NovelToon NovelToon

Pembalasan Dendam Sang Leona

Bab 1 : Kebahagiaan Keluarga Dempster.

Tak ada yang lebih membahagiakan dari pada hidup bersama keluarga tercinta. Hampir setiap manusia yang ada di muka bumi memiliki keinginan untuk membangun sebuah keluarga sendiri dan menciptakan kebahagiaan yang hakiki.

Hal tersebut tentu saja merupakan satu impian juga bagi Keluarga Demspter.

Keluarga Dempster merupakan keluarga terpandang yang memiliki perusahaan besar dan sukses, yaitu Dempster Enterprise. Perusahaan mereka yang semula bergerak dibidang ekspor impor barang-barang mewah kini melebarkan sayapnya ke ranah lain.

Dengan menggandeng perusahaan-perusahaan terbaik, Dempster Enterprise melebarkan sayapnya hampir ke seluruh faktor industri, seperti tekstil, makanan, farmasi, hingga entertainment. Mereka bahkan baru saja selesai mendirikan sebuah stasiun televisi yang akan diresmikan dalam beberapa hari kedepan.

Semua kesuksesan yang diraih perusahaan itu tak lain berkat tangan dingin Steven Dempster, anak tunggal dari Alexander Dempster yang telah meninggal hampir lima tahun lalu, menyusul sang istri tercinta yang sudah lebih dulu pergi tiga tahun sebelumnya.

Dibantu salah seorang kepercayaan sekaligus sahabat baik Alexander, Steven mengelola perusahaan milik kedua orang tuanya dengan sangat baik.

Tak hanya sukses dalam mengelola perusahaan, Steven juga sukses dalam membina rumah tangga.

Delapan tahun yang lalu dia berhasil menikahi pujaan hatinya dalam sebuah upacara pemberkatan yang sangat sederhana —permintaan dari sang istri—.

Kini mereka hidup bahagia bersama sepasang putra putri yang cantik dan tampan.

...***...

"Bye, Mom!" teriak Laura pada sang ibu, Lynelle, dari ambang pintu bus sekolahnya seraya melambaikan tangan.

Sembari menggendong si bungsu, Sean, Lynelle membalas lambaian anak sulungnya. Senyum manis terpatri dari wajah cantik wanita berusia 33 tahun itu.

Sean, sang adik, turut melambaikan tangannya pada kakak tercintanya dengan raut antusias.

Laura tertawa kecil. Dia pun duduk di salah satu bangku dan bus pun pergi setelahnya.

"Kakak sudah pergi ke sekolah. Jadi, apa yang akan kita lakukan setelah ini, Sean?" tanya Lynelle dengan raut wajah jenaka.

"Cookies, Mommy! Cookies!" teriak Sean. Celotehan sang putra yang baru berusia tiga tahun itu membuat Lynelle tertawa kecil.

"Ini masih pagi, Sean, dan kau sudah ingin memakan cookies?" tanya Lynelle seraya menjawil hidung mungil si bungsu.

Sean tertawa kecil dan menganggukkan kepalanya tiga kali.

"Baiklah, karena kau sudah pintar menghabiskan sarapanmu tadi, Mommy akan membuatkan cookies yang enak sebagai camilan!" Lynelle menatap Sean antusias. Mereka pun berbalik dan mulai berjalan menuju ke dalam rumah.

Beberapa penjaga yang dilewati ibu dan anak itu langsung membungkuk hormat. Dua orang di antaranya buru-buru menutup pagar besar rumah tersebut, tatkala sang nyonya telah pergi dari hadapan mereka.

Sesampainya di dalam, Lynelle langsung mendudukkan sang putra pada baby chair miliknya. "Duduk yang tenang, maka kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan, Sayang," ucap Lynelle disertai sebuah kecupan singkat pada kening Sean.

Sean mengangguk. Dia menarik leher sang ibu dan membalas kecupannya di pipi. Lynelle kembali tertawa.

