"Tidak usah berikan aku uang saku, Kak. Kan sudah ada bekal yang kakak buatkan" Diya menolak dengan lembut uang saku yang Kakaknya ulurkan. Nesha tersenyum bangga mendengar ucapan sang adik kesayangan.
"Wanita lusuh itu Kakakmu, Diya?" tanya seorang pelajar pria yang penampilannya sangat melenceng dari aturan sekolah. Diya langsung bersembunyi di balik tubuh Nesha, kala ketakutan saat pelajar pria itu membelai rambutnya.
"Jangan sentuh Adikku!" bentak Nesha menepis kasar tangan lancang pria di hadapannya. Sekali pandang, Nesha sudah dapat menilai kalau pelajar pria itu bukanlah pria yang baik, dan dari raut wajah Adiknya yang ketakutan, Nesha tahu ada hal yang tidak beres.
"Aku tidak hanya bisa menyentuhnya. Tapi, juga bisa merasakannya," pelajar pria itu tersenyum nyalang, kemudian berlalu pergi.
"Sialan! Kemari kau!"
"Jangan Kak," cegat Diya.
"Kamu membelanya?"
"Bukan begitu, Kak. Hanya saja, Preston bukan pria sembarang, kakak dan neneknya adalah pemilik sekolah ini," wanita cantik berusia enam belas tahun itu menundukkan wajahnya.
"Apa saja yang sudah dia lakukan padamu, Diya?" Nesha langsung mengintrogasi.
Mendengar pertanyaan sang kakak, Diya kembali menaikkan pandangan sambil menggeleng ketakutan. Nesha langsung memeluk erat Adiknya.
"Jangan sembunyikan apa pun dari kakak, katakan siapa pun yang berani menindasmu. Tak peduli dia pangeran dari kerajaan sekali pun, berjanjilah untuk selalu terbuka," tutur Nesha seraya menepuk pelan pundak Diya.
"Baik, kak."
"Ya sudah, sekarang masuklah, jam pelajaran akan segera dimulai, kamu tidak boleh telat," lanjutnya
Diya berjalan memasuki gerbang utama sekolah elit itu, seraya melambaikan tangannya kepada sang kakak. Nesha membalasnya dengan tersenyum senang. Setelah sang adik tak lagi terlihat di pandangan matanya, Nesha merasai dadanya terasa sesak. "Semoga semuanya baik-baik saja."
***
"Diya, kakak pulang!" seru Nesha ketika membuka pintu rumah dengan bersemangat. Nesha mengerutkan alisnya saat tak mendapat sahutan dari sang adik. Dengan terburu-buru Nesha masuk ke dalam rumah peninggalan kedua orangtuanya sambil terus memanggil Diya, yang biasanya selalu menyambut kepulangannya.
"Diya kamu di mana, Sayang?" Nesha memeriksa setiap ruangan, kamar, toilet, dapur, tapi tak kunjung menemukan adiknya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan belas, seharusnya Diya sudah pulang sekolah 3 jam lalu.
"Aku tidak hanya bisa menyentuhnya. Tapi, juga bisa merasakannya." ucapan pria itu tiba-tiba terngiang di pikiran Nesha. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Nesha langsung berlari keluar dari rumah, menuju sekolah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Berlari sekuat tenaga, Nesha hanya butuh waktu enam menit untuk tiba di sekolah yang gerbangnya sudah ditutup. Nesha kembali berlari menuju pos penjaga yang ada di samping gerbang.
"Pak!" panggil Nesha membuat kaget dua orang satpam yang berjaga di sekolah elit tersebut.
"Ada apa, Nona? Ada yang bisa kami bantu?" tanya salah satunya.
"Adik saya, Pak. Diya, di mana dia?" tanya Nesha dengan keringat dingin membasahi seluruh wajahnya.
"Diya yang mana, Nona? Ada banyak nama Diya di sekolah ini. Dan lagi semua siswa-siswi sudah pulang tiga jam lalu. Kami tidak tahu di mana Adik yang Nona sebutkan," jawab satpam itu kebingungan.
