“Jangan! Lepaskan aku! Awas! Hiks!!” Ruby Maryam, di seret oleh pria kekar menggunakan topeng kain di wajah menuju semak-semak belukar.
“Diam! Kau berisik sekali dari tadi!” si pria bertopeng pun membekap mulut Ruby yang menangis ketakutan.
“Jangan! Lepaskan aku! Jangan lukai aku! Hiks! Huah! Ku mohon!!!” Ruby menangis sesungukan, kala tubuhnya terus di paksa masuk lebih dalam ke rimbunan semak-semak tajam.
Sreeett sreettt!!
Kulitnya yang putih mulus berulang kali di sayat oleh ilalang yang menyentuh tangan, wajah dan kakinya.
Bruk!
Tubuh Ruby di dorong hingga tersungkur ke atas rumput liar.
“Cantik!” ucap pria jahat yang telah menculik Ruby.
“Apa yang kau inginkan?! Kenapa kau bawa aku kesini!! Hiks!!!” Ruby berusaha bangkit dari atas rumput.
Tab!
Namun kaki pria kekar itu mendarat di atas perut Ruby.
“Diam disitu, karena aku perlu memeriksa kesucian mu.” pria bertopeng itu pun mampu membuat Ruby semakin gemetaran.
“Tidak! Aku tidak mau! Hiks!” Ruby dengan cepat menyingkirkan kaki laki-laki itu dari atas perutnya.
Saat ia akan bangkit, si pria bertopeng dengan cepat menjambak rambut Ruby, hingga kepala gadis malang itu terjungkal ke belakang.
“Mau kemana manis, hahaha!!” si pria bertopeng tersebut memeluk tubuh indah Ruby dari belakang.
“Jangan pak, Hiks.. saya mohon ampun, tolong jangan perkosa saya.” Ruby menangis histeris.
“Tapi punya ku sudah mencari korban nih. Atau kau sudah tak suci, makanya takut ku cicipi?” kata-kata nakal dari pria bertopeng membuat Ruby makin gencar.
“Aku masih suci pak, sungguh, hiks!!!” Ruby tak tahu harus berbuat apa, terlebih pria bertopeng itu melancarkan jemarinya di tempat terlarangnya.
“Ibu!!!!” isak tangisnya semakin pecah, saat lelaki yang tak ia kenal rupanya menggerayangi tubuhnya yang tak pernah di sentuh siapapun selain dirinya.
Bruk!!
Tubuh Ruby kembali di lempar ke atas rumput liar.
“Akh!!” Ruby meringis kesakitan.
Selanjutnya pria itu pun melucuti seluruh pakaian ribu Maryam yang malang.
Ruby yang mencoba bangkit di tunggangi pria kasar itu.
Plak!
Plak!
“Ku bilang diam!” pekik si pria bertopeng.
“Jangan! Hiks! Jangan pak! Aku enggak mau!” Ruby yang kehabisan tenaga karena melawan sedari tadi menjadi lemah.
”Ku mohon, kalau kau melakukan ini, aku akan mati, keluarga ku juga akan mati, kau pasti tahu, peraturan desa, hiks...” Ruby memohon pada si pria bertopeng.
“Berarti sebelum kau mati, kau wajib masuk surga dulu.” tanpa rasa iba apa lagi kasihan, lelaki jahanam itu membuka kancing baju Ruby yang tak berdaya, hingga ia melihat kaca mata penopang balon ekstra pedas milik Ruby yang usang dan talinys di ikat karena sudah putus.
“Dasar miskin! Untuk membeli ini saja kau tak mampu! Cih!” si pria bertopeng meludah ke sebelah kanannya.
Srakk!!
Si pria bertopeng dengan kasar membuka baju seragam serta kain penopang balon-balon berharga milik korbannya.
“Ku mohon, lepaskan aku, hiks...” Ruby terus meminta tolong.
“Tanggung!” selanjutnya si pria bertopeng membuka rok abu-abu milik Ruby, dan nampaklah, kaca mata segitiga yang warnanya telah luntur dengar bagian tengah yang robek.
