Happy reading💚
________
"Raymond?!" Abrine menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangan. Apa yang kini tengah dilihatnya didepan mata, sungguh diluar prediksinya.
"Brine..." Raymond terkesiap, mendorong pelan seorang wanita yang tengah menduduki tubuhnya. Ia menarik handuk untuk menutupi bagian bawahnya, lalu beranjak menuju Abrine yang membeku didepan pintu.
"A--pa yang kau perbuat?" Pertanyaan bodoh dan suara Abrine justru terdengar bergetar. Jelas, ia tak menyangka jika ternyata harus menyaksikan percintaan Raymond dengan Freya--salah satu teman satu fakultas mereka di kampus.
"Aku bisa jelaskan," lirih Raymond.
Abrine menggeleng. Tak ada yang perlu dijelaskan disini. Ia tak berhak tahu apapun hubungan diantara Raymond dan Freya, sebab ia pun bukan seorang gadis spesial untuk pemuda itu. Abrine hanyalah sahabat untuk Raymond. Haruskah ia mendengar penjelasannya?
"Aku harus pergi, maaf sudah mengganggu kalian." Abrine hendak berbalik badan, namun Raymond memegang pundaknya demi mencegah kepergian gadis itu.
"Just one night stand," lirih Raymond pada Abrine.
Abrine melirik pada Freya yang masih berada dalam kamar, gadis itu tampak menutupi tubuh polosnya dengan selimut tapi sesekali melirik pada Abrine dengan ekspresi malu-malu.
Abrine menyunggingkan seulas senyum yang tampak dipaksakan. Kemudian kembali mendongak demi menatap Raymond yang berdiri dihadapannya.
"Ini normal, kau butuh seorang gadis sebagai pendampingmu. Aku permisi," kata Abrine menahan gejolak hatinya yang entah kenapa sangat tersengat sakit.
"Brine!"
Raymond masih ingin mencegah kepergian Abrine.
"Lanjutkan," kata Abrine dalam posisi yang sudah membelakangi Raymond.
"Kau marah padaku?"
"Aku tidak berhak marah padamu. Ini mutlak hak-mu, Ray!"
"Kau kecewa padaku, iya kan?"
"Atas dasar apa aku berhak kecewa? Sudah ku katakan semua ini normal."
"Kau sakit hati atas perbuatanku, Abrine!" tekan Raymond yang kini telah memberi pernyataan bukan pertanyaan seperti sebelumnya.
Abrine tak menyahut lagi, sebab ia tahu ia tak berhak menghalangi semua yang ingin Raymond lakukan, terlebih tak ada status hubungan--selain persahabatan--diantara mereka.
Abrine menyeka airmatanya yang entah kenapa dengan tak tahu diri malah ikut mengalir di pipi. Abrine beranjak meninggalkan Raymond yang kini mengusap kasar wajahnya sendiri.
Raymond menatapi punggung Abrine yang perlahan menjauh. Ia menghela nafas sepenuh dada.
"Brine, maaf," ucapnya seolah tengah bicara pada gadis itu.
******
Udara pagi taman terasa sangat segar, ini adalah detik-detik akhir dimana Abrine akan segera meninggalkan Jerman. Tak lama lagi, ia akan pergi dari negara ini dan kembali pulang ke Indonesia, mungkin sekitar 2 bulan lagi saja.
"Brine..." Tanpa perlu melihat, Abrine sudah hafal luar kepala siapa pemilik suara serak ini. Dia adalah Raymond.
"Kenapa?"
"Masih marah?" Raymond tersenyum kecil pada Abrine, mencoba membujuk gadis itu.
"Sudahlah, aku tidak mau membahas hal kemarin."
Raymond mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hari ini aku akan ke panti sosial. Kau ikut?"
"Tidak," jawab Abrine singkat. Demi apapun, ia ingin menghindari Raymond. Terlalu sakit jika mengingat perbuatan Raymond bersama Freya kemarin. Tapi, Abrine pun tak mau membahas hal itu bersama Raymond sekarang-- meski ia cukup penasaran tentang hubungan diantara Raymond dan Freya.
