NovelToon NovelToon

Regret! Saat Istriku Pergi

Penyesalan Di Atas Gundukan Tanah

Langit siang terlihat mendung, pertanda air alami dari Sang Pencipta akan turun sewaktu waktu.

Terlihat, sekumpulan orang yang berada di pemakaman, mulai meninggalkan tempat itu yang baru selesai menguburkan seorang jasad wanita yang bernama Pelangi Sagara-istri dari seorang polisi-Galaksi Malik Al Miller atau kerap disapa akrab-Dibi.

Kesedihan menyelimuti keluarga besar dan para sahabat Pelangi. Mereka tidak menyangka akan kehilangan wanita yang telah dinikahi oleh Dibi sejak satu tahun lebih.

Air mata tumpah ruah, empat saudara laki laki Pelangi dan kedua orangtuanya, serta Dibi, dan beberapa keluarga dan para sahabat terdekat, juga sepasang orang tua Dibi, kini terisak pilu di depan gundukan tanah basah yang ditaburi bunga.

Apalagi Dibi, matanya buram karena menangis terisak-isak dengan tangan itu mengepal tanah yang menimbun jasad istrinya. Ia bersimpuh di gundukan tanah tersebut, meratapi kematian Sang istri.

Istri yang tadinya ia sia-siakan cintanya. Istri yang menjadi 'orang ketiga' dalam hubungan asmaranya bersama wanita lain, kini sudah tidak ada di dunia lagi. Pelangi-nya telah pergi selama-lamanya tanpa salam perpisahan. Juga tanpa kata cinta dari Dibi yang dipinta Pelangi untuk sekedar didengarnya.

Pelangi pergi dengan luka lara begitu dalam yang ditorehkan seorang Dibi.

Memang, Pelangi tidak dibunuhnya secara langsung. Dibi juga tidak pernah membentak bentak, apalagi melukai fisik pada almarhuma istrinya itu. Akan tetapi, Dibi tidak pernah membalas cinta Pelangi karena ia mencintai wanita lain. Ia menyakiti istrinya melalui batin. Dan itu pasti sakit melebihi sakitnya fisik.

Pernikahan terjadi pun hanya karena kesalahpahaman antara mereka. Sehingga, ia dan Pelangi terjebak rumah tangga dan cinta bertepuk sebelah tangan.

"Ku mohon! Cobalah membalas kata cintaku, Kak Dibi, meskipun itu hanyalah bualan saja. Aku ingin mendengarnya sebelum aku pergi."

Andai... waktu bisa diulang, maka Dibi akan membalas kata cinta istrinya itu.

Namun kini....

Penyesalan tiada henti! Itulah yang menggerogoti perasaan Dibi, tatkala mengingat lontaran Pelangi yang terkesan memaksa. Ia pikir, Pelangi hanya akan pergi ke tempat lain karena kesal padanya.

Tetapi, Dibi salah duga....

Dan pada nyatanya, ia baru menyadari cinta sesungguhnya ada pada Pelangi yang sudah pergi selama lamanya. Itulah penyesalan tiada guna!

"Maafkan aku, Pelangi. Hiks....hiks...." parau Dibi menangis begitu pilu. Ia tidak mau beranjak dari tempat mendiang terakhir istirnya.

Andai, ia bisa menyusulnya, maka ia akan pergi dengan cara bunuh diri. Akan tetapi, ia tidak bisa. Ia punya tanggungan besar yakni buah hatinya yang baru lahir sebelum Pelangi meninggal dunia.

Tes...

Tes...

Tes...

Rintik rintik hujan pun turun, seakan mengerti kesedihan mereka yang baru ditinggalkan Pelangi.

"Bangun, Sayang. Maafkan aku, Pelangi..." Dibi terus meracau dihiasi air mata yang tidak bisa berhenti.

Bugh...

Bugh...

Topan-kakak kembar Pelangi, sudah tidak bisa menahan amarahnya yang telah ditahannya sedari tadi. Oleh sebab itu, ia memukuli Dibi. Tidak peduli akan leraian kerabat di sekelilingnya.

