Namaku Nayla, seorang gadis yang besar di panti asuhan. Entah dari mana asalku, aku pun tak pernah tahu. Bahkan aku pun tidak tahu siapa orang tua kandungku yang sebenarnya. Ibu hanya bercerita kalau aku adalah anaknya meski tidak lahir dari rahimnya. Saat aku kecil, Ibu akan marah bila ada yang memanggilku anak pungut. Sejak saat itu aku mulai bertanya-tanya pada Ibu siapa sebenarnya aku dan dari mana asalku?
“Jangan pernah tanya siapa kamu dan dari mana asalmu? Yang jelas kamu anak Ibu, besar dalam dekapan Ibu. Jangan hiraukan ucapan mereka yang bilang kamu anak pungut, kamu bukan anak pungut. Kamu anak Ibu!” tegasnya kala itu.
Sejak saat itu pula aku tidak lagi pernah menanyakan siapa aku yang sebenarnya. Aku memang besar dari keluarga panti, tetapi kehidupanku sama seperti gadis lainnya. Ibu menyekolahkanku hingga ke perguruan tinggi. Di perguruan tinggi itulah aku mulai mengenal cinta. Aku menjalin kasih dengan kakak tingkatku yang bernama Rangga. Kami diam-diam menjalin hubungan karena belum siap untuk berterus terang dan Mas Rangga juga belum lulus saat itu.
Namun, setelah Mas Rangga lulus dan akan berterus terang, Mas Rangga justru mendapat tugas dari kampus untuk menjadi relawan di daerah terpencil. Meskipun begitu hubungan kami tetap berjalan dengan baik walau hanya bersua lewat nir kabel. Kami sempat berencana untuk menikah setelah kepulangan Mas Rangga dari bertugas. Akan tetapi, rencana itu sirna dan tidak akan pernah terwujud tatkala seorang pengusaha salah satu yang menjadi donatur tetap di panti datang untuk melamarku. Mas Ferdi yang kutahu itu namanya.
Aku sempat menangguhkan lamarannya karena ingin memilih keputusan mana yang akan aku ambil. Menerima lamarannya atau menolak? Tentunya dengan banyak pertimbangan karena hatiku sudah terpatri dengan Mas Rangga. Namun, harapan besar terlihat jelas di wajah Ibu agar aku menerima lamaran Mas Ferdi. Dengan penuh pertimbangan aku memutus hubunganku dengan Mas Rangga secara sepihak dan menerima lamaran Mas Ferdi. Padahal tak ada sedikit pun rasa cinta di hatiku untuk Mas Ferdi.
***
Beberapa bulan yang lalu Mas Ferdi datang ke panti secara tiba-tiba dan ingin berbicara serius dengan Bu Siti. Kupersilahkan Mas Ferdi masuk dan berbincang dengan Bu Siti. Setelah itu aku pergi ke dapur untuk membuat minuman. Dua cangkir teh hangat beraroma melati kuletakkan di meja untuk Mas Ferdi dan Bu Siti, lalu membalikkan tubuh untuk kembali ke dapur menyimpan nampan.
Namun, langkahku terhenti saat Mas Ferdi menyebut namaku. Niat mengembalikan nampan kuurungkan, lalu duduk di samping Bu Siti seraya mendekap nampan. Siap mendengarkan apa yang mau dibicarakan Mas Ferdi. Hati ini berdebar tak karuan saat Mas Ferdi mulai membuka suara.
“Maafkan saya, Bu, bila sedikit mengganggu. Kedatangan saya ke sini bermaksud ingin meminta izin pada Ibu untuk melamar Nayla. Bagaimana pun Ibu yang bertanggung jawab sepenuhnya atas Nayla.”
Aku menunduk, hati ini bergemuruh mendengar ucapan Mas Ferdi. Niat baik Mas Ferdi seolah menjadi bom waktu untukku yang tiba-tiba meledak. Selama ini memang aku tidak pernah terlihat dekat dengan laki-laki. Namun, bukan berarti aku tak memiliki tambatan hati.
