''Ayo, Papa Foto aku dan Mama, aku sudah siap'' teriak anak perempuan yang barusia sekitar 6 tahun, wajahnya begitu ceria. Tubuh mungilnya berdiri tepat di depan aku, punggungnya sedikit menempel di kostum badut yang aku pakai. Sedangkan seorang wanita cantik yang ku taksir sepantaran dengan diri ku berdiri tepat di samping ku.
''Iya, ambil gaya yang bagus ya. Satu ... Dua ... Tiga ...! Selesai. Foto nya sangat bagus. Anak Papa dan Istri Papa memang sangat cantik.'' tutur seorang pria bertubuh tegap itu, dengan mata fokus ke arah ponsel yang ada di tangan. Senyum bahagia terpancar dari binar mata dan wajahnya.
Sedangkan aku, aku yang berdiri tidak jauh darinya menatap pilu. Aku berdiri dengan tungkai kaki terasa lemes dan gemetar, tubuh pun ikut gemetar. Air mata menetes dari pelupuk tanpa ada seorang pun yang tahu. Aku menangis dalam diam dengan dada terasa sesak di balik kostum badut yang aku pakai, kostum bewarna merah muda. Mata ku fokus melihat senyum bahagia pria itu yang tanpa jeda.
''Ini, ambillah. Terimakasih!'' ucap wanita itu, dia berpakaian begitu seksi. Dia menyerahkan mata uang bewarna ungu kepada diri ku. Dengan memasukkan uang kertas itu langsung kedalam tas Tote bag yang tergantung di leher ku. Aku hanya mengangguk kecil.
Lalu setelah itu mereka pergi, mereka seperti keluarga kecil yang amat bahagia. Sang pria menggendong anak perempuan itu lalu mengecupnya berulang kali dengan penuh cinta. Sedangkan tangannya merangkul pinggang wanita di sampingnya.
''Mau ke mana lagi?''
''Aku mau es krim Papa''
''Baiklah anak cantik. Kalau Mama mau Apa?''
''Mama mau Papa selalu ada di samping kita seperti saat ini''
Suara mereka yang saling bersahutan masih terdengar. Semakin lama semakin terdengar menjauh dan sayup.
Aku masih berdiri di tempat semula dengan perasaan hancur.
Pria itu mirip sekali dengan suamiku, pria yang menikahi ku 6 tahun yang lalu. Tidak lagi mirip, sepertinya dia memang suamiku. Pakaiannya, jaketnya, semua sama persis seperti yang biasa aku cuci di rumah.
''Mas Setya kenapa kamu tega!'' batinku menangis pilu seraya memegang bagian dada.
''Ternyata kamu bisa bersikap sangat lembut sama perempuan lain. Berbeda sekali kalau lagi bersama aku dan anak mu sendiri. Ternyata ini alasannya, alasan kamu selalu pergi pagi dan pulang larut malam. Bahkan kamu sampai lalai memberi nafkah kepada aku dan anak mu sendiri.'' lagi-lagi aku bermonolog. Aku tidak habis pikir, ternyata selama ini Mas Setya mempunyai wanita lain selain aku.
''Apa wanita itu madu ku? Sejak kapan?'' pertanyaan itu terus berkecamuk, sesak di dada tak kunjung hilang.
Aku menyeret langkah menuju tempat pengganti baju, malam sudah larut, penghasilan malam ini juga sudah lumayan aku dapat, dengan uang ini mudah-mudahan cukup untuk membeli obat penurun demam putra ku.
***
Aku pulang menembus gerimis, berjalan menyusuri trotoar. Jalan raya sudah sepi. Wajar saja. Dingin-dingin begini paling enak ngumpul sama keluarga, becanda gurau tertawa bahagia.
Tapi aku, aku harus berjuang mengais rupiah, wanita tidak berpendidikan mungkin memang nasibnya akan seperti aku. Di sia-sia kan dan di bohongi habis-habisan. Tak dihargai di hadapan manusia yang merasa sempurna, padahal sesungguhnya derajat kita selalu sama di hadapan sang pencipta. Hanya amal ibadah saja yang menjadi tolak ukur, lebih mulia atau tidaknya seorang hamba.
