Di salah satu kerajaan kuno, putra mahkota terkenal dengan tabiat buruknya. Dia seorang laki-laki tertampan dari setiap penjuru kota. Namun sayang, perilaku tidak selaras rupanya. Sebagai putra mahkota, dia tak bisa menjadi panutan untuk rakyatnya.
Berbeda dengan putra kedua yang terlahir dari Selir mendiang Raja. Waktunya dihabiskan di perpustakaan untuk belajar ilmu pemerintahan. Berharap suatu hari nanti bisa menduduki tahta yang saat ini dipegang oleh Ibu Suri.
Ibu Suri adalah ibu dari mendiang raja, yang saat ini memegang tampuk pemerintahan karena ditinggal wafat oleh Raja. Karena putra mahkota belum mencukupi syarat maka Ibu Suri mengambil alih sementara.
Dalam usia yang senja, Ibu Suri ingin putra mahkota naik tahta dan memegang tampuk pemerintahan. Tapi sayang, Putra Mahkota belum mencukupi syarat untuk hal tersebut hingga Ibu Suri menjadi risau.
Di Istananya, Ibu Suri menatap lukisan mendiang Raja dan Ratu yang merupakan putra dan menantunya. Helaan nafas gusar penuh beban memenuhi rongga hidung. Tubuh tak lagi bugar itu sangat menandakan bahwa tanggung jawab yang ia pikul amatlah berat. Garis-garis di wajah tuanya nampak lelah menuntut Ibu Suri untuk berbaring mengistirahatkan tubuh dari Singgasana. Namun itu hanya angan. Sebab, hingga saat ini putra mahkota masih sulit dikendalikan.
"Dayang, panggil putra mahkota untuk menghadap sekarang !"
"Baik yang mulia Ibu Suri."
Seorang Dayang membungkuk sedikit tubuhnya dan perlahan melangkah mundur kemudian berbalik melaksanakan titah. Seorang Dayang pilihan yang setia mendampingi Ibu Suri selama ini.
Tak lama berselang, Kasim datang tergopoh - gopoh menghadap Ibu Suri. Raut wajahnya terlihat begitu cemas hingga memberikan getaran di tubuh yang mulai menua. Garis wajahnya tersirat kecemasan dan juga takut menjadi satu.
"Saya menghadap Ibu Suri." Kasim duduk di lantai dengan posisi setengah membungkukkan tubuh.
"Katakan."
"Putra Mahkota tidak ada di istananya dan juga melewatkan latihan memanah." Lapor Kasim itu sembari meremas jari-jari.
Manik mata Ibu Suri melirik sang Dayang utusan untuk memastikan kebenaran laporan Kasim. Dayang itu pun mengangguk membenarkan.
"Silahkan kembali." Ibu Suri menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Raut wajahnya menampakan rasa kemelut yang mendera hati dan pikiran.
Kasim dan Dayang bersamaan berdiri kembali ke tempat masing - masing. Lagi, Ibu Suri menatap sedih lukisan sang Raja. Putra mahkota harapan satu - satunya yang akan jadi penerus di kerajaan, belum menjanjikan apa - apa. Gemuruh hebat menabuh dada wanita paruh baya itu, hingga terbentuk kristal rapuh yang tidak pernah diperlihatkan selama ini.
Hembusan nafas frustasi kembali terdengar dari bibir, Terngiang lagi tuntutan para Menteri agar putra mahkota naik tahta dan menjadi raja. Hal itu semakin membebani hati Ibu Suri.
"Yang Mulia Ibu Suri. Selir Ve tiba di istana !"
Ibu Suri memutar tubuh ke arah pintu. Tak ingin terlihat menyedihkan karena terbebani sebuah pikiran, Ibu Suri merubah mimik wajah dengan anggun menjatuhkan tubuh di balik meja untuk menerima kedatangan Selir.
"Yang Mulia Ibu Suri, bagaimana kondisi anda hari ini ?" Selir Ve bertanya disertai raut wajah cemas. Dalam balutan baju tradisional Selir Ve sangat anggun dan masih cantik di usianya saat ini.
"Lebih baik dari kemarin. Ada apa, hingga Selir Ve datang ke istanaku ?" Jari-jari lentik Ibu Suri meraih gelas berisi teh yang telah dituangkan, kemudian dengan gerakan anggun meminumnya.
Selir Ve, adalah wanita bukan dari kalangan bangsawan. Karena sebuah konspirasi, maka Selir Ve dijadikan selir oleh mendiang raja dengan pemalsuan identitas.
