

"Iya, Ning." Ucap Alsya sudah tak bertenaga untuk mendebat.

 

Mereka menuju kasir untuk membayar semua belanjaan yang sembilan puluh sembilan persennya adalah milik Ning Halimah.

 

Selesai dikemas semua, mereka segera mencari tempat khusus sholat untuk mengerjakan sholat ashar.

"Kita mau kemana lagi, Al?." Tanya Ning Halimah saat keduanya duduk di teras musholla setelah sholat ashar.

"Saya ngikut aja, Ning. Tapi, tadi saat di mobil, katanya Ning Halimah akan ke kafe?."

"Hmm iya ya ?. Tapi, aku sudah gak ada keinginan untuk kesana, Al. "

"Jadi, kita akan kemana lagi, Ning?."

"Kamu lapar nggak, Al?." Tanya Ning Halimah lagi.

"Saya sih nggak lapar, Ning. Tapi, kalau Ning Halimah lapar, ayo saya temenin. "

Ning Halimah melirik ke arah Alsya lalu memutar bola matanya malas. "Al, aku bertanya kamu lapar tidak, soalnya aku tidak lapar. Takut kamu lapar, kita bisa mampir ke resto dulu sebelum pulang." Jelas Ning Halimah.

"Oh, kalau begitu saya juga tidak lapar, Ning. "Beneran ?."

"Iya, Ning."

"Berarti kita langsung pulang aja nih ?."

"Terserah Ning Halimah aja, saya ngikut, Ning."

"Kalau begitu kita langsung pulang aja." Putus Ning Halimah.

 

Mereka melangkah keluar dari gedung setinggi enam lantai tersebut menuju ke tempat parkiran dan ternyata mobil milik orang tua Ning Halimah sudah berada di sana.

 

"Kang Aly." Panggil Ning Halimah.

 

Kang Aly yang sedang duduk di kursi kemudi dan membiarkan pintu mobilnya terbuka, langsung sigap mematikan handphone nya saat kedatangan mereka.

 

"Ehh, Ning."

"Assalamualaikum, kang." Kali ini Alsya yang bersuara.

"Waalaikum salam..." Jawab Aly dengan senyum yang tersungging tipis untuk sang kekasih tercinta.

 

Alsya membalas senyum itu dengan cepat lalu ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Ning Halimah.

 

Langit sore tidak memancarkan sinar cerah sunset karena awan gelap gulita sedang mengarak di langit yang juga sedang mengguyurkan gerimis.

 

Aly sesekali melirik ke arah kaca dan melihat keadaan di belakang. Senyuman menawan terbit dari sudut-sudut bibirnya saat melihat Alsya sangat fokus menatap gemericik air hujan dibalik kaca mobil.

 

"Al." Panggil Aly membuat Alsya sedikit terperanjat. Alsya segera menoleh ke arah Ning Halimah. Seketika ia menghembuskan nafasnya perlahan, lega karena ternyata Ning Halimah sudah tertidur pulas.

 

Pantas saja berani memanggil namaku. Decak Alsya dalam hatinya.

 

"Iya, mas." Jawab Alsya akhirnya.

"Kamu belanja apa ?."

"Aku tidak belanja apa-apa, mas. Tapi Ning Halimah yang membelikan ku make up." Jawab Alsya apa adanya.

 

Aly tersenyum dan itu terlihat jelas di mata Alsya melalui kaca spion yang ada di dekat wajah Aly.

 

"Kamu nggak bawa uang?."

"Nggak sempat, mas. Kebetulan Ning Halimah nyamperin pas aku lagi ada di masjid."

 

Aly manggut-manggut mengiyakan.

 

Suasana mobil kembali sunyi. Alsya kembali fokus pada pepohonan yang berjejer di tepi jalan.

 

"Alsya." Panggil Aly lagi dan Alsya kembali menatap ke depan. "Kamu akan memakai make up-nya?." Tanya Aly kemudian.

"Hanya untuk menghargai pemberian Ning Halimah aja, mas."

