"Aku hamil," ucap wanita itu dengan berlinang air mata.
Daniar terhenyak. Seketika dia menatap wanita tersebut. Rasa tak percaya menyeruak dalam dadanya. Pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, tapi tiba-tiba saja ada seorang wanita yang datang ke rumah tunangannya dan mengaku tengah berbadan dua.
Daniar menatap calon suaminya. Seribu tanya bergentayangan dalam benaknya. Namun, hanya satu yang mengusik dan membutuhkan jawaban, benarkah apa yang dia dengar?
"Katakan satu hal padaku. Apa kamu mengenalnya?" tanya Daniar.
Seno menatap Daniar tanpa merasa bersalah. "Ya, aku mengenalnya," jawab Seno dengan angkuhnya.
"Jadi benar, kamu ayah dari anak yang berada dalam kandungannya?" Daniar bertanya lagi dengan bibir yang semakin bergetar.
"Mungkin saja, karena aku pernah bercinta dengannya." Seno menjawab pertanyaan Daniar begitu santainya, hingga membuat Ridwan mengepalkan kedua tangan.
Ridwan yang tengah berdiri di belakang Seno hanya mampu merutuki semua perbuatan sahabatnya. Sesaat dia menatap Daniar, gadis yang hingga saat ini bertahta di relung hatinya. Dia tidak menyangka jika wanita pujaannya akan mengalami sebuah pengkhianatan dari sahabatnya sendiri.
Tubuh Daniar terasa lemas tak berdaya mendengar pengakuan Seno, orang yang sangat dicintainya. Selama ini, dia selalu menjaga kesucian cintanya. Bahkan dia rela dianggap wanita sombong demi menjaga hati agar tidak berpaling.
Daniar juga sering mengabaikan nasihat Ridwan demi menjaga hubungan pertunangannya. Padahal, sudah seringkali Ridwan mengingatkan dia tentang sikap Seno. Namun, Daniar tak mempercayainya, karena dia memiliki keyakinan jika cinta Seno sama kuatnya dengan cinta yang dia miliki. Akan tetapi, kini semua perkataan Ridwan terbukti benar. Seno ternyata tak lebih dari pria brengsek.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Daniar dingin.
"Apalagi, tentunya menikah denganmu," jawab Seno.
"Apa?!" ucap Daniar dan wanita itu berbarengan. Sedetik kemudian mereka saling pandang dengan tatapan tak percayanya mendengar jawaban Seno.
"Lalu dia?" Tunjuk Daniar pada wanita itu.
Seno menatapnya sekilas. "Aku akan menikahinya terlebih dahulu. Setelah anak itu lahir, aku akan menceraikan dia dan menikahimu. Kamu masih mau, 'kan, menungguku?" ucap Seno kepada Daniar.
Seketika kepala Daniar terasa berat begitu mendengar perkataan Seno. Bagaimana mungkin lelaki ini mengatakan sebuah solusi yang begitu buruknya. Seakan-akan dia adalah sang penguasa di dalam cinta segitiga ini.
"Cukup Seno, aku tidak bisa mengikuti keputusan gilamu!" ucap Daniar seraya berlalu hendak pergi ke luar.
"Tunggu! Jangan pergi!" cegah Seno mencekal lengan Daniar.
Ridwan hanya mampu mengepalkan tangannya kembali melihat sikap Seno. Seperti biasanya, Seno selalu menjadi seorang lelaki yang egois saat menginginkan sesuatu.
Daniar membalikkan badan. "Apalagi yang kamu inginkan dariku? Belum puaskah kamu memberikan luka di hatiku?" tanya Daniar menatap dingin tunangannya. Mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan tunangan.
Brugh!
Seno menjatuhkan harga dirinya di depan Daniar. Bagaimanapun juga, dia masih sangat mencintai Daniar. Tidak ada wanita yang mampu memberikan kehangatan sekaligus kelembutan seperti yang telah dia rengkuh dari Daniar. Ya, mungkin Seno pernah khilaf dengan membiarkan wanita lain memasuki kehidupannya. Tapi Daniar, wanita itu adalah sosok yang dia inginkan untuk menjadi pendampingnya.