"Yang Mulia Ibu Suri, para Menteri akhir - akhir ini mencemaskan kondisi anda dan juga kesiapan putra mahkota untuk menduduki tahta. Bagaimana pendapat anda tentang itu ?"
"Putra mahkota akan menjadi raja setelah dia menyelesaikan pendidikan. Selir Ve tidak usah cemas." Ibu Suri tersenyum tipis seolah mengerti arah pembicaraan itu.
"Tapi, anda juga tahu tentang perilaku putra mahkota. Sudah beberapa kali melewatkan latihan dan juga pembelajaran lainnya." Selir Ve tersenyum dengan alis terangkat menyiratkan sedikit ejekan.
"Selir Ve sangat mencemaskan putra mahkota ? Tunggu beberapa waktu. Aku akan turun dari singgasana." Iris mata Ibu Suri memancarkan keseriusan dengan bahasa tubuh seorang pemimpin.
"Saya akan menunggu waktu itu tiba, Yang mulia ibu suri. Silahkan anda beristirahat." Selir Ve meninggalkan istana.
Helaan nafas Ibu Suri sangat kasar. Biarlah kali ini sedikit tegas pada putra mahkota. Untuk masa depan kerajaan itu.
...----------------...
Sebuah danau tak jauh dari istana. Pepohonan rindang memberikan kesejukan dan perlindungan sekitarnya. Putra mahkota berdiri sembari menatap pantulan diri di atas air. Rupa yang gagah dan tampan sangat dikaguminya. Siapa yang akan menolak pesonanya, bahkan kupu - kupu di sana sangat ingin menempel padanya.
"Pangeran, Ibu Suri meminta anda untuk menghadap ke istananya." Pengawal Ta memberitahu setelah Kasim berhasil menemui mereka.
Pengawal Ta, adalah adik mendiang pengawal pribadi raja. Pria berparas tampan dan terlatih, keberadaannya di sisi putra mahkota adalah bentuk pengabdian turun temurun.
Putra Mahkota hanya diam tanpa menyahut. Lagi - lagi menenggak arak dari gelas. Ya, tempat itulah pelariannya untuk menghindari segala yang bersangkutan dengan kerajaan. Mendengar keluhan para menteri serta tuntutan untuknya. Sungguh, sangat membosankan.
Baginya urusan kerajaan sangat merepotkan. Putra mahkota tak menyukai hal itu, pembantaian raja di depan mata memberikan trauma yang mendalam dalam hati putra mahkota. Kehilangan ibu di usia muda juga memberikan pukulan telak pada psikisnya.
"Mari kembali."
Putra mahkota menjatuhkan gelas ke dalam danau seraya tersenyum getir pada bayangannya. Ia mengerti tapi tak mau mengerti.
Jejak sepatu kuda menerbangkan debu di sepanjang jalan. Dedaunan kering berjatuhan bak air hujan terbagi rata sepeninggal sang putra mahkota. Para pengunjung pasar menyisihkan diri memberikan jalan pada beberapa orang penunggang kuda yang tak mereka sadari bahwa itu adalah putra mahkota dalam penyamaran.
Pancaran manik mata Putra mahkota bagai permata gelap yang belum di poles. Sinar indah tak terlihat sama sekali, hanya gelap tak berwarna. Wajah datar itu penuh rasa sakit yang tidak orang lain tahu, hanya saja pelampiasannya sangat merusak reputasi.
Putra mahkota memacu kuda dengan cepat, tanpa peduli jika para rakyat ketakutan melihat keberingasannya menunggang kuda. Arak yang telah diminum sedikit mempengaruhi. Lambungan tubuhnya di atas kuda begitu tinggi menandakan pacuan kuda amatlah laju.
Di belakang, pengawal Ta hanya menghela nafas memberi sabar pada diri sendiri. Tak luput pula kutukan pada dirinya karena merasa gagal mendampingi putra mahkota. Dia yang dipercaya sang Kakak yang tak lain pengawal pribadi mendiang raja, mendampingi keturunan raja tersebut. Belum membuahkan hasil dalam mengawal putra mahkota.
Malam bersambut di ufuk barat tak ada lagi cahaya yang menembus pekatnya malam. Hembusan sang bayu memainkan ranting pepohonan sekitar istana putra mahkota. Laki - laki itu sangat menikmati ritual berendam di dalam bak air. Dimanjakan dengan berbagai ramuan membuatnya betah berlama-lama di sana.
