Pagi itu, Aku dan suamiku Alfin, terkejut tatkala Reza masuk begitu saja kedalam rumah kami. Pria yang berpenampilan urakan itu meminta izin kepada suamiku untuk mengajakku pergi ke pesta ulang tahun temannya.
"Hai adik ipar. Aku ingin mengajak istrimu untuk ke acara ulang tahun temanku."
"Maaf mas Reza, tapi aku...."
"Tidak apa-apa mas. Bawa saja Rissa." ucap suamiku membuatku menoleh kearah suamiku.
Aku menatap suamiku tak percaya. Bagaimana bisa suamiku menyerahkan diriku kepada pria urakan seperti Reza. Apa tidak ada rasa cemburu di hatinya?
"Mas!" Aku menatap tajam suamiku. Bermaksud untuk memperingatkan suamiku itu. Namun, dia malah cuek dan nampak cengengesan di depan Reza.
Suamiku memang merasa sungkan dan sedikit takut kepada Reza. Pria urakan yang sering berbuat kasar seperti preman pasar. Dan suamiku sama sekali tidak ada perlawanan. Ia menyerahkan ku kepada Reza begitu saja seperti pengecut.
"Cepat ganti bajumu. Aku tidak mau jika dia memukuliku!" Suamiku berbisik setengah mengancam ku.
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan mas Reza. Dia begitu sungkan dengan Reza, tapi dia tidak pernah memikirkan tentang perasaan ku. Dia suamiku, seharusnya dia melindungi ku, istrinya.
"Kau harus dandan cantik, Mbak Rissa." ucap Reza menatapku. Aku merasa risih melihatnya menatap ku dengan tatapan nakalnya. Tatapannya seolah-olah menembus pada apa yang ada di balik pakaianku.
Terpaksa Aku beranjak dari kursi ruang tengah dan menuju kamarku. Hatiku begitu tak menentu rasanya, antara jengkel, sedih dan marah. Kenapa suamiku menyerahkan ku kepada Reza dan terlihat seperti tanpa beban? Aku sering sekali bertanya dalam hati apakah suamiku itu benar-benar mencintaiku.
Sebenarnya Reza bukanlah orang asing. Dia adalah suami kakak tiri ku, Rika. Karena kakak tiri ku di pindah tugaskan dari pekerjaannya di luar kota, maka Reza tinggal sendirian di rumah milik kakak tiri ku yang kebetulan berada di samping rumahku. Reza memilih tidak ingin ikut dengan kakak tiri ku dan menetap di rumah. Namun itu malah membuat ku dan suamiku begitu resah karenanya.
Reza itu seorang berandalan. Dia seperti preman pasar yang akan nekat melakukan kekerasan jika menyinggung hatinya. Makanya suamiku tidak ingin berurusan dengannya. Ia terlalu takut dengan Reza yang memang notabenenya lebih kekar badannya di bandingkan dengannya.
Aku tidak pernah menyangka kenapa kakak ku bisa-bisanya menikah dengan preman macam Reza. Padahal keseharian pria itu hanya lontang-lantung tidak jelas. Bahkan Aku sering sekali memergoki Reza yang suka membawa wanita ke dalam rumah kakakku ketika kakak ku di luar kota.
Kembali lagi ke posisiku di depan cermin. Aku berdecak kesal karena ternyata pakaianku banyak yang belum kering. Sehingga pakaian tertutup milikku banyak yang di pakai. Kebetulan tadi pagi Aku baru mencucinya.
Sekarang tinggal pakaian terusan tanpa lengan dan tidak sampai selutut di dalam lemari ku. Rasanya Aku tidak nyaman jika memakai itu untuk pergi bersama Reza, karena pakaian itu terlalu seksi menurutku.
Namun,mau bagaimana lagi? Tidak ada lagi pakaian lainnya. Aku harus memakai pakaian itu karena memang hanya itu yang tersisa.