"Aku mohon, tunggu aku. Setidaknya hanya dalam waktu sembilan bulan," ucap lirih seno.
"Gila! Kamu benar-benar gila, Sen!" jawab Daniar geram. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang ada dalam otak Seno.
"Niar, aku mohon," pinta Seno seraya mengatupkan kedua belah tangan. Matanya menatap sayu kepada Daniar.
Cukup, Sen. Jangan bersikap seperti itu, atau aku akan luluh kembali melihat tatapan kamu itu, batin Daniar, mengalihkan pandangannya.
Seno yang memang sangat mengenal titik kelemahan Daniar, segera mendekap kaki Daniar. "Please, Niar ... beri aku kesempatan," ucapnya memelas.
Lagi-lagi Ridwan mengepalkan kedua tangannya melihat tingkah Seno yang begitu menjijikkan.
"Cukup Sen! Jangan lukai hati Daniar lagi," ucap geram Ridwan.
"Berhentilah memprovokasi calon istriku. Aku tahu jika kamu itu menyimpan rasa untuknya. Jangan pernah mengambil kesempatan di atas kesempitan orang lain," tuding Seno.
"Kau?!" ucap Daniar dan Ridwan berbarengan.
Tangan Daniar mencoba menepiskan kedua tangan Seno yang melingkar di kakinya. Lepas itu, Daniar mundur untuk beberapa langkah. Daniar tidak percaya mendengar tuduhan yang dilayangkan Seno kepada sahabatnya sendiri.
"Cukup Seno! Jangan pernah mengalihkan pembahasan kita. Ridwan sama sekali tidak pernah memprovokasi aku. Keputusan yang akan aku ambil saat ini, justru berdasarkan kelakuan kamu yang tidak pernah menghargai hubungan kita," ucap Daniar geram.
Seno berdiri, dia kemudian mendekati wanita itu. "Aku tahu kita pernah tidur bersama. Tapi, tolong katakan pada tunangan aku jika itu bukanlah benihku. Aku yakin, sebelum aku menyentuhmu, pasti sudah banyak pria yang menyentuh kamu terlebih dahulu," ucap Seno tanpa ada perasaan bersalah sedikit pun.
"Seno!" teriak Daniar semakin geram.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Seno.
"Lancang sekali kamu mengatakan hal itu Seno. Kamu sendiri tahu jika malam itu, dengan sadar kamu meminta aku untuk tidur denganmu!" teriak wanita tersebut.
"Hah, aku yang memintamu?" elak Seno, "bukankah kamu sendiri yang meminta aku datang dan menemani kamu agar terhindar dari mantan kekasihmu yang psikopat itu? Jadi, jangan salahkan aku jika aku menyentuh wanita yang jelas-jelas merelakan tubuhnya untuk menemani malam panjang. Laki-laki itu ibarat kucing. Hmm, mana bisa dia menolak ikan di hadapannya," ledek Seno.
Astaghfirullahaladzim, batin Daniar seraya menarik napasnya panjang. Sejenak, dia menatap Ridwan. Untuk beberapa saat, pandangan mereka beradu. Daniar bisa melihat ekspresi kemarahan di wajah sahabatnya itu. Ya, Ridwan adalah sahabat dekat Daniar dan juga Seno.
Jangankan Daniar, Ridwan pun merasa marah mendengar ucapan Seno. Dia tidak menyangka jika sahabatnya itu sanggup melecehkan seorang wanita secara verbal. Sudah berulang kali Ridwan mengingatkan Seno untuk tidak bermain api. Namun, Seno sama sekali tidak menggubris ucapannya.
Ujung mata Ridwan melihat Daniar mulai membalikkan badan.
"Mau ke mana kamu, Niar?" tanya Ridwan yang membuat Seno menoleh ke arah Daniar.
"Aku mau pulang, Wan," jawab Daniar.