"Pangeran, waktunya anda makan malam."
Kasim berdiri di belakang putra mahkota. Menggosok sisa air di tubuhnya, kemudian para dayang sigap mengambil alih tugas membantu putra mahkota mengenakan pakaian. Laki - laki tampan itu memiliki tatapan datar tanpa ekspresi. Sudah lama tak memiliki warna dalam tatapan hanya kabut menutup mata tajamnya.
Tubuh gagahnya mengayun kaki ke dalam ruangan. Nampan makanan sudah tersaji dengan berbagai menu kesukaan. Iris mata putra mahkota memindai isi mangkuk - mangkuk kecil itu dengan teliti. Ada hidangan yang bertahun lamanya tidak pernah disajikan. Seketika dadanya bergemuruh hebat, akar - akar merah menjalar cepat di putih manik matanya
"Minta Koki dapur menghadap !"
Gurat emosi terlihat dari garis rahang putra mahkota, lagi - lagi hanya sorot tak bersahabat terpancar dari netra nya. Alunan nafasnya naik turun dengan memburu.
"Pangeran, menu hari ini khusus di pesan oleh yang mulia Ibu Suri." Kasim menjelaskan sambil menahan takut dengan ledakan amarah.
Hembusan kasar keluar dari mulut putra mahkota. Tangannya terkepal membelah nampan makanan. Sikap kebangsawanan sama sekali tidak ada. Ia mengabaikan darah mengalir dari tangan karena pecahan nampan. Kepalanya tertunduk menatap nanar makanan yang sudah berserakan.
"Yang Mulia Ibu Suri tiba di istana."
Kasim dan Dayang menyapih mengambil posisi sambil menunduk hormat. Pintu terbuka, namun netra pangeran tak menyambut kehadiran Ibu Suri. Laki - laki itu membuang pandangan mengabaikan kehadiran sang nenek.
"Pangeran ! Beginikah, sikapmu pada makanan ?! Apa kau tidak tahu bagaimana perjuangan Koki untuk memasaknya ?!" Ibu Suri menegur pangeran dengan intonasi lembut namun tegas. Terkandung kecewa dalam tiap hurufnya. Kaki tuanya melangkah pelan menghampiri putra mahkota yang belum juga mengangkat wajah.
"Saya tidak meminta anda untuk memesannya."
Hilang, sikap sopan santun sebagai putra mahkota. Entah apa yang membuat pangeran begitu dingin pada Ibu Suri ?
"Tinggalkan kami berdua."
Ibu Suri mengeluarkan titah tanpa mengalihkan pandangan dari putra mahkota. Miris, pemandangan yang tersaji di depan mata. Teremas, perasaannya melihat sikap buruk sang pangeran. Manik mata ibu Suri memindai isi dalam ruangan itu. Perih rasanya melihat dinasti raja bak kertas putih belum terisi.
"Ada apa, hingga ibu Suri malam - malam berkunjung?!" Putra mahkota bertanya masih dengan posisi membuang wajah. Nada suaranya terdengar ketus tidak bersahabat.
Kaki ibu Suri melangkah menghampiri putra mahkota. Ia daratkan tubuh di sisi cucunya itu, manik matanya sendu melihat tumbuh kembang putra mahkota yang kurang baik.
"Pangeran, usiaku tidak muda lagi. Tubuhku juga tidak bugar seperti dulu, sebentar lagi akan turun dari tahta. Sebagai putra mahkota kamu harus menyiapkan diri untuk menjadi raja. Belajarlah dengan giat."
"Kenapa tidak pangeran kedua saja ?" Putra mahkota mencoba menghindar dari tuntutan.
"Dia tidak akan menjadi raja, karena Selir Ve bukan dari bangsawan seperti mendiang Ratu. Selir Ve hanya keponakan jauh dari perdana menteri Ma. Kau harus mengerti itu. Perdana menteri Ma sudah mengusulkan untuk menobatkan mu sebagai Raja. Mereka juga menuntutmu untuk menikah karena usiamu yang sudah matang."
"Apa ?!"
Putra mahkota terkejut. Rasanya ingin tertawa dan juga marah. Haruskah, kehidupannya diatur sesuai pengaturan di kerajaan itu ? Tangannya terkepal erat berusaha menahan ledakan emosi.