Aku merias wajah ku sejenak dengan make up tipis di wajah ku, kemudian baru Aku keluar kamar. Aku melihat Reza yang menatap ku dengan tatapan tak biasa. Lebih tepatnya menatapku nyalang dengan bentuk tubuh ku yang berisi di bagian tertentu. Aku sudah menebak apa yang ada dalam pikirannya.
"Lihatlah Rissa sudah siap, Mas. Silahkan di bawa orangnya," ucap suamiku, Alfin.
Ingin sekali rasanya Aku memukul kepala suamiku. Mulutnya begitu entengnya berkata seolah Aku ini barang yang dijual belikan. Apa lagi Aku menggunakan pakaian yang terlihat seksi seperti sekarang ini. Tapi dia tidak ada niat untuk mempertahankan istrinya.
"Mbak terlihat seksi sekali. Bisa-bisa nanti para tamu undangan melihatnya ke Mbak, bukan ke yang berulang tahun." Suara bariton Reza terdengar memujiku. Terselip nada nakal dari suara Reza. Aku hanya sedikit tersenyum, risih sekali Aku mendengarnya.
Tanpa menatap suamiku Aku berjalan mengikuti Reza menuju motor kesayangannya. Aku tidak tahu motor apa itu. Yang jelas motor itu motor yang kata orang-orang melebihi harga mobil. Dan itu sudah Reza modifikasi menjadi sedemikian rupa. Dasar Reza, hobinya memang tentang otomotif. Berbeda sekali dengan suamiku yang mengutak-atik mobil saja dia tidak pernah.
Aku melihat jok motor itu dengan melongo. Bagaimana Aku menaiki motor tersebut? Tidak mungkin kan jika Aku menaikkannya dengan posisi mengangkang.
Aku tersadar kala mendengar suara Reza yang menyuruh ku untuk naik ke motornya. Pria itu rupanya sudah menghidupkan mesin motornya.
Aku tergagap, kemudian Aku pun mulai menaiki motor tersebut dengan duduk menyamping. Tanganku ku gunakan untuk menutupi paha mulus. Aku melihat Reza tersenyum nakal saat melirikku.
Tanpa di duga, Reza melepaskan jaket yang ia pakai dan menyerahkannya kepada ku. Aku menerimanya dan menutupi paha mulus ku. Sekarang Aku dapat melihat tubuh kekar Reza yang tercetak begitu indah di depan mataku. Tubuh kekar dan sangat atletis. Tanpa sadar Aku menggigit bibir ku melihatnya.
"Te-terimakasih," ucap ku sedikit gugup. Entah mengapa tiba-tiba Aku menjadi gugup seperti orang bodoh saja. Aku berusaha untuk bersikap senormal mungkin di depan Reza. Namun jaket Reza begitu harum parfum khas cowok yang begitu menusuk hidungku. Wanginya tidak menyengat dan begitu soft untuk
Selera cowok. Dan Aku begitu menyukainya.
"Sudah siap? Ayo pegangan," ucap Reza menyuruhku.
Aku hanya mengangguk. Satu tangan ku memegang jaket Reza menutupi pahaku sementara tangan yang lainnya memegang pundak Reza untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Kurasakan pundak Reza yang begitu kokoh, sungguh laki banget menurutku.
Reza mulai melajukan motornya. Hingga hidungku kembali mencium wangi tubuh Reza yang menguar ketika di terpa angin dari depan. Aku jadi membayangkan bagaimana jika Aku bersandar pada dada bidangnya yang terlihat begitu menggiurkan, apalagi ketika kulit gelapnya berkeringat. Pasti itu akan begitu menggoda libidoku.
Astaga Rissa! Bisa-bisanya Aku berpikir seperti itu. Dia adalah suami kakak tiri mu sendiri. Kenapa Kau bisa mengagumi pria yang selama ini selalu mengganggu keluarga mu? Sadarlah Rissa.