"Malam-malam begini?" tanya Ridwan yang dijawab oleh anggukan Daniar. "Tidak, Niar. Aku tidak akan mengizinkan kamu pergi malam-malam begini," lanjut Ridwan.
"Hei, apa hak kamu terhadap Daniar?" seru Seno yang merasa terganggu oleh perhatian Ridwan terhadap tunangannya.
"Niar sahabatku juga, Sen. Sebagai seorang sahabat, aku tidak akan mungkin membiarkan Daniar pulang malam-malam begini. Apa kamu tidak sadar jika jarak antara Bekasi-Tasikmalaya itu sangat jauh?" jawab Ridwan kepada Seno. "Ayo, Niar ... aku antar kamu ke rumah Mbak Ratih. Menginaplah di kontrakan Mbak Ratih. Besok pagi, aku akan menjemput kamu dan mengantarkan kamu ke terminal," lanjutnya.
Daniar memgangguk. Dia berjalan ke luar rumah sederhana yang sudah dipersiapkan oleh kakek Seno untuk dirinya jika kelak menikah dengan Seno.
"Tidak! Kamu tidak akan pergi ke mana-mana, Niar!" cegah, Seno sambil mencekal pergelangan tangan Daniar.
"Lepaskan aku Seno!" kata Daniar.
"Tidak akan!" balas Seno.
"Lepaskan!" ulang Daniar.
"Dengar Daniar, kamu adalah tunanganku. Sudah menjadi kewajiban aku untuk mengurus dan menjaga kamu di kota ini," ucap Seno penuh penekanan.
"Urus saja wanita kamu itu, Seno! Aku masih bisa mengurus diriku sendiri!" seru Daniar seraya menepiskan tangannya.
"Ada apa ini?"
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya telah berdiri di belakang Daniar. Seketika, Daniar menoleh ke belakang.
"Ibu," gumam Daniar.
"Ada apa ini, Niar?" tanya wanita yang tak lain adalah calon mertuanya. Namun, wanita paruh baya itu melirik seseorang yang berdiri di belakang putranya. "Shakila? Sedang apa kamu di sini?" tanya Ibu Frida.
"Mama... a-aku... mm, aku," jawab wanita itu terbata.
Mama? batin Daniar, menatap calon mertua dan wanita selingkuhan tunangannya itu secara bergantian.
Sepertinya, mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Ish, apa mungkin ibu juga tahu tentang kehamilan wanita itu? Siapa namanya tadi? Sha-shakila? Ya Shakila. Lagi-lagi Daniar bermonolog dalam hatinya.
"Apa Ibu mengenal wanita itu?" tanya Daniar, lembut.
"Ya, Ibu mengenalnya, Nak. Dia teman Seno dan juga putri tetangga Ibu saat dulu kami tinggal di Tambun," jawab Bu Frida.
Tetangga dulu? Apa itu artinya, mereka sudah saling mengenal sejak kecil? batin Daniar.
Entahlah, memikirkan pernyataan ibu Seno, membuat Daniar semakin yakin jika calon mertuanya pun sudah mengetahui perselingkuhan mereka.
"Ma-maaf... a-apa Ibu tahu jika mereka memiliki hubungan di belakang Niar?" tanya Daniar hati-hati.
Bu Frida terlihat menghela napasnya. Dan helaan napas itu membuat Daniar semakin yakin jika Bu Frida mengetahui sesuatu.
"Ibu?" panggil Daniar lagi.
Bu Frida mendekati Daniar. Dia mengusap bahu Daniar seraya berkata. "Jujur Niar, Ibu tidak tahu kedekatan mereka seperti apa. Namun, orang tua Shakila pernah mengajak Ibu untuk berbesan," jawab Bu Frida.
Daniar cukup terkejut mendengar pernyataan ibunya. "Kenapa Ibu tidak memberitahukan hal itu kepada Niar?" tanyanya.
"Karena Ibu pikir, semua itu tidak penting Niar. Lagi pula, hubungan pertunangan kalian sudah terjadi selama dua tahun. Dan setelah idul fitri nanti, kalian akan segera menikah, bukan?" tanya Bu Frida.