Saat melewati apotek, langkah ku berhenti lalu masuk kesana. Aku meraba Tote bag, mengambil uang kertas usang di dalamnya.
''Ada yang bisa saya bantu, Mbak?'' sapa apoteker perempuan berkerudung biru dengan ramah. Senyum manis terukir di wajahnya.
''I i ini, saya mau beli obat penurun panas untuk putra saya.'' ucapku tergagap. Tanganku memeluk tubuh yang menggigil kedinginan terkena gerimis, di tambah lagi AC apotek yang semakin menambah rasa dingin tubuh ini.
''Oh. Kalau boleh tahu Putra Mbak usianya berapa tahun? Dan udah dari kapan panas nya?''
''Putra saya berusia lima tahun. Mendadak demam kemarin sore.''
''Baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan. Lain kali Mbak yang cepat cari obat penurun panas nya ya, takut terjadi apa-apa sama Putra Mbak kalau telat di tangani.''
Aku mengangguk kecil, wanita ramah itu berlalu kebelakang mengambil obat.
Setelah menunggu sekitar tiga menit wanita itu menghampiri aku lagi. Dia memberi obat, memberi sirup penurun demam. Yang di botol nya ada gambar anak laki-laki seusia Arif, Putraku.
''Berapa, Mbak?'' tanyaku.
''Tiga puluh ribu saja, Mbak.''
Aku memberi uang berwarna ungu sebanyak tiga lembar yang aku kumpulkan tadi. Setelah itu aku berlalu.
***
Aku berjalan memasuki kawasan padat penduduk di pinggir kota. Iya, rumahku berada di kawasan ini.
''Assalamualaikum Teh,'' panggil ku sedikit berteriak seraya mengetuk pintu. Aku mengetuk pintu rumah Teh Hamidah, dia merupakan tetangga sebelah rumahku.
Tidak menunggu waktu lama, Teh Hamidah menampakkan wajahnya di balik pintu.
''Oalah Hanifa, akhirnya kamu pulang juga. Teteh kira terjadi apa-apa sama kamu. Tumben kamu telat pulang nya. Ayo masuk dulu. Arif sudah tidur.''
''Enggak usah Teh, aku mau langsung pulang aja. Ini pakaian aku udah lembab terkena gerimis. Aku boleh minta tolong gondong Arif ke sini enggak Teh?
''Ya udah. Tapi denger dulu. Tadi Teteh denger suara motor suami mu, sepertinya suami mu udah pulang, Fa. Mungkin itu motor udah di masukkan kedalam. Teteh cuma berpesan, kalau dia marah karena kamu pulang larut begini kamu diam aja ya, kasihan Arif kalau harus mendengar orang tua nya bertengkar.'' pesan Teh Hamidah berbisik seraya melirik ke teras rumah ku yang hanya berjarak enam meter dari rumahnya.
''Iya Teh. Makasih atas perhatiannya dan kebaikan Teteh selama ini.''
''Iya. Kamu jangan merasa sungkan sama Teteh karena Teteh sudah menganggap kamu seperti Adik Teteh sendiri. Kamu tunggu di sini sebentar ya, Teteh ambil Arif dulu,''
''Iya Teh.''
Teh Hamidah berlalu kedalam, sedangkan aku, aku melirik ke arah rumah ku. ''Tumben Mas Setya pulang. Kira-kira ada apa? Dan kenapa dia tidak nginap di rumah wanita seksi tadi?'' batinku bermonolog. Dada ku masih saja terasa sesak mengingat kejadian tadi.
Setelah itu Teh Hamidah membawa tubuh Arif, sedetik kemudian tubuh Arif telah berpindah pada gendonganku.
''Ini, tadi kening Arif selalu Teteh kompres. Makanya demamnya tidak bertambah. Kamu udah beli obatnya?''
''Udah Teh.''
''Ya udah kasih cepat ya, kasihan Arif.''
"Iya Teh. Sekali lagi terimakasih banyak. Aku pulang.'' ucapku. Teh Hamidah mengangguk kecil dengan senyum getir. Sepertinya Teh Hamidah begitu merasa kasihan sama aku dan putra ku.
****
Sesampainya aku di depan pintu. Aku mengucap salam.