***
Selama di pesta ulang tahun, Reza membiarkanku memakai jaketnya. Dia juga tidak meninggalkan ku walaupun dia berbincang dengan para temannya. Dia benar-benar menjagaku dan bertanggungjawab karena sudah mengajak ku bersamanya. Sungguh berbeda sekali dengan sikap biasanya yang selalu kasar dan sering membentak suamiku. Aku melihat sisi lain dalam dirinya.
Kami tidak berlama-lama datang ke acara ulang tahun tersebut. Setelah memakan hidangan yang disajikan dan menyalami pemilik acara, kami bergegas pulang.
Di perjalanan, pikiranku menjadi kacau. Aku memikirkan tentang Reza yang mungkin saja akan membawaku ke tempat yang sepi, mengingat pakaianku yang begitu seksi. Aku membayangkan bibir Reza dan nafas hangatnya menerpa wajahku.
Ah! Lagi-lagi pikiran ku menjadi begitu liar. Aku segera menghapus pikiran ku. Maklum, akhir-akhir ini suamiku tidak pernah menyentuh ku karena dia sering sekali pergi ke luar kota untuk proyek besarnya, hingga Aku merasa begitu terabaikan.
Dan seharusnya saat ini Aku menemani Suamiku dalam liburnya. Bermanja-manja melepas rindu setelah beberapa Minggu tidak bertemu. Namun, Reza telah mengacaukan semuanya.
Kedekatan ku dengan Reza saat ini membuatku begitu gelisah. Menyentuh pundaknya yang kokoh dan mencium aroma tubuhnya membuat pikiranku kemana-mana. Bahkan membuat imajinasi ku, Reza akan membawaku ke tempat yang sepi.
Lagi-lagi pikiran ku meleset. Ternyata Reza membawaku pulang ke rumah. Aku kembali merutuki pikiran ku yang kemana-mana.
Reza menurunkan ku tepat di depan rumah. Dia juga berterima kasih kepadaku. Namun, Aku memalingkan wajah ku. Reza menatapku tepat di mataku. Hal yang sungguh luar biasa menurut ku. Pria yang begitu urakan bak preman pasar itu mengucapkan terima kasih. Ternyata dia masih memiliki adab dengan mengucapkan terima kasih.
Seperginya Reza menuju rumahnya, Aku terburu buru memasuki rumah dengan nafas yang memburu. Aroma tubuh Reza dan postur tubuhnya terus saja membayangiku. Aku sudah tidak sabar untuk melampiaskannya pada suamiku.
Aku melangkah menuju kamar mencari keberadaan suamiku. Suara gemericik air membuatku yakin jika suamiku sedang mandi. Tapi Aku heran karena suamiku jarang sekali mandi pagi di saat sedang libur bekerja. Karena dia pasti akan mandi agak siangan.
Aku mulai duduk di depan meja rias untuk membersihkan makeup. Aku kembali membayangkan tubuh Reza yang terus saja membuat ku bergelora. Sudah ku putuskan bahwa Aku akan meminta jatah pada suamiku. Kalaupun dia tidak mau, Aku akan menggodanya hingga dia mau.
Namun, sejurus kemudian Aku mencium wangi parfum wanita. Bau parfum itu bukanlah milikku. Mungkinkah? Ah, Aku tidak ingin berpikir macam-macam yang hanya akan membuat suamiku marah nantinya.
Aku mendengar pintu kamar mandi yang hendak terbuka. Aku bersiap menyambut suamiku. Tapi dia sedikitpun tidak melirikku. Dia berjalan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuknya. Mungkin Dia tidak melihat ku.
Aku mendekatinya dan memeluknya dari belakang. Dia tersentak kaget, Aku mencium wangi sabun dari tubuh suamiku.
"Mas, Aku kangen banget sama mas. Kita lakukan sekarang yuk?" ajakku dengan suara menggoda.
Perlahan dia melepaskan pelukan tanganku. Ia berjalan dan duduk di pinggir kasur, menatap ku. Aku pun mengikutinya dan ikut duduk di sampingnya.