"Apa Ibu tahu, jika wanita itu kini tengah mengandung anaknya Seno?" tanya Daniar, tersenyum miris.
"Apa?" Bu Frida terlihat sangat terkejut mendengar ucapan Daniar. "Jangan asal bicara kamu, Niar!" tegur Bu Frida.
"Niar tidak asal bicara, Bu. Wanita itu datang kemari untuk meminta Niar agar melepaskan Seno. Apa Ibu pikir, hal seperti ini bisa dikatakan asal bicara? Ini bukan hal main-main, Bu. Seno, putra Ibu itu telah merusak masa depan dua wanita sekaligus. Niar dan dia!" Tunjuk Daniar kepada Shakila.
Bu Frida hanya bisa diam melihat wajah marah dan kecewa di raut wajah Daniar. Sedangkan Seno, laki-laki itu kembali mendekati Daniar.
"Niar, aku mohon... tenanglah!" ucap Seno.
"Apa kamu bilang? Tenang?" Daniar menepuk keningnya. "Ya Tuhan, Seno... sebenarnya terbuat dari apa hati kamu itu? Kenapa kamu bisa bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa? Lalu, bagaimana dengan nasib wanita itu?" teriak Daniar yang mulai habis kesabarannya.
"Sudah kubilang, tunggulah sampai dia melahirkan. Apa susahnya kamu menunggu? Bukankah sembilan bulan itu bukan waktu yang lama?" ucap Seno masih tetap kukuh memegang solusinya.
Bugh!
Tak ayal lagi, perkataan Seno membuat Ridwan melayangkan bogem mentahnya. Ya, Ridwan merasa muak dengan semua perkataan Seno yang tak pernah memikirkan perasaan orang lain.
"Shitt! Apa-apaan lu, Wan?!" teriak Seno, marah.
"Lu yang apa-apaan? Apa lu pikir wanita itu seperti boneka barbie yang bisa lu mainkan dan lu buang begitu saja, hah?" teriak Ridwan, geram.
"Lah, memangnya gue banci. Mana mungkin gue main boneka. Ada-ada saja lu, Wan. Lagian, ya... wanita itu ibarat pakaian. Lu sendiri tahu, 'kan, kalau pakaian sudah lusuh, ya tinggal kita buang," ucap Seno tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Daniar hanya bisa menganga mendengar pendapat Seno tentang wanita.
Jadi, pria seperti ini yang hendak aku nikahi? Lalu, bagaimana nasib aku jika terus memaksakan diri menikah dengannya? Tidak menutup kemungkinan jika kelak dia juga akan menduakan aku. Bukankah saat sekarang menjadi tunangan aku juga, dia sudah berselingkuh? batin Daniar.
Bugh!
Lagi-lagi, Ridwan melayangkan tinju di wajah sahabatnya. Ucapan Seno kali ini, tidak hanya melukai perasaan wanita, tapi juga membuat gemuruh amarah di dada Ridwan kian memuncak. Ridwan tidak habis pikir dengan opini Seno yang begitu merendahkan kaum wanita.
Ish, apa dia tidak sadar jika dia juga terlahir dari rahim seorang wanita? Jika dia berani menghina wanita, itu artinya, dia sama saja menghina ibunya sendiri, batin Ridwan.
Seno tidak terima dirinya mendapatkan bogem mentah untuk yang kedua kali. Dia pun mendekati Ridwan dan membalas pukulan dari sahabatnya. Untuk beberapa menit, mereka saling baku hantam. Hingga akhirnya, teriakan Daniar dan Bu Frida menghentikan mereka.
Daniar mendekati Ridwan yang pelipisnya terlihat membiru. Sedangkan Shakila menghambur ke arah Seno yang jatuh di sudut ruangan.
"Cukup! Kalian seperti anak kecil saja. Sebaiknya kalian bubar dari sini! Shakila, Ridwan, kalian pulanglah! Dan kamu, Niar dan Seno, ikut Mama!" perintah Bu Frida.