Ruby tak dapat menahan malunya, saat ada seorang yang melihat lekuk tubuhnya serta mengetahui kesusahannya dari pakaian dalamnya.
“Ya Tuhan... hum!” si pria bertopeng tertawa getir.
“Menggelikan, tapi tak mengapa, anggap saja sarapan gratis!” kemudian si pria bertopeng itu membuang dalaman Ruby ke sembarang arah.
“Bersiaplah gadis miskin.” ucap si pria tak punya hati.
Jlub!
“Hiks!! Sakit!!” Ruby si anak kurang mampu di renggut kehormatannya secara paksa oleh orang yang tak ia ketahui rupanya.
“Punya mu ketat miskin! Hah hah!” si pria tak tahu diri itu terus saja menghina Ruby seraya memberi hentakan maju mundur.
2 jam kemudian, mata Ruby yang bengkak menatap nanar ke arah langit yang sebentar lagi akan turun hujan.
Dan dari kedua pangkal pahanya darah suci terus mengalir.
“Hiks...” Ruby masih terisak, sebab ia tak tahu harus berbuat apa untuk selanjutnya.
“Bagaimana? Enakkan? Aku suka lubang mu, kalau kau mau ku layani lagi, datanglah kemari bulan depan, kalau datang, akan ku beri kau pakaian dalam atas bawah selusin selusin. Pikirkan baik-baik!”
Pria bertopeng itu sungguh menganggap rendah Ruby yang tak punya apa-apa.
Ruby yang mendengar kata-kata penghinaan dari pria yang menodainya hanya diam. Sebab melawan tiada guna baginya.
Pria yang kelelahan karena bertempur dalam surga dunia memakai pakaiannya kembali seraya merokok.
“Aku pergi, semoga harimu menyenangkan!”
Pluk!
Pria kasar itu melempar puntung rokoknya ke perut Ruby.
Wanita malang yang telah sakit lahir batinnya, membiarkan begitu saja kulitnya melepuh oleh bara rokok yang masih menyala.
Pria kasar yang melihat itu tertawa getir. “Kau marah banget ya pada ku?” kemudian pria itu mengambil sisa puntung rokoknya, lalu membuang dengan asal.
“Selamat tinggal.”
Cup!
Si pria tak tahu diri itu memberi kecupan di bibir manis Ruby.
Setelah itu si pria bertopeng menyibak semak belukar dengan tangannya untuk kembali ke jalan raya.
Untuk beberapa saat, Ruby diam seperti orang mati, tak bergerak sedikit pun.
Perlahan tubuhnya yang tak di balut apapun mulai di guyur air hujan.
“Hiks... hiks...” ia pun kembali menangis, ingin bangkit, tapi tubuhnya terasa sakit.
Namun waktu yang semakin malam membuat Ruby tak bisa tetap disana, karena sewaktu-waktu binatang buas bisa datang kapan saja.
“Akhh!! Sstttt” sekuat tenaga ia bangkit dari atas rumput yang membuat punggung dan seluru tubuhnya terkoyak.
Ruby yang tak mampu berdiri mencari pakaiannya yang di lempar si pria bertopeng entah kemana.
“Bagaimana caranya aku pulang?” perasaan Ruby campur aduk, antara marah, sedih dan takut.
Terlebih ubynya yang kejam pasti akan mencincang-cincang tubuhnya apabila ketahuan telah berbuat dosa.
“Ibu.. Ruby takut bu.” Ruby menangis sendirian di dalam semak belukar yang menyembunyikan dirinya dari pandangan orang lain.
Air hujan yang membasahi tubuhnya membuat Ruby merasa perih di sekujur tubuhnya.
Meski begitu Ruby masih terus mencari keberadaan bajunya, dengan menyibak ilalang tajam yang ada di hadapannya dengan tangan kosong dengan cara berjongkok.
Setelah berjuang selama 1 jam, ia pun menemukan seragam dan juga roknya dengan jarak yang tak begitu jauh.