Dengan cekatan, wanita itu membuat cookies seorang diri. Meski hidup di rumah yang luas dan memiliki beberapa asisten rumah tangga, Lynelle sama sekali tidak mengijinkan mereka membantu, ketika dia sedang berada di dapur. Untuk hal-hal tertentu sebisa mungkin wanita itu akan menyiapkannya sendiri, seperti sarapan, makan malam, dan menyiapkan pakaian untuk dipakai saat itu juga.

Hanya sesekali saja para asisten rumah tangganya dibiarkan membantu saat dia di dapur, jika memang sedang mengalami sedikit kesulitan.

Suara dering telepon rumah berbunyi kala Lynelle sedang sibuk mencetak adonan cookies di atas loyang.

Salah seorang asisten rumah tangganya mengangkat telepon tersebut, dan menyerahkannya pada Lynelle tak lama kemudian.

"Tuan menelepon, Nyonya," beritahunya.

Lynelle menyelesaikan sentuhan terakhirnya dan meminta sang asisten rumah tangga untuk memasukkan cookies tersebut ke dalam microwave.

"Halo, Sayang," sapa Lynelle lembut.

"Honey, maaf, hari ini sepertinya aku akan pulang telat. Mr. Jeremy memundurkan pertemuan kami menjadi sore hari." Suara merdu Steven, sang suami, langsung menerpa indera pendengaran Lynelle.

"Tidak apa-apa, Sayang, aku mengerti," jawab Lynelle.

"Terima kasih, Istriku yang cantik. Titip anak-anak, aku akan usahakan untuk pulang cepat. I love you!"

Lynelle tersenyum. Dia selalu menyukai kalimat terakhir yang tak pernah lupa disematkan sang suami, baik melalui telepon mau pun melalui pesan singkat.

"Love you too," balas wanita itu sebelum kemudian mengakhiri sambungan telepon mereka.

Setelah menerima telepon dari Steven, sembari menunggu cookies matang, Lynelle berjalan menuju sang putra yang sedang asyik memainkan beberapa mainan yang diberikan oleh asisten rumah tangganya.

"Daddy akan pulang telat, jadi kita hanya akan bersenang-senang bersama kakak saja sepanjang hari ini." Kecupan ringan didaratkan Lynelle pada kening Sean.

Sean hanya tertawa menanggapi perkataan sang ibu, lalu kembali memainkan mainannya.

...***...

Laura menyambut kedatangan sang ayah begitu mendengar suara pintu depan terbuka. Dia yang semula tengah menikmati makan malam bersama ibu dan adiknya bergegas lari tanpa menghiraukan panggilan Lynelle yang menyuruhnya untuk berhati-hati.

Tahu bahwa putri kecilnya datang, Steven memasang kuda-kuda. Dia segera mengangkat Laura sebelum sang gadis kecil menubruk tubuhnya hingga terjatuh.

"Welcome home, Daddy." Laura tersenyum dan mencium pipi Steven dua kali.

"Bagaimana sekolahmu?" tanya Steven sembari berjalan menuju ke ruang makan, tempat dimana istri dan putra bungsunya saat ini berada.

"Amazing! Mr. Gerrard berhasil membuat pesawat kecil buatan kami mengudara di lapangan baseball." Laura mulai berceloteh dengan antusias tentang kegiatannya di sekolah.

"Wow, keren sekali!" puji Steven tak kalah antusias. Dia pun mendengarkan dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu. Entah mengapa, rasa lelah yang tadi sempat terasa, kini sedikit berkurang setiap tiba di rumah.

Ketika sampai di dapur, Steven segera menurunkan Laura, lalu menghampiri Lynelle dan Sean. Tak lupa, dia juga menggendong Sean yang ternyata sudah merengek karena melihat kemesraan kakak dengan ayahnya.

"Hari ini kau jadi anak yang baik, kan, Sean?" tanya Steven.

Sean mengangguk senang. "Aku anak baik, Daddy."

Steven tersenyum dan mengacak pelan rambut Sean. Sang istri kemudian menawarinya untuk mandi terlebih dahulu sebelum menyantap makan malam.