"Ta-tapi, Ma." Shakila seolah enggan untuk meninggalkan rumah Seno.
"Pulanglah Kila, nanti kita bicarakan lagi," ucap Seno seraya mengusap lembut punggung tangan Shakila.
Sudut mata Daniar melihat perlakuan Seno yang begitu lembut kepada Shakila.
Jika dia memang mencintai gadis itu, lalu kenapa dia harus berlutut tadi. Cih, benar-benar laki-laki tidak punya pendirian! batin Daniar.
"Aku pulang, Niar. Jaga diri baik-baik. Hubungi aku jika sesuatu terjadi," pesan Ridwan.
Daniar hanya mengangguk menanggapi ucapan sahabatnya. Setelah Ridwan dan Shakila pergi, Daniar dan Seno pun keluar untuk menemui ibunya di rumah orang tua Seno.
"Duduklah!" ucap Bu Frida.
Daniar dan Seno duduk berdampingan di sofa panjang. Meskipun terkesan ada jarak di antara mereka.
"Keputusan apa yang akan kamu ambil Seno? Mama tidak ingin reputasi keluarga kita hancur karena kelakuan bejat kamu itu," ucap Bu Frida, geram.
"Seno sudah bilang, Ma. Satu-satunya jalan yang terbaik, Seno menikahi Shakila sampai anak itu lahir. Setelah itu, Seno akan bercerai dengan Shakila dan menikahi Daniar," ucap Seno berkata penuh keyakinan.
Gila! pekik Daniar dalam hati.
"Lalu, bagaimana dengan keluarga Daniar? Apa mereka akan mengizinkan Daniar menikah jika mereka tahu kamu pernah menikah dan punya anak?" tanya Bu Frida lagi.
Seno menatap Daniar. Dia kemudian mendekati Daniar dan menggenggam kedua tangannya. "Aku mohon, Niar... kamu mau, 'kan, nunggu aku dan menyimpan rahasia ini dari orang tua kamu?" ucap Seno, memelas dan memasang wajah penuh iba.
Cukup Seno! Aku tidak akan pernah membiarkan diriku untuk jatuh dalam perangkap yang sama. Dulu, Aku sudah pernah memaafkan kelakuan kamu dengan wanita lain. Aku sudah memberikan kamu kesempatan berkali-kali. Tapi sekarang, wanita itu hamil, dan hal ini sudah tidak bisa dibiarkan. Mungkin masa depanku telah hancur oleh perbuatan kamu, tapi aku masih bisa melanjutkan hidup tanpa kamu. Meskipun aku harus merelakan mimpiku untuk menikah, musnah. Tapi Shakila? Wanita itu tengah berbadan dua. Anaknya tidak pernah bersalah dalam hal ini. Aku tidak bisa membiarkan anak itu terlahir tanpa ayah. Tidak, Sen! Aku bukan orang yang kejam yang harus memisahkan seorang ayah dari anaknya. Lagi pula, setelah semua ini, menikah denganmu akan menjadi hal yang menjijikkan bagiku, batin Daniar.
"Maaf Sen, tapi aku tidak akan mengikuti ide konyolmu."
Seno dan ibunya begitu terkejut mendengar jawaban Daniar. Selama ini, mereka mengenal sosok Daniar adalah sosok wanita yang lembut dan penurut. Karena itu, Seno dan Bu Frida selalu mengambil keputusan tanpa mempertanyakan terlebih dahulu kepada Daniar. Termasuk keputusan tanggal pernikahan yang terkesan terlalu lama.
Ya, dua tahun... Daniar harus menunggu dua tahun untuk bisa menikah dengan alasan menunggu Seno lulus kuliah. Dan sekarang, bukannya lulus, Seno justru malah terkena Drop Out karena jarang masuk kuliah. Parahnya lagi, dua minggu menjelang pernikahannya, Daniar malah nendapati Seno menghamili wanita lain.