Topan sangat murka, ia tidak bisa diam, seperti orang tuanya yang memaafkan Dibi begitu saja. Menurut Topan, Pelangi meninggal karena kesalahan Dibi yang baru ia ketahui kalau adiknya itu ternyata bahagia dalam kepura-puraan, demi menutupi dan melindungi Dibi.

Bugh...

"Topan!" Seru kumpulan keluarga itu seraya Badai-saudara Pelangi lainnya menahan kembarannya itu.

Ya.... Pelangi memang terlahir sebagai kembar tiga, dari pasangan suami istri- Biru Sagara dan Mentari Putri Batara. Pelangi juga memiliki adik Twins bernama Bhumi dan Angkasa.

"Kembaranku meninggal karena dia!" tunjuk kasar Topan yang sudah di tahan kuat oleh Badai dan si Twins.

Sedang Dibi yang dipukuli, hanya diam dan menerima ikhlas pukulan Topan yang melukai wajah sedihnya.

Dibi hanya tertunduk lesu di atas tanah becek karena hujan. Lumpur pun sudah menempel pada pakaiannya.

"Mari kita pulang! Hujan semakin deras dan aku tidak mau ada pertikaian diantara kalian di tempat peristirahatan terakhir anakku!" Seru Biru-Ayah Pelangi dengan suara bergetar pertanda kesedihaan mendalam menerpanya.

Sedang Mentari-Bunda Pelangi itu hanya terisak dalam kekosongan.

Semuanya pun menuruti ucapan tegas Biru yang terdengar tak mau disangga.

Kecuali Dibi yang masih bersimpuh di hadapan kuburan sang istri.

Melihat anaknya yang tak bergeming, Dirga dan Bintang pun membalikkan tubuhnya kompak. Lalu menghampiri Dibi yang tidak mau sama sekali pergi dari pusara Pelangi.

"Pelangi akan bersedih melihat suaminya seperti ini. Ayo pulang, Nak. Ada Pelangi kecil di rumah sedang membutuhkan mu."

Dirga menyemangati anak semata wayangnya, dengan cara mengingatkan putri kecil yang dilahirkan Pelangi.

Tak ada respon, Bintang-Sang Mama menuntun bahu Dibi yang bergetar hancur itu, untuk bangkit dari tanah yang basah.

Mereka pun akhirnya pergi.

***

Oek...Oek...

Awan sudah diselimuti gelap gulita. Suara tangis bayi perempuan yang masih berkulit merah, memecahkan kesunyian kamar kedap suara Dibi saat ini.

Dibi yang belum istrihat di jam satu malam itu, reflek begitu sigap menghampiri anaknya yang sudah piatu diusia sangat dini.

"Kamu haus, Sayang?" tanyanya penuh kelembutan seraya mengelus pipi mungil yang berada di atas kasur bayi.

Setelah menyapa, tangan lebarnya begitu cekatan meracik susu formula untuk sang bayi. Harusnya, anaknya itu meminum ASI eksklusif, akan tetapi takdir buruk telah menyapa keluarga mereka.

Dibi berjanji akan merawat penuh kasih nan sayang buah hatinya bersama wanita yang di cintai nya. Ia akan berperan ganda sebagai Ayah dan Ibu yang baik dan memutuskan akan merawat Pelangi kecil dengan tangannya sendiri.

"Maafkan, Papa, ya? Mama mu ternyata mengandung mu dalam rasa sakit yang tak pernah Papa ketahui. Papa begitu dzalim, Nak."

Hardikan untuk diri sendiri masih tak mampu membayar penyesalan Dibi.

Dibi meracau seraya mengangkat bayinya dari kasur khusus tersebut. Menggendongnya dengan tangan satunya memegang botol susu, guna membantu malaikat kecilnya untuk melepaskan dahaga.

Hanya bayi kecilnya-lah yang menjadi semangat hidupnya saat ini. Tidak ada yang lain lagi. Sisanya, sudah mati dibawah Pelangi.