Steven menurutinya. Ditemani Lynelle, keduanya naik ke lantai dua, sementara Laura dan Sean tetap berada di ruang makan untuk menghabiskan makan malam mereka, bersama seorang asisten rumah tangga.

Dengan cekatan, Lynelle menyiapkan air hangat untuk mandi sang suami dan setelan pakaian rumah.

"Terima kasih, istriku yang cantik. Kalian selalu jadi obat paling mujarab untuk diriku," ucap Steven tulus seraya mendaratkan kecupan ringan di b1b1r Lynelle.

Lynelle tersenyum manis. "Ada apa? Pertemuanmu dengan Mr. Jeremy tidak berjalan lancar?" tanya wanita itu kemudian.

"Pertemuan itu baik-baik saja. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang lain," jawab Steven. Raut wajahnya yang semula baik-baik saja tiba-tiba berubah.

Lynelle yang tak ingin membuat Steven kembali memikirkan pekerjaan, memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.

"Jangan pikirkan apa pun dulu," ucap Lynelle lembut. Dia tahu sang suami butuh membebaskan sejenak isi kepalanya dari pekerjaan-pekerjaan.

Steven mengangguk.

"Mandilah," titah Lynelle seraya menggiring pria itu menuju kamar mandi.

"Kau tak ingin ikut?" tanya Steven dengan raut wajah jenaka.

Mendengar godaan itu, Lynelle hanya menjawab pertanyaan Steven dengan tawa kecil.

Bab 2 : Kerabat Keluarga.

Steven sedang sibuk memeriksa berkas-berkas ketika salah seorang sekretarisnya masuk ke dalam ruangan.

Wanita berpenampilan rapi dengan setelan kemeja dan rok berwarna senada, berdiri tegak di ambang pintu lalu kemudian membungkukkan badannya.

"Mr. Dempster, Mr. Calder baru saja tiba," kata sng sekretaris.

Steven mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas tersebut dan mempersilakannya untuk masuk.

Detik kemudian, seorang pria matang berpenampilan perlente masuk ke dalam ruangan Steven. Rambutnya yang sudah memutih di bagian sisi kiri kanan kepalanya, mengidentifikasikan bahwa usia di antara mereka berdua cukup jauh.

Steven bangkit dari tempat duduknya guna menyambut hangat kedatangan pria bernama lengkap Sebastian Calder tersebut.

"Mr. Calder, apa kabar?" tanya Steven seraya memeluk erat tubuh Sebastian.

"Tidak perlu begitu, Steve. Ingat, aku ini pamanmu," ujar Sebastian sembari membalas pelukan anak dari mendiang sahabat baiknya itu.

Steven tersenyum kecil. Dia segera memerintahkan Zendaya, sang sekretaris, untuk menyiapkan minuman terbaik.

Zendaya mengangguk dan kembali membungkuk, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan Steven.

Setelah kepergian Zendaya, Steven mempersilakan Sebastian untuk duduk di sofa tamu.

"Bagaimana kabar Elle dan anak-anak, Steve?" tanya Sebastian memulai pembicaraan.

"Mereka cukup baik. Elle beberapa kali menanyakan kabar Uncle dan Aunty. Laura bahkan selalu saja menanyakan kabar Kaylee," jawab Steven.

"Manis sekali. Ajaklah Laura dan Sean ke rumah. Kaylee juga merindukan adik-adiknya." Sebastian tersenyum.

"Baik." Steven menganggukkan kepalanya.

Setelah berbasa-basi sejenak membicarakan keluarga mereka, keduanya pun mulai membahas proyek obat-obatan yang rencananya akan mereka luncurkan akhir bulan ini.

"Sepertinya kita harus melakukan pengujian sekali lagi, Uncle. Dokter David mengatakan, bahwa Herz37 masih belum layak diedarkan. Efek samping dari obat tersebut masih cukup mengkhawatirkan." Setelah berkata demikian, Steven terdiam sejenak. Matanya dengan hati-hati menatap Sebastian yang kini terlihat kaku.