"Biasanya kau selalu senang jika ku ajak ke panti sosial."
"Ya, kali ini aku sedang tidak bersemangat saja." Abrine membuang pandangan, tak mau menatap langsung ke wajah tampan milik Raymond.
"Apa kau tidak enak badan? Kau sakit?" Raymond beringsut mendekat pada Abrine dan langsung memegang dahi gadis itu untuk mengecek suhu tubuhnya.
Abrine menepis tangan Raymond. Demi apapun ia tak mau lagi menerima perlakuan manis dan perhatian berlebih dari Raymond. Bukan apa-apa, hal ini lah yang sudah terjadi bertahun-tahun-- tak salah jika hal ini pula yang membuat luka menganga di hati Abrine sendiri. Abrine jadi memiliki perasaan lebih pada Raymond tanpa disadarinya.
Persahabatan antara lelaki dan perempuan memang tak pernah ada. It's bull s hit!
Raymond berdecak, tak suka melihat penolakan Abrine padanya.
"Kau marah padaku, kan? Katakan apa yang harus ku lakukan sekarang agar kau memaafkanku, hah?"
Abrine tertawa sumbang sambil menggeleng.
"Aku ada kegiatan lain." Abrine berdiri dari duduknya, namun secepat kilat Raymond menarik lengan gadis itu.
"Kau menghindariku! Kau terang-terangan bersikap dingin padaku hari ini. Kenapa?"
Abrine tak menjawab, hanya merasakan genggaman erat di lengannya yang dilakukan oleh Raymond, genggaman itupun mulai mengendur perlahan-lahan seiring dengan Abrine yang masih tetap memilih diam.
"Kenapa, Brine? Kau marah melihatku dengan Freya kemarin?"
"Brine? Kau marah? Kau cemburu?"
Abrine melerai sendiri tangan Raymond yang masih berada di pergelangannya. "Ya, aku marah, aku cemburu padamu!" cecarnya terus terang
"Brine .... aku---"
"Ray!" Suara seseorang menginterupsi percakapan diantara Abrine dan Raymond, itu adalah Freya.
Terdengar helaan nafas kasar dari Raymond begitu Freya semakin mendekat pada posisinya dan Abrine.
"Abrine...." Freya turut menyapa Abrine yang dibalas Abrine dengan anggukan samar.
"Apa kalian berpacaran?" tanya Abrine to the point, bukan pada Raymond melainkan pada Freya.
"Ya, aku dan Ray sudah berpacaran sebulan belakangan." Freya bergelayut manja di tangan Raymond dengan sikap yang tampak posesif, bertolak belakang dengan sikap pemuda itu yang tampak membeku ditempatnya--tanpa ekspresi. Bahkan bisa dikatakan jika kini wajah Raymond perlahan berubah pias saat ditatap Abrine dengan seringaian tipis. Seolah Raymond baru saja ketahuan selingkuh oleh pacarnya sendiri. Inilah akibat dari kebohongannya pada sang sahabat. Raymond malu sendiri, ia tak terbuka mengenai hal ini pada Abrine.
Meski pada dasarnya Abrine adalah orang yang cuek, tapi hal mengenai Raymond yang berpacaran dengan Freya, cukup membuatnya seperti tertampar keras. Ia sama sekali tak tahu bahkan tak diberitahu oleh Raymond. Ya, sekali lagi, apa hak-nya? Abrine hanyalah orang terdekat Raymond yang berlindung dibalik kata 'persahabatan'.
Abrine mengulurkan tangan ke hadapan Freya yang disambut dengan wajah bingung gadis itu.
"Selamat, ya. Maaf aku baru mengetahuinya sekarang." Abrine mengakhiri kalimatnya sambil melirik reaksi Raymond yang masih tetap sama. Diam dan pias.
"Thanks," balas Freya dengan senyuman tipis.