"Lalu, apa mau kamu sekarang, Niar? Apa kamu punya solusi yang lebih baik daripada ide Seno yang kamu sebut konyol itu?" tanya Bu Frida, sedikit meninggikan nada bicaranya.
Tidak bisa dipungkiri, Bu Frida merasa kesal melihat sikap Daniar. Jika boleh jujur, Bu Frida sendiri tidak terlalu menyukai Daniar. Hanya saja, dia tidak dapat menolak perintah sang ayah mertua yang memilih Daniar sebagai calon menantunya. Terlebih lagi, saat melihat kenyataan jika putranya telah memiliki hubungan yang terlalu jauh dengan Daniar. Mau tidak mau, Bu Frida pun menerima pertunangan mereka.
"Iya, Bu. Keputusan Niar sudah bulat. Niar ingin mengakhiri pertunangan ini," tegas Daniar.
"Apa?" pekik Seno yang begitu terkejut dengan gadis lugu miliknya, "apa maksud kamu ingin mengakhiri pertunangan ini, Niar?" lanjutnya, menatap lekat ke arah Daniar.
"Benar, Sen. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa mengikuti semua keinginan kamu," jawab Daniar kali ini.
"Lalu hubungan kita? Kebersamaan kita yang sudah bertahun-tahun kita jalani, apa akan kamu lepaskan begitu saja?" tanya Seno yang mulai kesal.
"Lalu aku harus bagaimana, Sen? Ini bukan pertama kalinya kamu menyakiti perasaan aku. Bahkan, tanganku selalu terbuka setiap kali kamu meminta maaf. Namun, apa pernah kamu menghargai maaf yang aku berikan? Selama ini, hanya aku yang setia. Hanya aku yang harus mendengar dan menerima semua perkataanmu, tapi kamu? Sedikit pun kamu tidak pernah menghargai semua kesetiaan aku. Hubungan kita sudah tidak sehat, dan ini tidak benar, Sen. Sangat tidak benar!" tekan Daniar yang tak mampu membendung lagi perasaan kecewanya.
"Baiklah, Niar. Aku pegang keputusan kamu. Lihat saja nanti, kamu pasti akan menyesal karena telah mengakhiri hubungan kita!" ucap Seno seraya menendang meja di hadapannya. Sejurus kemudian, Seno pergi meninggalkan Daniar dan ibunya.
Bu Frida menarik napasnya panjang. Rasa lega menghampiri lubuk hatinya. Akhirnya, dia tidak harus bersusah payah menyusun rencana untuk memisahkan Seno dari Daniar.
"Apa kamu yakin dengan keputusan kamu itu?" tanya Bu Frida menyelidik.
"Niar yakin, Bu," tegas Daniar.
"Baiklah. Satu hal yang harus kamu garis bawahi, Niar. Saat ini, kamulah yang telah memutuskan ikatan pertunangan ini. Seharusnya, kamu mengembalikan cincin dan juga semua barang yang telah kami berikan saat lamaran dulu. Tapi, aku tidak akan meminta semua itu kembali. Anggap saja itu sebagai ganti rugi atas semua perbuatan Seno kepada kamu," ucap Bu Frida dengan angkuhnya.
Daniar mengepalkan kedua tangannya mendengar perkataan mantan calon ibu mertua.
Yang benar saja... ganti rugi? Ish, seumur hidup pun kalian tidak pernah bisa memberikan kompensasi yang pantas padaku. Masa depanku hancur karena mulut manis dan janji palsu laki-laki brengsek itu. Kamu benar-benar bajingan, Seno! umpat Daniar dalam hatinya.
Daniar sadar, saat ini dia tidak bisa meluapkan semua emosi akibat kerugian yang dia derita. Andai pun Daniar bicara, mantan calon mertuanya pasti akan memojokkan dia. Sebagai seorang wanita, Daniar akui, dia begitu bodoh karena terlalu percaya akan bujuk rayu seorang laki-laki.