Sebastian menghela napasnya. "Setiap obat pasti memiliki efek samping, dan itu merupakan hal yang sangat wajar, Steve. Lagi pula, dibandingkan dengan efek sampingnya, obat ini tentu akan jauh lebih banyak memberikan kesembuhan. Bayangkan saja, berapa juta penderita di dunia yang akan terselamatkan dengan obat kita. Mereka tak perlu lagi mengambil resiko besar. Hanya dengan rutin mengonsumsi obat tersebut, kecil kemungkinan mereka harus melakukan transplantasi jantung, Steve!"

"Mereka harus tetap melakukan transplantasi jantung, Uncle," ujar Steven dengan nada tenang.

Sebastian berdiri dari sofa dan berjalan menuju dinding kaca ruangan Steven. "Ya, tetapi selagi menunggu, mereka masih bisa tetap hidup dan beraktifitas seperti biasa tanpa harus berbaring di ranjang rumah sakit." Pria itu berbalik dan menatap Steven dengan raut meyakinkan.

Mendengar perkataan Sebastian, Steven terdiam.

Steven hafal bagaimana tabiat Sebastian. Dia merupakan pria yang sangat berambisius. Sejak awal kerja sama ini terjalin, Steven tahu bahwa dia tidak akan melewatinya dengan mudah. Mendiang sang ayah pernah memperingatinya akan hal tersebut.

Namun biar bagaimana pun, Steven tidak bisa menolak ajakan kerja sama apa pun dari Sebastian, sebab mendiang sang ayah telah lama menandatangani kontrak kerja sama dengan Gold Calder Enterprise, perusahaan Sebastian, secara pribadi sebagai wujud persahabatan mereka yang sudah terjalin selama puluhan tahun.

Selama ini keduanya cukup baik dalam menjalankan kerja sama, karena Jimmy Dempster yang merupakan ayah dari Steven, mampu menekan ambisi sahabat baiknya tersebut.

Itu lah yang kini coba Steven lakukan pada pamannya.

Lagi pula, Steven tak ingin mengambil resiko besar. Obat tersebut masih belum layak diedarkan. Ada beberapa efek samping yang lumayan berbahaya dari Herz37, salah satunya adalah gejala yang terdapat pada penderita gangguan psikosis, seperti halusinasi, delusi, ketidakmampuan berpikir, dan yang lainnya. Steven tentu tak ingin mempertaruhkan kesehatan masyarakat hanya demi proyek bernilai jutaan dollar ini.

Setidaknya, mereka harus menunda selama beberapa saat hingga benar-benar aman diedarkan.

"Aku akan meminta Dokter David untuk menguji ulang Herz37, Uncle. Tidak akan lama. Jikalau pun obat tersebut tidak bisa diluncurkan tepat waktu, bukankah lebih baik terlambat dari pada terburu-buru tapi membahayakan?" Steven berusaha tidak terintimidasi tatapan Sebastian yang nampaknya tidak menyukai gagasan tersebut.

Bagi Sebastian, waktu adalah uang. Keterlambatan waktu merupakan hal yang paling fatal bagi pria berusia 57 tahun itu.

Sebastian mengendurkan tatapan matanya. "Baiklah, tetapi aku tak ingin ada keterlambatan, Steve. Dua minggu lagi obat itu haru diluncurkan!"

"Akan aku usahakan," jawab Steven mantap.

Tanpa berlama-lama lagi, Sebastian pergi meninggalkan ruangan Steven. Dia bahkan mengabaikan minuman yang baru saja dibawakan oleh Zendaya.

Steven membungkukkan badannya hingga Sebastian masuk ke dalam lift.

"Sial! Dia memang lebih keras kepala dari Jimmy!" umpat Sebastian. Sejak awal bekerja sama dengan Jimmy dulu, dia selalu menuruti apa pun keputusan sahabatnya itu, begitu pula ketika perusahaan diambil alih oleh Steven.