"Aku lelah. Lebih baik besok saja kita melakukannya. Kau tahu kan kalau Aku capek, habis pulang kerja dari luar kota," ucap mas Alfin cuek.
Namun Aku tidak ingin tinggal diam. Sudah hampir satu bulan Aku tidak mendapatkan kehangatan dari suamiku. Pokoknya Aku harus bisa merayu suamiku untuk memberikan jatah padaku.
"Mas, kita sudah tidak melakukannya selama hampir satu bulan loh. Aku kangen sama mas Alfin," ucap ku manja. Tanganku sudah melakukan keahliannya. Dan suamiku sepertinya tergoda dengan perlakuan ku.
Yes, akhirnya Aku akan mendapatkan apa yang sudah ku tunggu-tunggu selama hampir satu bulan ini.
Namun lagi-lagi semuanya tidak sesuai dengan ekspektasi yang ku bayangkan. Baru lima menit saja suamiku langsung tumbang setelah mendapatkan puncaknya. Sementara Aku masih belum mendapatkannya. Kecewa, pasti.
Aku melihat suamiku yang sudah terlelap pulas. Rasanya Aku sangat jengkel dengannya yang tidak pernah mengerti diriku. Rasanya Aku sudah tidak berselera lagi. Aku segera memakai pakaian ku kembali dan berjalan keluar menuju dapur. Aku ingin minum air dingin untuk mendinginkan diriku.
Kursi meja makan ku duduki sembari meminum air dingin yang barusan ku ambil dari kulkas. Pikirkan ku melayang memikirkan pernikahan ku dengan mas Alfin. Rasanya dia tidak pernah menganggap ku sebagai istrinya. Sejujurnya Aku juga tahu kalau mas Alfin juga sering main wanita di luar sana.
Sering sekali Aku mendapati kemeja mas Alfin yang tercium bau parfum wanita dan juga noda lipstik.
Aku sadar diri bahwa Aku hanyalah wanita yang beruntung sehingga bisa menikah dengan anak majikan ku. Ya, sebelumnya Aku hanyalah seorang pembantu di rumah Mama mas Alfin.
Mama mertuaku sangatlah baik padaku. Beliau sering sekali bercerita padaku tentang mas Alfin yang sering sekali bermain dengan banyak sekali wanita. Dia juga sering mabuk-mabukan. Lalu kemudian Mama mertua menjodohkan kami. Tadinya Aku sempat menolaknya, tapi karena mas Alfin menyetujuinya, jadi Aku pun pasrah.
Mama mertuaku meminta tolong pada ku untuk merubah anaknya agar menjadi lebih baik lagi. Dan Aku menyetujuinya karena Aku begitu sungkan padanya. Dia adalah majikan ku.
Setelah malam pertama ku dan mas Alfin sesuai menikah. Mas Alfin sudah jarang menyentuhku. Ya, Aku sadar jika dia pasti kecewa karena dirinya bukanlah pria pertama yang mengambil keperawanan ku. Makanya dia sering sekali memarahiku tanpa alasan. Dia selalu mengungkit tentang masalah itu berulang kali.
Hatiku begitu mencelos dengan hinaan yang ia lontarkan ketika mas Alfin marah padaku. Aku akui diriku memang salah. Aku tidak bisa menjaga kesucian ku, tapi ketika Aku menjadi istri mas Alfin, sekalipun Aku tak pernah berselingkuh darinya. Aku selalu melayani dan menyiapkan semua kebutuhannya. Salahkah Aku jika mengharapkan cinta dari suamiku?
Tanpa terasa buliran air mata membasahi pipiku. Dan tepat di saat ini sebuah suara lembut mengagetkan ku. Aku pun segera mengusap air mataku dengan cepat dan menoleh ke arah suara tersebut.
"Mama? Kapan datangnya, kenapa Mama tidak mengabari ku kalau mau datang?" tanya ku berusaha menampilkan senyum terbaik ku di depan Mama mertuaku.
Mama tersenyum berjalan mendekati ku.