Namun sayang ia tak menemukan kedua pakaian dalamnya.
Ruby perlahan memakai bajunya kembali, setelah itu, ia pulang tanpa tas sekolahnya. Ia tak sempat mencari lagi, karena waktu yang sudah mepet.
Ruby pun berjalan di tengah-tengah derasnya hujan.
Ia yang telah sampai di gerbang desa tak bertemu siapapun, sebab sudah jadi kebiasaan disana, jika Magrib telah tiba, orang-orang akan masuk ke dalam rumah.
Ruby yang sampai di depan rumahnya takut untuk mengetuk pintu, karena sudah jelas ia akan kena marah karena terlambat pulang.
Cukup lama ia berdiam diri di depan pintu, sampai sang ayah yang menunggu kepulangannya membuka pintu.
Krettt!!!
Jeddar!!!
Di bawah sinar petir yang menyambar, Dahlan melihat putrinya berdiri tegap bagai patung. Seketika ia panik melihat putrinya yang tak bergerak sejengkal pun.
“Ruby!! Apa yang terjadi pada mu?!!!” tanya Dahlan penuh selidik.
...Bersambung......
Dahlan melihat putrinya dari ujung kepala sampai ujung sepatu.
Mata bengkak, baju sobek dan tak membawa tas sekolah.
“Ruby! Jawab ayah!” Dahlan yang hilang kesabaran mendatangi putrinya.
“Kau kenapa? Jangan seperti orang bodoh!” kemudian Dahlan menarik tangan putrinya untuk masuk ke dalam rumah gubuk berdinding kayu, beratap daun rumbia yang telah masak.
Ruby yang menjadi bodoh karena trauma hanya mengikuti ayahnya.
Saat dalam rumah, yang minim penerangan, Marisa sang ibu tiri melihat Ruby yang pulang dalam keadaan basah.
“Dari mana saja kau?! Magrib baru tahu pulang? Ya Tuhan!! Sudah begitu lihat dirimu! Rumah jadi becek!” Marisa menunjuk ke arah lantai yang masih menggunakan tanah liat.
“Maaf bu.” ucap Ruby dengan suara bergetar.
“Maaf! Maaf! Kau tahu ayah mu tak mampu membeli semen, sudah begitu kau tak punya otak, dan kenapa dengan wajah mu?! Hah!” suara teriakan Marisa membuat Ruby pusing.
“Itu yang tadi ayah tanyakan bu, tapi Ruby tak mau cerita. Ayah khawatir padanya.” Dahlan menggaruk kepalanya.
“Oh ya... jadi kau sudah berani membangkang? Dan... dimana tas mu? Ruby!! Kau tahu untuk membeli itu, ibu dan ayah harus menghemat uang belanja yang sudah di dapat selama 2 minggu! Jawab Ruby, dimana tas mu!!!”
Marisa yang kesal menjewer telinga putri sambungnya.
“Ampun bu, aku juga tak mau itu terjadi, hiks...” Ruby menitikkan air matanya.
“Sudah salah malah menangis biar aku iba!” pekik Marisa.
“Bu, jangan keras-keras pada Ruby, kasihan dia bu.” Dahlan sangat iba pada putrinya.
“Diam saja kau yah! Kalau kau tak mampu mengurus putri mu yang bodoh ini, biar aku yang turun tangan!” Marisa yang garang selalu memarahi ayah dan putrinya apabila tak bersikap baik di matanya.
“Ruby!” pekik Marisa.
“Aku jatuh di dekat sungai yang ada di bawah jebatan perbatasan desa bu, disana banyak ilalang, tadi aku juga pingsan, karena itu aku terlambat pulang, dan aku tak tahu dimana tas ku berada bu, mohon maafkan aku!” Ruby menundukkan kepalanya yang terasa berat.
“Alasan saja kau! Dasar anak nakal, sekali lagi kau membuat ulah, tak pulang sekolah tepat waktu, ku cincang-cincang tubuh mu!” Marisa sungguh benci pada Ruby.