"Aku seperti dejavu, Nak," lirih Dibi di telinga bayi mungil itu. Ia mengayung ayung tangannya agar sang anak di gendongannya itu nyaman.

"Dulu, Mamamu-lah yang pernah ada digendongan Papa semenjak ia masih bayi seperti mu. Bedanya, Papa masih umur tujuh tahun dan Mamamu masih bayi seperti mu. Bahkan, Papa juga sering ketiduran dikala menjaganya. Mamamu sudah seperti adik buat Papa. Itulah sebabnya, Papa terlambat menyadari kasih sayang yang papa rasakan padanya. Karena Papa kira, kasih sayang itu hanya sebatas adik dan kakak seperti dulu. Tapi nyatanya, Papa baru sadar kalau hati ini menyayangi sebagai pasangan, bukan adik lagi. Maafkan Papa ya, Sayang."

Dibi menceritakan segala isi hatinya pada bayi lucunya yang pasti tidak akan mengerti. Namun anehnya, Sang bayi terlihat tenang seakan akan mendengarkan curhatan pilu sang Ayah.

Ya... Pelangi dan kembarannya dulu, memang dirinyalah yang sering mengasuh nya karena Mertuanya, yakni Ibunda Pelangi sempat koma sehingga kasih sayang seorang Ibu tidak di dapatkan oleh istri nya itu.

Seperti anaknya sekarang yang bernasib seperti Pelangi. Bedanya, Pelangi masih sempat merasakan pelukan dan kasih sayang Ibunda karena Mentari-mertuanya telah berhasil sembuh dari komanya di kala itu. Sedang bayinya? Tidak lagi karena sang Ibu telah pergi selama-lamanya. Menyayat hati untuk Dibi deskripsikan.

Setelah air sus* yang berada di dot sudah habis, bayi yang belum diberi nama itu langsung terlelap tertidur lagi.

Hanya itulah yang seorang bayi lakukan. Tidur, menangis dan pup.

"Jadilah anak yang berguna kelak nanti, agar Mamamu bangga meski hanya melihatnya dari jauh."

Papa muda itu berbisik pada bayinya, sejurus mencium pelan pipi yang wangi khas bayi, lalu menaruhnya pelan pelan ke kasur khusus bayi.

Dibi pun kembali duduk di tepi kasur, merenungi nasibnya yang entah bisa hidup bahagia atau tidak tanpa Pelangi?

"Baru hari ini kepergianmu, Pelangi. Tetapi kenapa aku sudah merindukan mu? Ku mohon, datang lah dalam mimpi ku."

Setelah meminta keinginannya, Dibi pun beranjak membuka pintu lemari. Ia merindukan aroma istrinya, sehingga ia menarik pakaian Pelangi, lalu memeluk dan mencium aromanya.

"Hiks hiks hiks..."

Air mata itu kembali tumpah, meskipun Dibi seorang Pria, namun ia tetaplah seorang manusia biasa yang ada rasa receng karena kehilangan, Istimewa orang yang pergi tak kembali itu adalah wanita spesialnya.

Hatinya sakit sendiri tatkala mengingat penolakan demi penolakannya untuk Pelangi.

"Aku membenci diri ku. Sangat!" Dibi beringsut untuk bersimpuh di lantai. Menyalahkan diri sendiri seraya menjatuhkan air matanya.

Plukkk...

Sebuah surat terjatuh dari lipatan baju yang dipeluknya.

Surat Menyayat Hati

Dalam simpuhan, Dibi menyeka air matanya, memaksa buliran bening itu agar berhenti membasahi pipi.

Hidung memerah dengan binar mata masih berkaca kaca, menghiasi wajah tampan tapi suram, karena rasa sedihnya yang masih dalam keadaan berduka.

Teruntuk Yang Tercinta

Dibi membaca dalam hati pada tiga kata tersebut yang tertulis di sampul amplop putih itu.