"Saya sangat yakin adik saya masih ada di dalam sekolah. Jadi, saya mohon buka pintu gerbangnya sebentar saja, saya ingin memeriksa dan memastikannya, Pak. Saya mohon, saya takut terjadi sesuatu kepada Adik saya," Nesha menjatuhkan tubuhnya, berlutut dan memohon dengan deraian air mata. Bila sudah menyangkut keselamatan Adiknya, maka harga diri sekalipun, tak lagi ada artinya.
Kedua satpam yang kasihan langsung membuka gerbang sekolah dan mereka juga mambantu mencari keberadaan Diya.
"Nona jangan merusak, kita punya kuncinya," cegat satpam ketika Nesha siap mendobrak pintu. Mendengar itu, Nesha pun mempersilahkan satpam membuka pintu kelas yang menjadi tempat di mana sang adik belajar selama ini.
Ketika pintu terbuka, Nesha langsung masuk. Namun, Nesha maupun satpam tak menemukan keberadaan Adik yang dicarinya.
"Sebelumnya kami sudah berkeliling untuk mematikan lampu, tapi seperti yang Nona lihat, tidak ada siapa pun di ruangan ini," terang satpam menjelaskan. Nesha terdiam beberapa detik, setelah itu kembali berlari menuju perpustakaan. Nesha yakin Diya terkunci di sana, karena memang sang adik sangat gemar membaca.
Tok, tok, tok!
"Diya! Apa kamu di dalam sayang?" teriak Nesha seraya terus menggedor pintu dengan kencang.
"Pak, cepat buka pintunya, adik saya ada di dalam!" desak Nesha pada satpam yang masih memilih yang mana kunci untuk membuka pintu perpustakaan.
"Pak, saya mohon cepatlah," Nesha terus menangis karena firasat buruk terus menghantuinya sedari tadi. Setelah pintu perpustakaan berhasil dibuka oleh satpam, Nesha langsung berlari memasuki ruangan gelap tersebut, matanya mendadak tajam memeriksa di setiap sisi.
"Aaargh!"
.
.
.
Nesha
Diya
"Aaargh!"
Suara teriakan kesakitan terdengar, Nesha langsung menuju sumber suara. Dan betapa kagetnya Nesha kala melihat seorang pria setengah telan jang terbaring tak berdaya.
"Diya!" Nesha tak sanggup berkata-kata, betapa hancurnya hati seorang Nesha saat melihat sang adik tengah meringkuk di pojokan dengan tubuh polosnya. Nesha reflek melepaskan sweater jumbo di tubuhnya, lalu mengenakan sweater tersebut ke tubuh adiknya yang bergetar ketakutan.
"Maafkan Kakak Diya, kakak terlambat menyelamatkanmu," tangis Nesha seraya memeluk sang Adik.
Sepersekian detik kemudian, lampu hidup—bersamaan dengan munculnya dua orang satpam yang tadinya membantu Nesha dalam pencarian adiknya.
"Tuan Muda Preston!" teriak keduanya bersamaan, ketika dikejutkan dengan seorang pria yang terkapar di lantai dengan darah yang mengalir dari sela-sela rambut dan keningnya.
Keuda satpam langsung membawa Preston ke rumah sakit, meninggalkan Nesha dan Diya yang tak henti menangis ketakutan.
"Jangan takut lagi, ada kakak di sini," bujuk Nesha berusaha menyalurkan kekuatan kepada sang adik, walau dia sendiri pun begitu rapuh. Kakak mana yang tidak hancur hatinya melihat adik yang selama ini begitu disayangi, kini telah dirusak oleh pria yang sangat tidak bertanggung jawab.
"Diya diper-kosa, Kak. Dan ... dan Diya mem-membunuh-nya," tangis Diya semakin histeris. Ucapan Diya membuat Nesha merasa bersalah. Andai dia menyekolahkan adiknya di sekolah biasa, Nesha yakin hal mengerikan seperti ini tidak akan pernah terjadi.