Kemudian marisa yang lelah masuk ke dalam kamar. Sedang Dahlan mengelus punggung putrinya.
“Ruby, tolong kau jadi anak yang baik, jangan buat ibu mu marah, kau mengertikan nak.” Dahlan tak dapat berbuat banyak, sebab ia sangat mencintai dan takut pada Marisa. Setelah itu ia pun menyusul istrinya ke kamar.
“Baik ayah.” Ruby mengerti dengan semua yang di katakan ayahnya.
Sebab, sejak sang ayah dan ibu kandungnya berpisah. Ayahnya yang tampan menikah lagi dengan Marisa.
Kehadiran Marisa membuat hidupnya tak pernah tenang, karena sang ibu tiri selalu membuatnya tersiksa.
“Coba ibu dan ayah tak cerai.” Ruby merasa malang dengan kehidupan yang ia jalani.
Sang ibu yang menyayanginya juga tak pernah kembali untuk sekedar menengoknya.
“Pada hal sudah 5 tahun, kenapa bu? Apa yang membuat ibu melupakan ku?” Lelah dengan apa yang ia hadapi, Ruby tiba-tiba merasa lapar, ia pun melihat ke tudung nasi yang ada di atas meja bambu.
“Kosong.” dinginnya hari membuat perutnya semaki keroncongan.
Ia yang sangat lapar melihat beras ke dalam kaleng penyimpanan.
“Kosong juga?” Ruby semakin menangis, karena tak ada yang bisa di masak.
Alhasil ia hanya minum air yang ada dalam ceret sebanyak-banyaknya .
Ia yang ingin tidur, seketika ingat kalau dirinya belum bersih.
Kemudian ia yang merasa kotor memutuskan untuk mandi wajib ke sumur yang ada di belakang rumah mereka.
Jeddar!!
Meski suara petir sahut menyahut di atas kepalanya, ia tak perduli, karena rasa perih yang ia rasakan tidak bandingannya.
Setelah selesai mandi junub, Ruby segera menuju kamarnya dengan langkah terpingkal-pingkal.
Krieett!!!
Kamarnya yang sempit hanya muat untuk tikar berukuran 200x200.
Ia yang kedinginan pun mengambil baju tidur dari dalam kardus. Tempat ia biasa menyimpan baju-bajunya.
Tubuhnya yang kini jenjang membuat baju tidur Doraemon yang ia pakai kakinya menggantung karena kekecilan.
Setelah itu Ruby merebahkan tubuhnya di atas tikar, tubuhnya yang gemetaran ia balut dengan kain panjang dengan motif jarik.
“Dinginnya...” Ia yang tak dapat tidur kembali mengingat hal malang yang menimpanya tadi siang.
“Hatinya sungguh hancur, ia pun kembali terisak hingga kepala dan hidungnya tersumbat.
Tak lama Ruby yang tadi di guyur hujan pun demam.
Karena hanya punya selimut satu, ia pun memutar otak dengan memaki bajunya yang ada hingga 5 lapis tebalnya.
“Ibu... Ruby sakit bu...” Ruby yang di tinggal pergi dari SD merasa rindu pada sang ibu yang entah dimana.
Perceraian kedua orang tuanya menjadikannya anak yang menyedihkan.
“Ayah... Ruby sakit yah...” ia yang ingin mengatakan kondisinya pada sang ayah harus terhenti, sebab ia takut jika ibu sambungnya marah-marah lagi pada mereka.
Akhirnya, gadis malang itu menahan sakit yang ia rasakan sendirian.
Pukul 05:00 subuh, Marisa bangun dari tidurnya. Ia yang keluar kamar tak melihat ada bara api di tungku.
“Ruby!” ia pun langsung mendatangai putri sambungnya ke dalam kamar.
Tok!
Tok!
Tok!
Marisa mengetuk pintu kamar Ruby yang terbuat dari bambu sulam.
“Ruby! Buka pintunya! Kalau tidak mau
dobrak nih? Biar sekalian rubuh dengan rumah ini.”