"Tulisan ini..." Gumamnya. Ia sangat mengenali coretan tangan mendiang Pelangi.

Penasaran, Dibi pun akhirnya membuka surat tersebut seraya melangkah tanpa menimbulkan suara derap kaki telanjangnya menuju ke kursi dekat bed bayinya.

Hai Kak Dibi....

Apakah aku harus menyapamu, seperti...apa kabar? Di surat ini?

Heem... tapi baiklah! Untuk suami yang aku cintai dan sayangi segenap jiwaku. Kau....Kak Dibi, apa kabar? Semoga selalu bahagia bersama orang yang selama ini kau puja-puja di depan maupun di belakangku.

Saat surat ini jatuh di tanganmu, baik itu cepat atau lambat...Maka mungkin, ragaku pasti tak ada lagi di muka bumi ini. Pelangi yang manja, menyebalkan dan terkesan memaksa kehendaknya padamu, telah pergi dan tak kembali lagi! Pribadi wanita yang kanak-kanakan ini pergi dengan bibir tersenyum manis.

Tes...!

Dibi tidak kuasa. Sesaat, ia menahan penglihatan dan bibirnya untuk tidak membaca surat itu.

Kembali, buliran air gratis dari matanya menganak dan jatuh tanpa permisi, tatkala membaca tulisan pergi dengan bibir tersenyum manis. Pelangi pasti berbohong padanya, karena tidak ada penolakan hati yang membuat wajah berseri-seri dengan bibir terlukis indah seperti bulan sabit.

Pelangi mungkin saja menghiburnya. Ya... pasti itu! Ia tahu Pelangi sangat terluka hati.

Masih penasaran, Dibi kembali menguatkan seluruh saraf-sarafnya untuk mengetahui isi surat tersebut.

Sebelum membacanya lagi, ia mengehela nafas panjang yang terasa sesak di dadanya.

Pergi dengan membawa cinta kasihku yang tak pernah kau butuhkan, memang sangat menyedihkan buatku yang rapuh.

Tapi sungguh, aku pergi dengan keadaan tersenyum indah seperti lukisan bulan sabitku yang ada di kamar kita, karena aku telah mampu menjaga kesehatan janin yang aku kandung dalam keadaan diriku yang penyakitan ini.

Ku mohon! jaga buah hati kita dengan baik, meskipun kau tidak mencintai wanita yang melahirkannya.

"Hiks...hiks... hiks..." Dibi sesunggukan. Bibirnya bergetar, ditambah dada yang tadinya sesak kini terasa ada ribuan anak panah yang tertancap.

"Pelangi, beri waktu untuk ku meski itu hanya sehari saja. Hiks...hiks..."

Dibi semakin pilu. Air mata berderai jatuh membasahi sehelai kertas yang dipegangnya. Hidung itupun saat ini mengeluarkan cairan encernya.

Ia menyesal! Dibi ingin mengulang waktu bersama Pelangi meskipun satu jam saja.

Kemarin, Pelangi minta digendong dan disuapin nasi olehnya dengan permintaan menggunakan tangannya langsung, namun ia menolaknya dengan alasan jangan manja. Andai ia tahu kalau itu sikap manja terakhir Pelangi, maka Dibi akan menggendong dan memberikan suapan untuk istrinya sampai kenyang. Menyesal dan menyesal. Kata itu meneriaki langkah hidup Dibi sekarang.

Ia ingin mengatakan kalau hati itu sebenarnya, sudah dilukisi indah nama Pelangi di sana, bukan wanita lain lagi. Ia terlambat! Tidak ada kata-kata yang bisa mendeskripsikan penyesalan terdalam yang melukai hatinya. Sakit nan perih, sangat!

"Aku akan menjaganya dengan baik, Pelangi. Percayalah padaku. Kamu bisa mengawasiku dari atas sana. Hukum aku lebih dalam lagi kalau aku menyia-nyiakan buah hati kita," parau Dibi bertekad. Mungkin dengan cara mendedikasikan hidupnya hanya terkhusus untuk anaknya, maka Pelangi akan tenang di alam sana.