Kemudian Abrine beranjak dari sana. Sejenak ia berdiam diri--jauh dalam lubuk hatinya--ia ingin Raymond kembali mencegah kepergiannya, nyatanya tidak. Raymond tetap diam dalam posisi tangan Freya yang menggamit lengan pemuda itu.
Semua ini memang salah Abrine sendiri karena membuat dirinya terjebak dalam lingkaran friendzone bersama Raymond. Mereka sama-sama nyaman satu sama lain, tapi tetap saja tidak ada status berarti diantara keduanya. Hingga pada akhirnya, Raymond memilih bersama Freya. Ya, ini memang salahnya sendiri, seharusnya dia tidak usah melibatkan perasaan dalam pertemanannya bersama Raymond, walau bagaimanapun sikap hangat pemuda itu kepadanya.
******
Abrine menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, dia menghela nafas panjang sembari menatap langit-langit kamar.
Fhhh ....
Masalahnya sekarang terasa begitu berat. Apakah karena ini adalah pengalaman pertamanya dalam hal patah hati? Entahlah, namun semua ini harus segera dia enyahkan. Dia tak mau sakit hati berlarut-larut, kendati lukanya sudah terbuka dan menganga lebar.
Tampaknya dia harus benar-benar menghilang sejenak. Pergi. Sebelum nantinya akan kembali menghadapi hal yang sama didepan mata.
Drrt.... drttt....
Ponsel Abrine terasa bergetar, dia meraih benda pipih yang terletak didalam saku celana jeansnya. Melihat sejenak pada layar.
Nama Yemima yang muncul dan kini tengah meneleponnya.
Abrine menerima panggilan itu, lantas meletakkan ponsel ditelinga.
"Ya, Mima?"
"Brine, datanglah ke Apartmenku malam ini."
"Untuk apa?"
"Aku mengundangmu datang. Come on! Halloween party, Baby."
Abrine berdecak, dia tak menyukai pesta apalagi pesta hantu-hantuan tidak jelas yang diadakan di Apartmen Yemima. Tapi, mungkin pesta ini akan membuatnya melupakan masalahnya sejenak.
"Baiklah," jawab Abrine datar.
Sebenarnya masalah Abrine tak begitu rumit. Hanya sakit hati melihat Raymond--sahabatnya--kini memiliki kekasih. Namun, karena ini menyangkut patah hati pertama dalam hidup Abrine, membuat semuanya jadi sulit untuk dia lalui.
Sekarang, Abrine hanya ingin menghindari Raymond beberapa saat dan mengalihkan pikirannya dari pemuda itu barang sejenak. Menyiapkan hati dan mental, apabila esok hari, lusa atau kapanpun--saat dia harus kembali melihat Raymond bersikap intens pada gadis lain--selain dirinya--dia sudah jadi biasa, lebih ikhlas dan tentunya menerima.
Pesta Halloween di Apartmen Yemima tak mungkin dihadiri Raymond karena pemuda itu juga tak menyukai hal-hal semacam ini. Tentu Abrine sangat mengetahuinya.
Untuk itu, Abrine merasa tak ada salahnya datang ke pesta itu. Mungkin akan membuatnya rileks dan akan bisa menghibur hatinya.
______
Di lain tempat, disebuah Rumah Sakit Swasta. Seorang Dokter muda tengah melepaskan almamater putihnya dan menggantungkan itu di standing hook sudut ruangannya.
Tok tok tok
Suara pintu terdengar diketuk dari luar, selang berapa detik pintu itu dibuka tanpa diperintah.
"Dokter El...." sapa seseorang.
Dokter muda bernama Elrich itupun menatap sang lawan bicara yang sudah menyembulkan wajah diambang pintu.
"Kenapa, Xander? Masuklah," ucapnya pada lelaki bernama Xander itu.
Xander melangkah masuk. Menatap Elrich sejenak, kemudian menyengir kuda.
"Apa?" tanya El yang malas berbasa-basi dengan rekan seprofesinya itu.
"Nanti malam ikutlah denganku," ujar Xander.