“Maafkan, Ibu, Nak Ferdi, Ibu memang yang mengasuh dan bertanggung jawab atas Nayla sepenuhnya. Akan tetapi, masalah hati dan pribadi Nayla tetap Nayla yang menentukan, bila Nayla setuju dengan lamaran Nak Ferdi maka Ibu juga akan menyetujuinya. Semua keputusan ada di tangan Nayla.”
Ucapan Bu Siti semakin membuatku menunduk, entah bagaimana aku harus menjawabnya. Menolak atau menerima? Sungguh aku dalam dilema meski Ibu menyerahkan semua keputusan ada di tanganku. Itu artinya aku bebas menentukan pilihan sesuai isi hatiku. Namun, justru itulah yang membuatku bimbang bagai makan buah simalakama. Mengingat Mas Ferdi salah satu orang terpenting dalam kelangsungan panti ini, tempat yang telah membesarkanku dengan asuhan Bu Siti.
Mendadak dada ini terasa sesak, hati terasa teremas-remas, mengingat hati ini telah berpenghuni. Hanya saja aku tidak pernah jujur akan hal ini, sehingga Bu Siti tak pernah tahu perasaanku. Aku berpikir belum saatnya memberi tahu Bu Siti siapa lelaki yang menghuni hatiku selama ini. Untuk itu, aku menyimpan rapat siapa lelaki yang bersinggah di hatiku dan akan memberi tahu Bu Siti bila waktunya tiba. Namun, sepertinya sudah terlambat, kedatangan Mas Ferdi yang begitu mendadak dan mengutarakan niatnya membuat aku bingung dan terjebak dalam perasaanku sendiri.
“Bagaimana dengan kamu, Nay, bersediakah kamu menjadi pendampingku, menjadi istriku, dan menjadi Ibu dari anak-anakku kelak?”
Aku terkesiap mendengar Mas Ferdi membuka suara, pertanyaannya membuat dadaku semakin sesak, seolah-olah ruangan ini telah kehabisan stok oksigen. Aku menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Mas Ferdi, melihat sekilas ke arah Bu Siti yang kebetulan juga melihat ke arahku. Bu Siti tersenyum sembari menggenggam erat tanganku memberi isyarat bahwa semua keputusan ada di tanganku. Aku menegakkan pandangan lurus ke depan, menatap lelaki di hadapanku untuk menjawab pertanyaannya.
“Maafkan aku, Mas, bila belum bisa menjawab pertanyaan Mas Ferdi, bolehkah aku meminta kelonggaran waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Mas Ferdi? Menurut aku menikah itu harus dipikirkan secara matang bukan hanya menyatukan dua cinta anak manusia dan hati saja, tetapi masih banyak hal yang harus dipertimbangkan, salah satunya kekurangan dan kelebihan yang ada di antara kita. Apa Mas Ferdi siap dengan segala kekuranganku, sedangkan Mas Ferdi saja baru mengenalku karena Mas Ferdi donatur tetap panti kami.”
Aku kembali menundukkan kepala setelah menjawab pertanyaan Mas Ferdi, meminta kelonggaran waktu untuk memastikan perasaanku sendiri. Jujur saja, aku belum siap untuk menerima lamaran Mas Ferdi. Meminta kelonggaran waktu untuk berpikir itu hanya alasanku saja untuk memperlambat proses lamaran dan mencari cara untuk mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya.
“Baiklah, Nay, aku akan memberimu waktu untuk berpikir, yang jelas aku akan menerima semua kekuranganmu bahkan kelebihanmu dengan ikhlas. Aku memilihmu bukan karena wajah ayumu ataupun tubuhmu, aku memilihmu karena petunjuk Allah setelah aku melakukan perjalanan panjang untuk meminta petunjuk-Nya.”
“Terima kasih, Mas, sudah mau mengerti keadaanku, aku akan menghubungimu bila aku sudah dapat memastikan jawaban yang tepat untukmu, tentu saja dengan persetujuan Bu Siti.”
Suasana hening seketika, Mas Ferdi mengangkat cangkir berisi teh beraroma melati yang sudah tak lagi mengepul dan mulai meminumnya. Begitu pun dengan Bu Siti perlahan mulai menyesap teh yang aku buat. Sementara aku hanya diam bermain dengan pikiran sendiri.