Arpina, beri nama itu untuk putri ku. Aku menyukai makna simpel itu... 'terbitnya matahari.' Aku ingin kecerahan dalam hidupnya, Kak. Jangan seperti aku, Pelangi...nama dan panorama yang indah tapi hanya semu belaka. Pelangi tidak bisa ada terus, ia hanya bayangan hujan yang kadang hadir dalam ketidakpastian. Meski hadir, maka akan tenggelam sekejap mata di bumantara sana.

Maafkan aku! Pelangi ini sudah pernah menjadi orang ketiga dalam hubunganmu, bersama wanita yang telah kau dambakan. Aku seorang pelakor, hahahha. Miris sekali!

Dibi menggeleng seraya mengusap air matanya. "Kamu bukan pelakor, Pe. Aku lah yang bodoh, Sayang. Kamu istri sahku."

Kenapa aku sangat memaksakan kehendak? Pasti kau ingin tahu kan, Kak? Seperti yang sering kau tanyakan berulang kali padaku yang mempunyai sifat keras kepala ini.

Alasannya adalah...Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan sesaat bersama mu dalam sisa-sisa umurku yang sudah tidak panjang lagi. Meskipun itu hanyalah kebohongan terdahsyat yang aku jalankan. Aku sangat tahu, hati ku yang biasa-biasa saja tak mampu menggetarkan hati mu. Tetapi, apakah aku sama sekali tidak berhak mendapat cinta dari mu, suamiku?

Sebercanda itukah takdir padaku? Takdir tidak memikirkan perasaan ku. Sakit sekali rasanya! Ingin protes, tetapi aku bisa apa? Aku bingung! Ini yang salah adalah takdir atau aku yang salah nan terlalu bodoh karena terlalu jatuh cinta pada orang yang sudah terang terangan menolak ku sampai beberapa kali.

Kak...Mungkin bagimu, kehilangan aku bukanlah hal yang serius. Karena semua orang tau, kamu itu hebat dari segala bidang, jelas banyak orang yang menginginkanmu. Mungkin ketika aku pergi, tak sulit bagi kakak untuk mendapatkan kebahagiaan, karena aku tidak penting bagimu! Aku tidak akan dikenang olehmu.

Lagian ... di sini aku yang salah. Aku yang sudah berlebihan karena terlalu mencintaimu. Sedang kakak tidak pernah membalas cinta ku. Memikirikan sedikit perasaan ku saja, kakak tidak pernah. Dengan itu, aku mundur dengan cara pergi dan tak kembali lagi.

Kenapa aku menyembunyikan sakit ku? Pasti kau dan semua orang terdekat ku menanyakan itu setelah kenyataan terungkap, bukan?

Alasan ku...aku tidak ingin membuat kalian di depan mata sayu ku bersedih, menangis dan mengasihani aku seperti pengemis. Ah... meski aku sebenarnya pengemis cinta mu yang tak mampu ku gapai. Sekali lagi, aku tidak menyalahkan mu, Kak. Karena hati tidak bisa dipaksa.

Aku malah bersyukur dengan penyakit yang ku derita. Karena adanya penyakit itu, perasaan ini pun akan mati bersama ragu ku.

Terimakasih untuk semuanya. Dan bahagia selalu, Kak. Salam tulus dariku.... Pelangi yang hilang.

Tes...

Dug...

Dug...

Sesak begitu sesak, Dibi menangis terisak-isak seraya memukul dadanya yang susah bernafas karena tangisnya tidak bisa dihentikan.

Surat dari Pelangi sangat menyayat hatinya.

"Aku tahu, Pelangi. Menangisi kematian mu adalah salah, karena mungkin kamu tidak tenang di sana. Tetapi, aku tidak bisa mengikhlaskanmu, Istriku. Kamu pergi dengan cara menaruh besi panas di jantung ku. Kamu harus kembali, Pelangi. Harus! Jangan siksa aku dengan kata penyesalan. Hiks...hiks... maafkan aku. Maaf dan maaf..."