"Mama hanya mampir, Sayang . Mama tahu Alfin sudah pulang pagi ini. Di mana dia? Mama ingin bertemu dengannya." Mama berkata sembari mencari keberadaan suamiku.
"Mas Alfin masih lelah Mam, jadi dia sedang tidur sekarang." ucap ku berkilah.
Mama mertuaku memicingkan matanya.
"Tidur? Kenapa malah tidur? Seharusnya kalian itu bermesraan setelah sebulan tidak bertemu. Bagaimana kalian bisa memiliki anak jika seperti ini," ucap Mama membuat ku menundukkan kepala. Sorot mata Mama nampak begitu jengkel.
Ucapan Mama begitu menohok hatiku. Seharusnya memang kami seperti itu, namun putramu yang sepertinya tidak ingin melakukannya dengan menantumu ini Mam. Aku hanya mampu menjawabnya dalam hati.
"Kalau begitu Mama akan membangunkannya. Tunggulah disini, dia tidak boleh selalu seenaknya kepadamu." Mama sudah mulai melangkahkan kakinya hendak ke kamar mas Alfin. Namun aku menghentikannya.
"Ma, kumohon, biarkan mas Alfin istirahat. Aku tidak ingin dia marah jika tidurnya terganggu." ucap ku berusaha menahan Mama.
Mama menghela nafasnya. Dapat ku lihat dari tatapannya bahwa dia menatapku dengan pandangan miris. Mama mengetahui tentang anaknya yang mungkin juga belum berubah. Mama menggenggam hangat tangan ku dan kembali mengajakku duduk.
"Rissa. Maafkan Mama karena sudah membuat mu menahan luka dalam pernikahan mu dengan putra Mama. Tapi Mama sangat memohon padamu agar Kau tetap bertahan dengan putra Mama apapun yang terjadi. Kau mau kan, Nak?" Mama berkata sembari mengusap lembut rambut ku.
Aku tercenung sesaat mencerna permintaan Mama mertuaku. Dia begitu baik sekali padaku. Bahkan ia lebih menyayangi ku daripada mas Alfin. Aku dapat merasakan kasih sayang seorang ibu darinya.
Aku pun tidak tega jika melihat Mama terlihat begitu sedih. Hingga tanpa sadar Aku menganggukkan kepala menyetujuinya.
"Terimakasih, Rissa. Kau adalah gadis yang sangat baik," ucap Mama dan ku balas tersenyum.
"Kalau begitu Mama pulang dulu ya. Ada yang harus Mama kerjakan di butik." pamit Mama. Aku pun mengangguk. Mama kembali mengusap lembut rambut panjang ku. Masih dengan tatapan sendunya, Mama tiba-tiba memeluk ku membuat ku terkejut.
"Terimakasih karena sudah mau bertahan menghadapi putra Mama," ucap Mama. Kemudian ia melepaskan pelukannya dan benar-benar pergi.
***
Satu Minggu berlalu
Mas Alfin jarang pulang ke rumah setelah kembali dari luar kota waktu itu. Dia mengatakan padaku bahwa dia sedang ada perjalanan bisnis lagi ke Bogor. Tapi jarak Bogor begitu dekat, tapi dia mengatakan akan menginap di hotel.
Aku merasa kecewa karena mas Alfin lebih memilih menginap di hotel dari pada di rumah bersama ku. Mas Alfin seakan menjauhiku.
Aku suka berpikir mungkinkah mas Alfin sedang bersama wanita lainnya? Hatiku mencelos memikirkan semua itu. Aku memutuskan untuk berangkat bekerja daripada pikiran buruk ku terus menyiksaku.
Seperti biasa, pagi ini Aku melihat Reza yang sedang mencuci motor gede miliknya hanya dengan menggunakan bokser dan bertelanjang dada. Sungguh pemandangan yang begitu menggodaku. Tapi Aku mempercepat langkah ku agar tidak melihatnya.