"Mulai detik ini, persiapkan dirimu jangan pernah meninggalkan pembelajaran." Ibu Suri meninggalkan istana.
Putra mahkota meluapkan amarah, meja serta peralatan yang lainnya sudah berserakan. Bukan tak ingin menjadi raja, tapi ia lebih suka menjalani kehidupannya yang saat ini.
Kasim masuk menemui pangeran. Dengan gerakan sopan, ia meraih tangan putra mahkota dan mengobatinya. Tak lama di susul beberapa Dayang untuk membersihkan tempat itu.
"Pangeran, boleh saya bertanya ?" Pengawal Ta menatap datar pada putra mahkota.
"Silahkan."
"Kenapa anda begitu membenci Ibu Suri?" Pertanyaan sensitif itu. Mau tidak mau pengawal Ta menanyakannya. Sebab, demi kelangsungan masa depan kerajaan. Ia harus mendamaikan Putra mahkota dan Ibu Suri.
"Apa kalian buta dan tuli ?! Di saat Raja wafat karena pembantaian. Ratu yang disalahkan. Berbulan-bulan Ratu merasa bersalah karena tak mampu menolong Raja. Hingga Ratu jatuh sakit dan meninggalkanku seorang diri di usia yang masih muda."
Pengawal Ta mengangguk paham, rupanya masalah itu yang menjadikan putra mahkota tidak menyukai ibu Suri. Jalan satu - satunya adalah mengungkapkan alasan kenapa Ibu Suri menyalahkan Ratu dan mengambil alih tampuk pemerintahan kala itu.
Semilir angin malam menerpa tubuh tegap putra mahkota. Manik matanya menatap jauh sang rembulan malam. Ya, kejadian beberapa tahun silam masih meninggalkan duka di relung hatinya. Pembantaian Raja, Kehilangan Ratu di usia muda ditambah lagi kesibukan Ibu Suri. Hingga menyebabkan putra mahkota merasa sendiri.
Selama ini waktunya hanya dihabiskan di luar istana. Mabuk - mabukan, serta melakukan hal lain yang tidak berarti dalam penyamarannya. Kerap kali putra mahkota mengabaikan tugas sebagai putra mahkota, seperti belajar ilmu pemerintahan dan juga yang lainnya.
"Pangeran, saatnya anda belajar." Kasim memberikan dua buah buku di atas pembaringan putra mahkota.
"Kau saja yang membacanya." Putra mahkota masih enggan memutar tubuh dari pesona rembulan.
"Pangeran bagaimana bisa ? Saya bukan calon raja." Kasim menolak dengan kaki melangkah mundur.
"Kau membantahku ?!" Tubuh gagah putra mahkota berputar dan melayangkan tatapan tidak bersahabat. "Baca dan aku akan mendengarkannya." Titahnya sekali lagi.
"Biar saya saja." Pengawal Ta mengambil alih buku itu dan membuka halamannya. Laki-laki yang selalu membawa pedang di pinggang itu terlihat menawan bersandar di dinding tertimpa keanggunan cahaya bulan.
"Aku saja." Putra mahkota merampas buku itu sedikit kasar. Dalam hatinya tak terima jika pengawalnya terlihat tampan dalam posisi itu. Entah mengerti atau tidak putra mahkota mulai membaca dan duduk di pembaringannya. "Pengawal Ta, apa kau mau tetap disitu ?! Aku sedang membaca dan butuh sinar bulan untuk menjadi lampunya."
Pengawal Ta menelan tawa agar tidak keluar, mana ada orang belajar dengan penerangan cahaya bulan yang masih separuh. "Baik pangeran, anda silahkan lanjut belajar. Saya akan keluar sebentar untuk meminta koki mengirimkan makanan lagi. Anda belum makan." Laki-laki itu melangkah meninggalkan bilik.
"Kenapa dia terlihat tampan tadi." Gerutu putra mahkota membawa tubuhnya berdiri dan mengambil posisi seperti pengawal Ta. "Apa aku terlihat tampan dari sana?" Tanyanya pada Kasim yang berdiri di ujung tempat tidur.
"Tentu Pangeran, anda sangat tampan bahkan mendapatkan julukan pria tertampan di kota ini." Pria paruh baya itu menahan senyum.
Air muka putra mahkota berubah setelah mendapat pujian dari Kasim nya. Suasana hati laki-laki itu berubah sedikit lebih baik.
Saya harap siapapun yang menjadi permaisuri anda, memiliki kekebalan hati dan fisik.