Allahu Akbar … Allahu Akbar …
Tidak terasa suara azan Magrib berkumandang, aku menawarkan pada Mas Ferdi untuk salat berjamaah terlebih dahulu bersama kami di musala panti sebelum dia melakukan perjalanan pulang. Mas Ferdi pun mengiakan, lalu kupersilakan dia pergi ke musala lebih awal. Sementara aku memanggil adik-adik panti yang lainnya untuk bersiap melaksanakan salat berjamaah. Setelah semua berkumpul di musala barulah aku dan Bu Siti masuk ke musala.
Terlihat Mas Ferdi sudah mengambil posisi di depan untuk menjadi imam salat kali ini. Walau sebenarnya, musala panti kami juga memiliki imam salat setiap harinya, beliau penjaga keamanan panti ini. Selain itu, juga ada masyarakat terdekat yang juga suka rela untuk menjadi imam salat di panti ini.
Allahu Akbar …
Suara takbir menggema, bacaan takbiratul ihram terdengar sangat lembut dan fasih. Salat berlangsung sangat khusyuk hingga salat berakhir, Assalamu’allaikum warohmatullah … Assalamu’allaikum warohmatullah. Ucapan salam di atahiyat terakhir menutup salat kami, adik-adik bergantian untuk mencium punggung tangan Bu Siti sebagai orang tua kami semua, begitu pun denganku.
Selesai salat aku menyuruh adik-adik untuk bertadarus sebentar sambil menunggu waktu salat Isya tiba. Mas Ferdi menghampiriku dan Bu Siti untuk pamit pulang, aku mengantarnya hingga pintu depan di mana mobilnya terparkir dan melajukannya keluar pintu gerbang hingga tak terlihat lagi olehku. Setelah itu aku kembali ke musala untuk belajar mengaji bersama adik-adik panti lainnya.
bersambung ….
Aku duduk di samping Bu Siti untuk mengajari adik-adik mengaji meski ilmuku juga belum begitu banyak, tetapi setidaknya aku bisa membantu Bu Siti. Azan Isya berkumandang, kami semua menutup mushaf, bersiap melaksanakan salat Isya. Selesai salat aku menyuruh adik-adik untuk makan malam kemudian belajar dan menata buku untuk esok hari ke sekolah. Tepat pukul 21.00 malam menyuruh mereka masuk kamar masing-masing, tak lupa aku menugaskan Alya untuk mengawasi mereka hingga semua terlelap.
“Al, setelah mereka tidur, kamu bantu Kakak bersihkan dapur, ya! Kakak banyak kerjaan di kantor panti,” perintahku pada Alya. Gadis itu tak pernah sekalipun membantah, terkadang ada rasa iba menyusup di hatiku. Nasibnya tak jauh berbeda denganku, tetapi perhatian Bu Siti mampu membuat kami semua merasa berarti.
“Iya, Kak, nanti Alya bereskan,” jawabnya sambil tersenyum menampilkan lesung pipi di bagian kanan.
Aku berlalu meninggalkan Alya menuju kantor panti yang bersebelahan dengan ruang tamu, setelah mendapatkan jawaban dari Alya. Tanpa mengetuk terlebih dahulu aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Terlihat Bu Siti sudah duduk membaca kitab dan memakai kacamata untuk memperjelas tulisan yang sedang beliau baca. Wajahnya yang tak lagi mulus menandakan bahwa usianya sudah tak lagi muda. Akan tetapi, semangatnya untuk mengaji masih membara seperti anak muda.
“Maaf, Bu, Nayla mengagetkan Ibu,” ucapku, sambil melangkah menuju meja kerja mengambil posisi duduk ternyaman. Kemudian membuka laptop untuk memeriksa keuangan panti yang beberapa hari ini belum sempat aku periksa.
“Nay, boleh Ibu bicara?” tanyanya sambil tersenyum ke arahku.
“Boleh, Bu, Nayla ‘kan anak Ibu,” jawabku sambil tersenyum dan menatap lekat wajahnya.