Tiba-tiba Aku dikejutkan dengan suara bariton Reza yang begitu seksi. Membuat tubuh ku meremang seketika kala mendengarnya memanggil namaku. Aku menghentikan langkahku dan membalikkan tubuh ku menatap kakak ipar ku itu. Sungguh begitu menggodaku, tubuh kekar berotot nya membuat ku susah untuk menelan ludah ku sendiri. Namun Aku berusaha bersikap biasa saja.
"Ya, ada apa?" ucapku datar.
Dia menatapku dengan tatapan penuh arti. "Aku ingin berbicara denganmu. Ini tentang hal yang Kau lihat beberapa waktu lalu," ucapnya dengan tatapan serius.
Aku salah tingkah dibuatnya. Beberapa hari lalu tanpa sengaja Aku memergokinya telah bersenggama dengan seorang wanita, dan itu bukan kakakku.
"Apa yang mau Kau katakan, katakan saja sebelum Aku mengadukannya kepada kak Rika," Aku mengancamnya. Namun pria itu malah tersenyum miring.
"Kalau Kau berani mengatakannya kepada istriku, Aku tidak akan segan untuk membuat suamimu terluka. Mungkin sedikit memberinya pukulan," ucap Reza tersenyum puas.
Aku mendelik mendengar ucapannya yang akan menyakiti mas Alfin. Dia memang pria gila, preman begajulan itu mengancam ku rupanya. Aku tidak ingin dia melakukan itu kepada suamiku. Dengan berat hati Aku menghela nafas panjang.
"Lalu apa yang Kau inginkan?" tanya ku.
"Rahasiakan apa yang Kau lihat. Aku mencintai istriku dan tidak ingin kehilangannya. Sebentar lagi dia pulang, jadi jangan berkata macam-macam," ucap Reza.
Ada rasa kecewa ketika Reza mengatakan bahwa dia begitu mencintai istrinya. Aku merutuki pikiran ku ini. Sudah seharusnya kan jika Reza mencintai istrinya. "Ba-baiklah, Aku tidak akan menceritakannya kepada Kak Rika." ucap ku.
"Good girl," ucap Reza tersenyum puas. Bola matanya menatap ku lekat, membuat ku begitu salah tingkah. Tidak ingin tergoda, Aku pun segera pergi dari sana dan meninggalkan Reza yang masih menatap ku.
Seharian ini Aku disibukkan dengan pekerjaan kantor yang sangat menumpuk. Suara ponsel ku membuatku menghentikan pekerjaan ku untuk sejenak. Kulihat nama Mama mertuaku yang tertera di layar ponsel ku.
"Halo, iya Mam." ucap ku saat pertama kali panggilan tersebut tersambung. Namun suara dari seberang panggilan membuat ku merasa begitu lemas.
Ternyata yang menelpon ku bukan Mama, melainkan Bi Ira, pembantu di rumah Mama. Dia mengabarkan bahwa Mama masuk rumah sakit dan kritis. Tanpa terasa buliran air mata ku mengalir. Aku segera bergegas berdiri dan meninggalkan kantor. Aku tidak memperdulikan lagi ketika ada yang memanggil ku. Toh perusahaan ini juga milik suamiku, mereka pasti akan mengerti.
***
Aku berjalan terburu-buru ketika sampai di rumah sakit yang sudah di beritahukan oleh Bi Ira. Dari kejauhan Aku bisa melihat Bi Ira yang nampak begitu sedih. Aku segera menghampirinya.
"Bagaimana keadaan Mama, Bi?" tanya ku di selimuti rasa khawatir.
Bi Ira menatap ku sejenak, ia menumpahkan air matanya. Mulutnya bergetar ketika hendak berkata.
"Den Alfin, Non." ucap Bi Ira sedikit terbata. Sementara Aku memicingkan mataku. Masih belum mengerti akan maksud dari Bi Ira. Aku pun mencoba untuk bertanya kembali untuk memastikannya.