Nesha melepaskan Diya dari pelukannya, mengangkat wajah adiknya, kemudian menyeka air mata sang adik dengan tangannya yang bergetar. Nesha menggenggam kedua pundak Diya, keduanya saling menatap dengan mata berkaca-kaca.
"Dengar Kakak baik-baik, Diya. Kamu, kamu tidak bersalah oke. Tindakan yang kamu lakukan adalah benar, kakak bangga padamu. Ingat, apa pun yang terjadi, kamu tidak pernah memukul, menyakiti dan melukai siapa pun. Kakak, Kakaklah yang memukul pria itu, oke." tegas Nesha sambil mengelap percikan darah di kedua tangan mungil Diya.
"Ta-tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapian, sekarang ayo kita pulang," Nesha membantu membangunkan Diya, tapi urung saat Diya meringis kesakitan.
"Ada apa, Sayang?" tanya Nesha khawatir.
"Di bawah sana sangat sakit, Kak," tunjuk Diya membuat Nesha kembali menangis. Entah bagaimana pria bejat itu memperlakukan adiknya, hingga bergerak sedikit saja kesulitan.
"Apa kamu bisa menahannya sebentar, kakak akan membantumu berjalan," Diya mengangguk, dan Nesha kembali mengangkat tubuh Diya dengan perlahan, hingga Diya bisa berdiri dengan sempurna.
Nesha memapah Diya berjalan hingga tiba di rumah lusuh peninggalan orang tua mereka. Nesha membawa Diya ke kamar, membaringkannya dengan perlahan. "Sekarang istirahatlah, semua baik-baik saja. Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap baik-baik saja."
"Tapi, Kak. Bagaimana kalau polisi datang dan menangkapku, aku memukul kepalanya dengan sangat keras, dia pasti mati," Diya kembali menangis ketakutan.
"Sudah Kakak katakan, Kakak yang memukulnya, bukan kamu. Sekarang istirahatlah, Kakak akan ambilkan teh hangat untukmu," Nesha langsung pergi ke dapur. Tiba di dapur, Nesha menjatuhkan tubuhnya ke lantai, kemudian menangis terisak-isak.
Ujian kali ini begitu berat, membuatnya merasa ingin menyerah. Apa yang terjadi kepada Diya adalah kesalahannya. "Ibu, Ayah maafkanlah Nesha, Nesha gagal menjaga Diya seperti yang kalian titipkan."
Nesha benar-benar tak tahu harus melakukan apa? Adiknya memang diperkosa, tapi adiknya juga melukai pria bejat itu. Di satu sisi Nesha senang kalau pria itu benar-benar mati, karena bagi Nesha hanya matilah satu-satunya hukuman yang pantas dan setimpal untuk pria yang telah merengut kesucian adiknya. Dengan seperti itu, Nesha tak perlu mencari keadilan di negeri yang tak pernah memandang orang kecil seperti dirinya.
Namun di sisi lain, Nesha juga harus siap menerima hukuman yang kemungkinan dia harus mendekam di penjara selama bertahun-tahun. Tidak masalah bagi Nesha bila harus mendekam di penjara untuk menyelamatkan adiknya. Tapi, siapa yang akan menjaga Diya selama dirinya di penjara? Diya tak ingin kejadian mengerikan itu terulang lagi.
"Panti asuhan, kalau aku benar-benar harus di penjara, aku akan menitipkan Diya di panti asuhan," akhirnya Nesha mendapatkan tempat yang aman untuk adiknya. Nesha merasa sedikit lega. Apa pun yang terjadi, Diya harus baik-baik saja karena itulah janjinya kepada kedua orangtuanya.
Setelah selesai membuatkan teh hangat, Nesha bergegas membawanya ke dalam kamar. "Diya," panggil Nesha lembut, tapi Diya tak menyahut panggilannya.
"Diya."
Pyyaarr ....
.
.
.
Nesha
Diya
Pyyaarr ....
Suara pecahan gelas yang terlepas dari genggaman tangan Nesha. Nesha berjalan cepat menuju ranjang, bahkan dia tak merasa sakit saat pecahan beling melukai kakinya, hingga mengeluarkan darah segar.