“Nay, pikirkan niat baik Nak Ferdi, dia pria yang baik dan sopan, apalagi Nak Ferdi donatur tetap di panti kita.” Aku terkesiap mendengar ucapan Bu Siti, rasa sesak kembali memenuhi rongga dada.
“Tapi, Bu, Nayla ….”
“Apa pun keputusannya, semua ada di tanganmu, itu masa depanmu, Ibu hanya mengarahkan yang terbaik untukmu, Nay! Suatu saat kamulah yang akan mengurus panti ini. Jadi, Ibu berharap kamu memiliki pendamping yang mampu menjaga dan membantumu mengurus panti ini.”
Aku tertunduk, tak punya keberanian menatap wajah Bu Siti. Aku dalam dilema, terjebak dengan perasaan sendiri. Haruskah aku menerima Mas Ferdi sekalipun tak ada cinta di hatiku? Lalu, menggeser nama lelaki yang menghuni hatiku selama ini? Entahlah …!
“Sudah malam, Ibu ke kamar dulu, cepat selesaikan pekerjaanmu, jangan tidur terlalu malam!” titahnya seraya bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan kantor panti tanpa mendengar jawaban dariku. Aku menatap kepergiannya hingga tak terlihat lagi, kemudian kembali menekuri satu persatu dokumen yang masuk dalam catatan donatur tetap.
Segera menutup laptop setelah semua selesai, aku melangkah keluar, memastikan jendela dan pintu sudah terkunci. Lalu, memeriksa dapur dan menengok kamar adik-adik memastikan mereka sudah terlelap. Tidak lupa aku juga masuk ke kamar Alya memastikan gadis itu juga sudah istirahat. Setelah memastikan semua dalam keadaan aman, aku masuk ke kamar. Merebahkan tubuh di atas ranjang, ingin segera memejamkan mata.
Namun, mata ini tak mau terpejam, ucapan Bu Siti terngiang jelas di telinga. Aku bangkit dari tidurku, duduk menyandarkan tubuh di kepala ranjang mencerna apa yang Bu Siti katakan. Kupejamkan mata, tak terasa bulir bening merembes di kedua netraku. Aku di hadapkan pada dua pilihan yang teramat berat, antara hatiku dan hati Bu Siti.
***
Tidak terasa azan Subuh berkumandang. Aku segera turun dari ranjang melaksanakan tugasku, membangunkan adik-adik untuk bergegas membersihkan diri dan menjalankan salat Subuh berjamaah. Setelah adik-adik bersiap, aku dan Bu Siti segera menyusul ke musala. Imam salat sudah bersiap mengumandangkan takbiratul ikhram.
Salat Subuh selesai, kami semua bergantian menyalami punggung tangan Bu Siti dengan takzim. Lalu, menyuruh adik-adik untuk segera berganti pakaian kemudian bersiap untuk sarapan. Selesai sarapan mereka semua pergi ke sekolah, seperti biasa Alya akan mengantar hingga sampai di sekolah. Sepulang mengantar mereka, Alya akan membantu pekerjaan dapur bersama Mak Inah, salah satu pekerja yang bertugas di dapur.
Aku dan Bu Siti sibuk bekerja di kantor panti, memeriksa berkas-berkas seluruh penghuni panti dan mengecek keluar masuknya uang yang digunakan untuk kebutuhan panti. Sesekali aku juga ditugaskan ke luar panti untuk menemui donatur yang tidak bisa datang ke panti. Sejak lulus kuliah hari-hariku hanya sibuk mengurus panti. Walau sebenarnya, aku ingin sekali memakai ijazahku untuk bekerja di perusahaan lain, tetapi aku tidak tega melihat Bu Siti bekerja sendirian untuk mengurus panti ini.
Hingga akhirnya diri ini memutuskan untuk membantu Bu Siti mengelola panti. Panti yang telah membesarkanku hingga aku bisa menjadi seperti sekarang ini. Perjuangan dan pengorbanan Bu Siti yang tak kenal lelah sejak aku kecil hingga sebesar ini, membuatku sadar akan arti kehidupan yang sesungguhnya.
“Bagaimana Nay, dengan niat Nak Ferdi, apa kamu sudah memikirkan jawabannya?”