"Mas Alfin? Kenapa Bi Ira menyebut nama mas Alfin, apa hubungannya dengan suami Saya, Bi?" tanya ku begitu penasaran.
"Ta-tadi Nyonya sempat bertengkar dengan Nyonya, Non. Bahkan Den Alfin mendorong Nyonya hingga terjatuh dari tangga dan membuat Nyonya koma," ucap Bi Ira dengan bergetar ketakutan.
Aku begitu syok mendengar penuturan dari Bi Ira. Benarkah yang di katakannya? Bagaimana mungkin suamiku melakukan hal itu kepada ibunya sendiri? Batinku berkelana ke sana kemari. Sungguh Aku masih belum dapat percaya yang terjadi.
"Lalu dimana mas Alfin, Bi?" Aku kembali bertanya seraya menatap ke sekitar mencari keberadaan suamiku. Tapi Aku tidak menemukannya di tempat ini.
"Den Alfin pergi entah kemana, Non. Dia juga membawa seseorang tadi yang membuat emosi Nyonya meluap," tandas Bi Ira.
Aku tersentak, pikirkan ku tertuju pada mas Alfin yang mungkin mengajak selingkuhannya. Tapi Aku tidak boleh berpikiran buruk. Aku harus memastikan segalanya.
"Bi, Aku titip Mama dulu. Aku harus mencari mas Alfin." ucapku dan langsung pergi dari rumah sakit. Aku mendengar Bi Ira samar-samar memanggil ku. Namun pikiran ku terfokus pada siapa seseorang yang bersama suamiku.
***
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah untuk mengganti pakaian ku sebelum mencari mas Alfin.
Namun Aku begitu terkejut saat mendapati pintu rumah yang terbuka.
"Kenapa pintunya terbuka, bukankah Aku sudah menguncinya tadi?" Aku bertanya-tanya. Tapi kakiku langsung melangkah menuju garasi, ternyata mobil mas Alfin ada di sana. Aku lega, karena Aku tidak perlu repot-repot lagi untuk mencarinya.
Segera ku langkahkan kakiku memasuki rumah. Aku kembali menghentikan langkah ku. Bukankah Bi Ira mengatakan bahwa mas Alfin sedang bersama seseorang. Mungkinkah mas Alfin mengajak selingkuhannya ke rumah kita?
Aku mempercepat langkah ku. Kalaupun pemikiran ku benar, Aku akan melabrak mereka.
Hingga pendengaran ku menangkap suara ******* dari dalam kamar ku. Aku segera menaiki tangga. Semakin naik, semakin jelas kudengar suara ******* yang bersahutan dari dalam kamar ku.
Perlahan Aku membuka pintu kamar ku. Aku sungguh terpaku dengan pemandangan yang terlihat di depan ku. Mas Alfin.
Dan yang membuat dada ini sesak adalah wanita yang bersama mas Alfin adalah sekertarisnya di kantor. Hingga Aku tidak menyadari ponsel ku yang terjatuh di lantai hingga retak. Mereka masih tak menyadari kehadiran ku di ambang pintu.
Sampai sekertaris suamiku yang bernama Anti itu menjerit kala menyadari kehadiran ku. Sementara mas Alfin terlihat santai dan tidak sedikitpun merasa bersalah. Dia beranjak dari ranjang, sementara Anti menutupi tubuhnya dengan selimut. Sakit tapi tak berdarah, luka tapi tak berbekas. Itulah ibarat yang ku rasakan saat ini.
"Rupanya Kau sudah datang," ucap mas Alfin tanpa rasa bersalah. Ia terlihat berjalan mengambil sesuatu dari atas nakas mengambil sebuah amplop coklat.
"Jangan lupa untuk datang ke persidangan perceraian kita," ucap mas Alfin selanjutnya seraya menyerahkan amplop coklat tersebut kepadaku.
Ternyata itu adalah surat dari pengadilan agama. Aku pun menatap nanar pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu.
"Apa-apaan kamu mas, kamu mau menceraikan Aku?!"