"Baiklah, tapi jangan keseringan ya." Ucap Aly membuat Alsya bertanya-tanya dalam hatinya. "karena kamu sering keluar masuk area santri putra saat akan ke rumah Abah Kyai." Lanjutnya.

 

Alsya mengangguk dengan senyuman manisnya yang membuat Aly seakan terhipnotis olehnya.

"Iya, mas. " Jawab Alsya.

 

"Iya, Al. Minggu depan umma akan datang."

"Benarkah?!." Pekik Alsya senang juga kaget mendengarnya.

 

Setelah pernikahan waktu itu disaat liburan pondok, Alsya dan Aly kembali ke pesantren dan sudah dua bulan ini mereka tidak lagi bertemu dengan orang tua. Bahkan hubungan keduanya pun terhalang oleh gerbang pondok.

Tapi, bagi Aly masih mending menurut Alsya. Sebab, karena merupakan santri khodam, Aly diperbolehkan membawa handphone sedangkan dirinya tidak karena merupakan santri biasa meski sahabat putri sang pengasuh pondok.

 

Mobil berhenti di halaman rumah keluarga kyai. Aly langsung turun dan mengeluarkan barang-barang mereka yang ada di bagasi.

 

"Ning." Panggil Alsya dengan suara lirih sambil menggoyangkan lengan Ning Halimah.

Ning Halimah menggeliat lalu mulai membuka matanya. "Kita sudah sampai, Al ?." Tanyanya setelah melihat keadaan di luar mobil.

"Iya, Ning. Kita sudah sampai di rumah."

"Astaghfirullah. Aku terlalu nyenyak tidurnya ya Al?." Ucap Ning Halimah sembari membereskan penampilannya.

Alsya tersenyum lalu mengangguk. "Iya, Ning." Jawabnya.

 

Mereka segera turun dari mobil dan berlari ke arah teras rumah sebab gerimis sedikit lebih deras.

 

_________

Restu orang tua

"Alsya, aku ke Abah dulu ya. Maaf, aku tidak bisa mengantarkan kamu ke asrama." Ucap Ning Halimah penuh penuh penyesalan.

Alsya tersenyum. "Iya, nggak papa, Ning. Saya akan pulang sendiri, terima kasih barang-barangnya, Ning." Jawab Alsya tulus.

Ning Halimah ikut tersenyum. "Sama-sama. Assalamualaikum..." Ning Halimah langsung pergi ke aula di lantai dua di rumah keluarga Pengasuh.

Alsya melangkah menuju pintu keluar dan ternyata melihat ummi nyai.

"Sudah mau kembali ke asrama, Al?." Tanya ummi.

"Iya, ummi." Alsya menyalami tangan ummi dengan takzim.

"Kalau begitu sebentar, ummi ada sesuatu untuk kamu, ummi akan mengambilnya dulu. " Ucap Ummi lalu segera masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Alsya menunggu masih dalam keadaan berdiri di dekat pintu. Ummi kembali dengan tangannya menenteng sebuah paper bag berukuran sedang.

"Alsya, ini untukmu. Maaf, waktu itu kami tidak bisa menghadiri pernikahan kalian." Ucap Ummi lalu menyodorkan paperbag tersebut pada Alsya.

Alsya tersenyum kaku. Ia tak menyangka jika ummi akan memberikannya sebuah hadiah meski tidak memenuhi undangannya.

"Makasih, ummi." Ucap Alsya penuh hormat.

"Sama-sama. Di depan ada Aly, nanti kamu pulang ke asramanya bersama Aly saja, soalnya di jam sekarang santri putra lagi pada berkeliaran."

"Iya, ummi. Alsya pulang dulu ummi, assalamualaikum..." Ucap Alsya setelah menyalami tangan ummi untuk yang kedua kalinya.

"Waalaikumsalam, hati-hati." Ujar ummi.

Alsya mengangguk dan keluar dari rumah keluarga kyai. Ia menghampiri suaminya yang sedang berdiri membelakangi.

"Assalamualaikum." Ujarnya membuat Aly langsung berbalik.

Senyum Aly merekah saat melihat kedatangannya. "Waalaikum salam." Jawab Aly.