Perlahan, tubuh yang biasanya kokoh itu, bersimpuh di lantai dengan surat ia dekap di dada. Berharap surat bekas tangan Pelangi tersulap jadi raga wanita yang baru tadi siang dikuburkan. Ia ingin memeluk Pelangi-nya. Ia sudah merindukan wanita itu.

Ia mau keajaiban! Dibi menangis dengan meracau seperti orang gila yang ingin menuntut Tuhannya.

"Kembalikan, Istri ku! Ku mohon, Tuhan! Beri aku kesempatan ke dua..." pintanya dalam simpuhan nya. Meskipun itu mustahil, tetapi Pria yang berprofesi sebagai polisi itu semakin menuntut.

Ceklek...

"Dibi...." Bintang, Mamanya yang baru masui kamar itu, berlari kecil menghampiri Dibi yang menangis sesenggukan.

"Sayang..." Bintang merengkuh iba anak satu-satunya. "Kamu tidak boleh seperti ini terus, Nak. Kamu pasti bisa!"

Dibi menggeleng kecil. Mata berkabut air mata itu menatap kosong Sang Mama.

"Ma, Pelangi marah padaku, Ma. Bilang padanya agar kembali lagi. Aku akan mengutarakan perasaan ku. Ia harus tau kalau aku sangat mencintainya, meskipun aku terlambat menyadari hati ku yang bodoh ini."

Bintang tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur kesedihan anaknya. Ia juga sangat kehilangan menantu sekaligus anak dari sepupunya itu. Pelangi sudah seperti anaknya, bukan menantu.

"Nak...kamu harus kuat! Demi putri kalian." Bintang menyeka air mata anaknya.

"Arpina. Nama putri kami adalah Arpina, Ma. Cantik 'kan?" racau Dibi.

Bintang mengangguk dengan mata yang tadinya kering kini ikutan basah.

"Pelangi yang memberikannya sendiri, Ma." Terang Dibi dengan suara paraunya.

"Dengan itu, bangkitlah! Jalanin hidup demi anak yang telah diberikan Pelangi padamu. Buktikan rasa cinta mu ke Pelangi melalui buah hati kalian!" Seru Bintang memberikan semangat untuk sang anak.

Dibi hanya diam dalam kekosongan. Mungkin, ia akan bernafas tetapi sebenarnya ia sudah mati bersama Pelangi.

Awal Kisah Itu

Flasback On...

"Astaga, Pelangi! Ini jam berapa, Nak? Kamu belum makan malam lho, masa dari pagi kerjaannya di kamar melulu?"

Mentari, Bunda Pelangi sedikit mengomeli anaknya dengan nada lembutnya, seraya matanya mengerlya seisi kamar. Ruangan berantakan dengan cat dan koas lukis bekas pakai berserakan di sisi kamar lainya. Pelangi memang seorang seniman. Banyak karya karyanya yang sudah masuk pasar internasional, namun ia terkenal dengan penanya yang berinisial gambar pelangi berukuran kecil di sisi sudut lukisannya, tanpa mau memunculkan identitasnya seperti seniman lainnya. Dan itu karena ia ingin membangun ciri khasnya sendiri yang terkesan misterius, agar para penggemar lukisan buatannya selalu dibuat penasaran dan berakhir, karya karyanya laku ludes.

Tidak ada respon, Mentari mendekati Pelangi yang masih setia terbungkus oleh selimut tebal. Menyilaknya selimut itu, lalu mengguncang tubuh pelangi yang masih tertidur.

"Sayang, bangun dong! Kamu belum makan malam. Saudara kembarmu sudah pada pergi tetapi kamu masih setia bersembunyi."