Alfin tersenyum sinis menatapku. Ia lalu kembali berjalan menuju ranjang dan menyibakkan selimut yang Anti gunakan. Lalu mereka melakukan pergumulan kembali seolah-olah Aku tidak ada di sana.
Aku yang sudah begitu emosi pun memukuli Alfin dari belakang.
"Kamu jahat mas. Tega kamu!" Aku memukul Alfin membabi buta. Ku lupakan segala emosi ku.
Hingga membuat Alfin beranjak dari tempatnya. Ia mendorong ku hingga Aku jatuh tersungkur hampir menabrak meja di dalam kamar ku. Alfin sungguh pria tanpa perasaan.
Namun Aku tidak gentar akan apapun. Aku bangkit dan beradu mata dengannya.
"Apa Kau menatapku seperti itu?!"
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Anti yang saat ini terlihat takut menatap ku yang mengamuk. Dia seorang wanita, tapi dia begitu tega menikam ku dari belakang. Aku mengasihaninya di kantor. Namun apa yang dia lakukan.
"Jadi karena dia Kau tega menyakiti ku, mas. Bahkan Kau sampai menyakiti Mama hingga koma," ucap ku menggebu.
"Jadi Mama koma? Baguslah jika dia koma. Sekarang sudah tidak ada lagi yang akan cerewet mengatur ku." Alfin terkekeh.
"Mas! Mama Lidia adalah Mama kandung mu. Bisa-bisanya Kau berkata seperti itu terhadap Mama kandung mu!"
"Aku tidak peduli! Biar saja dia mati. Dan seluruh harta warisannya akan jatuh ke tangan ku," ucap Alfin dengan kejamnya.
"Kau sungguh gila,mas! Mama Lidia itu Mama mu!" Aku meneriakinya. Sepertinya Alfin sudah mulai tak waras.
"Terlalu banyak bicara!" Alfin mulai mengenakan jubah tidurnya dan menghampiriku. Ia mencengkram kuat tangan ku dan menyeretku hingga lantai satu dan menghempaskan ku tanpa perasaan.
Alfin menghempaskan tubuh ku di depan pintu rumah tanpa rasa bersalah. Aku menangis menahan luka hatiku dan juga sakit ketika Alfin menghempaskan tubuhku.
"Tega kamu, mas!"
"Sejak awal Aku sudah begitu jijik padamu, wanita murahan! Sudah bekas! Lebih baik Aku menikahi Anti yang jelas-jelas masih perawan. Tidak seperti dirimu yang sudah bekas!" hina Alfin.
Aku hanya bisa menangis tergugu. Perkataan Alfin memang tidak salah. Tapi apakah Dia harus berkata sekasar itu dan menganggapku seolah-olah makhluk paling najis yang tidak pantas di cintai dan berubah menjadi lebih baik lagi? Aku hanya bisa memegangi dadaku menahan sakit hati.
"Aku talak kamu saat ini juga! Pergi dari rumah ku! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!"
Alfin kemudian memanggil Anti yang kini berjalan menghampirinya dan membawa sebuah koper. Alfin melemparkan koper itu ke arahku.
"Bawa barang-barang mu yang tidak berguna ini!" ucap Alfin yang kemudian kulihat ia tersenyum sinis menatapku. Hingga akhirnya dia menutup pintu tersebut.
Aku hanya bisa meratapi cerita nestapa ku ini. Aku mulai bangkit dan ku seret koper ku meninggalkan rumah Alfin dengan hati yang luka.
Baru saja setengah jalan, Aku terkejut tatkala Reza dengan motornya menghampiriku dengan raut wajah khawatir.
"Kamu kenapa, Rissa? Darimana saja kamu. Cepatlah ke rumah sakit!" ucap Reza dengan raut wajah cemas, membuat ku begitu penasaran.
"Memangnya kenapa mas?"
Reza nampak terdiam sejenak. Lalu ia menatapku lekat.
"Kamu yang sabar ya? Mertua kamu...meninggal."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!