"Kemana? Party?" Elrich bisa menebak tujuan Xander.
"Yups, tepat! Selain pintar membedah, Dokter El juga pintar membaca pikiranku." Xander terkekeh pelan, sementara Elrich menggeleng samar sembari merapikan meja kerjanya.
"Kau tahu aku tidak punya banyak waktu untuk hal itu, Xander."
"Ayolah, El!"
"Pekerjaanku menuntut waktuku sepenuhnya," kata Elrich sambil mengendikkan bahu cuek.
"Tenanglah, kau bukan satu-satunya dokter bedah yang ada di Rumah Sakit ini. Sekali-kali bolehlah kau ikut aku berpesta."
"Kau sudah kaya. Sudah punya Rumah Sakit sebesar ini, jadi tak masalah untukmu bersenang-senang." Elrich bersikap merendah diri secara jujur.
"Memangnya kenapa denganmu? Kau mau mengatakan bahwa kau tidak kaya, begitu?"
"Entahlah, aku hanya punya tanggung jawab lebih dalam pekerjaanku."
"Apa kau tidak lelah? Ayolah, sebentar saja. Ini juga pesta yang menghibur, bukan sekedar minum-minum seperti biasanya."
"Lalu?"
"Halloween party, El ...."
Elrich berdecak. "Ah, come on! Aku tidak tertarik. Pekerjaanku sangat banyak!"
"Dengar, aku akan memecatmu dari Rumah Sakit ini, jika kau menolak ajakan ku sekarang. Ini juga undangan dari Yemima untukmu!" Xander tetap keukeuh mengajak El.
Elrich menyorot sang teman dengan tatapan mata elangnya. "Baiklah, aku ikut denganmu! Tapi jika ada panggilan darurat dari Rumah Sakit, aku akan segera pergi," jawabnya datar.
Elrich bukan takut dipecat, tentu masih banyak Rumah Sakit lain yang membutuhkan jasanya. Tapi, dia sudah terlalu nyaman bekerja di Rumah Sakit milik keluarga Xander, sahabatnya sendiri. Dia enggan untuk meninggalkan Rumah Sakit ini.
"Ya, ya, terserah kau saja. Sepertinya Rumah Sakit ini sangat beruntung memiliki dokter sepertimu yang profesional dalam bekerja dan tidak makan gaji buta."
"Kau tahu itu! Kau beruntung memilikiku," jawab Elrich dengan pedenya.
"Bukan aku, tapi Rumah Sakit ini!" tekan Xander sambil terkekeh disusul suara tawa Elrich kemudian.
"Hmm, ada saatnya nanti kau akan sibuk dengan hal lain dan tidak menaruh fokus seratus persen dengan Rumah Sakit ini, El...."
"Maksudnya?"
"Mungkin saja, saat kau sudah berumah tangga nanti."
Elrich hanya tertawa hambar mendengar ujaran sang sahabat.
______
Abrine tiba di Apartmen milik Yemima. Dia datang menggunakan kaos oblong dan celana jeans sobek kegemarannya. Dia berpenampilan biasa, tak seperti kebanyakan tamu lain yang justru datang dengan kostum hantu andalan mereka karena ini memanglah momen Halloween party.
Sepertinya memang Abrine yang salah kostum.
"Abrine!"
Suara Yemima mengagetkan Abrine, gadis itu menoleh sepintas dan mendapati Yemima dengan kostum putih yang tampak dilumuri cairan lengket sebagai efek darah palsu. Wajah Yemima juga di make-up pucat layaknya hantu wanita yang menyeramkan.
"Kau membuatku terkejut!" ujar Abrine terus-terang.
Yemima tertawa pelan. "Kau datang kesini kenapa tidak cosplay hantu, pakai kostum atau bermake-up seram, oke!?"
"Astaga, aku tidak punya. Anggap saja aku hantu yang baru mati jadi masih polos belum pandai berdandan seram untuk menakuti manusia," kekeh Abrine membuat Yemima melongo.