Nasi sudah menjadi bubur. Saat ini, Daniar hanya bisa berharap jika keluarga Seno tidak akan mempermalukan keluarganya lebih jauh lagi. Semua masyarakat di kampung telah mengetahui tanggal pernikahan Daniar. Jika memang harus berakhir, maka Daniar menginginkan keluarga Seno datang untuk mengakhiri semuanya. Daniar tidak mau melumuri wajah keluarganya lagi dengan kekotoran dari sikap sembrono-nya.
"Jika memang harus dikembalikan, tidak masalah, Bu. Daniar pasti akan mengembalikan cincin pertunangan dan semua barang yang telah Ibu berikan. Akan tetapi, tolong beri Daniar waktu untuk mengumpulkan uang yang sudah terpakai saat acara lamaran dulu. Daniar janji, secepatnya Daniar akan mengembalikan semua itu," kata Daniar.
"Ish, Niar. Sudah kubilang tidak perlu. Kami tidak akan pernah meminta kembali apa yang pernah kami berikan. Hanya saja, tolong kamu bilang sendiri kepada kedua orang tua kamu bahwa pertunangan ini sudah putus. Katakan juga, kamulah yang meminta Seno untuk mengakhiri ikatan pertunangan di antara kalian," tegas Bu Frida.
Bagaikan tersengat arus listrik, Daniar terkejut mendengar perkataan Bu Frida. Sudah jelas-jelas anaknya yang salah. Lalu, kenapa dia juga yang harus kembali melempar kotoran kepada orang tuanya? Selama ini, hati kedua orang tuanya telah begitu sakit menerima perlakuan dirinya yang telah salah jalan. Lalu, haruskah dia kembali menyayat hati ayah ibunya dengan mempermalukan mereka di hadapan masyarakat.
"Kenapa harus Niar, Bu? Bukankah Seno yang telah melakukan kesalahan? Seandainya Seno bisa menjaga dirinya, semua ini tidak akan terjadi. Hubungan kami pasti baik-baik saja. Ibu juga seorang wanita. Ibu pasti bisa merasakan apa yang Niar rasakan saat ini," ucap lirih Daniar.
"Ibu tahu, Niar. Namun, Ibu mana yang bisa menerima anaknya dijelek-jelekkan meskipun dia bersalah," jawab Bu Frida tanpa rasa malu.
Ya Tuhan...apa seperti ini didikan yang diberikan oleh seorang ibu yang berstatus wanita karir? batin Daniar, yang menyadari jika Bu Frida adalah seorang pengusaha sukses di bidang properti.
"Lalu, alasan apa yang harus Niar katakan pada orang tua Niar, Bu? Tidak mungkin juga Niar bilang kalau kami sudah tidak cocok lagi," tanya Niar.
"Terserah! Ibu tidak mau tahu kamu mau mengarang alasan seperti apa. Ingat Niar, kamu yang minta putus. Jadi, cari saja alasan yang menurutmu tepat, tapi jangan menyeret kami ke dalam masalah lagi! Ibu lelah, sebaiknya kamu istirahat saja," pungkas Bu Frida mengakhiri keputusan sepihaknya.
Setelah berbicara panjang lebar dengan calon menantu yang tak jadi, akhirnya Bu Frida pergi ke kamar. Malam sudah semakin larut. Dia sendiri sudah lelah karena seharian berkeliling menagih uang kontrakan di sekitar rumahnya. Belum lagi, besok pagi dia harus memantau pembangunan beberapa rumah bedeng di belakang pabrik yang baru didirikan di tempatnya.
Daniar menghela napas. Sesaat, dia melirik jam mungil di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul 11 malam. Setelah kata putus keluar dari bibirnya, dia merasa sudah tidak punya hak untuk menginap di rumah mantan calon mertuanya. Namun, Daniar sendiri tidak mungkin pergi ke terminal, untuk pulang ke kampung halamannya. Tiba-tiba saja, dia teringat pesan Ridwan. Daniar segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Ridwan.
"Bisakah kamu mengantarkan aku ke tempat Mbak Ratih?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!