''Assalamuailakum.'' kataku. Aku mendorong pintu yang tidak di kunci itu pelan, lalu berjalan masuk. Aku sungguh tidak tahan lagi sama pakaian ku yang lembab. Mas Setya tidak membalas salam dari ku.
Aku melihat Mas Setya duduk lesehan di tikar ruang tamu. Dia bersandar di dinding, sebatang rokok menemani nya.
Ternyata benar, yang tadi aku lihat beneran Mas Setya. Pakaiannya masih sama persis sama yang tadi.
''Dari mana saja? Malam-malam keluyuran,'' suara bass Mas Setya memecah keheningan.
''Bukan urusan mu!'' jawabku acuh. Aku mendengar Mas Setya menarik nafas panjang. Aku berlalu ke kamar. Mengganti pakaian, lalu membaringkan tubuh Arif di kasur tipis. ''Bunda,'' rengek Arif dia memeluk tubuhku.
''Arif tunggu di sini sebentar ya, Bunda ambil air kebelakang. Arif harus minum obat, supaya cepat sembuh. Ini Bunda udah beli obatnya.'' kataku memaksa senyum seraya membelai rambut tebal dan lurus putraku. Arif mengangguk, dia tersenyum manis.
Aku berjalan kebelakang. Melewati tubuh Mas Setya. Maklum rumah kami kecil. Hendak ke dapur saja harus melewati ruang tamu.
''Hebat sekarang ya! Kamu denger tidak aku tadi ngomong apa?!'' ucap Mas Setya penuh penekanan saat aku masih berada di dapur.
''Iya hebat! Kamu yang hebat. Masih ingat pulang juga ternyata. Kemana saja kamu selama tiga hari ini.'' jawabku tak mau kalah. Terkadang wanita harus bersuara, agar tidak selalu di remeh kan.
''Selesaikan dulu urusanmu. Urus Arif. Setelah itu bikin kopi buat Mas. Kita perlu bicara. Ada yang ingin Mas katakan.'' ucap Mas Setya dengan nada sedikit pelan dari tadi. ''Kopi katanya, tak memberi nafkah tapi masih minta di layani. Dasar egois.'' batinku.
Aku tak menjawab. Bahkan dia sama sekali tidak menanyakan kondisi anaknya. Anak yang selalu menanyakan keberadaan dirinya setiap hari. Hingga Arif jatuh sakit seperti ini.
Mas Setya memiliki wajah rupawan. Dia amat tampan. Dulu dia begitu baik, romantis, peduli, dan sangat perhatian. Mas Setya bekerja sebagai tukang ojek online, bahkan merangkap menjadi supir di keluarga kaya. Kami menikah di dilandasi suka sama suka. Selama ini aku selalu menerima kekurangan dan kelebihannya. Menerima berapa saja nafkah lahir yang dia berikan. Tapi semenjak seminggu ini Mas Setya lupa akan kewajibannya, dia tak pernah lagi memberi uang belanja, bartanya pun tak pernah ia lakukan. Hingga mengharuskan aku bekerja menjadi badut untuk menyambung hidup.
Beberapa bulan ini dia mulai berubah. Dia tertutup, lebih banyak diam dan jarang sekali pulang kerumah.
Sekarang aku sudah tahu alasan sebenarnya. Dia sudah punya keluarga baru, rumah kedua tempat nya singgah.
Terkadang kata setia di awal pernikahan tak cukup untuk menjadi bukti kalau orang itu akan setia selamanya, selama mengarungi rumah tangga.
Aku memberi Arif obat penurun panas, ia menurut saja tanpa membantah, karena putraku memang anak yang cukup mengerti dan penurut. Setelah beberapa menit selesai meminum obatnya akhirnya Arif memejamkan matanya kembali. Putraku sudah terlelap, aku lalu menyelimuti setengah tubuhnya, mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, berharap esok hari ia akan bangun dengan senyum ceria karena panas yang tak lagi membersamai nya.
Selesai mengurus Arif, aku kebelakang lagi. Aku akan membuat kopi untuk Mas Setya. Saat aku melewati tubuh suamiku tadi, aku melihat ia sibuk dengan benda pipih miliknya.