Namun, Sebastian tak bisa terus-terusan melakukan hal ini. Apa lagi jika harus diatur oleh anak muda seperti Steven.

...***...

"Terima kasih," ucap Lynelle sembari mendorong trolly-nya yang sangat penuh, keluar dari lorong kasir. Dengan langkah perlahan dan hati-hati, wanita itu berjalan keluar dari pusat perbelanjaan menuju parkiran mobil.

Wanita itu memang terbiasa berbelanja mingguan seorang diri tanpa bantuan siapa pun. Dia lebih senang menghabiskan waktunya berjam-jam dengan berbelanja kebutuhan keluarga dari pada ke klinik kecantikan. Bukan berarti Lynelle tidak rajin merawat diri. Itu semua sudah jelas terlihat dari wajah dan kulitnya yang cantik nan mulus.

Hanya saja, Lynelle kini sedikit kurang percaya diri karena berat badan tubuhnya belum kembali seperti semula sejak melahirkan Sean.

Hal itu tentu saja tidak menjadi masalah bagi Steven, sang suami. Namun, bagi Lynelle itu merupakan suatu masalah besar. Entah kenapa dia sama sekali tidak bisa mengembalikan bentuk tubuhnya seperti dulu.

Lynelle menyentuh sensor bagasi mobil menggunakan kakinya dan menata barang belanjaan dengan rapi. Setelah selesai, wanita itu mengembalikan trolly ke tempat yang telah disediakan, dan masuk ke dalam mobil.

"Masih ada waktu satu setengah jam," ujar Lynelle seraya menatap jam tangan miliknya, sebelum kemudian mengemudikan mobil keluar dari area pusat perbelanjaan. Dia harus bergegas sampai di rumah sebelum bus sekolah Laura tiba nanti.

...***...

Mengetahui kedatangan nyonya besarnya, salah seorang penjaga buru-buru membuka pagar besar kediaman keluarga Dempster.

"Terima kasih, Noel," ucap Lynelle dari dalam mobil.

"Sama-sama, Nyonya," jawab penjaga berusia 25 tahun itu.

Lynelle terus mengemudikan mobilnya hingga sampai di depan pelataran rumah. Beberapa asisten rumah tangga yang sudah menunggu di sana, lantas membantu sang nyonya besar mengeluarkan barang-barang belanjaan untuk dibawa ke ruang penyimpanan.

"Mommy!" teriak Sean. Pria mungil yang mirip dengan suaminya tersebut, mendesak pelayan rumah mereka untuk menurunkannya dari gendongan guna menghampiri sang ibu.

"Kau jadi anak baik selama Mommy pergi, kan?" tanya Lynelle seraya membawa Sean ke dalam gendongan.

Sean mengangguk antusias.

"Anak pintar," puji Lynelle. Tangannya mencubit gemas pipi sang anak bungsu dan sedikit menggelitikinya.

Sean tertawa senang. Tawanya bahkan masih terdengar hingga keluar, padahal mereka sudah masuk ke dalam rumah.

Bab 3 : "Kau Selalu Dapat Menenangkan Hatiku."

Sembari melipat kedua tangannya, Lynelle menanti kedatangan bus sekolah Laura di ambang pintu gerbang. Dua orang penjaga sempat menawari Lynelle untuk menunggu di pos jaga, tetapi wanita itu menolak halus.

Tak lama kemudian, bus sekolah dengan warna kuning mencolok muncul dari tikungan dan berjalan menuju ke arahnya.

"Mommy!" teriak Laura begitu bus berhenti tepat di depan sang ibu. Gadis itu bergegas keluar dari dalam bus ditemani sang guru kelas, Ms. Anna.

"Terima kasih, Ms. Anna," ucap Lynelle seraya menerima tas sekolah Laura dari tangan Ms. Anna.

"Terima kasih kembali, Mrs. Dempster. See you, Little angel!" Ms. Anna melambaikan tangan pada Laura sebelum kemudian masuk ke dalam bus sekolah kembali.

Laura membalas lambaian tangan guru kelasnya sebelum kemudian berjalan masuk menuju rumah bersama sang ibu.