Aku terkesiap mendengar pertanyaan Bu Siti, kuhentikan pekerjaan sejenak, menatap ke arah Bu Siti yang juga sedang menatapku. Kuhela napas panjang dan kuembuskan perlahan, sebelum menjawab pertanyaan Bu Siti.
“Bu, Nayla masih butuh waktu untuk berpikir.”
“Jangan terlalu lama, kasihan Nak Ferdi menunggu jawaban darimu.”
“Insyaallah secepatnya. Akan tetapi, Nayla juga butuh pertimbangan dari Ibu.”
“Apa yang harus dipertimbangkan lagi, Nay. Nak Ferdi orang baik dan bertanggung jawab, tidak ada salahnya kamu menikah dengannya.”
Mendengar pengakuan Ibu membuatku semakin tak kuasa mengatakan isi hati yang sesungguhnya pada beliau. Dari ucapan beliau, aku sudah bisa menyimpulkan agar aku menerima lamaran Mas Ferdi. Haruskah aku menerima lamaran Mas Ferdi demi baktiku pada beliau? Lalu, mengesampingkan perasaanku yang sebenarnya.
“Pikirkan baik-baik, Nay! Salat istikharah, mintalah petunjuk pada Allah,” ucapnya lagi.
“Insyaallah Nayla akan lakukan itu,” sahutku.
Aku bangkit dari duduk, menghampiri Bu Siti yang berada di hadapanku, membenamkan kepala di pangkuannya. Tangannya mengusap lembut kepalaku, membuat diri ini semakin dalam dilema. Menerima sulit, menolak pun aku tak bisa.
Terdengar suara pintu diketuk, terlihat Alya menyembulkan kepala dari balik pintu dan mengucap salam. Sontak aku dan Ibu menoleh ke arah pintu menjawab salam Alya bersamaan kemudian menyuruhnya masuk. Aku berdiri dari pangkuan Bu Siti lalu merapikan rambutku yang sedikit berantakan.
“Maaf Bu, Alya mengganggu Ibu dan Kak Nayla. Alya hanya ingin memberitahu pada Ibu dan Kak Nayla di luar ada tamu yang ingin bertemu.”
“Siapa, Al?”
“Alya tidak tahu, Kak, yang jelas ingin bertemu Ibu atau Kakak.”
“Baiklah, sampaikan padanya sebentar lagi Ibu keluar menemuinya.”
Ibu bangkit dari duduknya, menyimpan kitab yang sejak tadi berada di pangkuan dan meletakkannya di atas meja bercampur dengan kitab dan buku lainnya. Lalu melangkah keluar untuk menemui tamu yang belum kuketahui siapa.
Mata ini kembali menatap layar laptop setelah melihat kepergian Bu Siti. Menekuri satu persatu data para donatur tetap yang sudah masuk sejak minggu lalu. Diri ini terharu saat melihat data para donatur yang selalu bertambah setiap bulannya. Terlihat keluarga Mas Ferdi berada pada urutan teratas yang menyumbangkan dana terbesar untuk kelangsungan panti ini.
Aku bangkit dari duduk, menyembulkan kepala dari balik pintu, mencuri pandang siapa tamu yang datang. Seperti mengenalnya meskipun diri ini tidak yakin dengan apa yang terlihat. Memutuskan kembali ke tempat duduk dan melanjutkan pekerjaan yang sudah menanti. Namun, saat ingin duduk terdengar suara Bu Siti memanggil, segera bangkit dan ke luar menuju ruang tamu menghampirinya.
Rasa penasaran terjawab sudah saat melihat siapa tamu yang datang, ternyata aku tidak mengenalnya. Mengucap salam dan sedikit tersenyum untuk menyapanya dan ia memperkenalkan dirinya setelah menjawab salam. Diri ini kembali menoleh ke arah Bu Siti siap menerima perintah dari beliau.
“Nay, bantu Ibu siapkan dokumen baru untuk diisi Pak Dahlan sebagai anggota donatur baru!” titahnya.
Aku kembali masuk ke kantor panti yang bersebelahan dengan ruang tamu untuk mengambil selembar dokumen. Lalu, menyerahkan selembar dokumen kosong pada Pak Dahlan untuk diisi.