Aku memasak air sedikit, hanya pas-pasan untuk membuat segelas kopi. Lalu begitu sudah mendidih, aku menuangkannya kedalam gelas kaca yang sudah terdapat bubuk kopi dan sedikit gula di dalamnya. Aku aduk-aduk sebentar hingga merata setelah itu aku bawa kedepan, kehadapan Mas Setya.
''Ini, Mas,'' ucapku seraya meletakkan gelas yang mengepul asap.
''Terimakasih.'' balasnya singkat. Ia memasukkan benda pipih miliknya kedalam saku, lalu ia mulai berbicara.
Kami duduk saling berhadapan, dengan jarak sekitar satu meter, kami sudah seperti dua orang asing saja. Diantara kami aku rasa ada jarak yang tak kasat mata yang memisahkan, yang sengaja di ciptakan oleh Mas Setya.
''Fa, ini.'' Mas Setya berbicara seraya meletakkan beberapa uang bewarna merah dihadapanku.
''Apa ini?'' tanyaku kaget dengan mata menyipit. Dari mana Mas Setya mendapatkan uang sebanyak ini. Aku perkirakan uang bewarna merah itu ada sekitar sepuluh lembar.
''Ini uang untukmu dan Arif. pakailah untuk memenuhi kebutuhan kalian. Mas selama beberapa hari ini sudah mendapatkan pekerjaan baru dengan menjadi seorang sopir di keluarga kaya. Makanya Mas tidak pulang, beberapa malam ini Mas menginap di sana.'' jelas Mas Setya terlihat sungguh-sungguh.
''Benarkah? Kamu sedang tidak berbohong 'kan?'' selidikku.
''Maksud kamu apa? Kamu mencurigai suami mu ini berbuat macam-macam diluaran sana?'' nada bicaranya naik satu oktaf. Selain sudah tidak peduli lagi, Mas Setya juga gampang sekali emosi.
''Ah tidak! Aku cuma bertanya. Santai aja dong.'' sungut ku.
''Ya sudah, ambil dan simpanlah uang ini.'' katanya, matanya jarang sekali menatap ke arah aku. Sepertinya dia malas sekali melihat Istri nya yang tidak lagi cantik ini.
''Baiklah. Kalau begitu aku mau tidur dulu.'' aku mengambil uang yang tergeletak di lantai lalu menyimpan nya di bawah lipatan kain di dalam lemari.
Aku berbaring di samping tubuh mungil putraku, lalu aku mencoba memejamkan mata. Berharap bisa menyelam kealam mimpi, lalu melupakan bayang-bayang tentang kejadian di taman kota tadi walau hanya sesaat. Bayang-bayang yang terus membuat dada ku terasa nyeri tak berkesudahan.
Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, ''Mas akan tidur di luar.'' katanya. Dia mengambil bantal dan selimut.
''Iya.'' jawabku singkat.
Setelah itu langkahnya terdengar menjauh lagi. Mas Setya lebih memilih tidur diruang tamu di atas tikar tipis di bandingkan tidur bersama aku Istrinya dan putra nya sendiri. Tadi aku berharap dia akan membelai dan memeluk putranya dengan penuh kasih sayang. Tapi, kenyataannya dia sama sekali tidak peduli dan tidak merindukan Arif.
Aku memilih diam tidak menanyakan perihal yang aku lihat di taman kota tadi bukan karena aku bodoh, aku hanya ingin melihat sejauh mana Mas Setya membohongi aku. Suamiku benar-benar telah berubah. Aku seperti tidak mengenali sosoknya lagi. Ternyata bukan suami yang banyak uang saja bisa selingkuh, buktinya, suamiku yang pendapatannya pas-pasan juga bisa mendua. Menghadirkan wanita lain di dalam pernikahan kami.
***
Baru beberapa saat rasanya mataku terpejam, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku bangun dari tempat tidur, aku berjalan pelan hendak ke kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, saat aku melewati ruang tamu tidak aku dapati Mas Setya berada di sana. Yang ada hanya selimut dan bantal yang tergeletak asal.
Aku berjalan pelan, lampu ruang tamu dimatikan oleh Mas Setya. Ruang tamu remang-remang, hanya sedikit cahaya lampu dari luar yang menerangi.