Ruby yang mendengar jelas suara sang ibu membuka matanya.
Kemudian ia pun bangkit dari tikar dan membuka pintu.
“Maaf bu, aku terlambat bangun.” ucap Ruby yang masih panas tinggi.
“Kau ini memang tak punya otak ya! Kerja mu pada hal hanya mengurus rumah, bukan mencari uang, itu juga enggak beres! Kemarin masih ku maafkan kau tak memasak sore, nah! Sekarang ku lihat kau malah ketagihan!” Marisa yang marah membuat kepala Ruby makin pusing.
“Maaf bu, aku demam, aku juga baru tidur 1 jam yang lalu, maaf bu, aku salah.” Ruby memilih tunduk, dari pada melawan tapi tak pernah di bela oleh sang ayah.
“Aku tak perduli, mau kau sakit sekarat sekalian, kau harus menjalankan tugas mu! Enak banget kau! Cuma makan tidur ke sekolah saja kerjaannya!” Marisa benar-benar tak mau mengerti keadaan putri sambungnya, meski ia sudah melihat dengan jelas Ruby memakai baju berlapis-lapis.
“Tapi bukannya beras sudah habis mu?” ucap Ruby.
“Ada, kemarin ku simpan dalam kamar kami.” Marisa sengaja melakukannya agar beras yang ia beli hanya di makan olehnya dan suaminya.
“Ya sudah bu, akan ku masak.” Ruby yang masih gemetaran karena dingin pun memaksakan diri untuk memegang dapur.
Ia yang ingin mencuci beras dan ikan asin terpaksa melewati gerimis yang masih menyelimuti pagi itu.
“Ya Allah, sembuhkan aku.” Ruby terus memanjatkan do'a untuk kesembuhannya pada ilahi.
Setelah selesai mencuci beres, sayur dan ikan Asin, Ruby pun kembali ke dalam rumah.
Tangannya yang terasa nyeri dan pegal harus terus bekerja.
Kemudian Ruby menuang seluruh beras yang ia cuci ke dalam panci, setelah itu ia menyalakan api dengan kayu bakar yang telah kering di dalam tungku tanah liat
Agar apinya cepat menyala, Ruby menyalakan api dengan kantong kresek.
Setelah api berhasil di nyalakan Ruby pun menaruh pantat pancinya ke mulut tungku yang telah di penuhi api.
Seraya menunggu matang, Ruby memetik-metik kacang panjang dan juga sawi hijau.
Selanjutnya Ruby memindahkan sayur yang ia petik-petik ke wajan dengan ukuran sedang, tak lupa ia tuangkan air, kemudian menaruhnya ke tungku yang ada di sebelah tungku nasi.
...Bersambung......
Setelah air beras dalam panci mendidih, Ruby pun mengaduk-aduk air beras yang kini menjadi kental dan keruh.
Ia yang melihat air beras terlalu banyak, dengan cepat menguranginya, jika tidak nasi yang ia masak bisa menjadi bubur.
Selanjutnya Ruby memindahkan air beras panas tersebut ke dalam cangkir, setelah itu Ruby menutup kembali tutup pancinya.
Sudah kebiasaan bagi Ruby, setiap kali air beras lebih, ia akan meminumnya, dan itu dapat membuat tenggorokannya hangat.
Agar nasi matang sempurna Ruby mematikan api dari kayu bakar, hingga menyisakan arang saja. Kemudia ia pun menaruh ikan asin ke dalam arang api yang merah menyala-nyala.
Wangi khas ikan asin bakar pun tercium, hingga membuat perutnya keroncongan.
20 menit kemudian, Ruby yang telah selesai bekerja di dapur kembali ke kamarnya. Meski ia lapar namun ia tak berani makan sebelum ibu dan ayahnya selesai terlebih dahulu.
Ia yang masih panas dinging pun bersandar ke dinding rumahnya.
“Ya Allah, apa yang harus ku lakukan? Sekarang aku sudah kotor, masa depan ku hancur, siapa yang akan mau menikahi wanita tak suci seperti ku?” Ruby mengucek matanya yang terasa perih.