"Bagaimana sekolahmu hari ini, Sayang?" tanya Lynelle. Mereka berjalan beriringan sembari bergandengan tangan.

"Menyenangkan seperti biasa, Mommy. Ahh, di kelasku baru saja kedatangan murid baru, pindahan dari Texas. Mommy tahu? Mereka kembar identik dan aku tidak dapat membedakan satu sama lain. Lucu sekali!" kata Laura antusias. Dia berceloteh panjang lebar perihal kedua teman baru laki-lakinya tersebut.

Lynelle mendengarkan cerita Laura dengan sangat saksama. Meski mungkin bagi sebagian orang, celotehan anak-anak tidak terlalu penting, tetapi bagi Lynelle, apa pun yang keluar dari mulut kedua anaknya merupakan sesuatu hal yang luar biasa dan patut untuk dihargai.

Lynelle memang selalu berusaha menjadi seorang ibu yang baik. Sejak menikah dengan Steven, wanita yang dulu senang bergaul di luar rumah itu berubah. Dia benar-benar menepati janjinya untuk menjadi istri dan ibu yang hanya betah di rumah mengurus keluarga. Sesekali, Lynelle memang masih menghabiskan waktu seorang diri, tentu saja atas desakan Steven. Namun, wanita itu tak pernah betah berlama-lama di luar. Hal yang paling membuatnya senang berlama-lama di luar hanyalah pergi ke pasar swalayan atau supermarket guna berbelanja mingguan. Memilah milih kebutuhan keluarga merupakan hal yang sangat menyenangkan.

"Mommy, bagaimana rasanya mempunyai adik kembar?" tanya Laura setelah mengakhiri ceritanya.

Mendapat pertanyaan tiba-tiba dari sang putri sulung membuat Lynelle berhenti sejenak. "Mommy tidak tahu, Sayang, sebab Mommy, kan, anak tunggal. Yang jelas, mungkin akan menyenangkan memiliki saudara yang usianya sama." Lynelle mengangkat bahu.

Laura mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau begitu, bagaimana jika aku meminta adik kembar juga? Sepertinya menyenangkan memiliki tiga adik." Gadis berusia 7 tahun itu menatap ibunya dengan raut wajah polos.

Lynelle tertawa sumbang. Sebisa mungkin dia menanggapi permintaan sang anak dengan raut jenaka. Yah, mau bagaimana lagi, tubuhnya belum kembali seperti semula dan Sean juga masih kecil. Tidak masalah sebenarnya jika dia hamil lagi, Steven juga telah berencana memiliki empat orang anak, tetapi tidak saat ini.

"Memangnya, Kakak Laura tidak keberatan menjaga banyak adik-adik?" Lynelle berjongkok menghadap sang anak.

Laura menggeleng. "Aku senang-senang saja," jawabnya sumringah.

"Oke, nanti setelah Sean sudah sedikit besar, kau akan mendapatkan adik baru. Namun, sepertinya tidak bisa kembar, bagaimana?" Lynelle menatap Laura dalam-dalam. Di antara mereka memang tidak ada yang memiliki gen kembar.

"Tidak apa-apa, Mommy, asal dia adikku, aku akan tulus menyayangi dan menjaganya."

Mendengar jawaban tersebut, Lynelle langsung memeluk dan menciumi seluruh wajah Laura hingga gadis itu tertawa terpingkal-pingkal. Demi menghindari serangan sang ibu, Laura pun memilih lari.

"Jangan lari, arrghh!" teriak Lynelle main-main seraya menyusul putri kesayangannya tersebut.

...***...

"Ada apa, Sayang?" Lynelle yang sejak tadi menahan diri saat kepulangan sang suami, akhirnya menumpahkan pertanyaan tersebut ketika mereka telah tiba di kamar.

Lynelle yang telah mengenal Steven selama hampir 13 tahun tentu tahu benar jika ada sesuatu yang tengah mengusik pikiran pria itu.