Kasim menatap nanar wajah pria muda yang saat ini berdiri di dekat jendela.
Kabar penobatan putra Mahkota sebagai Raja sudah tersebar ke beberapa kota. Pencarian permaisuri untuknya juga telah sampai ke telinga para Raja. Hati mereka bergerak untuk mengikutsertakan para putri bangsawan atau putri mahkota ikut andil dalam pemilihan sebagai kandidat permaisuri.
Tak sembarang pilih, kriteria permaisuri harus ditentukan oleh Ibu Suri. Sebab, kelak akan jadi Ratu di kerajaan itu dan akan melahirkan dinasti Raja yang berkualitas dari bebet bobotnya.
Sudah tiga hari kandidat belum juga ditemukan. Para putri yang ikut serta pulang membawa kekecewaan. Namun, siapa yang berani mengajukan protes karena itu syarat awal. Untuk ikut pemilihan sebagai permaisuri harus berlapang dada andai tidak terpilih.
Hingga detik ini semua peserta amat penasaran dengan sosok putra mahkota. Namun sayang, penasaran itu hanya tersimpan dalam kalbu masing - masing karena tidak memiliki kesempatan untuk bertatap muka.
"Bagaimana pencarian Ibu Suri, apa membuahkan hasil ? Apa kandidat permaisuri ditemukan ?" Suara berat Putra mahkota mengandung ejekan dan juga ketidaksukaan. Raut wajahnya kentara dengan amarah.
"Belum pangeran. Tapi Yang Mulia Ibu Suri akan terus mencari pendamping untuk anda."
"Apa yang diharapkannya dari pencarian permaisuri ini?" Satu tenggakan arak meluncur lancar ke dalam tenggorokan putra mahkota. Tanpa ekspresi ia menelannya. Minuman berbahan beras itu telah menjadi candu untuknya dengan kadar alkohol tinggi.
"Ibu Suri berharap, siapa yang menjadi permaisuri akan mampu mendampingi anda." Pengawal Ta menjawab apa adanya. Laki - laki ini selalu setia berada di sisi putra mahkota dimanapun berada.
"Aku kecewa, alih - alih mencari penyebab kematian Raja. Ibu Suri malah sibuk tentang tahta." Ketidaktahuan putra mahkota menjadikan dirinya selalu berpikir buruk pada Ibu Suri.
"Pangeran, waktunya anda belajar melukis."
"Apa kau tahu, kenapa raja di bantai dalam istananya sendiri ?" Penasaran itu kembali menguasai segumpal daging lembut di dalam tubuh putra mahkota. Hingga mengabaikan perkataan pengawalnya.
"Pangeran, saya tidak mengetahui banyak. Tapi dari sedikit informasi yang saya tahu. Waktu itu kerajaan tetangga melakukan penyerang diam - diam dan dilakukan oleh sekelompok besar pemberontak dari kerajaan itu. Sebab, Raja mereka ingin berdamai dan melepaskan daerah kekuasaan bagian selatan yang merupakan daerah kekuasaan kerajaan ini. Namun, hingga saat ini belum terlihat permasalahan yang sebenarnya."
"Apa Ibu Suri menyelesaikan perkara itu ? Apa arwah Raja dan Ratu sudah tenang ? Aku melihat mereka membunuh Ayah di depan mata. Saat itu Ibu membekap mulutku agar tidak bersuara, aku hanya bisa diam tak bisa melakukan apa - apa." Sejuta sesal atas ketidakberdayaan putra mahkota begitu nyata tersirat dari manik matanya. Tubuh yang gagah lemah bertumpu di kedua lutut, kenangan mengerikan itu kembali melintas.
"Pangeran, saran saya. Anda belajarlah lebih keras untuk menuntaskan permasalahan ini."
Malam semakin larut, putra mahkota yang masih berjiwa muda dan juga ingin berfoya - foya tak mengindahkan nasehat pengawalnya. Putra mahkota berbaur dengan putra bangsawan lain menghadap meja judi. Dalam penyamaran tak ada yang mengenali siapa dirinya, gelak tawa meramaikan ruangan itu. Temaram lampu tak membuat semangat para putra bangsawan menyurut untuk melemparkan kepingan uang.
"Pangeran, sudah waktunya kembali." Pengawal Ta berbisik pelan.
Putra mahkota melirik ke segala arah memastikan situasi sekitarnya. Sebagian putra bangsawan sudah ada yang tergeletak di atas meja, arak yang mereka minum sudah mengendalikan kesadaran diri. Hanya tersisa beberapa orang termasuk putra mahkota sendiri.