Di tempat ia tinggal harkat dan martabat serta harga diri sangat di junjung tinggi.
Dan bagi seorang wanita, ia harus bisa menjaga mahkotanya sampai ia menikah.
Jika tidak, jangan berharap untuk bisa menikah, karena si pemuda akan memulangkan istri yang ia nikahi saat itu juga.
Saat ia masih dalam keresahannya, Marisa memanggil dirinya.
“Ruby! Cepat kemari!”
Ruby yang tak ingin kena omel segera menemui ibunya.
“Kenapa kau belum berkemas? Apa kau tak sekolah hari ini?” tanya Marisa dengan wajah judesnya.
“Ruby mau izin libur saja bu. Ruby masih demam, tak kuat untuk ke sekolah.” Ruby yang berjalan kaki ragu akan sampai ke sekolah tepat waktu.
“Sekalian saja kau berhenti! Dasar, anak zaman sekarang susah sekali syukur! Dulu aku mau sekolah, orang tua ku tak mengizinkan, katanya tak ada gunanya menyekolahkan seorang wanita, karena menurutnya, yang akan untung itu orang lain, bukan mereka! Nah, sekarang kau di sekolahkan dengan baik, tapi kau malah mau bolos??”
Marisa memutar mata malas dan menghela napas panjang.
“Ada apa sih bu?” tanya Dahlan, sebab pagi-pagi suara istrinya sudah sampai ke rumah tetangga.
“Putri mu! Katanya mau libur, alasannya demam lagi!” Marisa tak percaya dengan kejujuran Ruby.
Kemudian Dahlan menatap ke arah putrinya. “Ruby, tujuan ayah menyekolahkan mu, itu untuk merubah masa depan, ayah ingin kau tak seperti ayah atau mendiang ibu mu, yang bodoh dan buta huruf, mana tahu kau ada rezeki, kau bisa merantau ke kota, ayah dengar lulusan SMA itu bisa mencari kerja dan dapat gaji UMR.” Dahlan sebenarnya kasihan pada putrinya.
Namun ia tak bisa melawan perintah istrinya yang keras kepala dan kejam.
“Nak, kau harapan kami, kau lihatkan kondisi keluarga kita, makan saja susah, belanja lauk sesekali. Kami ingin hidup mu lebih baik, ada untuk mu saja sudah alhamdulillah, tak ingat kami pun tak apa-apa, asalkan kau kau bahagia, kamu juga ikut bahagia nak,” terang Dahlan.
“Ruby mengerti ayah. Maafkan Ruby karena sudah membuat kalian resah. Ibu... Ruby minta maaf.” Ruby yang masih terhuyung langkahnya terpaksa pergi ke sekolah.
“Ya sudah, pergilah berkemas nak, nanti kau terlambat,” ujar Dahlan.
“Iya ayah.” Ruby pun bergegas menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Ruby menghela napas panjang.
Ia yang hanya memiliki satu seragam putih abu-abu terpaksa memakai baju Pramuka nya.
“Hiks... aku rindu ibu.” Ruby masih memimpikan ibunya datang untuk memeluk dirinya yang masih sakit.
“Tak ada yang mengerti soal perasaan ku , selain ibu.” ucapnya dengan sedih.
Ruby pun memakai seragamnya tanpa mandi, agar terlihat segar, Ruby memakai bedak tabur Viva kemasan saset.
Untuk bibirnya yang pucat, Ruby mengambil daun kayu jati yang dapat di jatah oleh tangannya dari jendela kamarnya.
Kemudian, kedua tangannya yang panas sibuk menggosok-kosok daun jati yang menimbulkan efek merah, selanjutnya Ruby mengoleskannya ke bibirnya yang pucat.
Setelah itu Ruby keluar dari kamarnya, ternyata kedua orang tuanya telah berangkat kerja.
Ruby yang belum mengisi perutnya membuka tudung saji.