Saat aku sudah sampai di pembatas antara ruang tamu dan dapur, aku mendengar suara seseorang tengah berbicara lirih. Aku menajamkan pendengaran mencoba menguping.
''Iya, Mas juga kangen Sayang.'' jantungku berdetak lebih cepat. Itu suara Mas Setya.
''Mas kenapa enggak balik lagi kesini?'' suara wanita itu bisa juga aku dengar.
''Mas takut Hanifa akan curiga, makanya Mas menginap di sini untuk malam ini saja.''
''Mas enggak ngapa-ngapain 'kan sama wanita miskin itu?''
''Enggak lah! Mas tidur diluar. Sedangkan dia di kamar. Kamu tenang saja Sayang, Mas tidak akan tergoda. Tubuh kamu jauh lebih bagus, menggoda dan indah dari dia.'' Mas Setya terkekeh kecil setelah mengatakan itu.
''Ah, Mas bisa aja. Rasa kangen aku jadi bertambah tambah tambah deh sama kamu. Pengen peluk ...'' Jijik, aku sungguh jijik mendengar ucapan wanita itu.
''Sabar ya.''
''Selalu.''
''Caca gimana? Apa dia rewel?''
''Jelas rewel lah. Tadi dia nangis nyariin kamu terus. Caca itu udah sayang banget sama kamu, Mas. Dia udah anggep kamu seperti Papa kandungnya sendiri.''
''Sama. Mas juga udah anggep Caca seperti anak Mas sendiri. Mas sekarang juga sangat merindukan dia.''
''Besok pagi-pagi sekali kamu kesini ya. Aku tunggu. Aku takut Caca histeris lagi nyariin kamu.'' wanita itu berbicara dengan nada manja.
''Iya, Sayang''
''Apa wanita miskin itu sudah tidur?''
''Sudah sepertinya. Kalau dia belum tidur mana mungkin Mas berani ngomong sama kamu.''
''Mas kenapa enggak ceraikan saja sih dia. Bisa nya cuma nyusahin.''
''Ini belum saatnya Sayang. Kasihan dia. Bisa-bisa dia mati kelaparan kalau Mas enggak kasih dia uang.'' lagi-lagi Mas Setya terkekeh kecil di akhir kalimat.
Aku perlahan menjauhkan tubuhku dari tempat aku menguping. Aku sudah tidak kuat lagi, seluruh persendian tubuhku terasa lemas. Hatiku rasanya sungguh sakit. Rasa pengen buang air kecil seketika menguap karena mendengar obrolan menyakitkan antara Mas Setya dan gundiknya.
Tega sekali Mas Setya membicarakan aku, menjatuhkan harga diri ku di depan wanita lain.
Aku kembali membaringkan tubuhku di samping Arif. Air mata tiba-tiba lolos lagi dari netra. Aku sudah berusaha kuat dan tak peduli. Tapi tetap saja rasa dikhianati oleh orang yang kita percaya sangatlah sakit.
Aku tidak akan mati kelaparan tanpa kamu Mas! Ternyata kamu sudah sangat keluar batas dalam membicarakan aku di belakang ku. Tunggu saja, akan aku buktikan kalau aku mampu berdiri di kakiku sendiri.
Bersambung.
Jangan lupa like, komen dan subscribe bagi yang mampir.
Hanifa terbangun dari tidurnya ketika ia mendengar suara adzan subuh berkumandang. Cepat dia bangkit dan hendak membersihkan dirinya di kamar mandi.
Saat melewati ruang tamu, dia melihat suaminya tidur meringkuk di atas tikar dengan selimut menutupi seluruh anggota tubuh. Hanifa menatap penuh arti kearah kepala rumah tangganya itu. Kepala rumah tangga yang tak lagi berdiri kokoh pada tempatnya.
''Karena tidak ingin tidur bersama aku dan putra mu sendiri, bahkan kamu rela tidur di tikar tipis ini. Kamu rela menahan dingin lantai yang tembus ke tikar. Apa memang sudah tidak ada lagi cinta mu untuk diriku, Mas.'' batin Hanifa pilu.
''Rumah tangga macam apa ini.'' lagi Hanifa bermonolog. Setelah itu dja melanjutkan langkahnya.