"Diya!" betapa kagetnya Nesha saat melihat sang adik sudah tak lagi sadarkan diri, walau sudah ditepuk-tepuk pipinya. Hal tersebut tentu saja membuat Nesha panik.
"Diya, bangunlah sayang, kakak mohon jangan begini," tangisnya memangku Diya dan terus membangunkannya, walau Diya tak kunjung merespon panggilannya.
Nesha bingung harus melakukan apa? Membawa adiknya ke rumah sakit itu hal mustahil. Bukan hanya tak bisa membayar tagihannya. Tapi, kendaraan untuk ke sana dirinya juga tak punya.
Nesha hanya meraih minyak hangat di atas nakas, kemudian membalurkan minyak itu ke sekujur tubuh sang adik. Tak lupa Nesha juga mengarahkan minyak hangat itu ke hidung adiknya, berharap Diya bangun dengan cara tersebut. Dan benar saja, Diya langsung kedua membuka matanya. Nesha tersenyum lega.
"Diya Sayang."
Mendengar panggilan sang kakak, Diya mengerjabkan matanya beberapa kali, dan air mata kembali merembes dari kedua sudut matanya, saat potongan adegan mengerikan menari-nari di pikirannya.
"Minumlah dulu," Nesha membantu Diya minum air putih di atas nakas. Diya meneguknya hingga habis.
"Kak," panggil Diya dengan suara seraknya.
"Ada apa, Sayang?" Nesha menyeka perlahan air mata di kedua sisi pipi Diya.
"Aku tidak mau sekolah lagi," ucap Diya dan Nesha yang paham akan ketakutan adiknya langsung mengangguk mengiyakan.
"Tentu saja, Sayang. Tapi, sekarang kita istirahat dulu ya," Nesha ikut naik ke atas ranjang dan berbaring sambil memeluk adiknya. Ketika Diya sudah terlelap, Nesha bangkit ketika baru merasakan perih pada kakinya. Nesha menghela napas kala melihat beberapa pecahan beling menusuk kulitnya, Nesha mencabut perlahan dengan air mata yang mengalir deras. Tak hanya rasa perih luka itu yang membuat Nesha menangis. Tapi, beban hidup yang berat adalah alasan utamanya.
Setelah itu, Nesha menuju kamar mandi untuk membersihkan dan mengobati lukanya. Nesha naik kembali ke atas ranjang dan menyusul sang adik yang terlelap lebih dulu.
***
Keesokan harinya, Nesha terbangun lebih dulu saat mendengar suara ketukan pintu. Nesha segera bangkit dan turun dari ranjang. "Kakak mau ke mana?" cegat Diya yang juga terbangun.
"Kamu tetap di sini, ya. Kakak mau buka pintu sebentar, ingat tetap di sini dan jangan ke mana-mana," pesan Nesha dan Diya langsung menganggukan kepala patuh.
Sebelum membuka pintu rumahnya, Nesha menghela napas terlebih dahulu. Setelah merasa tenang, barulah Nesha membuka pintu rumah. Nesha dibuat tercengang kala berhadapan dengan dua orang pria bertubuh kekar yang sangat menyeramkan.
"Apa benar ini kediaman Nona Diya?"
"Saya Kakaknya, Pak. Ada perlu apa bapak mecari Adik saya?" tanya Nesha kepada dua orang pria berseragam polisi di hadapannya.
"Kami harus membawa adik Nona ke kantor polisi untuk dimintai keterangan," terang polisi dengan tegas seraya menunjukkan surat penangkapan.
"Ada siapa Ka—" Diya tak melanjutkan pertanyaannya, gadis dengan wajah pucat itu mundur beberapa langkah.
"Adik saya tida bersalah, sayalah pelaku yang sebenarnya. Jadi, bapak hanya boleh membawa saya." tegas Nesha menutup pintu guna melindungi adiknya di dalam sana.
"Kalau begitu, kami akan membawa Nona dan juga Adik Nona," balas polisi membuat Nesha membulatkan matanya sempurna.
"Tidak, bapak tidak boleh membawa Adik saya!"
.
.
.
Nesha
Diya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!