Yemima pun menarik Abrine menuju kamarnya, dia memberi make-up pada wajah Abrine dan TADA.... dalam sekejap Abrine bertransformasi menjadi gadis menyeramkan seolah bertampang zombie.
"Nah, ini baru cocok!" kata Yemima memperlihatkan wajah Abrine ke cermin.
Abrine menghela nafas ringan. "It's oke, tidak buruk. Karakter Zombie adalah hantu yang tidak pernah mundur dan pantang menyerah. Aku suka itu," katanya sambil tertawa berbarengan dengan Yemima.
"Bagaimana, kau cukup terhibur sekarang?" tanya Yemima lagi.
"Hmm, thanks...." jawab Abrine. "By the way, kau seolah tahu jika aku sedang ada masalah."
Yemima tersenyum lembut. "Aku tahu, circle pertemanan kita membuatmu sulit lepas dari Raymond. Jadi, aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang."
"Mima...."
"Sudahlah, lupakan dia. Have fun..... aku mengundang banyak teman yang tampan, siapa tahu ada salah satu dari mereka yang bisa menarik perhatianmu." Yemima terkikik lagi, kali ini dia bahkan menirukan suara cekikikan hantu yang menggelegar.
"Kau cocok sekali menjadi hantu!" cibir Abrine yang kemudian keluar dari kamar Yemima menuju ruang utama tempat berlangsungnya pesta bertema hantu itu.
Abrine melihat-lihat suasana pesta dan berusaha menikmatinya. Dia mengambil jus yang disajikan oleh para pelayan yang wara-wiri dengan membawa nampan. Abrine meminumnya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
"Brine, kenalkan, it's my boyfriend.... Xander."
Abrine menoleh pada pria yang Yemima kenalkan sebagai pacar gadis itu. Pria itu tampak mematut diri menjadi karakter Joker dalam salah satu film kenamaan.
"Abrine...." kata Abrine sembari menjabat tangan Xander yang sudah terulur kepadanya.
"Nice to meet you, Abrine!" sapa Xander ramah.
"Nice to meet you too, Xander."
"Apa kabarmu?"
"I'm great...." jawab Abrine.
"Good, sekali lagi senang mengenalmu, Abrine." Xander tersenyum tipis.
Abrine mengangguki ujaran Xander. Sepertinya kekasih Yemima itu adalah pria yang sangat humble dan easy going.
"Baiklah, Brine.... aku tinggal dulu, ya. Kau nikmatilah pesta ini. Aku akan menyapa teman yang lain, bye!" Yemima melambaikan tangan pada Abrine dan gadis itu membalasnya dengan anggukan pelan.
Disisi lain, El tiba di pesta itu. Dia mengenakan setelan biasa. Kemeja dengan lengan tergulung sampai ke siku, serta celana bahan yang terkesan rapi. Penampilannya sama sekali tidak cocok untuk menghadiri sebuah pesta Halloween.
Untuk menjaga privasinya, El hanya memakai sebuah masker yang menutupi separuh wajahnya. Dia melihat Xander dan Yemima, lalu melambaikan tangan singkat.
"Sudah ku katakan lebih baik tadi datang bersamaku, kau bisa tampil dengan cosplay yang keren, sobat!"
Elrich hanya mengendikkan bahu tak acuh, dia melirik sekilas pada Yemima yang terkikik disisi Xander. Mereka sudah saling mengenal meski tak begitu akrab.
"Apa kabar, Mima?"
"I'm Great, El. Bagaimana denganmu? Kau terlihat semakin tampan saja," akui Yemima tak berbohong.
El tertawa pelan dibalik maskernya. Sementara Xander yang mendengar kekasihnya memuji sang sahabat justru kembali menyahut.
"Tampan saja percuma, kalau ternyata tidak punya kekasih."
"Serius?" tanya Yemima agak terkejut.
"Iya, aku jadi meragukan seleranya. Jangan-jangan dia sudah melenceng dan menyukai pria," cibir Xander berlagak bergidik.