Hanifa di landa kebingungan yang amat, antara bertahan atau mundur saja dari rumah tangga yang tak lagi sehat. Bertahan akan membuat dia terus tersiksa sama sikap dingin sang suami yang tak lagi mencintai nya serta tersiksa sama pengkhianatan sang suami, sedangkan kalau mundur akan membuat sang buah hati terluka dan kehilangan sosok Ayah yang begitu putra nya sayangi.
Selesai ber-Wudhu Hanifa sholat dengan begitu kusyuk. Setelah mengucapkan salam Hanifa duduk terpengkur di atas sajadah, dia berdoa dengan sungguh-sungguh meminta pertolongan kepada sang maha menolong dan yang maha tahu yang terbaik untuk umatnya. Hanifa berdoa dengan air mata berlinang.
Sang putra yang sudah dari tadi bangun menatap sang Ibunya dengan pilu. "Bunda kenapa? Kenapa Bunda nangis? Aku 'kan tidak nakal. Apa Bunda nangis karena aku tidak sholat.'' batin anak berusia lima tahun tersebut.
Lalu anak yang sudah kembali sehat itu bangun dari tempat tidur, dia akan ke kamar mandi untuk ber-Wudhu.
Hanifa yang melihat putranya sudah bangun, dengan cepat dia menyelesaikan doa, lalu ia menyapa sang putra.
''Arif kok udah bangun, ayok tiduran lagi. Arif kan masih demam.'' kata Hanifa lembut, dia duduk pinggir kasur di sebelah Arif dengan mukena masih melekat.
''Arif udah sehat Bunda, ini kening Arif udah enggak panas lagi.'' ucap Arif seraya menarik tangan sang Bunda agar merasa kening nya.
''Alhamdullah kalau Arif udah sehat. Terus Arif mau ngapain subuh-subuh gini udah bangun aja?'' Hanifa membelai pipi gemes sang putra.
''Arif mau sholat Bunda. Tadi Arif lihat Bunda nangis, Bunda nangis pasti karena Arif yang tidak sholat 'kan. Waktu itu Bunda 'kan pernah bilang kalau Arif enggak boleh lupa sama kewajiban Arif sebagai anak yang baik, nanti Allah marah. Arif kebelakang dulu ya Bunda, Arif mau berwudhu.'' ucap Arif dengan lancar setelah itu dia berlalu ke kamar mandi, meninggalkan sang Bunda yang terharu mendengarkan penuturan nya. Dia memang anak yang pintar dan penurut, selama ini Hanifa mendidik putranya dengan sangat baik.
''Masya Allah Nak. Kamu pintar sekali. Terimakasih ya Allah.'' gumam Hanifa seraya menatap punggung Arif yang hilang di balik gorden kamar.
Arif berjalan kebelakang, begitu tubuh mungilnya melewati ruang tamu. Senyuman nya tiba-tiba mengembang. Dia berteriak kesenangan.
''Hore. Hore. Ayah sudah pulang. Hore...'' Arif meloncat kegirangan di depan tubuhku sang Ayah yang masih meringkuk. Lalu setelah itu Arif bersuara lagi.
''Ayah, bangun. Ayo kita sholat bersama-sama Ayah. Bangun Ayah. Ayah kenapa tidur di sini. Ayo bangun Ayah, nanti waktu subuhnya habis. Ayo cepetan bangun Ayah.'' Arif menggoyang-goyangkan tubuh sang Ayah berulang kali.
Setya yang merasa begitu terganggu tidurnya karena ulah sang putra tiba-tiba membuka selimut lalu dia bangun dengan menguap dan mengucek mata. Setya duduk di depan Arif.
''Apa sih ganggu saja! Dasar anak nakal, tidak tahu sopan santun. Enggak lihat apa Ayah lagi tidur!'' Setya membentak Arif dengan nada suara yang tinggi. Sorot matanya terlihat begitu kesal sama sang putra.
Arif yang kaget karena di bentak, seketika air mata mengenangi pelupuk matanya. Arif berdiri dengan tubuh gemetar. Ini kali pertamanya sang Ayah bersikap seperti itu.
Hanifa berjalan cepat begitu dia mendengar keributan yang terjadi.