Alsya menyalami tangan Aly. "Kata ummi, mas yang akan mengantarkanku ke asrama ?." Tanya Alsya setelah selesai menyalami tangan Aly.

"Iya. Yuk, keburu kemalaman."

"Iya, mas."

Aly mengambil alih barang-barang yang ada di tangan sang istri.

Mereka berjalan keheningan karena tidak ada yang mendahului untuk berbicara. Hubungan mereka adalah buah dari sebuah perjodohan yang dilakukan oleh orang tua masing-masing yang merupakan sahabat saat belajar di pesantren ketika masih muda.

Meski pernah menghabiskan waktu bersama karena tinggal berdua selama seminggu, juga sudah menikmati malam pertamanya, namun kecanggungan masih menyertai mereka.

Perjalanan yang tidak terasa itu sampai di tempat tujuan. Setelah sampai di depan gerbang asrama putri, Alsya menyalami tangan Aly sebagai tanda perpisahan. Aly juga memberikan lagi barang-barang Alsya sebelum kembali ke asrama putra.

 

___________

 

Hari itu telah tiba, dimana keluarga Alsya datang untuk menjemput pulang Alsya yang akan selesai belajar di pesantren.

Alsya melepas pelukannya dari sahabat baiknya, Ning Halimah. Mereka saling menitikkan air mata karena perpisahan yang terjadi. Setelah selesai dengan sahabatnya, Alsya menyalami tangan kedua Pengasuh pondok yang sangat dihormati melebihi orang tuanya sendiri.

"Semoga ilmunya bermanfaat, Alsya." Ucap Ummi padanya.

"Aamiin, makasih doanya, ummi."

"Iya, Alsya."

 

Beberapa saat kemudian, Mereka segera keluar dari rumah keluarga kyai. Alsya langsung memasuki pintu mobil ayahnya.

Kepulangannya  tidak bersama Aly, sebab Aly masih akan mondok dua tahun kedepan, katanya. Bahkan hari ini, dimana Alsya meminta izin untuk pulang, Aly tidak melihatnya, sebab Aly sedang ditugaskan oleh Abah Kyai untuk melakukan peninjauan pada salah satu cabang pesantren yang ada di luar kota.

Aly memang seorang khodam, tapi Aly juga merupakan salah satu ustadz dalam pesantren, juga menjadi bagian dari staf kepengurusan madrasah.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam lamanya, akhirnya Alsya sekeluarga sampai di rumah dengan selamat. Alsya langsung masuk ke kamarnya karena badannya terasa sangat lelah.

Sampai di kamar, Alsya hanya membersihkan wajah, kaki dan tangannya saja lalu berjalan menuju tempat tidur untuk segera mengistirahatkan tubuhnya.

 

Waktu terus beranjak dengan pasti. Alsya bangun ketika telinganya sayup-sayup mendengar suara adzan ashar. Alsya segera membersihkan diri kemudian bersimpuh diatas bentangan sajadah untuk bermunajat kepada Sang Pencipta.

Selesai sholat ashar, Alsya keluar dari kamar lalu menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur.

"Assalamualaikum, umma."

Ummanya menoleh dan menjawab salam lalu kembali lagi pada kegiatannya.

"Umma sedang masak apa ?." Tanya Alsya menengok ke arah panci yang sedang di aduk-aduk.

"Umma masak sayur sop iga kambing."

"Pasti keinginan Abah ?."

"Yah, Abah kamu memang sering sekali meminta umma memasak ini, tapi tidak pernah ada kata bosan." Ucap ummanya.

Alsya hanya tersenyum mendengar ucapan ummanya.

Dia tiba-tiba teringat akan suaminya. Satu bulan lebih mereka tidak berinteraksi layaknya sepasang suami istri. Bahkan mungkin lebih tepatnya seperti orang asing yang tidak pernah kenal.

Alsya yang masih berumur remaja sebenarnya belum bisa mengartikan status dirinya sendiri. Di KTP memang dia seorang wanita yang sudah menikah, di dalam Islam dia juga merupakan seseorang yang sudah di bawah pimpinan seorang pria yang disebut sebagai suami, dan di hukum fiqih pasal nikah dia juga sudah sempurna sebagai seorang istri sebab telah menyerahkan lahir batinnya kepada suami.