El tak menanggapi kelakaran sepasang kekasih itu. Dia punya alasan tersendiri mengenai status singlenya sampai saat ini.
"Terima kasih atas undanganmu ini, Mima," kata El pada Yemima, mengalihkan pembicaraan mengenai dirinya.
Yemima tersenyum tipis. "Ya, kenapa tidak? Dokter seperti kalian memang wajib mengikuti pesta sesekali, agar hidup tidak monoton!" ujarnya sambil tertawa kecil diujung kalimatnya.
"Hidup El yang terlalu monoton, Baby. Aku tidak begitu!" protes Xander.
******
Abrine merasakan ada yang aneh dengan kepalanya. Mendadak, dia melihat isi gelasnya yang hanya tersisa setengah gelas jus jeruk. Tidak, ini tidak beres. Abrine merasa pusing. Dia pernah seperti ini saat tidak sengaja meminum minuman beralkohol, dulu, sudah lama saat dia masih sering nongkrong dengan teman-teman balap liarnya. Sekali lagi, dia bukan peminum, kejadian itu tidak sengaja tapi dari situlah Abrine mengetahui bahwa dia ternyata sangat sen sitif dengan minuman semacam itu, jika meminum setetes saja dia akan langsung mabuk, bahkan efek terparahnya bisa ambruk.
Tapi, sekali lagi dia memastikan jika yang dia minum hanyalah jus jeruk.
Abrine semakin merasa pusing. Dia berjalan sedikit sempoyongan hingga tak sengaja menabrak seseorang. Mata mereka bersirobok satu sama lain. Abrine berkedip sesaat saat sepasang mata hazel itu menatapnya lekat, namun dia tidak bisa mengenali siapa pria tinggi yang mengenakan masker itu.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya pria itu dihadapan Abrine yang dibalas Abrine dengan anggukan samar.
Abrine berjalan lagi menuju ke arah toilet. Sayangnya efek mabuk dalam dirinya sudah merasuki diri, syukurnya Yemima melihat gelagatnya dan segera menghampiri posisi gadis itu.
"Abrine, are you oke?"
"Sepertinya aku mabuk."
"What? Kau minum?" Yemima merasa tak percaya dengan hal ini. Pasalnya dia tahu Abrine tidak bisa minum.
"Ya, minum jus jeruk." Abrine berujar sambil cengengesan. Ya, dia sudah jelas mabuk. Kelakuannya mulai tampak aneh.
"Lalu, kenapa bisa? Apa gelasnya dicuci tidak bersih dan itu bekas Vodka atau Wine?" Yemima mencoba menerka situasi. Terkadang kesilapan dalam hal seperti itu memang bisa saja terjadi.
"Aku harus pulang, Mima."
"Tidak, menginap lah di kamarku."
Abrine menggeleng.
"Baiklah, ku panggilkan sopir untuk mengantarmu."
"Aku bisa sendiri."
Xander melihat interaksi antara Yemima dan Abrine dari kejauhan, dia pun menghampiri keduanya.
"Apa ada masalah, Baby?"
"Sepertinya Abrine mabuk. Aku ingin meminta sopir untuk mengantarnya." Yemima mulai sibuk dengan ponsel hendak menghubungi sopir.
"Biar aku saja yang mengantarnya."
Suara itu membuat Xander dan Yemima menoleh, sementara Abrine tampak sudah bersandar lemah pada Yemima. Dia tidak menyadari apa yang tengah mereka bahas sekarang, termasuk saat Elrich tiba-tiba menyela dan menawarkan untuk mengantarkan gadis itu.
"Kau tidak keberatan, El?"
"Tidak, aku juga akan segera kembali ke Rumah Sakit."
"Baiklah," jawab Xander dan Yemima kompak.
Pada akhirnya, Abrine dibantu oleh Elrich untuk memasuki mobil milik gadis itu, Elrich membiarkan mobilnya tertinggal. sebelumnya, Yemima sudah memberikan alamat apartmen tempat Abrine tinggal kepada Elrich.