“Ini, Pak, mohon diisi sesuai identitas Bapak, agar kami mudah memasukkan data Bapak sebagai donatur tetap di panti kami,” ucapku pada Pak Dahlan.
Aku mulai membimbing Pak Dahlan untuk mengisi data sesuai identitasnya. Kuucapkan terima kasih pada Pak Dahlan karena sudah berkenan menjadi donatur di panti ini. Setelah selesai mengisi data dan sedikit berbasa-basi Pak Dahlan berpamitan untuk pulang. Bu Siti mengantar Pak Dahlan sampai pintu depan, sedangkan aku kembali ke kantor panti untuk menyalin data Pak Dahlan ke dalam file di laptop.
Tak terasa azan Zuhur berkumandang diri ini bergegas membereskan lembar dokumen yang berserakan di atas meja dan mematikan laptop. Lalu, melangkah meninggalkan kantor panti menuju kamar untuk mengambil mukena. Sementara itu, Mak Minah dan Alya sudah berada di musala terlebih dahulu, sedangkan Bu Siti masih belum terlihat. Untuk itu, kami masih harus menunggu Bu Siti yang belum tiba di musala.
Takbiratul ikhram berkumandang setelah kedatangan Bu Siti, merapikan saf bersiap melaksanakan salat. Selesai salat, seperti biasa aku memerintah Alya untuk menjemput adik-adik ke sekolah. Walau sebenarnya tanpa disuruh pun Alya sudah tahu dengan tugasnya. Aku masuk ke dapur membantu Mak Minah menyiapkan makan siang.
“Mbak Nayla, kata Ibu, Mbak Nayla mau lamaran?” Pertanyaan Mak Minah membuatku tersentak dan menoleh ke arah Mak Minah yang sedang sibuk mengaduk-aduk sayur.
“Siapa bilang, Mak? Nayla belum memutuskan mau menerima atau menolak, Nayla masih bingung,” kilahku sambil mengelap piring yang masih sedikit basah.
“Kenapa harus bingung, Mbak, Mas Ferdi itu orang mapan, tampan dan cukup beriman. Jadi, nggak ada yang perlu diragukan lagi, Mbak!”
“Masalahnya bukan itu, Mak, tetapi Nayla …!”
Aku menggantungkan ucapanku, seketika dada ini terasa sesak saat mengingat Mas Rangga yang selama ini menghuni relung hati. Akan tetapi, aku harus cepat mengambil keputusan. Memilih antara menerima Mas Ferdi, lalu menggeser posisi Mas Rangga dari hatiku atau sebaliknya? Entahlah …!
***
Tepat pukul 13.00 adik-adik yang masih duduk di sekolah dasar sudah sampai di rumah. Kusuruh mereka ganti baju, mencuci kaki, tangan dan mengambil wudu untuk menjalankan kewajibannya. Selesai salat menyuruh mereka makan siang bersama kami bertiga beserta Ibu, hanya saja tidak makan di satu meja dengan adik-adik. Akan tetapi, kami masih bisa mengawasi mereka semua saat makan. Selesai makan, menyuruh mereka istirahat sebentar kemudian tidur siang.
Setelah mereka semua tidur aku dan Alya membantu Mak Inah membereskan dapur dan menyiapkan kembali sisa makan untuk adik-adik yang belum pulang sekolah. Setelah semua pekerjaan sudah terselesaikan, diri ini menyuruh Mak Inah dan Alya untuk istirahat, begitu pun denganku yang ingin segera merebahkan tubuh di atas ranjang. Namun, saat ingin membuka pintu kamar terdengar suara Ibu memanggil menyuruh aku menghampirinya yang sedang duduk di kursi kantor.
Segera aku menghampiri Bu Siti yang sudah menunggu di kantor panti. duduk bersebelahan dengan Bu Siti yang selalu setia dengan mushaf dan tasbihnya. Bu Siti menyuruhku untuk segera menyalin data Pak Dahlan ke dalam laptop agar tidak hilang, padahal semua itu sudah kusalin dengan rapi. Lalu, Ibu kembali menanyakan tentang niat baik Mas Ferdi yang akan melamarku.