"Mari kita kembali." Putra mahkota menarik tubuh untuk bangkit dari tempatnya duduk. Tubuhnya sempoyongan karena lebih banyak mengkonsumsi arak.
Miris, pengawal Ta memapah tubuh besar nan tinggi itu. Perasaan pengawal Ta tercubit mendapati dinasti Raja yang tak berniat berubah. Setibanya di istana, Pengawal Ta tak membiarkan dayang atau kasim yang membantu melepaskan pakaian putra mahkota. Sebab, esok hari akan jadi bahan laporan kepada Ibu Suri. Otomatis akan mempengaruhi kesehatannya.
Usai membersihkan tubuh Putra mahkota, pengawal Ta duduk di tepi tempat tidur. Manik matanya menatap lekat wajah pulas dalam mimpi itu. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama, suka duka mereka lewati bersama, hadirnya pengawal Ta di sisi putra mahkota menjadi teman satu - satunya. Jauh dalam lubuk hati pengawal Ta, seorang putra mahkota bukan hanya penerus raja yang harus dilayani, namun seperti adik baginya. Yang wajib ia lindungi.
...----------------...
Aula istana sudah dipenuhi oleh para menteri, pembahasan tentang penobatan putra mahkota sebagai raja masih diperbincangkan, bukan hanya tentang tahta namun juga calon permaisuri. Gagalnya memilih calon tempo hari tak membuat tekad ibu suri memudar.
Bak sayembara lamaran untuk sang putra mahkota pun berdatangan, meski setiap hari ada saja utusan dari kerajaan lain. Namun belum juga memenuhi kriteria yang dicari seorang Ibu Suri.
"Yang Mulia Ibu Suri, seorang utusan akan menghadap anda."
Tubuh tua ibu Suri menegakkan duduk sambil menghela nafas panjang seraya memberi isyarat mempersilahkan utusan itu masuk ke dalam aula.
Dua pengawal membuka pintu besar dan lebar, seorang utusan mengayunkan kaki penuh hormat dan juga sopan, tubuh tegapnya tak menunjukkan gentar atau pun gugup.
"Yang Mulia Ibu Suri, saya datang menghadap anda membawa surat dari raja Re." Laki - laki itu meluruskan tangan dengan posisi tubuh bertumpu di kedua lutut.
Seorang pengawal mengambil surat itu dan memberikan kepada Ibu Suri. Jemari lentik wanita paruh baya ini segera menyambut surat itu, netra nya dengan seksama membuka gulungan serta membaca tujuan surat itu.
"Apa Raja mu yakin dengan penawarannya ini?" Ibu Suri menyeringai. "Kalian tahu konsekuensinya, bukan ?"
"Raja kami sangat bersalah atas kejadian beberapa tahun silam yang menimpa mendiang Raja dan Ratu kerajaan ini, sebagai penebus dosa atas penyerangan itu, Raja Re mengutus putrinya untuk berdamai, putri adalah seorang yang terpelajar kelak akan bisa mendampingi putra mahkota untuk naik ke singgasananya." Utusan itu memberi keyakinan atas niat tulus Rajanya.
"Yang Mulia Ibu Suri ada baiknya menerima lamaran ini. Dengan begitu kita akan tahu penyerangan itu bertuan pada siapa?" Usul penasehat istana.
"Siapkan pernikahan putra mahkota, sampaikan pada Raja mu, bahwa lamarannya diterima." Putus Ibu Suri setelah menimbang dengan baik usul penasehat istana.
Utusan itu meninggalkan aula dengan perasaan senang. Ia berharap penyerangan yang mengarah pada kerajaan mereka bisa diselesaikan.
Semua orang di dalam aula tersenyum penuh makna masing-masing setelah jatuhnya keputusan ibu suri. Bagi hati yang baik maka kabar ini dianggap hal baik dan permulaan yang patut di kawal. Namun bagi hati dengki ini adalah awal yang buruk bahkan bisa saja jadi malapetaka bagi kubu tertentu.
Perasaan lega sedikit terasa di hati Ibu Suri karena sebentar lagi putra mahkota memiliki seorang pendamping. Dan ibu Suri berharap putri yang akan menjadi permaisuri benar-benar tangguh dan cerdas. Untuk menghadap putra mahkota maka butuh gadis yang cerdas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!