"Sepertinya aku tak pernah bisa menyembunyikan apa pun darimu," kata Steven seraya beringsut duduk di atas tempat tidur, tepat di sebelah sang istri.

Lynelle tersenyum. Dia mengubah posisi duduknya dan mulai memijiti pundak dan leher Steven.

"Lehermu kaku sekali. Kau tak boleh banyak pikiran, kalau tak mau vertigo-mu kumat lagi," nasihat Lynelle.

"Aku tak bisa mengabaikan hal ini," ujar Steven.

"Hal apa?" tanya Lynelle. Wanita itu membuka laci nakas untuk mengambil oil beraroma terapi. Dia mengaplikasikan oil tersebut di pundak dan leher Steven sebelum kemudian memijitnya lagi.

"Sebastian." Jawab Steven.

"Ada apa dengan Uncle Sebastian?" Lynelle kembali bertanya.

Steven terdiam sejenak, seolah sedang menimbang-nimbang, apakah ini merupakan hal yang bijak jika membicarakan masalah pekerjaan di rumah. Lynelle sudah cukup lelah mengurus rumah tangga, dan dia tak ingin menambah beban sang istri lagi.

Namun, selama ini Steven sendiri tak pernah menyembunyikan apa pun. Sebisa mungkin mereka selalu berbagi cerita satu sama lain. Menjaga agar hubungan keduanya tak memiliki kesalahpahaman. Hanya saja, untuk yang satu ini rasanya sedikit berat.

"Tak apa jika kau tak ingin menceritakannya padaku, aku mengerti," ucap Lynelle. Dia menghentikan pijatannya sejenak lalu melayangkan sebuah kecupan di pipi sang suami.

"Aku akan bercerita karena aku butuh pendapatmu," ujar Steven kemudian.

Lynelle mengangguk. Wanita itu membiarkan sang suami menceritakan masalah yang tengah dihadapinya pada Lynelle. Meski Lynelle tidak banyak ikut andil dalam mengurus perusahaan, tetapi sebagian keputusan yang diambil Steven merupakan hasil nasihat dari istri tercintanya.

Meski usia Steven terpaut 5 tahun di atas Lynelle, tetapi Lynelle selalu bisa berperan lebih dewasa dari pada dirinya sendiri.

Lynelle mendengarkan cerita Steven dengan baik sembari terus memijat leher dan bahunya. Dia sama sekali tidak menginterupsi perkataan sang suami dan membiarkannya sampai selesai.

"Jadi, bagaimana menurutmu? Aku tahu, Sebastian sudah cukup muak menahan segala ambisinya. Apa lagi ini proyek besar, sudah pasti godaan akan uang selalu menghampiri benak pria tua itu," kata Steven diakhir pembicaraannya.

Lynelle menghentikan kegiatannya, dan meletakkan kembali oil yang dia pakai ke dalam laci nakas.

"Kita tak bisa mengabaikan efek samping obat tersebut. Teguh lah pada prinsip keluargamu, bahwa uang bukanlah kedudukan tertinggi dalam hidup kita. Biarkan obat itu dikaji ulang. Lagi pula Dokter David telah menjanjikan, bahwa obat tersebut akan selesai sebelum waktu peluncuran tiba, kan? Jadi, apa yang harus dikhawatirkan lagi?" Lynelle tersenyum menenangkan. Dia membantu sang suami merebahkan diri di atas kasur, kemudian menyelimutinya.

"Aku hanya takut sikap tak sabaran Sebastian menghancurkan rencana kami," kata Steven.

"Aku yakin, dia bukan pria seperti itu." Lynelle memandangi Steven penuh cinta.

"Semoga." Balas Steven. Dia menggenggam tangan Lynelle dan menciumnya lembut. "Terima kasih, kau selalu bisa menenangkan hatiku. Aku mencintaimu, Elle," ucap Steven. Pria itu menuntun sang istri untuk ikut merebahkan diri dan memeluknya erat.

Lynelle menyamankan diri di pelukan suaminya. "Aku juga mencintaimu, Steve," ucapnya lembut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!