“Bu, kalau menurut Ibu, Mas Ferdi baik, maka Nayla akan menerima Mas Ferdi. Meskipun Nayla belum yakin dengan hati Nayla yang sesungguhnya.”
“Apa yang membuat hatimu tidak yakin, Nay? Apa kamu sudah memiliki calon untuk menjadi pendampingmu?”
“Tidak, Bu, bukan begitu maksud Nayla. Nayla hanya ….”
Aku menggantungkan ucapanku, sungguh aku tak sanggup untuk berkata jujur. Mengingat pembicaraanku dengan Ibu beberapa hari yang lalu sepertinya beliau berharap agar aku menerima lamaran Mas Ferdi. Aku tidak ingin mematahkan harapan Ibu. Biarlah semua rasaku untuk Mas Rangga tersimpan rapi di dalam hati.
Setelah berbicara banyak hal dengan Ibu aku pamit untuk beristirahat, tak lupa juga menyuruh Ibu untuk beristirahat di kamarnya. Bu Siti memang bukan Ibu kandung, tetapi semua kasih sayangnya tercurah pada kami semua, terutama padaku sehingga membuat diri ini merasa berhutang budi meskipun Ibu tak pernah berbicara hal itu. Kasih sayang yang beliau berikan tulus dan ikhlas tidak pernah membedakan antara satu dengan yang lainnya, hanya saja karena aku yang paling besar maka Ibu memperlakukanku sedikit berbeda.
***
Hari berganti hari bulan pun berganti, tidak terasa sudah tiga bulan berlalu sejak Mas Ferdi mengutarakan niat baiknya untuk melamarku menjadikan pendamping hidupnya. Akan tetapi, aku masih belum juga memantapkan hati untuk mengambil keputusan. Tidak tahu harus berbuat apa menerima atau menolak? Rasanya sangat tidak tega bila harus mengecewakan Ibu, terlihat jelas di wajah Ibu yang penuh harap agar aku menerima Mas Ferdi. Meskipun begitu, Ibu tidak pernah memaksa, beliau selalu bilang semua keputusan ada di tanganku.
“Nay, ini sudah tiga bulan sejak saat Nak Ferdi mengutarakan niatnya untuk melamarmu. Akan tetapi, hingga saat ini kamu belum juga memberikan jawaban, jangan biarkan Nak Ferdi menunggu terlalu lama hingga dia merasa jenuh menunggu yang tidak pasti dan akhirnya berpindah ke lain hati,” ucap Bu Siti saat kami berada di kantor panti.
Ucapan Ibu mampu membuatku sedikit tertampar, aku masih enggan untuk mengambil sebuah keputusan yang sangat berat dalam hidup. Meskipun aku sudah melakukan salat istikharah dan terlihat jelas bahwa Mas Ferdi lah yang hadir dalam mimpiku sebagai jawaban dari istikharahku. Akan tetapi, hingga saat ini aku pun masih dalam dilema. Menolak pun aku tak mampu karena akan mematahkan harapan Ibu. Namun, bila menerima itu artinya aku harus merelakan dan menghapus nama Mas Rangga dari dalam hati. Kuhela napas panjang, lalu kuembuskan dengan perlahan sebelum aku menjawab pertanyaan Ibu. Semoga keputusan yang kuambil tidak menjadi penyesalanku kelak dan mengecewakan banyak orang.
“Insyaallah Nayla akan menerima lamaran Mas Ferdi, Bu,” sahutku.
Entah mengapa bibirku berucap dengan penuh keyakinan akan menerima lamaran Mas Ferdi. Padahal sesungguhnya di dalam hatiku masih bergejolak. Percakapanku dengan Ibu beberapa hari yang lalu masih terngiang jelas. Lalu, bayangan Mas Rangga menari-nari di pelupuk mata sehingga membuat hatiku bergejolak.
Sesaat suasana jadi hening tak ada percakapan antara aku dan Ibu. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam. Sontak kami berdua menoleh ke arah pintu membalas salam dan mempersilakan masuk yang ternyata Mak Minah yang ingin berpamitan untuk belanja ke luar sebentar. Kami pun mengizinkannya karena semua itu juga demi kelangsungan panti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!