''Mas! Kamu apa-apaan sih!'' bentak Hanifa yang tek terima Arif di perlakukan seperti itu. Hanifa memeluk tubuh mungil sang putra.
''Kamu itu yang apa-apaan! Jadi Ibu kok enggak becus banget mendidik anak. Masih kecil udah berani kurang ajar sama orang tua.'' bentak Setya lagi tanpa rasa kasihan.
''Mas, Arif hanya ingin membangun 'kan Mas untuk sholat. Kamu keterlaluan, kamu melukai hatinya.''
''Ahh sudah lah, kamu membuat aku semakin muak saja!'' Setya berdiri, lalu dia membuka pintu, menghampiri motornya, begitu motor menyala lalu dia pergi meninggalkan Hanifa dan Arif yang masih berdiri di tempat semula dengan perasaan hancur.
''Bunda, Ayah kenapa berubah galak. Aku takut. Ayah enggak sayang lagi sama aku dan Bunda'' ucap Arif di sela-sela tangisnya.
''Tidak, tidak apa-apa Sayang. Mungkin Ayah lagi capek. Arif masih punya Bunda yang akan selalu sayang sama Arif. Dan kita masih punya Allah yang akan selalu mengasihi kita. Katanya tadi Arif mau sholat 'kan? Gih sana berwudhu, nanti kesiangan lagi.'' Hanifa membesar kan hati putra. Jari lentiknya menghapus jejak air mata yang ada di pipi Arif. Setelah itu Hanifa membimbing Arif ke kamar mandi.
''Luar biasa Mas. Kamu memberikan luka dihatiku dengan sangat luar biasa malam ini. Bergitu bertubi-tubi, hingga aku sudah kehilangan rasa pada mu. Tak ada lagi cinta itu, rasa itu sudah mati!'' batin Hanifa yang tengah berdiri menunggui sang putra yang sedang berwudhu.
***
Setya mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, dia akan pergi kerumah istri muda nya. Wanita yang baru sebulan ini ia nikahi secara siri.
Dia masuk ke kawasan elit, di kawasan itu rumah-rumah mewah berdiri berjejeran.
Setibanya di depan pintu utama rumah istri muda, dia mengetuk pelan. Lalu seorang pembantu berusia sekitar lima puluh tahun membuka pintu.
''Den.'' kata Bik Imah menyapa. Kepala nya sedikit menunduk.
''Nyonya Mana?'' tanya Setya seraya berjalan kedalam.
''Nyonya masih tidur dikamarnya Den.'' jawab Bik Imah.
''Baiklah. Bibik silahkan bekerja. Masak untuk sarapan kita nanti.'' titah Setya. Setelah itu dia masuk ke kamar istri muda.
Setya melihat Arumi masih tidur di atas tempat tidur dengan piyama yang tak berlengan. Senyum simpul terbit di wajahnya. Lalu dia ikut berbaring di samping sang istri. Dia memeluk Arumi erat dari belakang.
''Hanya kamu yang membuat Mas merasa nyaman sekarang Sayang.'' batin Setya kembali memejamkan mata.
Satya yang dulu adalah pria yang baik, lembut, dan taat beribadah. Berubah dalam sekejap hanya kerena seorang wanita. Dia seakan lupa segalanya, segala masa lalu dan anak istri yang sebenarnya. Bahkan dia tidak pernah lagi sholat selama berhubungan dengan Arumi.
Awalnya dia hanya seorang supir di rumah itu, dia bekerja mengantarkan Arumi kemana saja Arumi mau. Seiring berjalannya waktu, tanpa mereka sadari karena sering pergi berdua menghabiskan waktu bersama membuat bunga-bunga cinta tumbuh di antara keduanya.
Arumi yang memang begitu kagum sama ketampanan dan kegigihan Setya dalam bekerja membuat dia terpana dan lupa segalanya. Dia rela menjadi yang kedua padahal dia tahu Setya masih berstatus sebagai suami orang.
Apalagi sang putri yang bernama Caca. Putrinya yang berusia enam tahun itu juga begitu dekat sama Setya. Arumi merasa sudah menemukan tambatan hatinya, pengganti suaminya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Arumi adalah pengusaha kaya yang mempunyai cabang rumah makan di mana-mana. Itu semua adalah warisan peninggalan suami nya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!