Sepanjang perjalanan, Abrine meracau tak jelas. Kebanyakan kalimatnya adalah tentang kekecewaan. Ya, tentu saja terkait hubungan Raymond dan Freya yang baru dia ketahui.
Elrich yang mendengar, hanya bisa diam sambil tetap fokus mengemudikan mobil. Dia merasa tidak ingin mencampuri urusan gadis yang bahkan belum dia ketahui namanya itu, karena mereka memang belum sempat berkenalan.
"Kau keterlaluan, Ray! Seharusnya kau memberitahuku sejak awal mengenai hubunganmu dengan Freya. Huhuhu...." Abrine mengoceh sambil menangis, menunjukkan sisi terlemahnya didepan Elrich yang tidak mengetahui apa-apa.
"Aku cemburu, Ray! Aku pikir kau juga menyukaiku. Mulai sekarang jangan lagi memperhatikan aku!" ucap Abrine tersedu-sedu.
Abrine mulai bertingkah semakin konyol dengan membuka seatbelt-nya.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Elrich mencoba melarang tindakan Abrine yang cenderung akan membahayakan dirinya sendiri nantinya.
"Aku ingin tahu rasanya berpacaran, Ray! Selama ini aku menunggumu, ternyata kau mematahkan hatiku. Kau keterlaluan, Raymond!" tekan Abrine menepis tangan Elrich yang mencegah tindakannya.
"Jangan cegah aku, Ray! Setidaknya biarkan aku tahu bagaimana rasanya berciuman!" Selesai dengan ucapan itu, seatbelt Abrine benar-benar terlepas tanpa bisa dicegah lebih lanjut oleh Elrich, gadis itu justru merangsek mendekat kepada El.
Abrine menatap El lama-- sementara pria itu tampak masih berusaha fokus dalam mengemudikan mobil. Elrich masih menggunakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya. Untuk sesaat, Abrine menatap lekat-lekat sag pria. Beberapa kali berkedip sembari melihat tatapan fokus pria itu membuat Abrine sangat terpana. Tanpa disangka, dengan dia tiba-tiba menarik leher Elrich, membuat pria itu berdecak keras sebagai bentuk protes, namun tidak pernah menduga jika kemudian Abrine justru membuka masker yang ia kenakan lalu mencium bibirnya secara serampangan, karena Abrine memang tidak tahu dan tidak ahli dalam melakukan hal itu.
Mendapat serangan mendadak yang tidak pernah diduga, membuat Elrich kelimpungan. Dia terbelalak kaget, Masalahnya, posisinya sekarang sedang menyetir mobil. Elrich mengerem secara mendadak, ciuman itu tidak bisa terlelakkan sebab itu diluar prediksinya. Kacau, efek mabuk gadis ini sangat kacau apalagi ditambah dengan keadaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.
Bersamaan dengan pengereman mendadak, suara decitan keras yang menandakan ban telah beradu dengan kerasnya aspal pun terdengar. Jelas saja, meski tak merespon ciuman Abrine, tapi posisinya memang sangat riskan, hingga menyebabkan Elrich terkejut lalu spontan banting setir ke arah kiri demi menghindari menabrak mobil yang melaju didepannya. Mobil yang dikendarai El pun langsung menabrak pohon di pinggir jalan. Untungnya, keadaan mulai senyap karena waktu sudah menunjukkan tengah malam dan tidak ada mobil lainnya yang bisa menjadi korban lain dalam insiden ini.
Abrine tampak terkulai dengan posisi berantakan sebab dia tidak mengenakan sabuk pengaman.
Sementara Elrich, dia terjepit diantara setir dan kabin yang dia duduki. Kepalanya hampir menyentuh dashboard, namun airbag masih menyelamatkannya dari benturan keras. Kondisinya dan Abrine cukup berantakan, karena tadi dia memang menyetir dalam kecepatan yang lumayan sebab jalanan memang lengang.