Ya, Palangi yang selalu dapat perhatian penuh bin overprotektif dari saudara kembarnya yakni Topan dan Badai, lebih memilih bersembunyi seharian dari pada terus diceramain tidak boleh pacaran, ini dan itu, pokoknya kedua kembarannya itu melebihi seorang Ayah pada anaknya. Bayangin saja, ia sedari dulu tidak pernah punya pacar, padahal Topan, si sulung sudah punya bini yang bernama Gerhana. Badai? Ya, adik kembarnya itu juga sudah punya pacar bernama Eliza. Timbangan dunia berat sebelah, uih!

Sedang ia, apalah daya....jones parah karena pada takut mendekatinya dengan alasan takut pada saudaranya yang lebih dahulu di introgasi ala ala militer, kalau tidak cocok maka ya salam.... Semua laki laki itu sudah lebih dahulu di depak oleh kedua kembarannya.

Senang atau muak punya kembaran seperti itu? Sudahlah, Pelangi jelas bersuara, "lebih baik punya kembaran kambing atau kucing saja."

"Apa sih, Bun? Aku lagi diet, jadi nggak boleh makan malam," kilah Pelangi. Padahal, sebenarnya body itu lagi tidak fit. Jadi malas untuk berjalan.

"Diet apanya, Pe? Kamu sama sapu ijuk lebih bohai tuh sapu."

Tanpa membuka mata, Pelangi menarik lembut tangan Mentari untuk duduk disisi kepalanya yang terbaring. Ia pun membuka matanya dan menjadikan paha Mentari bantalannya.

"Kamu sakit, Pe?"

"Nggak, Bun. Sedikit doang."

"Sama saja, sedikit atau banyaknya rasa nyeri itu tetap namanya sakit. Tuh, kan, kulitmu sudah rada rada panas! Sebentar ya, Bunda ambil makanan dan obat buat kamu."

Begitulah Bunda petitenya yang cantik tak terkalahkan usia, selalu all dalam menyayangi anak anaknya.

***

Di tempat lain, lebih tepatnya di sebuah apartemen, terlihat Dibi sedang berbincang bincang serius bersama seorang wanita cantik dengan perangai tinggi bak model. Ia adalah Kiara, pacar Dibi sejak SMA sampai saat ini, maaf, sampai satu menit yang lalu karena hari tepat ini, Kiara tiba tiba meminta putus tanpa ada badai apalagi hujan.

"Putus..." Bibir Dibi bergetar mengulang kata mengejutkan itu. Hari ini adalah hari jadinya bersama Kiara, namun kado pahit yang Dibi terima oleh wanita yang sangat ia cintai lebih dari nyawanya itu.

"Maaf, Dibi!"

"Apa salahku? Kamu pasti bercanda 'kan, Sayang?" Dibi masih saja tidak percaya, Kiara begitu tega memutuskan hubungan cinta mereka. Padahal, cintanya dari dulu tidak pernah pasang surut seperti laut. Kalau ada persamaannya, maka cinta Dibi itu adalah besar nan tingginya gunung yang selalu sinkron tak pernah naik turun, selalu di atas puncaknya.

Tangan yang digenggam oleh Dibi, kini Kiara tarik. Lalu berkata, "Kamu tidak ada salah, Dibi. Masalahnya ada pada diriku! Namun maaf, aku tidak bisa memberi alasannya kenapa? Tetapi percayalah, hati ini selalu ada namamu!" Kiara membasahi bibirnya yang kering dan pucat dibalik lipstik nudenya.

"Jangan membuat teka teki, Ki. Aku memang seorang polisi yang cepat mengendus adanya kriminal, tetapi percayalah.... Beberapa laki laki di dunia ini kurang peka terhadap kata kata hati yang berambigu. Katakan kesalahanku! Aku akan memperbaikinya! Bahkan, hari ini pun aku sanggup membawamu ke tempat yang sakral yaitu pernikahan!"

Dibi menahan gejolak amarahnya. Diputuskan cintanya secara sepihak itu sungguh rasanya tidak adil. Bagaimana ia tidak kesal? Ia dan Kiara kemarin masih sempat suap suapan, malam minggu bersama ala ala anak muda yang baru dilanda cinta baru. Tetapi ini mau diputusin!