Tapi rasanya dia masih belum merasakan bagaimana kehidupan sehari-hari yang selalu dilakukan oleh sepasang suami istri yang sebenarnya. Dia belum pernah merasakan bagaimana mengalami perasaan marah, senang, kecewa, kesal, cemburu juga sebagainya ketika menjalani peran sebagai seorang istri.

"Umma, kalau seandainya Al meminta mas Aly untuk berhenti mondok, apa Al akan menjadi istri durhaka kepada suami ?." Tanya Alsya tiba-tiba.

Ummanya langsung berhenti mengaduk-aduk kuah yang ada di dalam panci dan langsung menoleh ke arahnya.

"Menurut umma tidak, sebab yang namanya seorang suami itu seharusnya melakukan perannya sebagai seorang pemimpin, karena jika Aly tetap di pesantren, dia seolah tidak menjalankan kewajibannya." Ucap ummanya lantang.

Alsya sangat tahu jika ummanya memang tidak pernah menyetujui perjodohan antara Alsya dan Aly. Tapi, karena ucapan seorang suami adalah mutlak, maka seorang istri hanya harus nurut dan mematuhi perintahnya saja.

"Tapi, mas Aly di pesantren sebab menuntut ilmu, umma." Ucap Alsya lirih.

"Memang, tapi seharusnya dia juga harus berpikiran rasional, bahwa dia sudah memiliki status yang berbeda bukan lagi seorang pria yang tidak memiliki tanggung jawab besar." Ucap ummanya lagi semakin terlihat bahwa ummanya itu sangat tidak menyukai Aly.

Alsya mendengus pasrah. Jika berbicara tentang Aly dengan ummanya, maka semuanya semakin runyam saja, pikirnya.

"Dari awal umma tidak suka dengan perjodohan yang dibuat oleh Abah kamu sama temannya, sebab Umma tahu bagaimana nanti hubungan kalian setelah menikah. Sebagai seorang ibu, umma hanya tidak ingin putri umma menderita..." Ucap ummanya lirih.

Alsya memperhatikan wajah ummanya yang kini terlihat sendu juga menampakkan genangan air mata di pelupuk matanya. Alsya langsung memeluk erat tubuh ibunya dan tanpa sadar matanya juga mulai berkaca-kaca.

"Restui kami, umma. Sebab ridho umma adalah kunci kebahagiaan bagi putri Umma ini. Alsya tidak mau jika pernikahan Alsya Ini menjadi tidak berkah karena umma tidak ikhlas." Ucap Alsya yang air matanya sudah menganak sungai di pipinya.

"Astaghfirullah... Kenapa rasanya berat sekali melepaskan kamu untuknya, padahal dulu saat Annisa umma baik-baik saja, bahkan umma sangat rela jika salah satu putri umma dipinang oleh seorang laki-laki yang umma sendiri tidak pernah mengenalnya. " Ucap ummanya mengeluarkan semua unek-unek dalam hatinya.

Alsya tak lagi berucap, ia hanya mengungkapkan isi hatinya melalui tangisan yang mulai terdengar jelas. Ia tidak mungkin memaksakan perasaan orang lain, meski ibunya sendiri.

Ummanya mengucap istighfar berkali-kali dan sesekali mengecup singkat kepala Alsya. "Astaghfirullah... Ya Allah, Semoga engkau mengampuniku karena hati yang tidak ikhlas atas pernikahan putriku sendiri..." Ucap ummanya lagi dengan suara lirih.

"Umma..." Panggil Alsya yang tangisannya semakin menjadi-jadi.

"Lanjutkan hubungan kalian, nak. Semoga Allah memberikan keberkahan pada pernikahan kalian, maafkan umma yang hingga saat ini masih belum ikhlas melepaskan putri umma ini. Insya Allah, meski berat, umma meridhoi pernikahan kalian." Ucap ummanya lagi.

Alsya menatap wajah ummanya sesaat lalu mengangguk dan kembali memeluk erat tubuh ummanya.

 

____________

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!