“Hufff.” ternyata sang ibu tiri tak menyisakan nasi sesendok pun padanya.
Ia yang sangat lapar harus berdamai dengan keadaan. Dengan ikhlas, jemarinya memungut butiran nasi yang menempel di dalam baskom.
Ia yang tak merasa kenyang, memenuhi perutnya dengan air minum, hingga ia merasa mual.
Ruby yang susah terapan menepuk-nepuk perutnya seraya keluar dari dalam rumah.
Kakinya terus melangkah di jalan setapak yang kanan kirinya adalah pohon-pohon besar.
Setelah sampai ke jalan raya beraspal, Ruby berjalan dengan sangat pelan. Karena ia takut tumbang, sebab dirinya yang demam di tambah dengan rasa lapar yang hebat membuat tubuhnya terasa berat.
Belum lagi untuk mencapai ke sekolah, ia harus menempuh perjalanan selama 35 menit dengan berjalan kaki.
Meski banyak anak sekolah yang lalu lalang menaiki sepeda atau motor, namun tak ada yang bersedia untuk memberi tumpangan padanya.
Karena semua orang tak suka berbaur dengan orang miskin sepertinya.
Setelah berjalan selama 15 menit, Ruby berjongkok di pinggir jalan, pandangannya yang mengabur menyulitkannya untuk melangkah lebih lanjut.
Selain itu, ia juga tak sanggup kalau harus melewati ilalang panjang yang menjadi saksi bisu dirinya di nodai.
“Apa aku harus pulang? Ku yakin aku sudah terlambat ke sekolah ” gumam Ruby.
Saat ia akan berdiri tiba-tiba seseorang menyapa dirinya.
“Apa anak sekolah zaman sekarang pakai seragam pramuka di hari Rabu?” Mata Ruby membelak ketika mendengar suara maskulin dari pria yang telah merusak kehormatannya.
Ia yang tak ingin berurusan dengan lagi dengan pria nakal itu langsung berdiri, walau ingin terjatuh.
Aku harus kabur! batin Ruby.
Suasana jalan yang sepi membuat Ruby semakin panik.
“Jangan ganggu aku!” ucap Ruby seraya menundukkan kepalanya karena takut.
Ia yang ingin pergi menjadi bingung, antara lanjut ke sekolah atau kembali ke rumah, sebab posisinya sudah setengah jalan.
“Aku tak ada niat untuk mengganggu mu, aku kesini karena tiba-tiba merindukan mu, aku tahu kau pasti akan melintas jam segini manis.” lelaki nakal itu ternyata sudah memantau estimasi waktu Ruby lewat dari jalan itu. Kemudian si pria nakal mencolek dagu lancip Ruby.
“Tolong, jangan mengusik hidup ku lagi!” Ruby yang panik balik arah menuju rumahnya.
Namun pria nakal itu menggenggam tangan Ruby dengan erat.
“Mau kemana? Jangan buru-buru cantik, kita ngobrol-ngobrol dulu sebentar.” si pria nakal memeluk erat tubuh Ruby.
“Hiks!! Jangan! Lepaskan aku!” teriak Ruby seraya menutup matanya karena ketakutan.
“Hei, aku hanya ingin memanjakan mu! Jangan berlebihan begitu!” si pria nakal mengunci pergerakan tangan Ruby yang ingin meronta dengan satu tangannya.
“Ku mohon, lepaskan aku pak, aku mau pergi sekolah, hiks... tolong biarkan aku pergi!” Ruby mengangguk karena sudah tahu apa yang akan di rencanakan lelaki bajingan itu padanya.
“Aku akan melepaskan mu, setelah kau melayani ku, kita main semak-semak lagi yuk!” kondisi jalan yang sepi, ilalang panjang di sepanjang jalan, tak di lewati orang, membuat gadis malang itu jadi sasaran empuk oleh pria nakal itu.
“Huah!! Hiks... aku enggak mau!” Ruby Maryam yang tak berdaya, tak bisa kabur dari pelukan si pria nakal!
...Bersambung... ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!