Padahal, hubungan cinta mereka itu sudah bertahun tahun, bahkan... darah selaput milik Kiara sudah ia ambil duluan. Tapi kenapa pacarnya itu begitu bodoh ingin putus darinya. Sangat disayangkan oleh Dibi!

Ada apa sebenarnya? Apakah kekasihnya itu sudah punya yang baru? Atau, Kiaranya itu sudah bosan dengannya? Sungguh, Dibi penasaran setengah gila!

"Jangan diam saja, Ki! Cepat katakan masalahmu? Apa ada laki laki lain yang menggantikan namaku di hatimu? Kenapa, Kiara? Kamu sangat tega! Padahal, aku dari dulu selalu mengajakmu menikah, akan tetapi kamu terus menolakku dengan alasan masih ingin berkarir bebas," cerca Dibi prustasi.

Kiara tidak sanggup mengangkat wajahnnya, ia begitu pasrah di guncang kuat kedua pundaknya oleh Dibi seperti robot rusak.

"Beri aku alasan!" Saraf saraf Dibi terasa lesu. Dalam berdirinya itu, Dibi memaksa dagu Kiara terangkat. Memandang wajah Kiara yang tidak ada semangat semangatnya. Kiara pun akhirnya mengeluarkan air mata sedihnya. Dan Dibi bisa apa kalau air mata itu sudah berhamburan? Ia hanya bisa menghapusnya dan merengkuh sayang tubuh wanita yang masih mencintainya itu. Dibi yakin itu! Kiaranya masih mencintainya sama seperti dirinya. Pasti!

"Papa dan Mama ngajak aku tinggal di Jerman, Dibi! Dan aku tidak bisa menolak mereka." Kiara berbohong. Ia punya alasan kuat lainnya yang mengharuskan melepaskan Dibi. Sungguh, ia pun sangat tidak rela merelakan cintanya. Namun, demi kebahagian Dibi...Kiara harus mundur untuk hari ini atau selama lamanya kalau 'perjuangannya' itu gagal.

"Kalau masalah LDR-an, maka percayalah, Ki. Aku sanggup! Kesetiaan ini akan merajai sucinya cinta kita. Pergilah! Tetapi satu yang harus kamu tahu, aku akan menunggumu pulang. Kalau jodoh, maka kita pasti akan bersatu."

Meski kecewa, Dibi tetap mau menunggu Kiara. Ia tahu, kalau cintanya akan berjua di akhir cerita mereka. Kiara adalah cinta pertama sekalaligus cinta terakhirnya. Harus! Ia sungguh tidak rela kehilangan wanitanya ini.

Mereka dari SMA sudah seperti amplop yang di sahkan oleh perangko.

Anggaplah ia pria bodoh karena cintanya itu mengalahkan segalanya. Atas nama cinta, sampai beruban pun, Dibi tetap akan menunggu Kiara kalau wanitanya itu berjanji akan pulang.

"Benar, Dibi? Kamu akan setia?" Ada secerca semangat Kiara yang tumbuh dari hatinya yang hampir drop. Pacarnya ini memang selalu pengertian.

Dibi mengangguk seraya tersenyum kecut karena hatinya masih perih karena kaka putus Kiara yang tadi.

"Tetapi kamu harus janji akan pulang!" pinta Dibi. Kiara lah yang sekarang mengangguk lalu membalas pelukan Dibi begitu erat.

Setelah ketegangan dalam hati Dibi berkurang, ia pun pamit dari tempat Kiara.

Sampai di rumah, Dibi masuk ke kamarnya. Meminum air berwarna yang biasa orang minum untuk menguarai otak kusutnya. Ia sedikit berkunang kunang karena alkohol dua botol itu.

"Hanya Warni-lah yang bisa aku ajak curhat malam ini."

Warni yang dimaksud Dibi adalah Pelangi. Sapaan itu hanya khusus Dibi seorang yang boleh memanggilnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!