Elrich masih dalam kondisi sadar ketika dia melihat keadaan diri. Dalam posisinya yang terjepit, dia memastikan jika Abrine masih bernafas. Seketika ia menghela nafas berat. Syukurnya mereka berdua masih bernyawa akibat kecelakaan tunggal ini.
Tapi tetap saja dia merasa sial. Niat baiknya mengantar Abrine justru berujung kecelakaan.
Awalnya dia hanya berniat menolong, sebab melihat gadis ini sepertinya setengah mabuk saat tak sengaja menabrak tubuhnya di Apartmen Yemima tadi. Apalagi setelah tahu Abrine ternyata cukup dekat dengan Yemima, dia hanya memberi opsi untuk mengantar, karena seharusnya dia kembali ke Rumah Sakit diwaktu yang bersamaan.
Elrich pikir, tidak ada salahnya mengantar gadis ini, sayangnya semua praduganya salah besar. Efek mabuk Abrine sangat menjengkelkan. Apalagi mengingat ciuman amatiran tadi, rasanya El ingin sekali mengumpat sekarang, tapi nyatanya ia justru mengerang kesakitan karena kini kaki dan tangannya mulai menimbulkan efek nyeri dan ternyata alat geraknya itu tidak bisa melakukan pergerakan sama sekali, mungkin karena masih dalam keadaan terjepit.
Tak menunggu lama, kecelakaan tunggal yang menimpa El dan Abrine segera memancing pihak berwajib untuk mengevakuasi mereka. Keduanya pun segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat yang nyatanya adalah tempat dinas Elrich, sekaligus Rumah Sakit milik keluarga Xander.
Kabar kecelakaan itu terdengar sampai ke telinga Xander. Sontak saja dia dan Yemima segera mengunjungi Abrine dan El di Rumah Sakit.
"Bagaimana bisa? Kalian baru meninggalkan Apartmen sekitar 15 menit yang lalu?" Xander menyerobot El dengan pertanyaan, begitu tiba di bangsal perawatan pria itu.
"Entahlah, semuanya terjadi begitu saja." El tidak mau menjelaskan yang sesungguhnya, apalagi mengenai serangan ciuman tiba-tiba yang Abrine lakukan padanya. El pun sadar bahwa Abrine melakukan itu dalam keadaan mabuk dan menganggap dirinya sebagai lelaki bernama Raymond.
"Bagaimana kondisinya?" El balik bertanya pada Xander.
"Maksudmu, Abrine?"
"Ya, siapapun namanya, aku tidak mengenalnya."
"Kau ini! Abrine belum sadar. Yemima sedang berusaha mencari kontak keluarganya."
"Siapa yang menjaminnya disini?"
Xander malah terkekeh mendengar pertanyaan sang sahabat.
"Peduli sekali kau!" cibirnya. "Dalam 15 menit meninggalkan Apartmen, apa sudah terjadi sesuatu diantara kalian? Tidak biasanya kau peduli dengan orang lain diluar lingkup pekerjaan."
"Sia lan! Walau bagaimanapun dia kecelakaan bersamaku!" Elrich tak terima dengan tuduhan tak berdasar yang dilakukan Xander.
Xander makin tergelak. "Kalau begitu, kenapa tidak kau saja yang menjadi penjaminnya. Walinya juga tidak ada, aku dengar orangtuanya tidak berada di negara ini."
"Terserah kau saja!"
"Menarik," kata Xander sembari menyunggingkan senyum disudut bibirnya.
"Apa maksudmu?" Elrich menatap Xander dengan sorotan tajam.
"Tak ada. Aku hanya membuat asumsi untuk kalian berdua."
"Asumsi apa?"
"Asumsi tentang ...." Xander menjeda kalimatnya. "Setelah ini, kenapa kalian tidak pacaran saja! Kalian bahkan membuat sejarah baru. Selama pertemuan 15 menit, sudah menggemparkan jalanan dan Rumah Sakit karena kecelakaan ini."
"Bren gsek kau!" umpat Elrich sambil mengu lum senyum.
********
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!